Saat mengenang suatu peristiwa yg besar yaitu saat merintis Taud zidna ilma depok ...
Januari 2018 - Agustus 2019
Banyak cerita yg tidak bisa di lupakan... Hihihi
Suka duka silih berganti...
Masya Allah... Ana lagi mengenang kejadian pada satu setengah tahun yg lalu saat meritnis TAUD Zidna Ilma... Hehe
Saat mencari tempat utk sekolah , sibuk minta perijinan dengan aparat dan pejabat komplek, , sibuk rapat, sibuk menerima PSB, sibuk dekor kelas, sibuk bebenah dll
sampe akhirnya pejabat komplek, suami mengijinkan ana dan rumah di gunakan utk mendirikan Taud dan membesarkan Zidna ilma....
Alhamdulillah ala kulihal
Akhirnya ana pun memutuskan utk mundur karena ada banyak sebab yg luar biasa membuat ....
Ana kenal wadi sebelum ana gabung di taud Zidna ilma.. Karena dulu ana pernah ingin mengikuti PG pelatihan di alam wadi saat Achmad usia 2 tahun.. Qodarullah suami tidak mengijinkan ..
Semoga suatu saat ada teman yg sholihah yg benar2 tulus meritntis bareng mengelola sekolah sunnah.. Aamiin
https://youtu.be/p4eTN3sNuWE
https://youtu.be/2lU16ZLcec0
https://youtu.be/39Y-l0ablYg
https://youtu.be/fRj9kEADlik
Liat video nya menambah semangat karena saat ana gabung benar2 niat utk dakwah bukan bisnis oriented
Walaupun ditengah jalan akhirnya banyak perubahan visi yg ana rasakan di tengah jalan...
Semua nya tentu atas ijin Allah karena apapun yg terjadi pasti atas ijin -Nya
Alhamdulillah akhirnya ana fokus mengajar ummahaat tajwid dan ikut halaqoh hafalan..
Bisa jadi apa yg kamu benci itu yg terbaik disisi Allah
Allah lah sebaik2 hisab dan Maha Adil serta Maha segalanya..
.. Alah tidak pernah tidur sellau menjaga hambanya..
Allah akan memberikan hambanya yg terbaik utk dunia dan akherat nya..
Semoga Allah memberikan keistiqomahan
Dalam berdakwah yg sesuai syari'at dan sesuai assunnah... Aamiin
Terus jaga akhlak dalam muamalah dan terus belajar aqidah, fiqih muamalah dan ilmu2 agama baik yg fardhu ain maupun fardhu kifayah...
Semoga Allah senantiasa menjaga kita semua dari teman2 yg buruk, ilmu yg tidak manfaat, dan waktu yg dapat melalaikan kita...
Aamiin
Hikmah yg bisa di petik
Harus ada keterbukaan
Harus ada mou
Harus ada kasih sayang dan saling membutuhkan serta kepedulian antar pengurus
Harus saling menghargai antar semua pengurus dan anggota
Gak boleh sombong
Tawadhu
Keikhlasan
Kesabaran
Memberikan udzur
Husnudzon..
Gunakan ilmu bukan hawa nafsu
Tetap bertanya kepada ulama
Hhmmm ...dan yg paling penting visi tidak boleh berubah ditengah jalan...
Jika ada perubahan nama harus dibicarakan semua pihak...
Ujian yg Allah berikan membuat kita lebih waspada dan lebih hati2 lagi
jaga niat itu tidak mudah.... Jadi harus terus berdoa dan berlindung kpd Allah karena jika sudah maju biasanya manusia lupaa kepada sejarah dan lupa kepada orang2 yg telah berjasa
Semoga apa yg kita lakukan Allah ridho dan Allah Terima sebagai amal ibadah sebagai amal pemberat amal sholih di hari kiamat kelak.. Aamiin
Depok, Rabu, 17 Maret 2020
Rumah Tahfidz, Belajar Tahsin dan Tajwid Al Qur'an, Kajian Ilmu syar'i Hub: Diana Gasim (Ummu Achmad ) 085312837788)
Monday, March 16, 2020
Nasehat al ustadz Yazid bin Abdul Qodir Jawas _hafidzahullah_ terkait musibah wabah corona.
Di majelis hari ahad , 20 Rajab 1441H /15 Maret 2020M , di masjid Nurul Iman Cilangkap.
*A . Dalam pandangan syariat :*
1.Setiap musibah dan bencana apa pun itu yang menimpa individu atau menimpa khalayak ramai, baik itu gempa bumi, kekeringan, kelaparan, penyakit , semua itu sudah dicatat di kitab Lauhul Mahfuzh.
Nabi _shallallaahu ‘alaihi wa sallam_ bersabda:
كَتَبَ اللهُ مَقَادِيْرُ الخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ
“Allah telah mencatat takdir setiap makhluk sebelum 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.” (HR. Muslim no. 2653, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash
2. Bahwa musibah yang menimpa kita, karena perbuatan dosa kita. Sebagai mana Allah Ta'ala berfirman :
وَمَآ أَصَٰبَكُم مِّن مُّصِيبَةٖ فَبِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِيكُمۡ وَيَعۡفُواْ عَن كَثِيرٖ
_"Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu)."_
(QS.Asy-Syura : 30)
3. Apabila wabah tersebut sudah menyebar, maka seorang muslim harus yakin bahwa tidak akan menimpa kita kecuali apa apa yang telah Allah Ta'ala tetapkan.
Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman :
قُل لَّن يُصِيبَنَآ إِلَّا مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَنَا هُوَ مَوۡلَىٰنَاۚ وَعَلَى ٱللَّهِ فَلۡيَتَوَكَّلِ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ
_"Katakanlah (Muhammad), “Tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah bertawakallah orang-orang yang beriman.”_
( QS. At-Taubah: 51 )
Dan seorang muslim diajarkan ketika keluar rumah agar berdoa :
*Doa Keluar Rumah*
بِسْمِ اللهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ
Artinya: “Dengan nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah.”
(HR. Abu Dawud )
Dan kita juga harus mewaspadai tentang sihir. Karena itu benar adanya.
Sebagaimana firman Allah Ta'ala :
(وَٱتَّبَعُوا۟ مَا تَتۡلُوا۟ ٱلشَّیَـٰطِینُ عَلَىٰ مُلۡكِ سُلَیۡمَـٰنَۖ وَمَا كَفَرَ سُلَیۡمَـٰنُ وَلَـٰكِنَّ ٱلشَّیَـٰطِینَ كَفَرُوا۟ یُعَلِّمُونَ ٱلنَّاسَ ٱلسِّحۡرَ وَمَاۤ أُنزِلَ عَلَى ٱلۡمَلَكَیۡنِ بِبَابِلَ هَـٰرُوتَ وَمَـٰرُوتَۚ وَمَا یُعَلِّمَانِ مِنۡ أَحَدٍ حَتَّىٰ یَقُولَاۤ إِنَّمَا نَحۡنُ فِتۡنَةࣱ فَلَا تَكۡفُرۡۖ فَیَتَعَلَّمُونَ مِنۡهُمَا مَا یُفَرِّقُونَ بِهِۦ بَیۡنَ ٱلۡمَرۡءِ وَزَوۡجِهِۦۚ وَمَا هُم بِضَاۤرِّینَ بِهِۦ مِنۡ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذۡنِ ٱللَّهِۚ وَیَتَعَلَّمُونَ مَا یَضُرُّهُمۡ وَلَا یَنفَعُهُمۡۚ وَلَقَدۡ عَلِمُوا۟ لَمَنِ ٱشۡتَرَىٰهُ مَا لَهُۥ فِی ٱلۡـَٔاخِرَةِ مِنۡ خَلَـٰقࣲۚ وَلَبِئۡسَ مَا شَرَوۡا۟ بِهِۦۤ أَنفُسَهُمۡۚ لَوۡ كَانُوا۟ یَعۡلَمُونَ)
[Surat Al-Baqarah 102]
*B. Hal hal yang harus kita lakukan :*
1. Menjaga hak hak Allah, sebagaimana dalam hadits :
عبْد الله بن عَبّاسٍ -رَضِي اللهُ عَنْهُما- قالَ: كُنْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يَوْمًا، فَقَالَ: ((يَا غُلاَمُ، إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ؛ احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَإِنِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ الأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ))
Abdullah bin ‘Abbas _radhiyallahu ‘anhuma_ menceritakan, suatu hari saya berada di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda, “Nak, aku ajarkan kepadamu beberapa untai kalimat: *Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu*. Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu. Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah, dan jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan andaipun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.”
( HR. At Tirmidzi dan Ahmad )
2. Dzikir pagi dan petang.
3. Perbanyak doa , seperti doa:
َعَنْ أَنَسٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – : أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانَ يَقُوْلُ :
*(( اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ البَرَصِ ، وَالجُنُونِ ، والجُذَامِ ، وَسَيِّيءِ الأسْقَامِ ))* .
رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ.
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan, artinya: Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari penyakit kulit, gila, lepra, dan dari penyakit yang jelek lainnya).” (HR. Abu Daud, no. 1554; Ahmad, 3: 192. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaliy dalam Bahjah An-Nazhirin juga menyatakan bahwa sanad hadits ini sahih).
4. Kita harus kembali kepada Allah dan bertaubat serta memperbanyak istighfar.
Dalilnya :
Kembali Kepada Allâh Azza wa Jalla
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَبَلَوْنَاهُمْ بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran). [Al-A’raf/ 7: 168]
Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنِ اسْتَغْفِرُواْ رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُواْ إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُم مَّتَاعاً حَسَناً إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى
“dan hendaklah kamu meminta ampun [istigfar] kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian),niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan.” (QS. Hud: 3)
5. Jangan menakut nakuti kaum muslimin. Nabi shallalahu alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا
“Tidak halal bagi seorang muslim menakut-nakuti muslim yang lain.” (Shahih Sunan Abi Dawud)
Semoga Allah Ta'ala senantiasa melindungi kita semua dan kuam muslimin dari segala marabahaya, aamiin.
_Baarakallahu fiikum...._
Ditulis dari catatan tangan dan beberapa sumber lain.
Abu Fathimah di kota kembang. COPAS
Di majelis hari ahad , 20 Rajab 1441H /15 Maret 2020M , di masjid Nurul Iman Cilangkap.
*A . Dalam pandangan syariat :*
1.Setiap musibah dan bencana apa pun itu yang menimpa individu atau menimpa khalayak ramai, baik itu gempa bumi, kekeringan, kelaparan, penyakit , semua itu sudah dicatat di kitab Lauhul Mahfuzh.
