Banyak Ilmu, Namun Lupa Belajar Adab dan Akhlak
Penulis
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
Ketahuilah bahwa ulama salaf sangat perhatian sekali pada masalah adab dan akhlak. Mereka pun mengarahkan murid-muridnya mempelajari adab sebelum menggeluti suatu bidang ilmu dan menemukan berbagai macam khilaf ulama. Imam Darul Hijrah, Imam Malik rahimahullah pernah berkata pada seorang pemuda Quraisy,
تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم
“Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.”
Kenapa sampai para ulama mendahulukan mempelajari adab? Sebagaimana Yusuf bin Al Husain berkata,
بالأدب تفهم العلم
“Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.”
GURU PENULIS, SYAIKH SHOLEH AL ‘USHOIMI BERKATA, “DENGAN MEMPERHATIKAN ADAB MAKA AKAN MUDAH MERAIH ILMU. SEDIKIT PERHATIAN PADA ADAB, MAKA ILMU AKAN DISIA-SIAKAN.”
Oleh karenanya, para ulama sangat perhatian sekali mempelajarinya.
Ibnul Mubarok berkata,
تعلمنا الأدب ثلاثين عاماً، وتعلمنا العلم عشرين
“Kami mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun.”
Ibnu Sirin berkata,
كانوا يتعلمون الهديَ كما يتعلمون العلم
“Mereka -para ulama- dahulu mempelajari petunjuk (adab) sebagaimana mereka menguasai suatu ilmu.”
Makhlad bin Al Husain berkata pada Ibnul Mubarok,
نحن إلى كثير من الأدب أحوج منا إلى كثير من حديث
“Kami lebih butuh dalam mempelajari adab daripada banyak menguasai hadits.” Kata Syaikh Sholeh Al Ushoimi, “Ini yang terjadi di zaman beliau, tentu di zaman kita ini adab dan akhlak seharusnya lebih serius dipelajari.”
Dalam Siyar A’lamin Nubala’ karya Adz Dzahabi disebutkan bahwa ‘Abdullah bin Wahab berkata,
ما نقلنا من أدب مالك أكثر مما تعلمنا من علمه
“Yang kami nukil dari (Imam) Malik lebih banyak dalam hal adab dibanding ilmunya.” –
Imam Malik juga pernah berkata, “Dulu ibuku menyuruhku untuk duduk bermajelis dengan Robi’ah Ibnu Abi ‘Abdirrahman -seorang fakih di kota Madinah di masanya-. Ibuku berkata,
تعلم من أدبه قبل علمه
“Pelajarilah adab darinya sebelum mengambil ilmunya.”
Lihatlah doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam supaya dianugerahi akhlak yang mulia,
اللَّهُمَّ اهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّى سَيِّئَهَا لاَ يَصْرِفُ عَنِّى سَيِّئَهَا إِلاَّ أَنْتَ
“Allahummahdinii li ahsanil akhlaaqi laa yahdi li-ahsanihaa illa anta, washrif ‘anni sayyi-ahaa, laa yashrif ‘anni sayyi-ahaa illa anta [artinya: Ya Allah, tunjukilah padaku akhlak yang baik, tidak ada yang dapat menunjukinya kecuali Engkau. Dan palingkanlah kejelekan akhlak dariku, tidak ada yang memalinggkannya kecuali Engkau].” (HR. Muslim no. 771, dari ‘Ali bin Abi Tholib)
—
Disusun di pagi hari, Jum’at, 11 Jumadats Tsaniyah 1435 H di Pesantren Darush Sholihin
Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com
Ingin tahu selengkapnya.
Yuk KLIK: https://rumaysho.com/7199-banyak-ilmu-namun-lupa-belajar-adab-dan-akhlak.html
Rumah Tahfidz, Belajar Tahsin dan Tajwid Al Qur'an, Kajian Ilmu syar'i Hub: Diana Gasim (Ummu Achmad ) 085312837788)
Wednesday, August 21, 2019
Aqidah
Tsalatsatul Ushul: Ilmu Sebelum Berkata dan Beramal
Ilmu itu begitu penting sebelum berkata dan beramal.
Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah dalam Tsalatsatul Ushul kembali berkata,
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ: لَوْ مَا أَنْزَلَ اللهُ حُجَّةً عَلَى خَلْقِهِ إِلاَّ هَذِهِ السُّوْرَةُ لَكَفَتْهُمْ.
وَقَالَ البُخَارِيُّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى:
“بَابُ: العِلْمُ قَبْلَ القَوْلِ وَالْعَمَلِ، وَالدَّلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى: {فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ} فبدأ بالعلم قبل القول والعمل”.
Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Andai Allah menurunkan hujjah pada hamba hanyalah surat Al-‘Ashr ini, tentu itu sudah mencukupi mereka.”
Imam Bukhari rahimahullah berkata, “Bab ‘Ilmu Sebelum Berkata dan Beramal’, dalilnya adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), ‘Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu’.” (QS. Muhammad: 19). Dalam ayat ini, Allah memulai dengan berilmu lalu beramal.
Cukup dengan Surah Al-‘Ashr
Maksud perkataan Imam Asy-Syafi’i rahimahullah di atas adalah surah Al-‘Ashr semata sudah mencukupi hamba sebagai petunjuk untuk bisa terus belajar, terus beramal, berdakwah, dan bersabar.
Bagaimana dengan surah-surah yang lain, apa tidak bisa menjadi hujjah? Seluruh Al-Qur’an jelas bisa menjadi hujjah. Demikian dijelaskan oleh Syaikh Haytsam bin Muhammad Jamil Sarhan.
Dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, Ibnu Katsir rahimahullah membawakan perkataan Imam Asy-Syafi’i rahimahullah,
لَوْ تَدَبَّرَ النَّاسُ هَذِهِ السُّوْرَةَ لَوَسِعَتْهُمْ
“Andai manusia mau merenungkan surah Al-‘Ashr ini, maka itu sudah mencukupi mereka.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7:648)
Lihat Kata Imam Bukhari, Berilmu Dulu Baru Beramal
Amirul Mukminin dalam bidang hadits yaitu Imam Bukhari rahimahullah menyatakan dalam kitabnya Shahih Al-Bukhari, Bab “Al-‘Ilmu Qabla Al-Qaul wa Al-‘Amal” (ilmu sebelum berkata dan beramal), lantas beliau menyebutkan dalil. Di sini menunjukkan bahwa kita mesti berilmu sebelum beramal. Tidaklah sah suatu amalan yang tidak didasari ilmu terlebih dahulu. Orang yang beramal tanpa ilmu, itulah yang mirip dengan kaum Nashrani. Demikian dijelaskan oleh Syaikh Haytsam bin Muhammad Jamil Sarhan.
Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan menjelaskan sebagai berikut.
Kalimat “فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ” menunjukkan perintah untuk berilmu dahulu. Sedangkan kalimat “وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ” menunjukkan amalan.
Surah Muhammad ayat 19 sekaligus menunjukkan keutamaan berilmu.
Abu Nu’aim rahimahullah dalam Hilyah Al-Auliya’ (7:305) dari Sufyan bin ‘Uyainah ketika ditanya mengenai keutamaan ilmu, ia menyatakan, “Tidakkah engkau mendengar firman Allah Ta’alaketika memulai dengan ‘فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ’ artinya dimulai dengan ilmu, baru setelah itu disebutkan perintah untuk beramal pada ‘وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ’.” Dinukil dari Hushul Al-Ma’mul, hlm. 29.
Kesimpulannya surah Muhammad ayat 19 menunjukkan:
Keutamaan ilmu.Berilmu lebih didahulukan daripada beramal.
Akibat Tidak Berilmu Dahulu
Syaikh Ibnu Qasim rahimahullah berkata, “Perkataan dan amalan manusia tidaklah benar sampai ia mendasarinya dengan ilmu. Dalam hadits disebutkan,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa yang beramal tanpa dasar dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim, no. 1718)
Dalam kalimat syair disebutkan,
وَكُلُّ مَنْ بِغَيْرِ عِلْمٍ يَعْمَلُ
أَعْمَالُهُ مَرْدُوْدَةٌ لاَ تُقْبَلُ
“Setiap yang beramal tanpa ilmu, amalannya tertolak dan tidak diterima.” (Hasyiyah Tsalatsah Al-Ushul, hlm. 14-15)
Semoga Allah menjadikan kita semangat mendasari setiap amalan kita dengan ilmu.
Referensi:
Hasyiyah Tsalatsah Al-Ushul.Cetakan Tahun 1429 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim Al-Hambali An-Najdi. Penerbit Maktabah Al-Malik Fahd.Hushul Al-Ma’mul bi Syarh Tsalatsah Al-Ushul. Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Maktabah Ar-Rusyd.Syarh Tsalatsah Al-Ushul wa Adillatuhaa wa Al-Qawa’id Al-Arba’. Haytsam bin Muhammad Jamil Sarhan. Penerbit At-Taseel Al-Ilmi.Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Ibnu Katsir. Tahqiq: Prof. Dr. Hikmat bin Baysir bin Yasin. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
—
Diselesaikan pada perjalanan Jogja – Jakarta (Garuda), pagi hari 18 Dzulqa’dah 1439
Ingin tahu selengkapnya.
Yuk KLIK: https://rumaysho.com/18246-tsalatsatul-ushul-ilmu-sebelum-berkata-dan-beramal.html
Tsalatsatul Ushul: Ilmu Sebelum Berkata dan Beramal
Ilmu itu begitu penting sebelum berkata dan beramal.
Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah dalam Tsalatsatul Ushul kembali berkata,
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ: لَوْ مَا أَنْزَلَ اللهُ حُجَّةً عَلَى خَلْقِهِ إِلاَّ هَذِهِ السُّوْرَةُ لَكَفَتْهُمْ.
وَقَالَ البُخَارِيُّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى:
“بَابُ: العِلْمُ قَبْلَ القَوْلِ وَالْعَمَلِ، وَالدَّلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى: {فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ} فبدأ بالعلم قبل القول والعمل”.
Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Andai Allah menurunkan hujjah pada hamba hanyalah surat Al-‘Ashr ini, tentu itu sudah mencukupi mereka.”
Imam Bukhari rahimahullah berkata, “Bab ‘Ilmu Sebelum Berkata dan Beramal’, dalilnya adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), ‘Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu’.” (QS. Muhammad: 19). Dalam ayat ini, Allah memulai dengan berilmu lalu beramal.
Cukup dengan Surah Al-‘Ashr
Maksud perkataan Imam Asy-Syafi’i rahimahullah di atas adalah surah Al-‘Ashr semata sudah mencukupi hamba sebagai petunjuk untuk bisa terus belajar, terus beramal, berdakwah, dan bersabar.
Bagaimana dengan surah-surah yang lain, apa tidak bisa menjadi hujjah? Seluruh Al-Qur’an jelas bisa menjadi hujjah. Demikian dijelaskan oleh Syaikh Haytsam bin Muhammad Jamil Sarhan.
Dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, Ibnu Katsir rahimahullah membawakan perkataan Imam Asy-Syafi’i rahimahullah,
لَوْ تَدَبَّرَ النَّاسُ هَذِهِ السُّوْرَةَ لَوَسِعَتْهُمْ
“Andai manusia mau merenungkan surah Al-‘Ashr ini, maka itu sudah mencukupi mereka.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7:648)
Lihat Kata Imam Bukhari, Berilmu Dulu Baru Beramal
Amirul Mukminin dalam bidang hadits yaitu Imam Bukhari rahimahullah menyatakan dalam kitabnya Shahih Al-Bukhari, Bab “Al-‘Ilmu Qabla Al-Qaul wa Al-‘Amal” (ilmu sebelum berkata dan beramal), lantas beliau menyebutkan dalil. Di sini menunjukkan bahwa kita mesti berilmu sebelum beramal. Tidaklah sah suatu amalan yang tidak didasari ilmu terlebih dahulu. Orang yang beramal tanpa ilmu, itulah yang mirip dengan kaum Nashrani. Demikian dijelaskan oleh Syaikh Haytsam bin Muhammad Jamil Sarhan.
Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan menjelaskan sebagai berikut.
Kalimat “فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ” menunjukkan perintah untuk berilmu dahulu. Sedangkan kalimat “وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ” menunjukkan amalan.
Surah Muhammad ayat 19 sekaligus menunjukkan keutamaan berilmu.
Abu Nu’aim rahimahullah dalam Hilyah Al-Auliya’ (7:305) dari Sufyan bin ‘Uyainah ketika ditanya mengenai keutamaan ilmu, ia menyatakan, “Tidakkah engkau mendengar firman Allah Ta’alaketika memulai dengan ‘فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ’ artinya dimulai dengan ilmu, baru setelah itu disebutkan perintah untuk beramal pada ‘وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ’.” Dinukil dari Hushul Al-Ma’mul, hlm. 29.
