Monday, March 18, 2019

AMWA

*KETIKA RASA FUTUR MENGHINGGAPI*


Terkadang rasa futur dan malas datang menghinggapi kita.

Malas dan terasa berat melangkahkan kaki menghadiri majelis ilmu, kajian ilmiah yang di dalamnya dibahas ayat-ayat Allah Tabaraka wa Ta'ala dan sunnah nabi 'alahis salam.

Saudara saudariku,
Rahimakumullah...

Alhamdulillah kita tidak kekurangan waktu,

Tidak kekurangan guru yang bersedia mengajari,

Tidak pula kekurangan buku dan berbagai sarana yang telah dimudahkan oleh Allah Ta'ala untuk meraih ilmu agama.

Akan tetapi yang masih kurang dari diri kita adalah ketaqwaan dan kejujuran kita kepada Allah rabbul 'alamin serta semangat juang dalam menuntut ilmu agama.

Mari sejenak menyimak semangat para ulama terdahulu dalam menuntut ilmu.

Semoga dengannya bisa membangkitkan kita dari rasa futur yang masih melekat.

الحافظ ابن مندة،
أبو عبد الله، محدث الإسلام، رحل في طلب العلم وعُمُره عشرون سنة ورجع وعُمُره خمس وستون سنة.

وكانت رحلته خمساً وأربعين سنة.

قال الذهبي:
ولم أعلم أحداً كان أوسع رحلةً منه.

منه مع الحفظ والثقة،
فبلغنا أن عدة شيوخه ألف وسبعمائة شيخ.

Seorang ulama Sunnah bernama :
Al-Imam Al-Hafidz *Abu 'abdillah Ibnu Mandah* rahimahullah.
seorang ahli hadits.

Beliau pergi menuntut ilmu agama ketika berusia 20 tahun dan kembali ke daerah tempat tinggalnya diusia 65 tahun.

*Berarti beliau rihlah_ melakukan perjalanan menuntut ilmu agama selama 45 tahun.*


Berkata al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullah :
Aku tidak mengetahui seorangpun yang lebih lama melakukan perjalanan menuntut ilmu agama dibandingkan Al-Hafidz Ibnu Mandah rahimahullah.


Al-Hafidz ibnu Mandah Rahimahullah memiliki hafalan yang kuat lagi terpercaya.
*Beliau menuntut ilmu  dihadapan 1700 orang guru.*
📚.Sumber :
Kitab siyar a'lam an-nubala : 17/30.


Bayangkan wahai saudaraku,
45 tahun rela berkorban demi meraih ilmu agama.
Tentunya dengan berbagai keterbatasan sarana dan beratnya rintangan pada masa itu.

Apakah kita yang telah dianugerahi Allah Ta'ala berbagai kemudahan,
Masih saja bermalas-malasan dalam menuntut ilmu dan menghadiri kajian ilmiah !!!
Allahul musta'an.

========================

✍ *Ustadz Sahl Abu Abdillah* _hafizhahullah_

——————————————————
⤵⤵⤵ Yuk gabung di:
▪Telegram: https://goo.gl/cBcFBb
▪Instagram: https://goo.gl/tCXsKt
▪Facebook: Fauzan Al Kutawy
▪ YouTube: http://bit.ly/YoutubeDakwahSunnahSD
▪Daftar WhatsApp:
- 085239996232 (Ikhwah)
- 081343681359 (Akhwat)

--- *Sebarkan FAiDaH*
      --- *Niatkan IbadaH*
             --- *Raihlah JannaH*
___
📱 *Grup bAGI FAiDaH* 📚
PESAN / NASIHAT IMAM SYAFI'I

أَخي لَن تَنالَ العِلمَ إِلّا بِسِتَّةٍ

سَأُنبيكَ عَن تَفصيلِها بِبَيانِ

ذَكاءٌ وَحِرصٌ وَاِجتِهادٌ وَبُلغَةٌ

وَصُحبَةُ أُستاذٍ وَطولُ زَمانِ

*“Wahai saudaraku… ilmu tidak akan diperoleh kecuali dengan enam perkara yang akan saya beritahukan*
 perinciannya:

(1) kecerdasan,

(2) semangat / kemauan

(3) sungguh-sungguh,

(4) berkecukupan bekal

(5) bimbingan / bersahabat dengan ustadz,

(6) membutuhkan waktu yang lama.”
*SAKLEK*

Dalam urusan tajwid yang berkaitan dengan sifat-sifat _tahsiniyyah_ _ngga_ perlu terlalu saklek, kecuali saat majlisul adaa, boleh lah agak ada penekanan sedikit. Apalagi dalam penyampaian teori saat pembelajaran. Setiap ada riwayat yang telah jadi sandaran, maka tidak bisa saling menyalahkan.