Nabi _shallallaahu ‘alaihi wa sallam_ bersabda:
كَتَبَ اللهُ مَقَادِيْرُ الخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ
“Allah telah mencatat takdir setiap makhluk sebelum 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.” (HR. Muslim no. 2653, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash
2. Bahwa musibah yang menimpa kita, karena perbuatan dosa kita. Sebagai mana Allah Ta'ala berfirman :
وَمَآ أَصَٰبَكُم مِّن مُّصِيبَةٖ فَبِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِيكُمۡ وَيَعۡفُواْ عَن كَثِيرٖ
_"Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu)."_
(QS.Asy-Syura : 30)
3. Apabila wabah tersebut sudah menyebar, maka seorang muslim harus yakin bahwa tidak akan menimpa kita kecuali apa apa yang telah Allah Ta'ala tetapkan.
Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman :
قُل لَّن يُصِيبَنَآ إِلَّا مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَنَا هُوَ مَوۡلَىٰنَاۚ وَعَلَى ٱللَّهِ فَلۡيَتَوَكَّلِ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ
_"Katakanlah (Muhammad), “Tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah bertawakallah orang-orang yang beriman.”_
( QS. At-Taubah: 51 )
Dan seorang muslim diajarkan ketika keluar rumah agar berdoa :
*Doa Keluar Rumah*
بِسْمِ اللهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ
Artinya: “Dengan nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah.”
(HR. Abu Dawud )
Dan kita juga harus mewaspadai tentang sihir. Karena itu benar adanya.
Sebagaimana firman Allah Ta'ala :
(وَٱتَّبَعُوا۟ مَا تَتۡلُوا۟ ٱلشَّیَـٰطِینُ عَلَىٰ مُلۡكِ سُلَیۡمَـٰنَۖ وَمَا كَفَرَ سُلَیۡمَـٰنُ وَلَـٰكِنَّ ٱلشَّیَـٰطِینَ كَفَرُوا۟ یُعَلِّمُونَ ٱلنَّاسَ ٱلسِّحۡرَ وَمَاۤ أُنزِلَ عَلَى ٱلۡمَلَكَیۡنِ بِبَابِلَ هَـٰرُوتَ وَمَـٰرُوتَۚ وَمَا یُعَلِّمَانِ مِنۡ أَحَدٍ حَتَّىٰ یَقُولَاۤ إِنَّمَا نَحۡنُ فِتۡنَةࣱ فَلَا تَكۡفُرۡۖ فَیَتَعَلَّمُونَ مِنۡهُمَا مَا یُفَرِّقُونَ بِهِۦ بَیۡنَ ٱلۡمَرۡءِ وَزَوۡجِهِۦۚ وَمَا هُم بِضَاۤرِّینَ بِهِۦ مِنۡ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذۡنِ ٱللَّهِۚ وَیَتَعَلَّمُونَ مَا یَضُرُّهُمۡ وَلَا یَنفَعُهُمۡۚ وَلَقَدۡ عَلِمُوا۟ لَمَنِ ٱشۡتَرَىٰهُ مَا لَهُۥ فِی ٱلۡـَٔاخِرَةِ مِنۡ خَلَـٰقࣲۚ وَلَبِئۡسَ مَا شَرَوۡا۟ بِهِۦۤ أَنفُسَهُمۡۚ لَوۡ كَانُوا۟ یَعۡلَمُونَ)
[Surat Al-Baqarah 102]
*B. Hal hal yang harus kita lakukan :*
1. Menjaga hak hak Allah, sebagaimana dalam hadits :
عبْد الله بن عَبّاسٍ -رَضِي اللهُ عَنْهُما- قالَ: كُنْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يَوْمًا، فَقَالَ: ((يَا غُلاَمُ، إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ؛ احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَإِنِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ الأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ))
Abdullah bin ‘Abbas _radhiyallahu ‘anhuma_ menceritakan, suatu hari saya berada di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda, “Nak, aku ajarkan kepadamu beberapa untai kalimat: *Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu*. Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu. Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah, dan jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan andaipun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.”
( HR. At Tirmidzi dan Ahmad )
2. Dzikir pagi dan petang.
3. Perbanyak doa , seperti doa:
َعَنْ أَنَسٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – : أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانَ يَقُوْلُ :
*(( اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ البَرَصِ ، وَالجُنُونِ ، والجُذَامِ ، وَسَيِّيءِ الأسْقَامِ ))* .
رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ.
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan, artinya: Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari penyakit kulit, gila, lepra, dan dari penyakit yang jelek lainnya).” (HR. Abu Daud, no. 1554; Ahmad, 3: 192. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaliy dalam Bahjah An-Nazhirin juga menyatakan bahwa sanad hadits ini sahih).
4. Kita harus kembali kepada Allah dan bertaubat serta memperbanyak istighfar.
Dalilnya :
Kembali Kepada Allâh Azza wa Jalla
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَبَلَوْنَاهُمْ بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran). [Al-A’raf/ 7: 168]
Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنِ اسْتَغْفِرُواْ رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُواْ إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُم مَّتَاعاً حَسَناً إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى
“dan hendaklah kamu meminta ampun [istigfar] kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian),niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan.” (QS. Hud: 3)
5. Jangan menakut nakuti kaum muslimin. Nabi shallalahu alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا
“Tidak halal bagi seorang muslim menakut-nakuti muslim yang lain.” (Shahih Sunan Abi Dawud)
Semoga Allah Ta'ala senantiasa melindungi kita semua dan kuam muslimin dari segala marabahaya, aamiin.
_Baarakallahu fiikum...._
Ditulis dari catatan tangan dan beberapa sumber lain.
Abu Fathimah di kota kembang. COPAS
HSI 10
– Kajian 31 – perundingan orang Quraisy kepada Abu Thalib
yuyudutomo yuyudutomo
2 tahun lalu
■ *Siroh Nabawiyah*
■ *Halaqah 31 | Perundingan Orang Quraisy kpd Abu Tholib*
🌐 _link audio_
goo.gl/cU1Ny2
•┈┈┈┈┈•❁﷽❁•┈┈┈┈┈•
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أجمعين
Halaqah yang Tiga Puluh Satu dari Silsilah Ilmiyyah Sirah Nabawiyah Adalah *”Perundingan Orang Quraisy kepada Abu Tholib “*.
Ketika melihat kesabaran orang-orang Islām atas siksaan & azab Orang-orang Quraisy maka orang² Quraisy mencari cara lain untuk menghentikan dakwah ini mereka mendatangi Abu Tholib paman Rasulullãh ﷺ & meminta kepada Abu Tholib supaya menghentikan dakwah nya berkata Uqail bin Abu Tholib & beliau saat itu melihat kejadiannya datang orang² Quraisy kepada Abu Tholib kemudian mereka berkata
_sesungguhnya anak saudara kamu ini telah menyakiti kami didalam perkumpulan² kami & tempat beribadah kami , maka larang lah dia_
Berkata Abu Tholib
_wahai Uqail pergilah kemudian datangkanlah Muhammad kepadaku_
Maka akupun kepada Muhammad kemudian aku mengeluarkan beliau dari sebuah rumah kecil kemungkinan didatangkan Muhammad diwaktu siang disaat matahari menyengat sehingga beliau mencari² bayangan untuk berjalan karena sangat panas nya.
Ketika beliau mendatangi mereka berkata Abu Tholib
_sesungguhnya mereka anak² pamanmu telah menyangka bahwa engkau menyakiti mereka diperkumpulan mereka & tempat ibadah mereka maka berhentilah_
Kemudian Rasulullãh ﷺ mengarahkan pandangan ke langit & berkata
_apakah kalian melihat Matahari ini?_
Mereka berkata
_ia_
Beliau mengatakan
_aku tidak lebih bisa meninggalkan dakwah ini daripada kalian, meskipun kalian menyulut api_
Berkata Abu Tholib
_demi Allāh anak saudaraku tidak berdusta maka pulanglah kalian_
Kisah ini dikeluarkan oleh Ibn Ishaq di dalam Asyiar Al mauraji.
Setelah gagal melakukan perundingan maka semakin keras tekanan orang-orang Quraisy kepada Rasulullãh ﷺ.
Itulah yang bisa kita sampaikan pada Halaqah kali ini & sampai bertemu kembali pada Halaqah selanjutnya.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
_*Abdullāh Roy*_
Di kota Pandeglang
Materi audio ini disampaikan di dalam Grup WA *Halaqah Silsilah ‘Ilmiyyah (HSI) ‘Abdullāh Roy.*
🖊Ibnu Mukri
– Kajian 31 – perundingan orang Quraisy kepada Abu Thalib
yuyudutomo yuyudutomo
2 tahun lalu
■ *Siroh Nabawiyah*
■ *Halaqah 31 | Perundingan Orang Quraisy kpd Abu Tholib*
🌐 _link audio_
goo.gl/cU1Ny2
•┈┈┈┈┈•❁﷽❁•┈┈┈┈┈•
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أجمعين
Halaqah yang Tiga Puluh Satu dari Silsilah Ilmiyyah Sirah Nabawiyah Adalah *”Perundingan Orang Quraisy kepada Abu Tholib “*.
Ketika melihat kesabaran orang-orang Islām atas siksaan & azab Orang-orang Quraisy maka orang² Quraisy mencari cara lain untuk menghentikan dakwah ini mereka mendatangi Abu Tholib paman Rasulullãh ﷺ & meminta kepada Abu Tholib supaya menghentikan dakwah nya berkata Uqail bin Abu Tholib & beliau saat itu melihat kejadiannya datang orang² Quraisy kepada Abu Tholib kemudian mereka berkata
_sesungguhnya anak saudara kamu ini telah menyakiti kami didalam perkumpulan² kami & tempat beribadah kami , maka larang lah dia_
Berkata Abu Tholib
_wahai Uqail pergilah kemudian datangkanlah Muhammad kepadaku_
Maka akupun kepada Muhammad kemudian aku mengeluarkan beliau dari sebuah rumah kecil kemungkinan didatangkan Muhammad diwaktu siang disaat matahari menyengat sehingga beliau mencari² bayangan untuk berjalan karena sangat panas nya.
Ketika beliau mendatangi mereka berkata Abu Tholib
_sesungguhnya mereka anak² pamanmu telah menyangka bahwa engkau menyakiti mereka diperkumpulan mereka & tempat ibadah mereka maka berhentilah_
Kemudian Rasulullãh ﷺ mengarahkan pandangan ke langit & berkata
_apakah kalian melihat Matahari ini?_
Mereka berkata
_ia_
Beliau mengatakan
_aku tidak lebih bisa meninggalkan dakwah ini daripada kalian, meskipun kalian menyulut api_
Berkata Abu Tholib
_demi Allāh anak saudaraku tidak berdusta maka pulanglah kalian_
Kisah ini dikeluarkan oleh Ibn Ishaq di dalam Asyiar Al mauraji.