Kesimpulannya surah Muhammad ayat 19 menunjukkan:
Keutamaan ilmu.Berilmu lebih didahulukan daripada beramal.
Akibat Tidak Berilmu Dahulu
Syaikh Ibnu Qasim rahimahullah berkata, “Perkataan dan amalan manusia tidaklah benar sampai ia mendasarinya dengan ilmu. Dalam hadits disebutkan,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa yang beramal tanpa dasar dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim, no. 1718)
Dalam kalimat syair disebutkan,
وَكُلُّ مَنْ بِغَيْرِ عِلْمٍ يَعْمَلُ
أَعْمَالُهُ مَرْدُوْدَةٌ لاَ تُقْبَلُ
“Setiap yang beramal tanpa ilmu, amalannya tertolak dan tidak diterima.” (Hasyiyah Tsalatsah Al-Ushul, hlm. 14-15)
Semoga Allah menjadikan kita semangat mendasari setiap amalan kita dengan ilmu.
Referensi:
Hasyiyah Tsalatsah Al-Ushul.Cetakan Tahun 1429 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim Al-Hambali An-Najdi. Penerbit Maktabah Al-Malik Fahd.Hushul Al-Ma’mul bi Syarh Tsalatsah Al-Ushul. Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Maktabah Ar-Rusyd.Syarh Tsalatsah Al-Ushul wa Adillatuhaa wa Al-Qawa’id Al-Arba’. Haytsam bin Muhammad Jamil Sarhan. Penerbit At-Taseel Al-Ilmi.Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Ibnu Katsir. Tahqiq: Prof. Dr. Hikmat bin Baysir bin Yasin. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
—
Diselesaikan pada perjalanan Jogja – Jakarta (Garuda), pagi hari 18 Dzulqa’dah 1439
Ingin tahu selengkapnya.
Yuk KLIK: https://rumaysho.com/18246-tsalatsatul-ushul-ilmu-sebelum-berkata-dan-beramal.html
13 Pentingnya Beradab Sebelum Berilmu Dalam Islam
Diera modern seperti saat ini, tidak jarang kita menemukan banyak orang berilmu namun tidak memiliki akhlaq yang baik.
Sebagai contoh saja, para pemimpin negeri ini yang notabene berasal dari kalangan intelektual malah terlibat kasus korupsi yang jelas jelas mencuri uang rakyat. Hal ini menunjukkan pendidikan tinggi tidak selalu otomatis menjadikan seseorang menjadi beradab.
Imam Darul Hijrah, Imam Malik rahimahullah pernah berkata pada seorang pemuda Quraisy,
تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم
“Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.”
Dari Ibrahim bin Habib berkata, ayahku berkata:
“Hai anakku, datangilah para fuqaha dan para ulama. Timbalah ilmu dari mereka. Seraplah adab, akhak dan hidayah mereka. Hal itu lebih aku sukai daripada mencari banyak hadits.” (Al Khatib Al Baghdadi, Al Jami’ li Akhlaq ar Rawi wa Adab As Sami’, tahqiq DR Mahmud Ath Thahhan 1/80)
Hadist diatas menegaskan bahwa islam menegaskan keutamaan untuk mempelajari ilmu mengenai adab dibandingkan mempelajari ilmu.
Sebab kini banyak orang yang berilmu namun tidak memiliki adab yang baik kepada orang tua, tetangga ataupun saudara sendiri.
Oleh sebab itu, memperlajari adab merupakan hal yang harus diutamakan.
Sebagaimana mengenai 13 Pentingnya Beradab Sebelum Berilmu dalam islam.
1. Lebih Mudah Memahami Ilmu
Pentingnya beradab sebelum berilmu menegaskan bahwa adab harus lebih dahulu dipelajari.
Sebab saat kita sudah menguasainya maka akan lebih mudah untuk mempelajari ilmu. Sebagaimana Yusuf bin Al Husain berkata,
بالأدب تفهم العلم
“Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.”
2. Mudah Meraih Ilmu
Mempelajari adab penting sebagai upaya agar memudahkan diri untuk meraih ilmu. Sebab adab sendiri menjadi hal pertama yang wajib dipelajari sebelum mempelajari ilmu yang lainnya.
Guru penulis, Syaikh Sholeh Al ‘Ushoimi berkata,
“Dengan memperhatikan adab maka akan mudah meraih ilmu. Sedikit perhatian pada adab, maka ilmu akan disia-siakan.”
3. Adab Adalah Hal yang Amat Penting
Pentingan beradab sebelum berilmu menunjukkan bahwa adab merupakam hal utama yang harus dipelajari.
Sebab beberapa ulama menganjurkan untuk lebih lama mempelajari adab ketinbang mempelajari ilmu. Artinya bahwa penguasaan terhadap adab harus lebih dalam dan lama ketimbang ilmu.
Sebagimana Ibnul Mubarok berkata,
تعلمنا الأدب ثلاثين عاماً، وتعلمنا العلم عشرين
“Kami mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun.”
5. Mempelajari Adab Seperti Menguasai Ilmu
Mempelajari adab harus diutamakam namun tak boleh juga menelantarkan untuk mempelajafi ilmu.
Sebab adab dan ilmu jika bisa berjalam dengan selaras dan seimbang maka akan bisa memberikan manfaat yang begitu besar. Sebagaimana Ibnu Sirin berkata,
كانوا يتعلمون الهديَ كما يتعلمون العلم
“Mereka -para ulama- dahulu mempelajari petunjuk (adab) sebagaimana mereka menguasai suatu ilmu.”
6. Adab Lebih Penting Ketimbang Ilmu
Adab tentu lebih penting dari pada ilmu, sebagaimana beberapa hadist yang menegaskan bahwa adab lebih dibutuhkan ketimbang ilmu .
Sebagaimana Makhlad bin Al Husain berkata pada Ibnul Mubarok,
نحن إلى كثير من الأدب أحوج منا إلى كثير من حديث
“Kami lebih butuh dalam mempelajari adab daripada banyak menguasai hadits.”
8. Adab Mengajarkan Akhlaq
Adab merupakan sesuatu yang mengajarkan tentang akhlaq. Tentu saja hal ini amat penting dalam kehidupan.