Biasanya pembelajar yang baru mengenal tajwid bersanad atau jalur-jalur periwayatan agak saklek dalam menerapkan sifat-sifat tahsiniyyah. Untuk diri sendiri, silakan, agar bisa mengamalkan dengan sempurna. Tapi, dalam konsep pembelajaran tidak demikian, terutama bagi para pemula, prioritas mereka dalam tajwid adalah agar tidak terjatuh pada kesalahan yang mengubah makna. Saat mereka terjatuh pada kesalahan yang tidak mengubah makna, jangan tergesa-gesa mengatakan, *"Ini salah, itu salah."* Tapi katakanlah: *"Walhamdulillaah, sudah benar, namun ada yang mesti lebih disempurnakan."* Karena selama tidak terjatuh pada kesalahan yang tidak mengubah makna, berat bagi kita mengatakan bacaan tersebut *"salah".*

Kemudian, apabila kita menemukan _kaifiyatul adaa_ dalam tilawah (tata cara dan konsep bertilawah) yang sedikit berbeda dengan apa yang diajarkan oleh guru kita sebelumnya, jangan tergesa-gesa untuk menarik kesimpulan yang satu benar dan yang lain salah. Apalagi, sampai menyalahkan secara langsung di hadapan guru yang bersangkutan. Kondisi tersebut akan lebih kusut kalau si murid membantah pendapat gurunya sambil membawa-bawa nama dari guru atau lembaga yang pendapatnya berbeda dengan maksud untuk membantah atau membanding-bandingkan kedua pendapat tersebut.

Apabila menemukan perbedaan pendapat, maka terima dulu pendapat tersebut, dan janganlah langsung dibantah. Apabila ingin berdiskusi dengan gurumu, maka sampaikan dengan bahasa terbaik di majlis yang lain, atau menunggu majlis pembelajaran selesai, atau saat dipersilakan bertanya dan berpendapat. Kemudian, hindari menyebut nama gurumu yang lain, atau lembaga yang lain, demi menjaga fitnah yang akan timbul apabila kedua pendapat tersebut bertentangan, karena biasanya akan timbul saling menyalahkan dan guru yang pendapatnya kita anggap salah, derajatnya seakan berada di bawah guru yang kita anggap benar pendapatnya. Padahal, tidak ada yang mengetahui siapa derajatnya yang lebih tinggi di sisi Allaah.

Sebagai guru, engkau mesti bijak. Apabila ada pendapat yang baru diketahui, maka cukup katakan: *"Bisa jadi ada pendapat tersebut ada sandarannya, tapi saya tidak mengetahui. Adapun saya tidak mengamalkan hal tersebut karena guru-guru saya belum pernah mengajarkannya kepada saya."*

Insyaallaah sikap tersebut akan menjaga kita dari fitnah dan pertentantan, lebih menyelamatkan hati, dan menentramkan pikiran. Jangan pernah menganggap bahwa pendapat kita adalah satu-satunya yang benar, karena dalam _majlis adaa_ (talaqqi dan pengambilan riwayah Alquran), engkau adalah _mustami'_ (penyimak) dan gurumu adalah perawinya. Maka terimalah riwayat yang datang darinya, lalu amalkanlah sesuai standarnya. Perkara pada akhirnya engkau lebih mengamalkan pendapat yang lain saat bertilawah dan mengajarkan, maka tidak menjadi sebab untuk menjadikan pendapat gurumu dicela atau direndahkan. Apalagi bersikukuh tidak mau mengamalkannya dalam majlis tersebut, dengan anggapan pendapat tersebut lemah.

Ingat sekali lagi, dalam majlisul adaa, engkau adalah _mustami'_ (penyimak/ murid), sedangkan gurumu adalah perawinya yang akan diambil bacaannya.

_Wallaahu a'lam._

_Senin, 18 Maret 2019_

*- Laili Al-Fadhli -*