◾ AWAS JANGAN SALAH BERGURU ◾
Rasulullah صلى الله عليه و سلم bersabda :
"Sesungguhnya di antara tanda-tanda hari Kiamat adalah seseorang menimba ilmu dari al-Ashaaghir (yaitu orang2 bodoh dan pelaku bid’ah)" (HR. Abdullah bin Mubarak dalam Kitab Zuhudnya no. 61 dan ath-Thabrani dalam al-Mu'jamul Kabiir 22/361-362, lihat Shahiihul Jaami' ash-Shaghiir no. 2207)
Sufyan bin Uyainah رحمه الله berkata : "Akan datang kepada manusia di suatu zaman dimana ketika itu yang duduk di masjid-masjid mereka adalah para syaitan dalam rangka mengajari mereka tentang urusan agama mereka" (Al-Bida' Wan Nahyu 'Anha hal 265)
Imam al-Munawi رحمه الله berkata : "Janganlah kamu mengambil ilmu agama dari sembarang orang, kecuali orang yang telah kamu yakini keahlian dan kepantasannya menjadi tempat mengambil ilmu" (Faidhul Qadiir II/545)
Hendaknya penilaian itu bukan hanya karena mereka memulai kajian dengan menyebut innal hamda lillah, berjenggot, tidak isbal, adanya gelar lc dll, mereka bicara tentang sunnah dan bid'ah, atau mereka sendiri mungkin mengaku telah mengikuti manhaj Salaf, atau merasa pernah duduk di kajiannya 1 atau 2 kali, lalu dengan mudahnya engkau berkata bahwa ia telah mengikuti Sunnah dan manhaj Salafus Shalih dan layak diambil ilmunya...
Saudaraku, para jamaah yang umumnya awam sekedar berkata dia bagus cara penyampaiannya atau lembut atau lucu, atau ceramahnya banyak di YouTube, atau banyak yang hadir dalam kajiannya, atau ustadz itu juga menggunakan dalil dari al-Qur'an dan al-Hadits dst...
Saudaraku, yang menjadi masalah bukan itu, tapi ketahuilah "Bagaimanakah cara guru tersebut memahami agamanya ?", dan hal itu harus dikembalikan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Sahabatnya, serta para ulama setelahnya yang telah mengikuti mereka dalam memahami dan mengamalkan...
✍ Ustadz Najmi Umar Bakkar
https://telegram.me/najmiumar
Instagram : @najmiumar_official
Youtube : najmi umar official
Rumah Tahfidz, Belajar Tahsin dan Tajwid Al Qur'an, Kajian Ilmu syar'i Hub: Diana Gasim (Ummu Achmad ) 085312837788)
Saturday, April 11, 2020
*USTADZKU, FAVORITKU*
*Ustadz Badru Salam lc**
بسم الله والحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله
Memfavoritkan seorang ustadz itu wajar dan lumrah. Apalagi bila ‘ilmu dan akhlaqnya, masyâ-Allôh…
Namun terkadang sering jatuh kepada sikap berlebihan. Marah karena ustadznya, benci karena ustadznya, cinta juga karena ustadznya…
Ketika ustadznya menghukumi untuk meng-hajr seseorang, maka ia hajr orang tersebut tanpa melihat sebab musababnya dan tanpa tabayyun terlebih dahulu…
Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah رحمه الله memberi kita nasehat, beliau berkata:
فإذا كان المعلم أو الأستاذ قد أمر بهجر شخص، أو بإهداره وإسقاطه وإبعاده ونحو ذلك، نظر فيه، فإن كان قد فعل ذنبًا شرعيا، عوقب بقدر ذنبه بلا زيادة. وإن لم يكن أذنب ذنبًا شرعيا، لم يجز أن يعاقب بشيء لأجل غرض المعلم أو غيره
"Apabila seorang guru atau ustadz menyuruh untuk menjauhi seseorang atau menghajrnya atau semisalnya, hendaknya dilihat, apabila orang tersebut telah melakukan dosa secara syari’at maka ia diberi sanksi sebatas dosanya saja dan tidak boleh lebih. Dan apabila ia tidak melakukan dosa secara syari’at, maka tidak boleh memberinya sanksi hanya karena mengikuti keinginan guru.” [lihat: Majmu’ al-Fatâwa jil XXVIII].
Cobalah perhatikan perkataan beliau yang indah ini…
Terkadang ustadz kita mencela atau mengkritik seseorang, lalu kita ikut-ikutan mencelanya. Bahkan terkadang menyikapinya bagaikan musuh…!
Padahal, kalaupun misalnya ia salah, hendaknya diberi udzur terlebih dahulu, mungkin ia jatuh kepada kesalahan karena kelalaian atau yang lainnya…?
