*Hadits Shahiih Tentang Shalat Dhuha*
(1). Dari Abu Dzar radhiyallahu 'anhu , Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Pada pagi hari diharuskan bagi seluruh persendian di antara kalian untuk bersedekah. Setiap bacaan tasbih (subhanallah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahmid (alhamdulillah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahlil (laa ilaha illallah) bisa sebagai sedekah, dan setiap bacaan takbir (Allahu akbar) juga bisa sebagai sedekah. Begitu pula amar ma’ruf (mengajak kepada ketaatan) dan nahi mungkar (melarang dari kemungkaran) adalah sedekah. Ini semua bisa dicukupi (diganti) dengan melaksanakan shalat dhuha sebanyak 2 raka’at" [HR. Muslim no. 720]
(2). Dari Buraidah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
"Pada manusia terdapat 360 persendian. Setiap persendian itu memiliki kewajiban untuk bersedekah". Para sahabat pun mengatakan : "Lalu siapa yang mampu bersedekah dengan seluruh persendiannya, wahai Rasulullah ?". Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda : "Menanam bekas ludah di masjid atau menyingkirkan gangguan dari jalanan. Jika engkau tidak mampu melakukan seperti itu, maka cukup lakukan shalat dhuha dua raka’at" [HR. Ahmad V/354, lafazh hadits ini adalah lafazhnya Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban, lihat Shahiihut Targhiib wat Tarhiib no.666)
(3). Dari Nu’aim bin Hammar al-Ghothofaniy, beliau mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Allah Ta’ala berfirman : "Wahai anak Adam, janganlah engkau tinggalkan empat raka’at shalat di awal siang (di waktu dhuha). Maka itu akan mencukupimu di akhir siang" [HR. Ahmad V/286, Abu Dawud no. 1289, at-Tirmidzi no. 475, dan ad-Darimi no. 1451]
(4). Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dia berkata :
"Kekasihku Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam menasihatkan 3 perkara kepadaku, aku tidak akan meninggalkannya selama aku hidup : Puasa 3 hari setiap bulan, shalat dhuha dan agar aku tidak tidur sebelum shalat witir" (HR. Muslim, Abu Dawud dan an-Nasaa'i, lihat Shahiihut Targhiib wat Tarhiib no. 667).
(5). Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Tidaklah seseorang selalu mengerjakan shalat dhuha melainkan ia telah tergolong sebagai orang yang bertaubat" (HR. Ath-Thabrani dan Ibnu Khuzaimah, lihat Shahiihut Targhiib wat Tarhiib no.676).
(6). Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu , Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Barang siapa shalat shubuh di masjid dengan berjamaah, lalu dia duduk berdzikir sampai matahari terbit (setinggi tombak), lalu shalat sunnah 2 rakaat, maka ia akan mendapatkan pahala haji dan umrah, sempurna, sempurna, sempurna" (HR. At-Tirmidzi no.591, lihat Shahiih Sunan at-Tirmidzi no.480 dan Shahiihut Targhib wat Tarhiib no.464).
Dalam riwayat lain ada tambahan :
".....kemudian ia tetap di tempatnya hingga dia shalat dhuha karena Allah maka ia akan mendapatkan pahala....." (HR. Ath-Thabrani, lihat Shahiihut Targhiib wat Tarhiib no.469, hadits dari Uqbah bin Amir dan Utbah bin Abd).