Setelah gagal melakukan perundingan maka semakin keras tekanan orang-orang Quraisy kepada Rasulullãh ﷺ.
Itulah yang bisa kita sampaikan pada Halaqah kali ini & sampai bertemu kembali pada Halaqah selanjutnya.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
_*Abdullāh Roy*_
Di kota Pandeglang
Materi audio ini disampaikan di dalam Grup WA *Halaqah Silsilah ‘Ilmiyyah (HSI) ‘Abdullāh Roy.*
🖊Ibnu Mukri
*Permasalahan Fikih Terkait Corona*
Oleh: Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc MA
Baru-baru saja WHO menyatakan bahwa virus corona (covid 19) telah meningkat derajat penyebarannya dari wabah menjadi epidemi dan akhirnya sekarang menjadi pendemi. Yaitu penyebarannya sudah internasional, dan negara-negara internasional gagal dalam membendung penyebaran tersebut. Dan telah mencapai lebih dari 100 ribu kasus hingga saat ini, dan kematian telah mencapai ribuan. Yang menjadi spesifik dari covid 19 adalah penyebarannya yang begitu cepat dan begitu mudah, berbeda dengan virus-virus yang sebelumnya. Dan qodarullah kota Jakarta tercinta telah terjangkiti wabah covid 19, dan setiap hari semakin banyak yang terjangkiti.
Berikut beberapa permasalahan fikih yang berkaitan dengan tersebarnya virus corona.
A. Terkait Masuk dan Keluar dari Kota yang Terkena Wabah
Pertama : Jika mendengar ada corona terjadi di sebagian kota maka orang-orang yang berada di luar kota tersebut tidak boleh masuk ke kota tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihissam bersabda:
فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ، فَلاَ تَقْدَمُوا عَلَيْهِ، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ، وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا، فِرَارًا مِنْهُ
“Jika kalian mendengar tentang thoún di suatu tempat maka janganlah mendatanginya, dan jika mewabah di suatu tempat sementara kalian berada di situ maka janganlah keluar karena lari dari thoún tersebut” (HR Al-Bukhari 3473 dan Muslim no 2218)
Adapun hikmah tidak mendatangi ke area tersebut adalah agar tidak tertular, sebagaimana sabda Nabi shallallahu álaihi wasallam,
فِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ فِرَارَكَ مِنَ الْأَسَدِ
“Larilah dari orang yang kusta sebagaimana engkau lari dari singa” (HR Ahmad no 9722 dan dishahihkan oleh al-Arnauth dan Al-Albani di As-Shahihah no 783)
Ini menunjukan seseorang berusaha dengan sungguh-sungguh agar menghindar dari orang yang sedang berpenyakit menular, karena Nabi shallallahu álaihi wasallam menyuruh untuk lari seperti lari dari ganasnya singa. Dan Allah berfirman :
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
“Dan janganlah kalian menjerumuskan diri kalian ke dalam kebinasaan” (QS Al-Baqoroh : 195)
Kedua : Barang siapa yang berada di lokasi wabah maka tidak boleh keluar dari lokasi tersebut jika karena ingin menghindar, karena sabda Nabi di atas. Ada beberapa hikmah yang disebutkan oleh para ulama tentang sebab larangan ini, diantaranya :
Pertama : Agar wabah tersebut tidak lebih luas penyebarannya. Nabi shallallahu álaihi wasallam bersabda :
لاَ تُورِدُوا المُمْرِضَ عَلَى المُصِحِّ
“Dan janganlah membawa onta yang sakit kepada onta yang sehat” (HR Al-Bukhari no 5774 dan Muslim no 2221)
Kedua : Jika semua orang sepakat untuk keluar dari lokasi maka jadilah orang yang tidak mampu untuk keluar -karena sudah parah- tidak akan ada yang mengurusi mereka, baik dalam kondisi ia sakit atau setelah ia meninggal. Yaitu jika dia sakit tidak ada yang merawatnya, dan jika ia meninggal maka tidak ada yang menguburkannya.
Ketiga : Jika dibolehkan untuk keluar dari lokasi wabah maka orang-orang yang kuat akan keluar dan tentu ini akan menghancurkan hati orang-orang yang tidak mampu keluar karena mereka ditinggalkan oleh saudara-saudara mereka. Demikian juga semakin memasukkan rasa takut ke dalam hati mereka.
Keempat : Dengan tidak keluar maka orang-orang yang bertahan hidup mampu untuk memiliki kemampuan menghadapi penyakit tersebut dengan kondisi cuaca yang ada. Bisa jadi jika mereka keluar kondisinya berbeda. Berkaitan dengan corona ternyata lebih banyak yang bertahan hidup daripada yang meninggal.
Kelima : Sangat memungkinkan bahwa orang yang keluar lantas selamat maka ia akan berkata, “Seandainya aku bertahan (tidak keluar) tentu aku akan terkena wabah”, dan sebaliknya yang terkena wabah akan berkata, “Seandainya aku keluar tentu aku akan selamat”. Dan perkataan “seandainya” yang seperti ini dilarang oleh syariát. (Lihat poin kedua hingga kelima di Fathul Baari 10/189)
Keenam : Orang yang keluar akan melewatkan dirinya dari kesempatan untuk meraih pahala mati syahid. Karena jika ia bertahan dengan sabar maka ia akan mendapatkan pahala mati syahid apakah ia meninggal ataukah sakit lalu sembuh, atau tidak terkena wabah sama sekali. (Lihat : Al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubro 4/10-11)
Karena barang siapa yang bersabar untuk tidak keluar dari lokasi wabah karena mencari wajah Allah maka ia mendapatkan pahala mati syahid meskipun ia selamat, dengan syarat ia tidak mengeluh.
Ibnu Hajar al-Haitami berkata :
أَنَّ أَجْرَ الشَّهِيدِ إنَّمَا يُكْتَبُ لِمَنْ لَمْ يَخْرُجْ مِنْ بَلَدِ الطَّاعُونِ، وَأَقَامَ قَاصِدًا ثَوَابَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى رَاجِيًا صِدْقَ وَعْدِهِ عَارِفًا أَنَّهُ إنْ وَقَعَ لَهُ أَوْ صَرَفَهُ عَنْهُ فَهُوَ بِتَقْدِيرِ اللَّهِ غَيْرَ مُتَضَجِّرٍ بِهِ إنْ وَقَعَ بِهِ
“Pahala mati syahid hanyalah tercatat bagi orang yang tidak keluar dari daerah wabah thoún, dan ia menetap karena mencari pahala dari Allah, berharap janji Allah, menyadari bahwa jika wabah tersebut menimpanya atau terhindar darinya semuanya dengan taqdir Allah, dan ia tidak mengeluh jika menimpanya” (Al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubro 4/14)
Lari keluar dari lokasi wabah merupakan dosa besar, karena disamakan seperti lari dari medan pertempuran, sementara lari dari medan pertempuran merupakan dosa besar. Nabi shallallahu álaihi wasallam bersabda :
الْفَارُّ مِنَ الطَّاعُونِ، كَالْفَارِّ مِنَ الزَّحْفِ
“Orang yang lari dari wabah tho’un seperti orang yang lari dari medan pertempuran” (HR Ahmad no 14477 dan dinilai hasan lighoirihi oleh al-Arnauth dan juga al-Albani di as-Shahihah no 1292)
Ketiga : Yang dilarang adalah lari dari lokasi wabah karena ingin terhindar dari wabah, yaitu berdasarkan sabda Nabi فِرَارًا مِنْهُ “karena lari dari wabah”. Adapun jika seseorang keluar dari lokasi wabah karena ada keperluan lain maka hal ini tidaklah mengapa. Contoh ia keluar dari lokasi wabah karena ada tugas dan pekerjaan, atau karena harus menjenguk orang tua dan karena hal-hal yang lain, yang tentunya hanya Allah yang mengetahui niatnya yang sesungguhnya.
An-Nawawi berkata :
أما الْخُرُوْجُ لِعَارِضٍ فَلاَ بَأْسَ بِهِ… وَاتَّفَقُوا عَلَى جَوَازِ الْخُرُوجِ بِشُغْلٍ وَغَرَضٍ غَيْرِ الْفِرَارِ
“Adapun keluar dari lokasi wabah karena ada keperluan (bukan untuk menghindar dari wabah) maka tidak mengapa….dan para ulama sepakat akan bolehnya keluar karena pekerjaan atau tujuan lain selain menghindar dari wabah” (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 14/205-207)
Ibnu Hajar al-Ásqolani berkata :
وَمَنْ خَرَجَ لِحَاجَةٍ مُتَمَحِّضَةٍ لَا لِقَصْدِ الْفِرَارِ أَصْلًا وَيُتَصَوَّرُ ذَلِكَ فِيمَنْ تَهَيَّأَ لِلرَّحِيلِ مِنْ بَلَدٍ كَانَ بِهَا إِلَى بَلَدِ إِقَامَتِهِ مَثَلًا وَلَمْ يَكُنِ الطَّاعُونُ وَقَعَ فَاتَّفَقَ وُقُوعُهُ فِي أَثْنَاءِ تَجْهِيزِهِ فَهَذَا لَمْ يَقْصِدِ الْفِرَارَ أَصْلًا فَلَا يَدْخُلُ فِي النَّهْيِ
“Barang siapa yang keluar karena murni kebutuhan bukan sama sekali karena hendak menghindar dari wabah, dan kondisi ini bisa tergambarkan pada orang yang hendak bersiap bersafar dari suatu negeri yang ditinggalinya menuju negeri tempa menetapnya misalnya, dan wabah thoún belum mewabah, lalu tiba-tiba bertepatan muculnya wabah dengan kondisinya yang hendak bersafar, maka orang ini sama sekali tidak bermaksud untuk menghindar dari wabah, maka ia tidak termasuk dalam larangan” (Fathul Baari 10/188)
Namun tetap saja seseorang yang merasa sehat ketika harus meninggalkan kota wabah karena ada keperluan maka hendaknya ia benar-benar memperhatikan segala kemungkinan, jangan sampai ia malah memindahkan virus yang masih dalam masa inkubasi dalam dirinya. Jika dia pun harus keluar maka jangan berkontak dengan siapapun hingga selesai masa inkubasi (sekitar 2 minggu) untuk memastikan bahwa ia telah sehat dan bebas corona. Wallahu a’lam.