Seorang ustadz pun seharusnya jangan malah membuat semakin besar api permusuhan, sehingga akibatnya ikhwah pun terkotak-kotak bahkan tidak saling menegur…
Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah رحمه الله dalam Majmu’ al-Fatâwa jilid XXVIII berkata menasehati kita:
وليس للمعلمين أن يحزبوا الناس ويفعلوا ما يلقي بينهم العداوة والبغضاء، بل يكونون مثل الأخوة المتعاونين على البر والتقوي كما قال تعالى : { وَتَعَاوَنُواْ على الْبرِّ وَالتَّقْوَي وَلاَ تَعَاوَنُواْ على الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ }
“Para guru tidak boleh mengotak-kotak manusia dan melakukan sikap yang menimbulkan permusuhan dan kebencian. Tetapi hendaknya mereka bagaikan saudara yang saling tolong-menolong dalam kebaikan dan taqwa sebagaimana firman الله Ta’âlâ:
وَتَعَاوَنُواْ على الْبرِّ وَالتَّقْوَي وَلاَ تَعَاوَنُواْ على الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
‘Dan saling tolong-menolonglah dalam kebaikan dan taqwa, dan jangan saling tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan’ (QS al-Mâ-idah (5) ayat 2).”
Terkadang ketika ustadz tidak suka sama seseorang, ia ungkapkan kepada murid-muridnya sehingga timbul permusuhan dan kebencian. Padahal tidak layak ia lakukan demikian… tetapi hendaknya ia memberi contoh yang baik kepada murid-muridnya untuk memberi seribu udzur kepada sesama kaum Mu’minîn dan tidak mudah mencela atau berburuk sangka…
*Ustadz Badru Salam lc**
بسم الله والحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله
Memfavoritkan seorang ustadz itu wajar dan lumrah. Apalagi bila ‘ilmu dan akhlaqnya, masyâ-Allôh…
Namun terkadang sering jatuh kepada sikap berlebihan. Marah karena ustadznya, benci karena ustadznya, cinta juga karena ustadznya…
Ketika ustadznya menghukumi untuk meng-hajr seseorang, maka ia hajr orang tersebut tanpa melihat sebab musababnya dan tanpa tabayyun terlebih dahulu…
Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah رحمه الله memberi kita nasehat, beliau berkata:
فإذا كان المعلم أو الأستاذ قد أمر بهجر شخص، أو بإهداره وإسقاطه وإبعاده ونحو ذلك، نظر فيه، فإن كان قد فعل ذنبًا شرعيا، عوقب بقدر ذنبه بلا زيادة. وإن لم يكن أذنب ذنبًا شرعيا، لم يجز أن يعاقب بشيء لأجل غرض المعلم أو غيره
"Apabila seorang guru atau ustadz menyuruh untuk menjauhi seseorang atau menghajrnya atau semisalnya, hendaknya dilihat, apabila orang tersebut telah melakukan dosa secara syari’at maka ia diberi sanksi sebatas dosanya saja dan tidak boleh lebih. Dan apabila ia tidak melakukan dosa secara syari’at, maka tidak boleh memberinya sanksi hanya karena mengikuti keinginan guru.” [lihat: Majmu’ al-Fatâwa jil XXVIII].
Cobalah perhatikan perkataan beliau yang indah ini…
Terkadang ustadz kita mencela atau mengkritik seseorang, lalu kita ikut-ikutan mencelanya. Bahkan terkadang menyikapinya bagaikan musuh…!
Padahal, kalaupun misalnya ia salah, hendaknya diberi udzur terlebih dahulu, mungkin ia jatuh kepada kesalahan karena kelalaian atau yang lainnya…?
Seorang ustadz pun seharusnya jangan malah membuat semakin besar api permusuhan, sehingga akibatnya ikhwah pun terkotak-kotak bahkan tidak saling menegur…
Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah رحمه الله dalam Majmu’ al-Fatâwa jilid XXVIII berkata menasehati kita:
وليس للمعلمين أن يحزبوا الناس ويفعلوا ما يلقي بينهم العداوة والبغضاء، بل يكونون مثل الأخوة المتعاونين على البر والتقوي كما قال تعالى : { وَتَعَاوَنُواْ على الْبرِّ وَالتَّقْوَي وَلاَ تَعَاوَنُواْ على الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ }
“Para guru tidak boleh mengotak-kotak manusia dan melakukan sikap yang menimbulkan permusuhan dan kebencian. Tetapi hendaknya mereka bagaikan saudara yang saling tolong-menolong dalam kebaikan dan taqwa sebagaimana firman الله Ta’âlâ:
وَتَعَاوَنُواْ على الْبرِّ وَالتَّقْوَي وَلاَ تَعَاوَنُواْ على الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
‘Dan saling tolong-menolonglah dalam kebaikan dan taqwa, dan jangan saling tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan’ (QS al-Mâ-idah (5) ayat 2).”
Terkadang ketika ustadz tidak suka sama seseorang, ia ungkapkan kepada murid-muridnya sehingga timbul permusuhan dan kebencian. Padahal tidak layak ia lakukan demikian… tetapi hendaknya ia memberi contoh yang baik kepada murid-muridnya untuk memberi seribu udzur kepada sesama kaum Mu’minîn dan tidak mudah mencela atau berburuk sangka…
Subscribe to:
Comments (Atom)