*Hadits Dha'iif Tentang Shalat Dhuha*
(1). "Barangsiapa yang selalu mengerjakan shalat dhuha niscaya akan diampuni dosa-dosanya walaupun sebanyak buih di lautan" (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dha'iif, lihat Dho'iifut Targhiib wat Tarhiib no.402)
(2). "Barangsiapa yang shalat dhuha dua rakaat, maka dia tidak ditulis sebagai orang yang lalai. Barangsiapa yang mengerjakannya sebanyak empat rakaat, maka dia ditulis sebagai orang yang ahli ibadah. Barangsiapa yang mengerjakannya enam rakaat, maka dia diselamatkan di hari itu. Barangsiapa mengerjakannya delapan rakaat, maka Allah tulis dia sebagai orang yang taat. Dan barangsiapa yang mengerjakannya dua belas rakaat, maka Allah akan membangunkan sebuah rumah di surga untuknya" (HR. Ath-Thabrani, dha'iif, lihat Dho'iifut Targhiib wat Tarhiib no.405)
(3). "Sesungguhnya di dalam surga terdapat sebuah pintu bernama pintu dhuha. Apabila Kiamat telah tiba maka akan ada suara yang berseru : "Di manakah orang-orang yang semasa hidup di dunia selalu mengerjakan shalat dhuha ? Ini adalah pintu buat kalian. Masuklah dengan rahmat Allah" (HR. Ath-Thabrani dalam al-Ausath, dha'iif jiddan (lemah sekali), lihat Dho'iifut Targhiib wat Tarhiib no.408 dan Silsilah adh-Dha’iifah no. 392)
✍ Ust Najmi Umar Bakkar
*Apakah Boleh Shalat Dhuha Dengan Berjama'ah ?*
Shalat sunnah yang utama adalah shalat sunnah yang dilakukan secara munfarid (sendiri) dan lebih utama lagi dilakukan di rumah, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
فَصَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِى بُيُوتِكُمْ ، فَإِنَّ أَفْضَلَ الصَّلاَةِ صَلاَةُ الْمَرْءِ فِى بَيْتِهِ إِلاَّ الْمَكْتُوبَةَ
(1). "Hendaklah kalian wahai manusia (yaitu laki-laki) melaksanakan shalat (sunnah) di rumah kalian, karena sebaik-baik shalat adalah shalat seseorang di rumahnya, kecuali shalat wajib (di masjid)" (HR. Bukhari no. 731)
(2). "Shalat sunnah yang dilakukan oleh seseorang secara sembunyi-sembunyi, dimana tidak ada seorang pun yang melihatnya lebih utama dibandingkan dengan shalat di hadapan orang lain sebanyak 25" (HR. Abu Ya'la, lihat Shahihul Jaami' ash-Shaghiir no.3821, hadits dari Shuhaib).
(3). Seorang laki-kaki dari sahabat Nabi berkata : "Shalat (sunnah) seseorang di rumahnya atas shalatnya yang di lihat oleh manusia adalah seperti keutamaan shalat fardhu diatas shalat sunnah" (HR. Al-Baihaqi, hadits dari Shuhaib bin Nu'man, lihat Shahiihut Targhiib wat Tarhiib no.441 dan HR. Ath-Thabrani, lihat Shahiihul Jaami' ash-Shaghiir no. 4217)
(4). "(Shalat) sunnah lelaki di rumahnya (pahalanya) lebih banyak daripada shalat sunnahnya di hadapan orang banyak, seperti keutamaan shalat seorang lelaki bersama jama'ah atas shalatnya sendirian" (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, lihat Shahiihul Jaami' ash-Shaghiir no. 2953)
*Lalu bolehkah sholat sunnah seperti sholat dhuha dikerjakan secara berjamaah ?*
(1). Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu berkata :
"Ada seorang laki-laki dari anshar berkata (kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) : "Saya tidak bisa shalat bersama Anda". Dalam lanjutan hadis dinyatakan:
فَصَنَعَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا، فَدَعَاهُ إِلَى مَنْزِلِهِ، فَبَسَطَ لَهُ حَصِيرًا، وَنَضَحَ طَرَفَ الحَصِيرِ فَصَلَّى عَلَيْهِ رَكْعَتَيْنِ
Kemudian beliau membuat makanan untuk Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan mengundang Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam agar datang ke rumahnya. Dihamparkan tikar dan beliau memerciki bagian ujung-ujungnya dengan air, kemudian shalat dua rakaat di atas tikar tersebut". Ada seseorang dari keluarga al-Jarud bertanya kepada Anas : "Apakah Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melaksanakan shalat dhuha ?" jawab Anas : "Aku belum pernah melihat Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melaksanakan dhuha kecuali hari itu" (HR. Bukhari no.670)