Oleh sebab itu maka mempelajari adab harus dilakukan sejak dini sebagai upaya agar dapat menjadi bekal saat anak kelak menkadi dewasa.
Imam Abu Hanifah berkata,
الْحِكَايَاتُ عَنْ الْعُلَمَاءِ وَمُجَالَسَتِهِمْ أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ كَثِيرٍ مِنْ الْفِقْهِ لِأَنَّهَا آدَابُ الْقَوْمِ وَأَخْلَاقُهُمْ
“Kisah-kisah para ulama dan duduk bersama mereka lebih aku sukai daripada menguasai beberapa bab fiqih. Karena dalam kisah mereka diajarkan berbagai adab dan akhlaq luhur mereka.” (Al Madkhol, 1: 164)
9. Adab Lebih Utama
Pentingnya beradab sebelum berilmu juga dijelaskan oleh Imam Malik yang pernah berkata, “Dulu ibuku menyuruhku untuk duduk bermajelis dengan Robi’ah Ibnu Abi ‘Abdirrahman -seorang fakih di kota Madinah di masanya-. Ibuku berkata,
تعلم من أدبه قبل علمه
“Pelajarilah adab darinya sebelum mengambil ilmunya.”
Tentu saja hadist diatas semakin menegaskan bahwa posisi seorang yang berdab akan lebih baik ketimbang seseorang yang berilmu saja.
Namun jika dapat menyeimbangkan keduanya maka tentu akan semakin dapat memberi kesempurnaan dalam hidup.
10. Beradab Lebih Penting Dari Pada Berilmu
Adab memiliki kedudukan yang lebih pentinh ketimbanh ilmu. Sebab adab merupakan dasar bagi manusia untuk membentuk karakter dan membatasi perilaku. Artinya bahwa adab akan menjadikan seseorang mampu membedakan hal baik dan benar.
Sehingga dapat menggunakan ilmunya dengan sebaik baiknya. Dari Abdullah bin Al Mubarak berkata, Mukhalid bin Husain berkata:
“Kita lebih membutuhkan adab yang banyak daripada hadits yang banyak.” (Al Khatib Al Baghdadi, Al Jami’ li Akhlaq ar Rawi wa Adab As Sami’, tahqiq DR Mahmud Ath Thahhan 1/80)
11. Adab Lebih Utama Ketimbang Ilmu
Pentingnya adab sebelum ilmu menunjukkan bahwa adab lebit utama ketimbang ilmu.
Dimana ilmu akan seperti kayu bakar yang tak akan bisa digunakan tanpa adab.
Sedabgkan tanpa adab maka ilmu tidak akan bisa memberikan makna. sebagaimana Dari Zakariyya Al-‘Anbari, ia berkata:
“Ilmu tanpa adab bagaikan api tanpa bahan bakar, sedangkan adab tanpa ilmu bagaikan roh tanpa badan” (Al Khatib Al Baghdadi, Al Jami’ li Akhlaq ar Rawi wa Adab As Sami’, tahqiq DR Mahmud Ath Thahhan 1/80)
12. Kedudukan Adab Sangat Agung
Adab memiliki kedudukan yang agung, dimana didalamnya berisi mengenai hal hal yang berkaitan dengan cara berprilaku yang baik sebagaimana keutamaan menutup aurat bagi wanita .
Sayangnya kini, hal ini sudah bukan menjadi hal dilupakan, sebab bagi kebanyakan orang akhlaq atau adab tidak lagi menjadi penting.
Padahal adab merupakan hal yang sifatnya agung sebab menjadi bagian dari karakter seseorang. Kualitas seseorang juga dipengaruhi oleh kualitas adab dimiliki.
13. Dengan Adab Ilmu Lebih Barokah
Keberadaan ilmu tidaklah lengkap tanpa dibarengi dengan adanya akhlaq. Sebab adab akan bisa menjadikan ilmu menjadi barokah, jika ilmu diimbangi dengan adab maka manusia tidak hanya akan disebut berilmu tapu juga berilmu dan beradab. Tentu saja hal ini memungkinkan anda untuk semakin dapat meningkatkan kualitas hidup. Sebab tidak hanya dengan bekal ilmu namun dalam hidup juga harus dibekali dengan akhlaq yang baik.
13 Pentingnya Beradab Sebelum Berilmu dalam islam. Tentunya akan semakin menambah referensi anda mengenai pengetahuan tentang agama islam.
Semoga dapat semakin meningkatkam keimanan serta semoga artikel ini dapat bermanfaat.
Diera modern seperti saat ini, tidak jarang kita menemukan banyak orang berilmu namun tidak memiliki akhlaq yang baik.
Sebagai contoh saja, para pemimpin negeri ini yang notabene berasal dari kalangan intelektual malah terlibat kasus korupsi yang jelas jelas mencuri uang rakyat. Hal ini menunjukkan pendidikan tinggi tidak selalu otomatis menjadikan seseorang menjadi beradab.
Imam Darul Hijrah, Imam Malik rahimahullah pernah berkata pada seorang pemuda Quraisy,
تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم
“Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.”
Dari Ibrahim bin Habib berkata, ayahku berkata:
“Hai anakku, datangilah para fuqaha dan para ulama. Timbalah ilmu dari mereka. Seraplah adab, akhak dan hidayah mereka. Hal itu lebih aku sukai daripada mencari banyak hadits.” (Al Khatib Al Baghdadi, Al Jami’ li Akhlaq ar Rawi wa Adab As Sami’, tahqiq DR Mahmud Ath Thahhan 1/80)
Hadist diatas menegaskan bahwa islam menegaskan keutamaan untuk mempelajari ilmu mengenai adab dibandingkan mempelajari ilmu.
Sebab kini banyak orang yang berilmu namun tidak memiliki adab yang baik kepada orang tua, tetangga ataupun saudara sendiri.
Oleh sebab itu, memperlajari adab merupakan hal yang harus diutamakan.
Sebagaimana mengenai 13 Pentingnya Beradab Sebelum Berilmu dalam islam.
1. Lebih Mudah Memahami Ilmu
Pentingnya beradab sebelum berilmu menegaskan bahwa adab harus lebih dahulu dipelajari.
Sebab saat kita sudah menguasainya maka akan lebih mudah untuk mempelajari ilmu. Sebagaimana Yusuf bin Al Husain berkata,
بالأدب تفهم العلم
“Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.”