Keempat : Jika ternyata wabah sudah menyebar dan kasusnya sama antara kota A dan kota B atau serta kota C, maka tidak mengapa seseorang masuk dan keluar dari dan menuju kota-kota tersebut, karena sama hukumnya, sama-sama lokasi wabah. Ibnu Hajar al-Haitami
لَوْ عَمَّ إقْلِيمًا لَمْ يَحْرُمْ الْخُرُوجُ مِنْ بَعْضِ قُرَاهُ إلَى بَعْضٍ؛ لِأَنَّهُ لَا فِرَارَ حِينَئِذٍ أَلْبَتَّةَ
“Jika wabah telah meliputi suatu negara maka tidak mengapa keluar dari satu daerahnya ke daerah yang lain, karena pada kondisi demikian tidak ada bentuk lari lagi” (Al-Fataawa al-Fiqhiyah al-Kubro 4/11)
B. Terkait Shalat Berjamaáh
Pertama : Boleh meninggalkan shalat berjamaáh dan shalat jumát.
Jika kota telah ditetapkan sebagai kota wabah, dan sudah semakin banyak korban maka tidak mengapa seseorang untuk tidak shalat berjamaáh dan bahkan tidak mengapa untuk meninggalkan shalat jumát.
Hal ini karena diantara hal yang bisa menjadikan kewajiban berjamaáh adalah hujan, takut, sakit, angin kencang, dan semisalnya, maka bagaimana lagi dengan kawatir dengan virus yang bisa menimbulkan kematian dan tersebar begitu cepat.
Kaidah pertama : Semua udzur yang membolehkan untuk meninggalkan shalat berjamaáh itulah juga udzur untuk membolehkan meninggalkan shalat jumát
أَعْذَارٌ فِي تَرْكِ الْجَمَاعَةِ، هِيَ أَعْذَارٌ فِي تَرْكِ الْجُمْعَةِ، فَلاَ تَجِبُ الْجُمْعَةُ عَلَى خَائِفٍ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ مَالِهِ، وَلاَ عَلَى مَنْ فِي طَرِيْقِهِ مَطَرٌ، وَلاَ عَلَى مَنْ لَهُ مَرِيْضٌ يَخَافُ ضَيَاعَهُ
“Udzur-udzur yang membolehkan meninggalkan shalat berjamaáh itulah udzur untuk meninggalkan shalat jumát. Maka tidak wajib jumát bagi orang yang takut atas (keburukan menimpa) dirinya, atau menimpa hartanya, demikian juga orang yang kehujanan dalam perjalanannya (menunju masjid), demikian orang yang sedang mengurusi orang sakit yang dikawatirkan akan terlalaikan (jika ia meninggalkannya untuk shalat jumát)” (Al-Bayaan fi madzhab al-Imam Asyafií 2/545)
Kaidah kedua : Udzur-udzur tersebut bersifat umum yaitu semua hal yang menimbulkan kesulitan. An-Nawawi berkata :
أَنَّ بَابَ الْأَعْذَارِ فِي تَرْكِ الْجُمُعَةِ وَالْجَمَاعَةِ لَيْسَ مَخْصُوصًا بَلْ كُلُّ مَا لَحِقَ بِهِ مَشَقَّةٌ شَدِيدَةٌ فَهُوَ عُذْرٌ وَالْوَحَلُ مِنْ هَذَا
“Sesungguhnya permasalahan udzur-udzur yang membolehkan meninggalkan shalat jumát dan shalat berjamaáh bukanlah udzur khusus, akan tetapi semua yang mendatangkan kesulitan yang berat maka termasuk udzur. Dan becek termasuk udzur” (Al-Majmuu’ Syarh al-Muhadzzab 4/384)
Jika becek dan hujan saja bisa menjadi udzur untuk meninggalkan shalat jumát dan shalat berjamáah maka apalagi kawatir terkena penyakit korona yang bisa merenggut nyawa, bukan nyawa sendiri bahkan nyawa keluarga dan banyak orang (karena resiko penularan yang begitu cepat). Demikian juga orang yang sakit dan yang kawatir terkena penyakit maka boleh meninggalkan shalat berjamaáh dan shalat jumát.
Al-Mardawi berkata :
{وَيُعْذَرُ فِي تَرْكِ الْجُمُعَةِ وَالْجَمَاعَةِ الْمَرِيضُ} بِلَا نِزَاعٍ، وَيُعْذَرُ أَيْضًا فِي تَرْكِهِمَا لِخَوْفِ حُدُوثِ الْمَرَضِ
“Dan orang yang sakit diberi udzur untuk meninggalkan shalat jumát dan shalat berjamaáh tanpa ada perselisihan. Dengan diberi udzur juga untuk meninggalkan shalat jumát dan shalat berjamaáh karena ketakutan munculnya penyakit” (Al-Inshoof 2/300)
Jika seseorang boleh meninggalkan shalat berjamaáh karena makanan yang sudah hadir dan juga karna menahan buang air karena pikirannya tersibukan tidak bisa khusyu’, maka terlebih lagi ketakutan terhadap virus corona. Bagaimana seseorang shalat sementara pikirannya paranoid terhadap dirinya dan orang-orang disekitarnya. Terlebih lagi virus corona tidak kelihatan, dan juga orang yang terjangkiti virus tersebut bisa jadi tidak langsung nampak tanda-tandanya. Bisa jadi ia merasa sehat ternyata ia terjangkiti, lantas ia berinterakasi dengan orang-orang lain akhirnya ia ikut menularkan virus tersebut.
Juga berdasarkan kaidah fikih دَفْعُ الْمَضَارِّ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ “Menolak kemudorotan didahulukan daripada meraih kemaslahatan”
Alhamdulillah ulama al-Lajnah ad-Daimah (Arab Saudi) telah mengeluarkan fatwa pada tanggal 7 Rajab 1441 (12 Maret 2020) yang berkaitan dengan virus corona, diantara poin-poin fatwa tersebut :
مَنْ خَشِيَ أَنْ يَتَضَرَّرَ أَوْ يَضُرُّ غَيْرَهُ فَيُرَخَّصُ لَهُ فِي عَدَمِ شُهُوْدِ الْجُمُعَةِ وَالْجَمَاعَةِ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ) رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهَ، وَفِي كُلِّ مَا ذُكِرَ إِذَا لَمْ يَشْهَدِ الْجُمُعَةِ فَإِنَّهُ يُصَلِّيْهَا ظُهْراً أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ
“Barangsiapa yang kawatir mendapatkan kemudorotan atau memberi kemudorotan kepada orang lain maka ia diberi keringanan untuk tidak menghadiri shalat jumát dan shalat jamaat, berdasarkan sabda Nabi لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ “Tidak boleh melakukan mudorot pada diri sendiri dan juga memudorotkan orang lain” (HR Ibnu Majah). Dan pada kesemuanya jika seseorang tidak menghadiri shalat jumát maka ia menggantinya dengan shalat dzuhur 4 rakaát” (https://www.spa.gov.sa/2047028)
Kedua : Apakah dalam azan sudah perlu mengucapkan “Sholluu fii Rihaalikum” (Shalatlah kalian di rumah-rumah kalian)”?
Jika memang wabah sudah mencapai tingkat penyebaran yang tinggi di sebuah kota maka tidak mengapa muadzin tatkala mengumandangkan adzan mengucapkan lafal tersebut, agar orang-orang shalat di rumah-rumah mereka.
Ketiga : Boleh shalat memakai masker
Hukum shalat dengan menutup mulut adalah makruh menurut 4 madzhab (Lihat : Badaí Ash-Shanai’ 1/216, Syarh Mukhtashor al-Kholil 1/250, Al-Majmuu’ 3/179, dan Al-Mughni 1/419) karena menyerupai orang-orang majusi tatkala beribadah atau karena bentuk berlebihan dalam beribadah. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiallahu ánhu bahwasanya Nabi shallallahu álaihi wasallam melarang di dalam shalat
أنْ يُغَطِّيَ الرجلُ فَاهُ
“Seseorang menutup mulutnya” (HR Abu Daud no 643 dan Ibnu Majah no 966, dan dihasankan oleh Al-Arnauuth dan al-Albani di al-Misykaah no 764)
Namun hukum ini berubah jika ada kebutuhan seperti jika seseorang menguap maka ia bisa menutup mulutnya (Lihat Maáalim as-Sunan, al-Khottobi 1/179), demikian juga jika karena pekerjaannya (Lihat Mawahibul Jalil 1/503), atau karena penyakit (Lihat Majmuu Fataawa Ibn Baaz 11/114), maka demikian pula jika ia takut tertular penyakit atau takut menularkan penyakit.
Jika wabah di suatu kota belum parah dan masih memungkinkan untuk shalat berjamaáh maka tidak mengapa seseorang shalat sambil memakai masker.
Ketiga : Hukum qunut nazilah disaat wabah menyebar kuat
Para ulama sepakat disyariátkannya qunut jika ada musibah (nazilah) yang menimpa kaum muslimin. Hanya saja mereka berselisih bagaimana jika musibah tersebut adalah wabah?. Secara umum para ulama berselisih menjadi dua pendapat.
Pertama : Dianjurkan untuk qunut nazilah meskipun karena wabah. Ini adalah pendapat mayoritas ulama (Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafiíyah).
An-Nawawi berkata :
الصَّحِيحُ الْمَشْهُورُ أَنَّهُ إِنْ نَزَلَتْ نَازِلَةٌ كَعَدُوٍّ وَقَحْطٍ وَوَبَاءٍ وَعَطَشٍ وَضَرَرٍ ظَاهِرٍ فِي الْمُسْلِمِينَ وَنَحْوِ ذَلِكَ قَنَتُوا فِي جَمِيعِ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَةِ
“Dan yang benar dan masyhur bahwasanya jika terjadi musibah seperti musuh (yang menyerang), musim kekeringan, wabah, dan kemudorotan yang jelas pada kaum muslimin dan musibah yang semisalnya maka kaum muslimin melakukan qunut di seluruh shalat lima waktu” (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 5/176)
Asy-Syirbini berkata :
يُسَنُّ (الْقُنُوتُ) بَعْدَ التَّحْمِيدِ (فِي) اعْتِدَالِ أَخِيرَةٍ (سَائِرٍ) أَيْ بَاقِي (الْمَكْتُوبَاتِ لِلنَّازِلَةِ) الَّتِي نَزَلَتْ كَأَنْ نَزَلَ بِالْمُسْلِمِينَ خَوْفٌ أَوْ قَحْطٌ أَوْ وَبَاءٌ أَوْ جَرَادٌ أَوْ نَحْوُهَا
“Disunnahkan untuk qunut setelah “samiállahu liman hamidah rabbana lakal hamdu” di i’tidal rakaat yang terakhir di seluruh shalat lima waktu karena ada nazilah (musibah) yang menimpa. Seperti kaum muslimin ditimpa dengan ketakutan, musim kering, wabah, belalang, dan yang semisalnya” (Mughnil Muhtaaj 1/317)
Kedua : Tidak dianjurkan untuk qunut nazilah jika karena wabah, dan ini adalah pendapat madzhab Hanbali.