(2). Ubaidillah bin Abdillah bin ‘Uthbah berkata :
دخلت على عمر بن الخطاب بالهاجرة، فوجدته يسبح، فقمت وراءه، فقربني حتى جعلني حذاءه عن يمينه، فلما جاء (يرفأ) تأخرت فصففنا وراءه
"Aku masuk menemui Umar di waktu matahari sedang terik, ternyata aku melihat beliau sedang shalat sunnah, lalu aku berdiri di belakangnya dan beliau menarikku sampai aku sejajar dengan pundaknya di sebelah kanan. Ketika datang Yarfa’ (pelayan Umar) aku mundur dan membuat shaf di belakang Umar radhiyallahu ’anhu" (HR. Malik no.523, lihat ash-Shahihah no.2590)
*Syaikh al-Utsaimin rahimahullah berkata :*
"Apabila seseorang melaksanakan shalat sunnah terus menerus secara berjama’ah, maka ini adalah sesuatu yang tidak disyari’atkan. Adapun jika dia melaksanakan shalat sunnah tersebut kadang-kadang secara berjama’ah, maka tidaklah mengapa karena terdapat petunjuk dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal ini seperti shalat malam yang beliau lakukan bersama Ibnu ‘Abbas. Sebagaimana pula beliau pernah melakukan shalat bersama Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dan anak yatim di rumah Ummu Sulaim, dan masih ada contoh lain semisal itu" (Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Ibnu ‘Utsaimin 14/231, asy-Syamilah)
Berdasarkan keterangan di atas, maka shalat dhuha berjamaah dibolehkan dengan *"beberapa persyaratan"* :
◾Dilakukan kadang-kadang (tidak dijadikan kebiasaan).
◾Tidak terikat hari, waktu, atau moment tertentu.
◾Tidak ada kesepakatan sebelumnya, atau tidak ada pengumuman kepada masyarakat.
◾Tidak menjadi amalan yang menjamur dan banyak dilakukan masyarakat.
◾Jumlah orang yang ikut berjamaah sedikit, sehingga tidak boleh melaksanakan shalat dhuha berjamaah satu kampung, sebagaimana shalat fardhu.
◾Tidak dilaksanakan bersama-sama di masjid.
✍ Ust Najmi Umar Bakkar
* Apakah doa yang dibaca setelah shalat Dhuha ? *
Aisyah radhiyallahu 'anha berkata :
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melaksanakan shalat Dhuha lalu membaca doa :
اللهم اغفرْ لي و تُبْ عليَّ ، إنك أنت التَّوابُ الرحيم
(HR.Bukhari dalam al-Adabul Mufrad, lihat Shahih al-Adabul Mufrad no.482).
(2). Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu 'anhu, ia berkata :
"Saat kami duduk-duduk, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam datang (ke kami). Kemudian beliau bersabda :
مَا أَصْبَحْتُ غَدَاةً قَطٌّ إِلاَّ اِسْتَغْفَرْتُ اللهَ مِائَةَ مَرَّةٍ
“Tidaklah aku berada di pagi hari kecuali aku beristigfar kepada Allah sebanyak 100 kali” (HR. Ibnu Abi Syaibah dan ath-Thabrani di dalam al-Mu'jamul Ausath, lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahihah no. 1600)
Wallahul Muwaffiq (NUB)
[10/13, 11:15 AM] Ustadz Najmi Umar Bakar: * Benarkah Waktu Shalat Shubuh Di Indonesia Lebih Cepat 20-25 Menit Dari Waktu Yang Sebenarnya ? *
Berdasarkan infomasi itu, ada kaum muslimin yang mensiasatinya dengan tetap bergabung bersama jamaah masjid yang sedang shalat shubuh hingga selesai bersama imam, namun ia niatkan dalam hati bahwa ia sedang shalat qabliyah shubuh. Kemudian setelah lewat 20-25 menit dari waktu adzan shubuh, barulah ia melakukan shalat shubuh sendirian.
Ini terjadi karena mereka menganggap bahwa waktu shubuh belum masuk, karena langit masih gelap dan belum terlihat cahaya yang terang benderang. Perbuatan ini tidak benar dan harus diluruskan.
Fajar itu ada dua jenis yaitu :
(1). Fajar Kadzib :
persegi panjang berwarna putih yang terlihat di sisi langit, ia lalu hilang kemudian berganti dengan kegelapan.
(2). Fajar Shadiq :
warna putih yang bergaris dan terlihat di ufuk, cahayanya bertambah terang hingga matahari terbit.