2. Mudah Meraih Ilmu
Mempelajari adab penting sebagai upaya agar memudahkan diri untuk meraih ilmu. Sebab adab sendiri menjadi hal pertama yang wajib dipelajari sebelum mempelajari ilmu yang lainnya.
Guru penulis, Syaikh Sholeh Al ‘Ushoimi berkata,
“Dengan memperhatikan adab maka akan mudah meraih ilmu. Sedikit perhatian pada adab, maka ilmu akan disia-siakan.”
3. Adab Adalah Hal yang Amat Penting
Pentingan beradab sebelum berilmu menunjukkan bahwa adab merupakam hal utama yang harus dipelajari.
Sebab beberapa ulama menganjurkan untuk lebih lama mempelajari adab ketinbang mempelajari ilmu. Artinya bahwa penguasaan terhadap adab harus lebih dalam dan lama ketimbang ilmu.
Sebagimana Ibnul Mubarok berkata,
تعلمنا الأدب ثلاثين عاماً، وتعلمنا العلم عشرين
“Kami mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun.”
5. Mempelajari Adab Seperti Menguasai Ilmu
Mempelajari adab harus diutamakam namun tak boleh juga menelantarkan untuk mempelajafi ilmu.
Sebab adab dan ilmu jika bisa berjalam dengan selaras dan seimbang maka akan bisa memberikan manfaat yang begitu besar. Sebagaimana Ibnu Sirin berkata,
كانوا يتعلمون الهديَ كما يتعلمون العلم
“Mereka -para ulama- dahulu mempelajari petunjuk (adab) sebagaimana mereka menguasai suatu ilmu.”
6. Adab Lebih Penting Ketimbang Ilmu
Adab tentu lebih penting dari pada ilmu, sebagaimana beberapa hadist yang menegaskan bahwa adab lebih dibutuhkan ketimbang ilmu .
Sebagaimana Makhlad bin Al Husain berkata pada Ibnul Mubarok,
نحن إلى كثير من الأدب أحوج منا إلى كثير من حديث
“Kami lebih butuh dalam mempelajari adab daripada banyak menguasai hadits.”
8. Adab Mengajarkan Akhlaq
Adab merupakan sesuatu yang mengajarkan tentang akhlaq. Tentu saja hal ini amat penting dalam kehidupan.
Oleh sebab itu maka mempelajari adab harus dilakukan sejak dini sebagai upaya agar dapat menjadi bekal saat anak kelak menkadi dewasa.
Imam Abu Hanifah berkata,
الْحِكَايَاتُ عَنْ الْعُلَمَاءِ وَمُجَالَسَتِهِمْ أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ كَثِيرٍ مِنْ الْفِقْهِ لِأَنَّهَا آدَابُ الْقَوْمِ وَأَخْلَاقُهُمْ
“Kisah-kisah para ulama dan duduk bersama mereka lebih aku sukai daripada menguasai beberapa bab fiqih. Karena dalam kisah mereka diajarkan berbagai adab dan akhlaq luhur mereka.” (Al Madkhol, 1: 164)
9. Adab Lebih Utama
Pentingnya beradab sebelum berilmu juga dijelaskan oleh Imam Malik yang pernah berkata, “Dulu ibuku menyuruhku untuk duduk bermajelis dengan Robi’ah Ibnu Abi ‘Abdirrahman -seorang fakih di kota Madinah di masanya-. Ibuku berkata,
تعلم من أدبه قبل علمه
“Pelajarilah adab darinya sebelum mengambil ilmunya.”
Tentu saja hadist diatas semakin menegaskan bahwa posisi seorang yang berdab akan lebih baik ketimbang seseorang yang berilmu saja.
Namun jika dapat menyeimbangkan keduanya maka tentu akan semakin dapat memberi kesempurnaan dalam hidup.
10. Beradab Lebih Penting Dari Pada Berilmu
Adab memiliki kedudukan yang lebih pentinh ketimbanh ilmu. Sebab adab merupakan dasar bagi manusia untuk membentuk karakter dan membatasi perilaku. Artinya bahwa adab akan menjadikan seseorang mampu membedakan hal baik dan benar.
Sehingga dapat menggunakan ilmunya dengan sebaik baiknya. Dari Abdullah bin Al Mubarak berkata, Mukhalid bin Husain berkata:
“Kita lebih membutuhkan adab yang banyak daripada hadits yang banyak.” (Al Khatib Al Baghdadi, Al Jami’ li Akhlaq ar Rawi wa Adab As Sami’, tahqiq DR Mahmud Ath Thahhan 1/80)
11. Adab Lebih Utama Ketimbang Ilmu
Pentingnya adab sebelum ilmu menunjukkan bahwa adab lebit utama ketimbang ilmu.
Dimana ilmu akan seperti kayu bakar yang tak akan bisa digunakan tanpa adab.
Sedabgkan tanpa adab maka ilmu tidak akan bisa memberikan makna. sebagaimana Dari Zakariyya Al-‘Anbari, ia berkata:
“Ilmu tanpa adab bagaikan api tanpa bahan bakar, sedangkan adab tanpa ilmu bagaikan roh tanpa badan” (Al Khatib Al Baghdadi, Al Jami’ li Akhlaq ar Rawi wa Adab As Sami’, tahqiq DR Mahmud Ath Thahhan 1/80)
12. Kedudukan Adab Sangat Agung
Adab memiliki kedudukan yang agung, dimana didalamnya berisi mengenai hal hal yang berkaitan dengan cara berprilaku yang baik sebagaimana keutamaan menutup aurat bagi wanita .
Sayangnya kini, hal ini sudah bukan menjadi hal dilupakan, sebab bagi kebanyakan orang akhlaq atau adab tidak lagi menjadi penting.
Padahal adab merupakan hal yang sifatnya agung sebab menjadi bagian dari karakter seseorang. Kualitas seseorang juga dipengaruhi oleh kualitas adab dimiliki.
13. Dengan Adab Ilmu Lebih Barokah
Keberadaan ilmu tidaklah lengkap tanpa dibarengi dengan adanya akhlaq. Sebab adab akan bisa menjadikan ilmu menjadi barokah, jika ilmu diimbangi dengan adab maka manusia tidak hanya akan disebut berilmu tapu juga berilmu dan beradab. Tentu saja hal ini memungkinkan anda untuk semakin dapat meningkatkan kualitas hidup. Sebab tidak hanya dengan bekal ilmu namun dalam hidup juga harus dibekali dengan akhlaq yang baik.