Al-Buhuti berkata :
لَا يَقْنُتُ لِرَفْعِ الْوَبَاءِ فِي الْأَظْهَرِ، لِأَنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ الْقُنُوتُ فِي طَاعُونِ عَمَوَاسَ، وَلَا فِي غَيْرِهِ وَلِأَنَّهُ شَهَادَةٌ لِلْأَخْيَارِ، وَلَا يُسْأَلُ رَفْعُهُ
“Tidak qunut untuk menghilangkan wabah menurut pendapat hambali yang lebih kuat, karena tidak ada dalil adanya qunut dikarenakan thoún ámawas dan thoún yang lainnya, dan karena wabah adalah pahala mati syahid bagi orang-orang yang baik, dan tidak berdoa untuk menghilangkannya” (Syarh Muntahaa al-Irodaat 1/242)
Pendapat yang terkuat adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, karena asalnya kita disyariátkan untuk berdoa dalam rangka menghilangkan musibah. Para ulama (termasuk ulama madzhab Hanbali) sepakat jika ada musuh yang menyerang maka maka boleh untuk melakukan qunut nazilah, padahal datangnya musuh juga merupakan sebab untuk meraih pahala mati syahid. Jika demikian maka boleh juga qunut untuk dihilangkannya wabah, meskipun wabah juga merupakan sebab mati syahid. Demikian juga jika boleh qunut karena musim kering maka wabah lebih berbahaya.
Ini adalah pendapat yang dipilih oleh para ulama al-Lajnah ad-Daaimah (Arab Saudi). Mereka berkata :
أَمَّا الْقُنُوْتُ فِي الصُّبْحِ وَفِي غَيْرِهَا مِنَ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ فَلاَ يُشْرَعُ بَلْ هُوَ بِدْعَةٌ إِلاَّ إِذَا نَزَلَ بِالْمُسْلِمِيْنَ نَازِلَةٌ مِنْ عَدُوٍّ أَوْ غَرْقٍ أَوْ وَبَاءٍ أَوْ نَحْوِهَا فَإِنَّهُ يُشْرَعُ الْقُنُوْتُ لِرَفْعِ ذَلِكَ
“Adapun qunut dalam shalat subuh dan shalat-shalat lima waktu yang lainnya maka tidak disyariátkan, bahkan itu adalah bidáh. Kecuali jika ada musibah yang menimpa kaum muslimin seperti datangnya musuh, atau tenggelam (karena banjir dan lainnya-pen), atau wabah, atau yang semisalnya, maka disyariátkan qunut untuk diangkatnya musibah tersebut” (Fataawa al-Lajnah ad-Daaimah 7/46 no 2222)
Catatan :
Para ulama berselisih apakah qunut nazilah dilakukan di semua shalat ataukah sebagian shalat saja?. Sebagian ulama hanya membolehkan qunut di shalat jahriyah saja (ini pendapat ulama Hanafiyah, lihat Hasyiat Ibni Ábidin 2/11). Sebagian ulama membolehkan qunut nazilah kecuali shalat jumát karena dicukupkan doanya Khothib dalam khutbah (ini pendapat yang mu’tamad di madzhab hanbali, lihat Syarh Muntahal Irodaat 1/242). Dan sebagian ulama membolehkan qunut dilakukan di seluruh shalat wajib, baik shalat lima waktu maupun shalat jumát (ini adalah pendapat Syafiíyah, lihat Mughnil Muhtaaj 1/371, dan ini pendapat yang dipilih oleh Syaikh al-Útsaimin lihat asy-Syarh al-Mumti’ 4/47) .
Dengan demikian boleh qunut pada semua shalat wajib, dan tidak mengapa juga qunut pada sebagian shalat saja. Dan qunutnya dilakukan pada rakaát yang terakhir ketika i’tidal (setelah mengucapkan “Rabbanaa walakal hamdu”)
Jika qunut di shalat sirriyah (seperti dzuhur dan ashar) maka imam tetap menjaharkan doa qunutnya dan para makmum tetap mengaminkan.
Keempat : Hukum memakai hand sanitizer yang mengandung alcohol 70 persen, lantas tidak mencucinya kemudian shalat.
Hal ini diperbolehkan karena alkhohol bukan berarti pasti khomr. Memang khomer mengandung alcohol, akan tetapi tidak semua alcohol adalah khomr. Apalagi cairan yang mengandung alcohol 70 persen maka itu bukan khomr. Lagi pula pendapat yang benar bahwasanya khomr pun tidak najis sehingga yang dilarang adalah jika diminum karena bisa memabukkan. Apalagi alcohol bukan khomr. Jadi penggunaan hand sanitizer tidak membatalkan wudhu. (Jika seseorang yang menyentuh najis tidak batal wudhunya, tapi ia hanya tinggal membersihkan dirinya dari najis tersebut, apalagi menyentuh alcohol yang tidak najis).
Kelima : Bolehnya shalat dengan merenggangkan shaf (saling menjauh dalam shaf) agar tidak bersentuhan. Tentu diantara kesempurnaan shalat adalah dengan merapatkan shaff, akan tetapi jika kondisinya darurat maka tidak mengapa sebagian kewajiban ditinggalkan apalagi perkara yang sunnah untuk ditinggalkan.
Jika memang shalat berjamaah masih ditegakan di kota yang berwabah korona maka tidak mengapa bagi jamaáh untuk saling menjauh ketika shalat dikarenakan kawatir terjadinya kontak fisik memudahkan penyebaran virus corona.
C. Terkait Kegiatan Harian
Pertama : Sebaiknya untuk tidak berjabat tangan ketika bertemu, dan hendaknya mencukupkan dengan salam dengan lisan saja. Karena yang paling utama dari salam adalah doa dengan ucapan lisan, adapun berjabat tangan maka ini dianjurkan, namun jika dikawatirkan bisa menjadi sarana penularan virus maka hendaknya ditinggalkan.
Kedua : Sebaiknya mengurangi kegiatan di luar rumah yang menimbulkan banyak interaksi dengan orang lain. Jika terpaksa harus keluar karena tuntutan pekerjaan dan yang lainnya, maka hendaknya tetap berikhtiar dengan banyak mencuci tangan dan lain lain seuai arahan para ahli kesehatan.
Catatan :
Diantara kasih sayang Allah adalah semua kebiasaan amal shalih yang biasa kita kerjakan, jika ada halangan syarí yang menjadikan kita tidak bisa melaksanakannya maka pahala tetap saja mengalir berdasarkan kebiasaan kita. Nabi shallallahu álaihi wasallam bersabda :
إِذَا مَرِضَ العَبْدُ، أَوْ سَافَرَ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
“Jika seorang hamba sakit atau bersafar maka tetap dicatat baginya seperti apa yang biasa ia kerjakan tatkala tidak bersafar dan tatkala sehat” (HR Al-Bukhari no 2996)
Maka jika kebiasaan kita adalah shalat berjamaah dan shalat jumát, maka meskipun sekarang kita tidak melakukannya, kita akan tetapi mendapatkan pahalanya, karena itu adalah kebiasaan kita.
Jika sekarang kita tidak bisa berjabat tangan dengan saudara-saudara kita (untuk mencegah penularan) maka tetap saja dosa-dosa kita berguguran jika bertemu dengan saudara kita meski tanpa berjabat tangan. Hal ini karena kebiasaan ketika kondisi normal adalah berjabatan tangan.
Penutup:
Hendaknya kita bekerja sama dengan baik kepada pemerintah dalam usaha menghadapi ujian virus covid 19 (corona). Jika kerja sama tidak dilakukan, dan sebagian orang tidak peduli dengan arahan tentu tujuan yang diharapkan lambat untuk tercapai. Bahkan bisa jadi tindakan yang salah dan ceroboh bisa menyebabkan tersebarnya virus semakin parah. Bapak Presiden dan Bapak Gubernur Jakarta (semoga Allah menjaga keduanya dalam kebaikan) telah memberi arahan untuk beribadah di rumah, maka hendaknya kita bisa menjalankannya karena tidak bertentangan dengan dalil-dalil, bahkan sesuai dengan syariát. Terlebih lagi MUI telah mengeluarkan fatwa tentang hal ini, terutama bagi penduduk kota yang telah tersebar wabah seperti Jakarta, maka hendaknya diperhatikan dan dijalankan, dan jangan dipertentangkan dengan fatwa-fatwa yang yang tidak jelas yang menjadikan orang-orang meremehkan atau bahkan tidak mengindahkan keputusan dan arahan pemerintah. Perkaranya bukan perkara sepele, kekawatirannya bukanlah pada hal yang diragukan. Bukankah sudah berapa negara yang banyak jatuh korban?, padahal mereka juga sudah berusaha keras menjalankan arahan-arahan pihak-pihak ahli kesehatan. Di Jakarta bahkan sudah mengenai sebagian pejabat. Dan hampir seluruh kecamatan sudah ada yang terjangkiti, maka hendaknya kita benar-benar bekerja sama karena Allah, agar semua bisa dilewati dengan baik. Jika tidak dikawatirkan maka dampaknya lebih parah. Mudah-mudahan dalam waktu dekat kita bisa melakukan kegiatan keagaaman dan keduniaan kita dengan normal kembali.
Hendaknya marilah kita semua (termasuk penulis) untuk bertakwa kepada Allah, dan untuk meningkatkan ketakwaan. Karena tidaklah musibah menimpa kecuali karena dosa yang kita lakukan, apakah musibah tersebut untuk menggugurkan dosa ataukah untuk mengangkat derajat, atau bahkan bisa menjadikan seseorang meraih pahala mati syahid. Maka perbanyak istighfar, perbanyak doa, dan jangan lupa sisihkan waktu untuk sholat malam dan bermunajat kepada Allah di sepertiga malam yang terkakhir. Apapun yang terjadi maka katakanlah sebagaimana firman Allah :
قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal” (QS At-Taubah : 51)
Jakarta, 16 Maret 2020
Tags: coronacovid 19
Oleh: Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc MA
Baru-baru saja WHO menyatakan bahwa virus corona (covid 19) telah meningkat derajat penyebarannya dari wabah menjadi epidemi dan akhirnya sekarang menjadi pendemi. Yaitu penyebarannya sudah internasional, dan negara-negara internasional gagal dalam membendung penyebaran tersebut. Dan telah mencapai lebih dari 100 ribu kasus hingga saat ini, dan kematian telah mencapai ribuan. Yang menjadi spesifik dari covid 19 adalah penyebarannya yang begitu cepat dan begitu mudah, berbeda dengan virus-virus yang sebelumnya. Dan qodarullah kota Jakarta tercinta telah terjangkiti wabah covid 19, dan setiap hari semakin banyak yang terjangkiti.
Berikut beberapa permasalahan fikih yang berkaitan dengan tersebarnya virus corona.