Dan awal waktu shalat Fajar (shubuh) adalah mulai dari terbitnya fajar shadiq.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَوَقْتُ صَلاَةِ الصُّبْحِ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ
"Waktu shalat shubuh adalah mulai terbit fajar (shadiq)" (HR. Muslim no. 612, hadits dari Abdullah bin Amr).
Dalil yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat shubuh di akhir malam saat gelap masih menyelimuti, diantaranya adalah :
(1). Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata :
كُنَّ نِسَاءُ الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم صَلاَةَ الْفَجْرِ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوطِهِنَّ ، ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ إِلَى بُيُوتِهِنَّ حِينَ يَقْضِينَ الصَّلاَةَ ، لاَ يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الْغَلَسِ
"Dahulu para wanita mukminah menghadiri shalat shubuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka melilit badan mereka dengan pakaian masing-masing. Kemudian mereka kembali ke rumah masing-masing ketika shalat telah selesai, tanpa seorang pun yang mengenali mereka karena hari masih gelap" (HR. Bukhari no. 578 dan Muslim no. 645)
(2). Dari Abu Barzah al-Aslami radhiyallahu 'anhu, ia berkata :
"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat shubuh, kemudian beliau tidak berpaling dari tempatnya dan tidak seorang pun di antara kami yang mengetahui tempat duduk beliau (saking gelapnya) dan saat itu beliau membaca 60 ayat hingga 100 ayat" (HR. Bukhari no. 541 dan Muslim no. 1097)
(3). Dari Abu Mas’ud al-Anshaari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :
وَصَلَّى الصُّبْحَ مَرَّةً بِغَلَسٍ ثُمَّ صَلَّى مَرَّةً أُخْرَى فَأَسْفَرَ بِهَا ثُمَّ كَانَتْ صَلَاتُهُ بَعْدَ ذَلِكَ التَّغْلِيسَ حَتَّى مَاتَ وَلَمْ يَعُدْ إِلَى أَنْ يُسْفِرَ
"Dan beliau (Rasulullah) shalat shubuh di saat gelap pada akhir malam. Kemudian beliau shalat pada kesempatan lain ketika cahaya mulai terang. Lalu setelah itu shalat beliau dilakukan saat gelap dan itu dilakukannya "Sampai Wafat". Beliau tidak lagi melakukannya di waktu hari telah terang" (lihat Shahih Sunan Abi Dawud no. 394)
Imam al-Albani rahimahullah berkata :
"Hadits inilah (no.3 diatas) yang diamalkan oleh jumhur (mayoritas) ulama dari Sahabat dan Tabi'in serta para imam mujtahid" (lihat Silsilah adh-Dha'iifah II/372).
Lalu kenapa ada pihak yang menyalah-nyalahkan shalat shubuh ketika masih gelap ?
Bukankah itu yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga wafatnya ?
"Mensegerakan dalam melaksanakan shalat shubuh adalah kebiasaan Khulafaa'ur Raasyidin" (Al-Ausath II/374 oleh Imam Ibnu Mundzir).
Ini merupakan pendapat mayoritas sahabat dan ulama setelahnya, seperti Umar, Utsman, Anas, Abu Hurairah, Ibnu Zubair, Abu Musa, Ibnu Mas’ud, Abu Mas’ud al-Anshari, penduduk Hijaz, dan dikalangan imam kaum muslimin seperti Malik, asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, al-Auza’I, Dawud, Abu Ja’far ath-Thabari dll.
Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad al-Badr hafizhahullah berkata :
وإنما فعله في بعض الأحيان لبيان الجواز ولبيان أن ذلك سائغ، ولكن الذي داوم عليه والمعروف من فعله صلى الله عليه وسلم أنه كان يصليها بغلس.
"Sesungguhnya perbuatan Nabi pada sebagian waktu (melakukan saat terang) sebagai penjelas kebolehannya dan menjelaskan bahwa hal itu mudah, tetapi yang menjadi rutinitasnya dan diketahui sebagai perbuatannya shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bahwa beliau shalat shubuh pada saat masih gelap" (Syarah Sunan Abi Dawud no. 60)
🔊 Ust Najmi Umar Bakkar