13 Pentingnya Beradab Sebelum Berilmu dalam islam. Tentunya akan semakin menambah referensi anda mengenai pengetahuan tentang agama islam.
Semoga dapat semakin meningkatkam keimanan serta semoga artikel ini dapat bermanfaat.
Ketika Beramal Tanpa Ilmu
KETIKA BERAMAL TANPA ILMU
Oleh
Ustadz Armen Halim Naro
Ustadz Armen Halim Naro
Sebagai seorang muslim tentu setiap kali mendirikan shalat lima waktu, atau shalat-shalat yang lainnya. Dia selalu meminta ditunjukan shirathul mustaqim. Yaitu jalan lurus yang telah lama dilalui oleh orang-orang yang telah diberi nikmat, dan dijauhkan dari jalan orang-orang maghdhubi `alaihim (orang-orang yang Engkau murkai), juga jalan orang-orang dhallin (orang-orang yang sesat). Dalam tafsiran, dua kelompok diatas disebutkan [1], bahwa orang-orang mahgdhubi ‘alaihim adalah Yahudi, sedangkan orang dhallin adalah Nashara.
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah,”Dan perbedaan antara dua jalan -yaitu agar dijauhi jalan keduanya-, karena jalan orang yang beriman menggabungkan antara ilmu dan amal. Adalah orang Yahudi kehilangan amal, sedangkan orang Nashrani kehilangan ilmu. Oleh karenanya, orang Yahudi memperoleh kemurkaan dan orang Nashrani memperoleh kesesatan. Barangsiapa mengetahui, kemudian tidak mengamalkannya, layak mendapat kemurkaan. Berbeda dengan orang yang tidak mengetahui. Orang-orang Nashrani, ketika mempunyai maksud tertentu, tetapi mereka tidak memperoleh jalannya, karena mereka tidak masuk sesuai dengan pintunya. Yaitu mengikuti kebenaran. Maka, jatuhlah mereka ke dalam kesesatan.”[2]
Banyak orang yang menyangka, bahwa banyak amal dan ibadah sudah mendapat jaminan untuk hari akhiratnya, sekurang-kurangnya merupakan tanda kebenaran dan bukti keshalihan. Begitulah sering kita dengar, dan itulah fenomena yang terjadi di kalangan kaum muslimin. Kalaulah kita mencoba untuk mengingat surat yang telah sering kita dengar ini, maka semua sangkaan dan dugaan kita selama ini, akan bisa kita ubah untuk hari besoknya. Dapat dibayangkan, seseorang yang mempunyai amalan sebanyak pepasiran di pantai, akan tetapi setelah ditimbang, dia bagaikan debu yang beterbangan, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan. [Al Furqan:23].
Bukan saja amalannya tidak dianggap sebagai amalan yang diterima, bahkan dialah penyebab masuknya ke dalam api neraka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً
Sudah datangkah kepadamu berita (tentang) hari pembalasan? Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka). [Al Ghasyiah:1- 4].
Berkata Ibnu Abbas,”Khusyu`, akan tetapi tidak bermanfaat amalannya,” diterangkan oleh Ibnu Katsir, yaitu dia telah beramal banyak dan berletih-letih, akan tetapi yang diperolehnya neraka yang apinya yang sangat panas [3]. Oleh sebab itu, Imam Bukhari membuat bab di dalam kitab Shahih Beliau, Bab: Berilmu sebelum berucap dan beramal.”
KEUTAMAAN ILMU DALAM AL QURAN
Ayat yang menerangkan tentang keutamaan ilmu dan celaan terhadap orang yang beramal tanpa ilmu sangatlah banyak [4]. Allah Subhanahu wa Ta’ala membedakan antara orang yang berilmu dengan orang yang bodoh, bagaikan orang yang melihat dengan si buta.
Ayat yang menerangkan tentang keutamaan ilmu dan celaan terhadap orang yang beramal tanpa ilmu sangatlah banyak [4]. Allah Subhanahu wa Ta’ala membedakan antara orang yang berilmu dengan orang yang bodoh, bagaikan orang yang melihat dengan si buta.
أَفَمَنْ يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى
Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? [Ar Ra`ad:19].
Bahkan tidak sekedar buta, akan tetapi juga tuli dan bisu .
Di berbagai tempat dalam Al Qur’an Allah l mencela orang-orang yang bodoh, yaitu:
وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. [Al Araf:187].
وَأَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
Dan kebanyakan mereka tidak berakal. [Al Maidah:103].
Bahkan mereka disamakan dengan binatang, dan lebih dungu daripada binatang:
إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللَّهِ الصُّمُّ الْبُكْمُ الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ
Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah, ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa. [Al Anfal: 22].
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan, bahwa orang-orang bodoh lebih buruk dari binatang dengan segala bentuk dan macamnya. Dimulai dari keledai, anjing, serangga, dan mereka lebih buruk dari binatang-bintang tersebut. Tidak ada yang lebih berbahaya terhadap agama para rasul dari mereka, bahkan merekalah musuh agama yang sebenarnya.
Lebih dari itu, bahwa syariat membolehkan sesuatu yang pada asalnya haram, karena yang satu berilmu dan yang satu lagi tidak berilmu. Yaitu dihalalkannya memakan daging hasil buruan anjing yang diajarkan berburu, berbeda dengan anjing biasa yang menangkap mangsanya.
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
Mereka menanyakan kepadamu,”Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah,”Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka, makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisabNya.” [Al Maidah:4] [5]
Sedangkan sunnah dan atsar Salaf sangat banyak sekali yang menerangkan permasalahan ini.
Setelah ini semua, ketika seorang muslim mengarahkan pandangannya kepada jamaah-jamaah yang menisbatkan diri kepada Islam, maka didapatkan bahwa dakwah mereka bermuara kepada suatu persamaan. Yaitu tidak mempedulikan ilmu syariat dan tenggelam ke dalam lumpur kebodohan. Inilah yang menyebabkan banyaknya terjadi penyelewengan terhadap pemahaman Islam.