A. Terkait Masuk dan Keluar dari Kota yang Terkena Wabah
Pertama : Jika mendengar ada corona terjadi di sebagian kota maka orang-orang yang berada di luar kota tersebut tidak boleh masuk ke kota tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihissam bersabda:
فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ، فَلاَ تَقْدَمُوا عَلَيْهِ، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ، وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا، فِرَارًا مِنْهُ
“Jika kalian mendengar tentang thoún di suatu tempat maka janganlah mendatanginya, dan jika mewabah di suatu tempat sementara kalian berada di situ maka janganlah keluar karena lari dari thoún tersebut” (HR Al-Bukhari 3473 dan Muslim no 2218)
Adapun hikmah tidak mendatangi ke area tersebut adalah agar tidak tertular, sebagaimana sabda Nabi shallallahu álaihi wasallam,
فِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ فِرَارَكَ مِنَ الْأَسَدِ
“Larilah dari orang yang kusta sebagaimana engkau lari dari singa” (HR Ahmad no 9722 dan dishahihkan oleh al-Arnauth dan Al-Albani di As-Shahihah no 783)
Ini menunjukan seseorang berusaha dengan sungguh-sungguh agar menghindar dari orang yang sedang berpenyakit menular, karena Nabi shallallahu álaihi wasallam menyuruh untuk lari seperti lari dari ganasnya singa. Dan Allah berfirman :
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
“Dan janganlah kalian menjerumuskan diri kalian ke dalam kebinasaan” (QS Al-Baqoroh : 195)
Kedua : Barang siapa yang berada di lokasi wabah maka tidak boleh keluar dari lokasi tersebut jika karena ingin menghindar, karena sabda Nabi di atas. Ada beberapa hikmah yang disebutkan oleh para ulama tentang sebab larangan ini, diantaranya :
Pertama : Agar wabah tersebut tidak lebih luas penyebarannya. Nabi shallallahu álaihi wasallam bersabda :
لاَ تُورِدُوا المُمْرِضَ عَلَى المُصِحِّ
“Dan janganlah membawa onta yang sakit kepada onta yang sehat” (HR Al-Bukhari no 5774 dan Muslim no 2221)
Kedua : Jika semua orang sepakat untuk keluar dari lokasi maka jadilah orang yang tidak mampu untuk keluar -karena sudah parah- tidak akan ada yang mengurusi mereka, baik dalam kondisi ia sakit atau setelah ia meninggal. Yaitu jika dia sakit tidak ada yang merawatnya, dan jika ia meninggal maka tidak ada yang menguburkannya.
Ketiga : Jika dibolehkan untuk keluar dari lokasi wabah maka orang-orang yang kuat akan keluar dan tentu ini akan menghancurkan hati orang-orang yang tidak mampu keluar karena mereka ditinggalkan oleh saudara-saudara mereka. Demikian juga semakin memasukkan rasa takut ke dalam hati mereka.
Keempat : Dengan tidak keluar maka orang-orang yang bertahan hidup mampu untuk memiliki kemampuan menghadapi penyakit tersebut dengan kondisi cuaca yang ada. Bisa jadi jika mereka keluar kondisinya berbeda. Berkaitan dengan corona ternyata lebih banyak yang bertahan hidup daripada yang meninggal.
Kelima : Sangat memungkinkan bahwa orang yang keluar lantas selamat maka ia akan berkata, “Seandainya aku bertahan (tidak keluar) tentu aku akan terkena wabah”, dan sebaliknya yang terkena wabah akan berkata, “Seandainya aku keluar tentu aku akan selamat”. Dan perkataan “seandainya” yang seperti ini dilarang oleh syariát. (Lihat poin kedua hingga kelima di Fathul Baari 10/189)
Keenam : Orang yang keluar akan melewatkan dirinya dari kesempatan untuk meraih pahala mati syahid. Karena jika ia bertahan dengan sabar maka ia akan mendapatkan pahala mati syahid apakah ia meninggal ataukah sakit lalu sembuh, atau tidak terkena wabah sama sekali. (Lihat : Al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubro 4/10-11)
Karena barang siapa yang bersabar untuk tidak keluar dari lokasi wabah karena mencari wajah Allah maka ia mendapatkan pahala mati syahid meskipun ia selamat, dengan syarat ia tidak mengeluh.
Ibnu Hajar al-Haitami berkata :
أَنَّ أَجْرَ الشَّهِيدِ إنَّمَا يُكْتَبُ لِمَنْ لَمْ يَخْرُجْ مِنْ بَلَدِ الطَّاعُونِ، وَأَقَامَ قَاصِدًا ثَوَابَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى رَاجِيًا صِدْقَ وَعْدِهِ عَارِفًا أَنَّهُ إنْ وَقَعَ لَهُ أَوْ صَرَفَهُ عَنْهُ فَهُوَ بِتَقْدِيرِ اللَّهِ غَيْرَ مُتَضَجِّرٍ بِهِ إنْ وَقَعَ بِهِ
“Pahala mati syahid hanyalah tercatat bagi orang yang tidak keluar dari daerah wabah thoún, dan ia menetap karena mencari pahala dari Allah, berharap janji Allah, menyadari bahwa jika wabah tersebut menimpanya atau terhindar darinya semuanya dengan taqdir Allah, dan ia tidak mengeluh jika menimpanya” (Al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubro 4/14)
Lari keluar dari lokasi wabah merupakan dosa besar, karena disamakan seperti lari dari medan pertempuran, sementara lari dari medan pertempuran merupakan dosa besar. Nabi shallallahu álaihi wasallam bersabda :
الْفَارُّ مِنَ الطَّاعُونِ، كَالْفَارِّ مِنَ الزَّحْفِ
“Orang yang lari dari wabah tho’un seperti orang yang lari dari medan pertempuran” (HR Ahmad no 14477 dan dinilai hasan lighoirihi oleh al-Arnauth dan juga al-Albani di as-Shahihah no 1292)
Ketiga : Yang dilarang adalah lari dari lokasi wabah karena ingin terhindar dari wabah, yaitu berdasarkan sabda Nabi فِرَارًا مِنْهُ “karena lari dari wabah”. Adapun jika seseorang keluar dari lokasi wabah karena ada keperluan lain maka hal ini tidaklah mengapa. Contoh ia keluar dari lokasi wabah karena ada tugas dan pekerjaan, atau karena harus menjenguk orang tua dan karena hal-hal yang lain, yang tentunya hanya Allah yang mengetahui niatnya yang sesungguhnya.
An-Nawawi berkata :
أما الْخُرُوْجُ لِعَارِضٍ فَلاَ بَأْسَ بِهِ… وَاتَّفَقُوا عَلَى جَوَازِ الْخُرُوجِ بِشُغْلٍ وَغَرَضٍ غَيْرِ الْفِرَارِ
“Adapun keluar dari lokasi wabah karena ada keperluan (bukan untuk menghindar dari wabah) maka tidak mengapa….dan para ulama sepakat akan bolehnya keluar karena pekerjaan atau tujuan lain selain menghindar dari wabah” (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 14/205-207)
Ibnu Hajar al-Ásqolani berkata :
وَمَنْ خَرَجَ لِحَاجَةٍ مُتَمَحِّضَةٍ لَا لِقَصْدِ الْفِرَارِ أَصْلًا وَيُتَصَوَّرُ ذَلِكَ فِيمَنْ تَهَيَّأَ لِلرَّحِيلِ مِنْ بَلَدٍ كَانَ بِهَا إِلَى بَلَدِ إِقَامَتِهِ مَثَلًا وَلَمْ يَكُنِ الطَّاعُونُ وَقَعَ فَاتَّفَقَ وُقُوعُهُ فِي أَثْنَاءِ تَجْهِيزِهِ فَهَذَا لَمْ يَقْصِدِ الْفِرَارَ أَصْلًا فَلَا يَدْخُلُ فِي النَّهْيِ
“Barang siapa yang keluar karena murni kebutuhan bukan sama sekali karena hendak menghindar dari wabah, dan kondisi ini bisa tergambarkan pada orang yang hendak bersiap bersafar dari suatu negeri yang ditinggalinya menuju negeri tempa menetapnya misalnya, dan wabah thoún belum mewabah, lalu tiba-tiba bertepatan muculnya wabah dengan kondisinya yang hendak bersafar, maka orang ini sama sekali tidak bermaksud untuk menghindar dari wabah, maka ia tidak termasuk dalam larangan” (Fathul Baari 10/188)
Namun tetap saja seseorang yang merasa sehat ketika harus meninggalkan kota wabah karena ada keperluan maka hendaknya ia benar-benar memperhatikan segala kemungkinan, jangan sampai ia malah memindahkan virus yang masih dalam masa inkubasi dalam dirinya. Jika dia pun harus keluar maka jangan berkontak dengan siapapun hingga selesai masa inkubasi (sekitar 2 minggu) untuk memastikan bahwa ia telah sehat dan bebas corona. Wallahu a’lam.
Keempat : Jika ternyata wabah sudah menyebar dan kasusnya sama antara kota A dan kota B atau serta kota C, maka tidak mengapa seseorang masuk dan keluar dari dan menuju kota-kota tersebut, karena sama hukumnya, sama-sama lokasi wabah. Ibnu Hajar al-Haitami
لَوْ عَمَّ إقْلِيمًا لَمْ يَحْرُمْ الْخُرُوجُ مِنْ بَعْضِ قُرَاهُ إلَى بَعْضٍ؛ لِأَنَّهُ لَا فِرَارَ حِينَئِذٍ أَلْبَتَّةَ
“Jika wabah telah meliputi suatu negara maka tidak mengapa keluar dari satu daerahnya ke daerah yang lain, karena pada kondisi demikian tidak ada bentuk lari lagi” (Al-Fataawa al-Fiqhiyah al-Kubro 4/11)
B. Terkait Shalat Berjamaáh
Pertama : Boleh meninggalkan shalat berjamaáh dan shalat jumát.
Jika kota telah ditetapkan sebagai kota wabah, dan sudah semakin banyak korban maka tidak mengapa seseorang untuk tidak shalat berjamaáh dan bahkan tidak mengapa untuk meninggalkan shalat jumát.
Hal ini karena diantara hal yang bisa menjadikan kewajiban berjamaáh adalah hujan, takut, sakit, angin kencang, dan semisalnya, maka bagaimana lagi dengan kawatir dengan virus yang bisa menimbulkan kematian dan tersebar begitu cepat.