Ini sebelum mereka, satu kelompok yang disebut Khawarij, sampai-sampai Nabi menyebutkan, bahwa amalan para sahabatnya jika dibandingkan dengan amalan mereka tidak ada apa-apanya. Shalat mereka, jika dibandingkan shalat kita tidak apa-apanya. Mereka orang-orang yang ahli ibadah. Siang harinya bagaikan singa yang bertempur, dan pada malam harinya bagaikan rahib … Akan tetapi, apa akhir dari cerita mereka? Nabi telah mengabarkan kepada kita, bahwa Islam mereka hanya sebatas kerongkongan saja … Mereka keluar dari Islam, sebagaimana keluarnya anak panah dari buruannya; mereka dikatakan anjing-anjing neraka. Barangsiapa yang berhasil membunuh mereka, akan mendapat ganjaran di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berazam, jika Beliau bertemu dengan zaman mereka, maka Beliau akan memeranginya, sebagaimana diperanginya kaum `Ad …
Pada masa sekarang, tumbuh berkembang suatu jamaah. Yaitu jamaah yang didirikan di atas bid`ah dan khurafat, dan syirik. Didirikan dengan aqidah As`ariyyah Maturidiyyah. Membaiat para pengikutnya dengan empat tharikat tasawuf: Jistiyyah, Qadiriyyah, Sahruwardiyyah dan thariqat Naqsyabandiyyah.
Sedangkan pada masalah aqidah dan tauhid. Mereka tidak lebih mengerti tentang tauhid bila dibandingakan dengan orang-orang musyrik Arab pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka hanya mengakui tauhid Rububiyyah dengan tafsiran syahadat tauhid tersebut. Dan tidak mengetahui tentang apa yang dimaksud dengan tauhid Uluhiyyah. Adapun pada tauhid Asma` wa Shifat, maka mereka berada diantara aqidah Asyariyyah dan Maturidiyyah. Sebagaimana diketahui, bahwa kedua mazhab tersebut terkhusus dalam tauhid ini, telah melenceng dari mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Adapun tentang ibadah dan suluk mereka; maka mereka dibaiat dengan empat thariqat dan mengamalkan dzikir-dzikir serta shalawat yang dipenuhi bid`ah dan khurafat. Seperti membaca (la ilaha) empat ratus kali, dan (Allah, Allah) enam ratus kali setiap hari. Buku shalawat yang sering dibaca oleh mereka, ialah kitab shalawat yang masyhur bid`ah dan ghuluw kepada Nabi. Yaitu kitab Dala-ilul Khairat, Burdah.
Adapun kitab yang paling berarti bagi mereka, apa yang disebut dengan Tablighi Nishab. Dikarang oleh salah seorang pendiri mereka. Kitab ini nyaris dimiliki dan dibaca oleh setiap jamaah, melebihi membaca kitab Shahih Bukhari. Kitab ini dipenuhi dengan khurafat, syirik, bid`ah, dan hadits-hadist palsu, serta hadist-hadist lemah. Begitu juga dengan kitab Hayat Ash Shahabah, yang dinamalkan mereka, dipenuhi dengan khurafat serta kisah-kisah yang tidak benar, dan begitu seterusnya …
Kesimpulan tentang jama’ah ini ialah, bahwa mereka merupakan jama’ah yang tidak peduli terhadap ilmu dan ulama, berdakwah di atas kebodohan [6], dengan bukti hadist yang selalu mereka dendangkan yaitu, “sampaikan dariku sekalipun satu ayat”. Hadits ini sekalipun shahih, akan tetapi yang tidak shahih ialah cara pemahaman mereka terhadap hadits ini. Setiap orang yang masuk ke jemaah ini sudah layak menjadi juru dakwah dari rumah ke rumah yaitu untuk mengajak kepada jemaah mereka dengan alasan hadist di atas. Atau mereka membaca buku fadhilah di masjid …dan mereka permisalkan bahwa umat Islam sekarang bagaikan (orang yang sedang tenggelam yang harus diselamatkan). Tidak tahu mereka bahwa belajar berenang tidak bisa dalam satu hari atau dua, sehingga dia dapat menyelamatkan yang mau tenggelam tadi, atau malah yang awalnya hendak menolong karena tidak bisa berenang sama-sama tenggelam kedalam lautan dosa dan kesalahan.
Bukankah pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika salah seorang sahabat terluka, kemudian junub ketika musim dingin, dan dia bertanya kepada salah seorang diantara mereka. Apakah ada rukhsah untuk tidak mandi? Yang ditanya menjawab: tidak! Maka, mandilah sahabat tadi yang menyebabkannya meninggal. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar cerita ini, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam marah besar, dan berkata,”Sungguh kalian telah membunuhnya. Semoga kalian diberi balasan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mengapa kalian tidak bertanya jika tidak mengetahui? Karena obat dari tidak tahu ialah bertanya.”
Yang lebih menarik untuk mengkaji jama’ah ini ialah, karena mereka jama’ah bunglon. Berubah setiap hinggap, dan bertukar warna sesuai dengan lingkungannya. Apakah mereka ini tidak mempunyai pendirian yang kuat dan tidak mempunyai pondasi yang kokoh? Ataukah demikian metode dakwah mereka, yaitu mengumpulkan semua warna dan kelompok di bawah naungan kelompok mereka?
Oleh sebab itu, jama’ah ini yang berada di tempat pembaca, berbeda dengan mereka yang berada di tempat penulis. Bisa saja, di satu tempat mereka mempelajari suatu pelajaran yang benar bukan karena ajaran tersebut, akan tetapi karena lingkungan yang membuatnya terpaksa memulainya dari sana. Dan bisa saja sebaliknya, menjadi pembawa bendera bid`ah serta sebagai penyebarnya.
Jama’ah ini paling mudah terpengaruh oleh suasana, karena permasalahan tadi. Yaitu, mereka tidak dididik di atas ilmu yang shahih. Maka, anda akan melihat mereka bagaikan baling-baling di atas bukit. Bak sebuah bulu ayam di padang pasir, mengikuti apa yang dikehendaki oleh angin.
Kalaulah mereka tidak diikat dengan pertemuan-pertemuan di masjid-masjid dan tamasya-tamasya ke negeri-negeri kesayangan mereka -sekalipun negeri tersebut adalah tempat sarang berhala terbanyak di dunia-, maka penulis yakin, mereka akan berantakan. Dan jama’ah mereka akan terpengaruh oleh jama’ah lain, atau kembali kepada kepada asal mereka.
Mungkin ada terbetik pertanyaan. Bukankah keberhasilan mereka mengeluarkan orang-orang dari tempat-tempat maksiat, dan membuatnya bertaubat ini sebagai salah satu dari kebaikan dan kesuksesan jama’ah ini dalam berdakwah?!