Kaidah pertama : Semua udzur yang membolehkan untuk meninggalkan shalat berjamaáh itulah juga udzur untuk membolehkan meninggalkan shalat jumát
أَعْذَارٌ فِي تَرْكِ الْجَمَاعَةِ، هِيَ أَعْذَارٌ فِي تَرْكِ الْجُمْعَةِ، فَلاَ تَجِبُ الْجُمْعَةُ عَلَى خَائِفٍ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ مَالِهِ، وَلاَ عَلَى مَنْ فِي طَرِيْقِهِ مَطَرٌ، وَلاَ عَلَى مَنْ لَهُ مَرِيْضٌ يَخَافُ ضَيَاعَهُ
“Udzur-udzur yang membolehkan meninggalkan shalat berjamaáh itulah udzur untuk meninggalkan shalat jumát. Maka tidak wajib jumát bagi orang yang takut atas (keburukan menimpa) dirinya, atau menimpa hartanya, demikian juga orang yang kehujanan dalam perjalanannya (menunju masjid), demikian orang yang sedang mengurusi orang sakit yang dikawatirkan akan terlalaikan (jika ia meninggalkannya untuk shalat jumát)” (Al-Bayaan fi madzhab al-Imam Asyafií 2/545)
Kaidah kedua : Udzur-udzur tersebut bersifat umum yaitu semua hal yang menimbulkan kesulitan. An-Nawawi berkata :
أَنَّ بَابَ الْأَعْذَارِ فِي تَرْكِ الْجُمُعَةِ وَالْجَمَاعَةِ لَيْسَ مَخْصُوصًا بَلْ كُلُّ مَا لَحِقَ بِهِ مَشَقَّةٌ شَدِيدَةٌ فَهُوَ عُذْرٌ وَالْوَحَلُ مِنْ هَذَا
“Sesungguhnya permasalahan udzur-udzur yang membolehkan meninggalkan shalat jumát dan shalat berjamaáh bukanlah udzur khusus, akan tetapi semua yang mendatangkan kesulitan yang berat maka termasuk udzur. Dan becek termasuk udzur” (Al-Majmuu’ Syarh al-Muhadzzab 4/384)
Jika becek dan hujan saja bisa menjadi udzur untuk meninggalkan shalat jumát dan shalat berjamáah maka apalagi kawatir terkena penyakit korona yang bisa merenggut nyawa, bukan nyawa sendiri bahkan nyawa keluarga dan banyak orang (karena resiko penularan yang begitu cepat). Demikian juga orang yang sakit dan yang kawatir terkena penyakit maka boleh meninggalkan shalat berjamaáh dan shalat jumát.
Al-Mardawi berkata :
{وَيُعْذَرُ فِي تَرْكِ الْجُمُعَةِ وَالْجَمَاعَةِ الْمَرِيضُ} بِلَا نِزَاعٍ، وَيُعْذَرُ أَيْضًا فِي تَرْكِهِمَا لِخَوْفِ حُدُوثِ الْمَرَضِ
“Dan orang yang sakit diberi udzur untuk meninggalkan shalat jumát dan shalat berjamaáh tanpa ada perselisihan. Dengan diberi udzur juga untuk meninggalkan shalat jumát dan shalat berjamaáh karena ketakutan munculnya penyakit” (Al-Inshoof 2/300)
Jika seseorang boleh meninggalkan shalat berjamaáh karena makanan yang sudah hadir dan juga karna menahan buang air karena pikirannya tersibukan tidak bisa khusyu’, maka terlebih lagi ketakutan terhadap virus corona. Bagaimana seseorang shalat sementara pikirannya paranoid terhadap dirinya dan orang-orang disekitarnya. Terlebih lagi virus corona tidak kelihatan, dan juga orang yang terjangkiti virus tersebut bisa jadi tidak langsung nampak tanda-tandanya. Bisa jadi ia merasa sehat ternyata ia terjangkiti, lantas ia berinterakasi dengan orang-orang lain akhirnya ia ikut menularkan virus tersebut.
Juga berdasarkan kaidah fikih دَفْعُ الْمَضَارِّ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ “Menolak kemudorotan didahulukan daripada meraih kemaslahatan”
Alhamdulillah ulama al-Lajnah ad-Daimah (Arab Saudi) telah mengeluarkan fatwa pada tanggal 7 Rajab 1441 (12 Maret 2020) yang berkaitan dengan virus corona, diantara poin-poin fatwa tersebut :
مَنْ خَشِيَ أَنْ يَتَضَرَّرَ أَوْ يَضُرُّ غَيْرَهُ فَيُرَخَّصُ لَهُ فِي عَدَمِ شُهُوْدِ الْجُمُعَةِ وَالْجَمَاعَةِ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ) رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهَ، وَفِي كُلِّ مَا ذُكِرَ إِذَا لَمْ يَشْهَدِ الْجُمُعَةِ فَإِنَّهُ يُصَلِّيْهَا ظُهْراً أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ
“Barangsiapa yang kawatir mendapatkan kemudorotan atau memberi kemudorotan kepada orang lain maka ia diberi keringanan untuk tidak menghadiri shalat jumát dan shalat jamaat, berdasarkan sabda Nabi لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ “Tidak boleh melakukan mudorot pada diri sendiri dan juga memudorotkan orang lain” (HR Ibnu Majah). Dan pada kesemuanya jika seseorang tidak menghadiri shalat jumát maka ia menggantinya dengan shalat dzuhur 4 rakaát” (https://www.spa.gov.sa/2047028)
Kedua : Apakah dalam azan sudah perlu mengucapkan “Sholluu fii Rihaalikum” (Shalatlah kalian di rumah-rumah kalian)”?
Jika memang wabah sudah mencapai tingkat penyebaran yang tinggi di sebuah kota maka tidak mengapa muadzin tatkala mengumandangkan adzan mengucapkan lafal tersebut, agar orang-orang shalat di rumah-rumah mereka.
Ketiga : Boleh shalat memakai masker
Hukum shalat dengan menutup mulut adalah makruh menurut 4 madzhab (Lihat : Badaí Ash-Shanai’ 1/216, Syarh Mukhtashor al-Kholil 1/250, Al-Majmuu’ 3/179, dan Al-Mughni 1/419) karena menyerupai orang-orang majusi tatkala beribadah atau karena bentuk berlebihan dalam beribadah. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiallahu ánhu bahwasanya Nabi shallallahu álaihi wasallam melarang di dalam shalat
أنْ يُغَطِّيَ الرجلُ فَاهُ
“Seseorang menutup mulutnya” (HR Abu Daud no 643 dan Ibnu Majah no 966, dan dihasankan oleh Al-Arnauuth dan al-Albani di al-Misykaah no 764)
Namun hukum ini berubah jika ada kebutuhan seperti jika seseorang menguap maka ia bisa menutup mulutnya (Lihat Maáalim as-Sunan, al-Khottobi 1/179), demikian juga jika karena pekerjaannya (Lihat Mawahibul Jalil 1/503), atau karena penyakit (Lihat Majmuu Fataawa Ibn Baaz 11/114), maka demikian pula jika ia takut tertular penyakit atau takut menularkan penyakit.
Jika wabah di suatu kota belum parah dan masih memungkinkan untuk shalat berjamaáh maka tidak mengapa seseorang shalat sambil memakai masker.
Ketiga : Hukum qunut nazilah disaat wabah menyebar kuat
Para ulama sepakat disyariátkannya qunut jika ada musibah (nazilah) yang menimpa kaum muslimin. Hanya saja mereka berselisih bagaimana jika musibah tersebut adalah wabah?. Secara umum para ulama berselisih menjadi dua pendapat.
Pertama : Dianjurkan untuk qunut nazilah meskipun karena wabah. Ini adalah pendapat mayoritas ulama (Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafiíyah).
An-Nawawi berkata :
الصَّحِيحُ الْمَشْهُورُ أَنَّهُ إِنْ نَزَلَتْ نَازِلَةٌ كَعَدُوٍّ وَقَحْطٍ وَوَبَاءٍ وَعَطَشٍ وَضَرَرٍ ظَاهِرٍ فِي الْمُسْلِمِينَ وَنَحْوِ ذَلِكَ قَنَتُوا فِي جَمِيعِ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَةِ
“Dan yang benar dan masyhur bahwasanya jika terjadi musibah seperti musuh (yang menyerang), musim kekeringan, wabah, dan kemudorotan yang jelas pada kaum muslimin dan musibah yang semisalnya maka kaum muslimin melakukan qunut di seluruh shalat lima waktu” (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 5/176)
Asy-Syirbini berkata :
يُسَنُّ (الْقُنُوتُ) بَعْدَ التَّحْمِيدِ (فِي) اعْتِدَالِ أَخِيرَةٍ (سَائِرٍ) أَيْ بَاقِي (الْمَكْتُوبَاتِ لِلنَّازِلَةِ) الَّتِي نَزَلَتْ كَأَنْ نَزَلَ بِالْمُسْلِمِينَ خَوْفٌ أَوْ قَحْطٌ أَوْ وَبَاءٌ أَوْ جَرَادٌ أَوْ نَحْوُهَا
“Disunnahkan untuk qunut setelah “samiállahu liman hamidah rabbana lakal hamdu” di i’tidal rakaat yang terakhir di seluruh shalat lima waktu karena ada nazilah (musibah) yang menimpa. Seperti kaum muslimin ditimpa dengan ketakutan, musim kering, wabah, belalang, dan yang semisalnya” (Mughnil Muhtaaj 1/317)
Kedua : Tidak dianjurkan untuk qunut nazilah jika karena wabah, dan ini adalah pendapat madzhab Hanbali.
Al-Buhuti berkata :
لَا يَقْنُتُ لِرَفْعِ الْوَبَاءِ فِي الْأَظْهَرِ، لِأَنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ الْقُنُوتُ فِي طَاعُونِ عَمَوَاسَ، وَلَا فِي غَيْرِهِ وَلِأَنَّهُ شَهَادَةٌ لِلْأَخْيَارِ، وَلَا يُسْأَلُ رَفْعُهُ
“Tidak qunut untuk menghilangkan wabah menurut pendapat hambali yang lebih kuat, karena tidak ada dalil adanya qunut dikarenakan thoún ámawas dan thoún yang lainnya, dan karena wabah adalah pahala mati syahid bagi orang-orang yang baik, dan tidak berdoa untuk menghilangkannya” (Syarh Muntahaa al-Irodaat 1/242)
Pendapat yang terkuat adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, karena asalnya kita disyariátkan untuk berdoa dalam rangka menghilangkan musibah. Para ulama (termasuk ulama madzhab Hanbali) sepakat jika ada musuh yang menyerang maka maka boleh untuk melakukan qunut nazilah, padahal datangnya musuh juga merupakan sebab untuk meraih pahala mati syahid. Jika demikian maka boleh juga qunut untuk dihilangkannya wabah, meskipun wabah juga merupakan sebab mati syahid. Demikian juga jika boleh qunut karena musim kering maka wabah lebih berbahaya.
Ini adalah pendapat yang dipilih oleh para ulama al-Lajnah ad-Daaimah (Arab Saudi). Mereka berkata :
أَمَّا الْقُنُوْتُ فِي الصُّبْحِ وَفِي غَيْرِهَا مِنَ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ فَلاَ يُشْرَعُ بَلْ هُوَ بِدْعَةٌ إِلاَّ إِذَا نَزَلَ بِالْمُسْلِمِيْنَ نَازِلَةٌ مِنْ عَدُوٍّ أَوْ غَرْقٍ أَوْ وَبَاءٍ أَوْ نَحْوِهَا فَإِنَّهُ يُشْرَعُ الْقُنُوْتُ لِرَفْعِ ذَلِكَ
“Adapun qunut dalam shalat subuh dan shalat-shalat lima waktu yang lainnya maka tidak disyariátkan, bahkan itu adalah bidáh. Kecuali jika ada musibah yang menimpa kaum muslimin seperti datangnya musuh, atau tenggelam (karena banjir dan lainnya-pen), atau wabah, atau yang semisalnya, maka disyariátkan qunut untuk diangkatnya musibah tersebut” (Fataawa al-Lajnah ad-Daaimah 7/46 no 2222)
Catatan :
Para ulama berselisih apakah qunut nazilah dilakukan di semua shalat ataukah sebagian shalat saja?. Sebagian ulama hanya membolehkan qunut di shalat jahriyah saja (ini pendapat ulama Hanafiyah, lihat Hasyiat Ibni Ábidin 2/11). Sebagian ulama membolehkan qunut nazilah kecuali shalat jumát karena dicukupkan doanya Khothib dalam khutbah (ini pendapat yang mu’tamad di madzhab hanbali, lihat Syarh Muntahal Irodaat 1/242). Dan sebagian ulama membolehkan qunut dilakukan di seluruh shalat wajib, baik shalat lima waktu maupun shalat jumát (ini adalah pendapat Syafiíyah, lihat Mughnil Muhtaaj 1/371, dan ini pendapat yang dipilih oleh Syaikh al-Útsaimin lihat asy-Syarh al-Mumti’ 4/47) .
Dengan demikian boleh qunut pada semua shalat wajib, dan tidak mengapa juga qunut pada sebagian shalat saja. Dan qunutnya dilakukan pada rakaát yang terakhir ketika i’tidal (setelah mengucapkan “Rabbanaa walakal hamdu”)
Jika qunut di shalat sirriyah (seperti dzuhur dan ashar) maka imam tetap menjaharkan doa qunutnya dan para makmum tetap mengaminkan.
Keempat : Hukum memakai hand sanitizer yang mengandung alcohol 70 persen, lantas tidak mencucinya kemudian shalat.
Hal ini diperbolehkan karena alkhohol bukan berarti pasti khomr. Memang khomer mengandung alcohol, akan tetapi tidak semua alcohol adalah khomr. Apalagi cairan yang mengandung alcohol 70 persen maka itu bukan khomr. Lagi pula pendapat yang benar bahwasanya khomr pun tidak najis sehingga yang dilarang adalah jika diminum karena bisa memabukkan. Apalagi alcohol bukan khomr. Jadi penggunaan hand sanitizer tidak membatalkan wudhu. (Jika seseorang yang menyentuh najis tidak batal wudhunya, tapi ia hanya tinggal membersihkan dirinya dari najis tersebut, apalagi menyentuh alcohol yang tidak najis).
Kelima : Bolehnya shalat dengan merenggangkan shaf (saling menjauh dalam shaf) agar tidak bersentuhan. Tentu diantara kesempurnaan shalat adalah dengan merapatkan shaff, akan tetapi jika kondisinya darurat maka tidak mengapa sebagian kewajiban ditinggalkan apalagi perkara yang sunnah untuk ditinggalkan.
Jika memang shalat berjamaah masih ditegakan di kota yang berwabah korona maka tidak mengapa bagi jamaáh untuk saling menjauh ketika shalat dikarenakan kawatir terjadinya kontak fisik memudahkan penyebaran virus corona.
C. Terkait Kegiatan Harian
Pertama : Sebaiknya untuk tidak berjabat tangan ketika bertemu, dan hendaknya mencukupkan dengan salam dengan lisan saja. Karena yang paling utama dari salam adalah doa dengan ucapan lisan, adapun berjabat tangan maka ini dianjurkan, namun jika dikawatirkan bisa menjadi sarana penularan virus maka hendaknya ditinggalkan.
Kedua : Sebaiknya mengurangi kegiatan di luar rumah yang menimbulkan banyak interaksi dengan orang lain. Jika terpaksa harus keluar karena tuntutan pekerjaan dan yang lainnya, maka hendaknya tetap berikhtiar dengan banyak mencuci tangan dan lain lain seuai arahan para ahli kesehatan.
Catatan :
Diantara kasih sayang Allah adalah semua kebiasaan amal shalih yang biasa kita kerjakan, jika ada halangan syarí yang menjadikan kita tidak bisa melaksanakannya maka pahala tetap saja mengalir berdasarkan kebiasaan kita. Nabi shallallahu álaihi wasallam bersabda :
إِذَا مَرِضَ العَبْدُ، أَوْ سَافَرَ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
“Jika seorang hamba sakit atau bersafar maka tetap dicatat baginya seperti apa yang biasa ia kerjakan tatkala tidak bersafar dan tatkala sehat” (HR Al-Bukhari no 2996)
Maka jika kebiasaan kita adalah shalat berjamaah dan shalat jumát, maka meskipun sekarang kita tidak melakukannya, kita akan tetapi mendapatkan pahalanya, karena itu adalah kebiasaan kita.
Jika sekarang kita tidak bisa berjabat tangan dengan saudara-saudara kita (untuk mencegah penularan) maka tetap saja dosa-dosa kita berguguran jika bertemu dengan saudara kita meski tanpa berjabat tangan. Hal ini karena kebiasaan ketika kondisi normal adalah berjabatan tangan.
Penutup:
Hendaknya kita bekerja sama dengan baik kepada pemerintah dalam usaha menghadapi ujian virus covid 19 (corona). Jika kerja sama tidak dilakukan, dan sebagian orang tidak peduli dengan arahan tentu tujuan yang diharapkan lambat untuk tercapai. Bahkan bisa jadi tindakan yang salah dan ceroboh bisa menyebabkan tersebarnya virus semakin parah. Bapak Presiden dan Bapak Gubernur Jakarta (semoga Allah menjaga keduanya dalam kebaikan) telah memberi arahan untuk beribadah di rumah, maka hendaknya kita bisa menjalankannya karena tidak bertentangan dengan dalil-dalil, bahkan sesuai dengan syariát. Terlebih lagi MUI telah mengeluarkan fatwa tentang hal ini, terutama bagi penduduk kota yang telah tersebar wabah seperti Jakarta, maka hendaknya diperhatikan dan dijalankan, dan jangan dipertentangkan dengan fatwa-fatwa yang yang tidak jelas yang menjadikan orang-orang meremehkan atau bahkan tidak mengindahkan keputusan dan arahan pemerintah. Perkaranya bukan perkara sepele, kekawatirannya bukanlah pada hal yang diragukan. Bukankah sudah berapa negara yang banyak jatuh korban?, padahal mereka juga sudah berusaha keras menjalankan arahan-arahan pihak-pihak ahli kesehatan. Di Jakarta bahkan sudah mengenai sebagian pejabat. Dan hampir seluruh kecamatan sudah ada yang terjangkiti, maka hendaknya kita benar-benar bekerja sama karena Allah, agar semua bisa dilewati dengan baik. Jika tidak dikawatirkan maka dampaknya lebih parah. Mudah-mudahan dalam waktu dekat kita bisa melakukan kegiatan keagaaman dan keduniaan kita dengan normal kembali.
Hendaknya marilah kita semua (termasuk penulis) untuk bertakwa kepada Allah, dan untuk meningkatkan ketakwaan. Karena tidaklah musibah menimpa kecuali karena dosa yang kita lakukan, apakah musibah tersebut untuk menggugurkan dosa ataukah untuk mengangkat derajat, atau bahkan bisa menjadikan seseorang meraih pahala mati syahid. Maka perbanyak istighfar, perbanyak doa, dan jangan lupa sisihkan waktu untuk sholat malam dan bermunajat kepada Allah di sepertiga malam yang terkakhir. Apapun yang terjadi maka katakanlah sebagaimana firman Allah :
قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal” (QS At-Taubah : 51)
Jakarta, 16 Maret 2020
Tags: coronacovid 19
*INGIN MENILAI SESEORANG? LIHATLAH SHOLATNYA DAN APA YANG KELUAR DARI LISANNYA*
➖➖➖➖➖
🍎🍎
• Yahya bin Abi Katsir Rahimahullah mengatakan:
"Ada dua sifat, bila Anda melihat keduanya ada pada diri seseorang, ketahuilah apa yang di belakang keduanya pasti lebih baik lagi:
_(1) Bila dia mampu mengendalikan lisannya._
_(2) Dia selalu menjaga sholatnya"._
*[Kitab: Ash-Shomt, Ibnu Abid Dunya, hal: 264].*
----------
Mutiara salaf ini juga menunjukkan bahwa _"siapa bilang kita tidak boleh menilai seseorang dari luarnya"_
Bila kita tidak boleh menilai seseorang dari lahirnya, lalu dari mana kita menilainya?
Bukankah kita tidak mungkin menilai seseorang dari batinnya?
Bahkan Allah ta'ala telah menjelaskan ciri lahir para pengikut Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam agar kita dapat menilai siapa saja yang pantas disebut sebagai para pecinta beliau yang sebenarnya.
• Allah ta'ala berfirman (yang artinya) :
_"Muhammad adalah utusan Allah. Orang-orang yang bersamanya itu *bersikap keras* terhadap orang-orang kafir tapi *berkasih sayang* terhadap sesama mereka. Kamu *melihat* mereka banyak bersujud dan ruku' untuk mencari karunia Allah dan keridaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud, demikianlah sifat mereka dalam Kitab Taurat"._
*[QS. Al-Fath: 29]*
🖊 Ustadz Musyaffa' ad Dariny Lc, M.A.
_Dewan Pembina Yayasan Risalah Islam_
*Oleh: Mutiara Risalah Islam*
>>>>>>>>🌺🌺<<<<<<<<
📚 Mau Dapat Tambahan Ilmu Setiap Hari dari Ust Dr. Musyaffa' ad Dariny Lc, M.A. ?
📝 Anda akan mendapatkan Nasehat, Artikel, dan Tanya Jawab Terbaik Setiap Hari di Group WA Mutiara Risalah Islam
📲 Daftar Group WA: [Nama, Nomor wa, Jenis Kelamin]
kirim ke https://api.whatsapp.com/send?phone=6289628222285
Subscribe to:
Comments (Atom)