Maka, kita perhatikan jawaban Syaikh Aman Ali Al Jami rahimahullah, ketika Beliau menjawab tentang sebagian dakwah moderen yang mempunyai persamaan dakwah dengan permasalahan di atas:
… Benar, ia telah mengeluarkan orang-orang dari tempat-tempat diskotik dan bioskop. Ini tidak ada yang mengingkarinya. Akan tetapi, setelah ia mengeluarkan mereka dari tempat-tempat tersebut, apa yang dilakukannya? Apakah kemudian mendakwahi mereka dengan dakwah, dan dengan metode para anbia` (nabi)? Atau sebaliknya, mengajarkan mereka dan mengumpulkannya, sehingga mereka terpecah-pecah ke dalam berbagai macam thariqat tasawuf? Benar … Akan tetapi, ia telah mengeluarkan mereka dari jahiliyah kepada jahiliyah. “
Dia tidak memindahkan mereka kepada pemahaman yang benar tentang Islam. Buktinya, ia sendiri menganut salah satu thariqat shufi. Adapun orang-orang yang telah dikeluarkannya dari tempat-tempat diskotik itu, kalau tidak mengambil thariqat yang dianut olehnya, tentu mengambil thariqat tasawwuf lainnya. Dan apakah dakwahnya juga membasmi peribadatan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang secara jelas nampak ada di negerinya? Apakah dia telah mengeluarkan manusia dari thawaf di sekeliling kuburan, seperti kuburan Husain, Zainab dan Badawi?! Apakah dia telah mengeluarkan manusia dari berhukum dengan hukum demokrasi kepada berhukum dengan hukum Allah? Inilah yang seharusnya dilakukannya. Jika begini dakwahnya, tentu dakwah yang dibawanya merupakan dakwah yang benar. Akan tetapi sebagaimana kata syair:
إِذَا كَانَ رَبُّ الْبَيْتِ بِالدُّفَّ ضَارِباً
فَشِيْمَةُ أَهْلِ اْلبَيْتِ كُلِّهِمِ الرَّقْصُ
فَشِيْمَةُ أَهْلِ اْلبَيْتِ كُلِّهِمِ الرَّقْصُ
Jika seandainya tuan rumah berdendang dengan rebana
Tentu semua yang di rumah menari kegemaran mereka
Tentu semua yang di rumah menari kegemaran mereka
Jika tidak sampai kepadanya ilmu dan makrifah tentang Islam yang benar, bagaimana mungkin ia akan meninggalkan kuburan-kuburan tersebut dan memerangi orang yang thawaf disekelilingnya. Apa yang dapat dilakukannya terhadap orang-orang yang jatuh ke dalam maksiat tersebut? [7]
Terakhir. Marilah menuntut ilmu, wahai para pemuda. Sesungguhnya dialah pintu kejayaan dan keselamatan.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun VII/1420H/1999M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Dari hadits Nabi yang diriwayatkan oleh `Adi bin Hatim dan Abu Dzar serta yang lainnya. Dikeluarkan oleh Abu Dawud , Thayalisi di Musnadnya, dan Tirmidzi di Jami`nya. Lihat Ibnu Katsir, Tafsir Qur’anil `Adhim, 1/28, Maktabah `Ulum Wal Hikam, Madinah, 1993 dan Al Qurthubi, Al Jami` Li Ahkamil Qur`an, 1/104, Darul Kutub `Ilmiah, Beirut, 1993.
[2]. Ibnu Katsir, Ibid.
[3]. Ibnu Katsir, Ibid. hal. 4/503.
[4]. Ibnul Qayyim menyebutkan permasalahan ini dalam kitab Beliau yang masyhur, Miftah Darus Sa`adah. Cobalah untuk menelaahnya. Sungguh untuk memperolehnya, para ulama kita berjalan kaki yang tidak sanggup ditempuh oleh kuda.
[5]. Lihat Miftah Darus Sa`adah, hal. 1/48-126, Darul Fikri, Beirut.
[6]. Lihat Kitab Al Qaulul Baligh …, Syaikh Hamud Al Tuwaijiri, hal. 7-18, Dar As Shuma`I, Riyadh, Cet. II/ 1997.
[7]. Dari kaset 27 Sualan Haula Ad Dakwah As Salafiah (Duapuluh Tujuh Permasalahan Seputar Dakwah Salafiah).
_______
Footnote
[1]. Dari hadits Nabi yang diriwayatkan oleh `Adi bin Hatim dan Abu Dzar serta yang lainnya. Dikeluarkan oleh Abu Dawud , Thayalisi di Musnadnya, dan Tirmidzi di Jami`nya. Lihat Ibnu Katsir, Tafsir Qur’anil `Adhim, 1/28, Maktabah `Ulum Wal Hikam, Madinah, 1993 dan Al Qurthubi, Al Jami` Li Ahkamil Qur`an, 1/104, Darul Kutub `Ilmiah, Beirut, 1993.
[2]. Ibnu Katsir, Ibid.
[3]. Ibnu Katsir, Ibid. hal. 4/503.
[4]. Ibnul Qayyim menyebutkan permasalahan ini dalam kitab Beliau yang masyhur, Miftah Darus Sa`adah. Cobalah untuk menelaahnya. Sungguh untuk memperolehnya, para ulama kita berjalan kaki yang tidak sanggup ditempuh oleh kuda.
[5]. Lihat Miftah Darus Sa`adah, hal. 1/48-126, Darul Fikri, Beirut.
[6]. Lihat Kitab Al Qaulul Baligh …, Syaikh Hamud Al Tuwaijiri, hal. 7-18, Dar As Shuma`I, Riyadh, Cet. II/ 1997.
[7]. Dari kaset 27 Sualan Haula Ad Dakwah As Salafiah (Duapuluh Tujuh Permasalahan Seputar Dakwah Salafiah).
Read more https://almanhaj.or.id/3043-ketika-beramal-tanpa-ilmu.html
Pelajarilah Dahulu Adab dan Akhlak
Terlalu banyak menggeluti ilmu diin sampai lupa mempelajari adab. Lihat saja sebagian kita, sudah mapan ilmunya, banyak mempelajari tauhid, fikih dan hadits, namun tingkah laku kita terhadap orang tua, kerabat, tetangga dan saudara muslim lainnya bahkan terhadap guru sendiri jauh dari yang dituntunkan oleh para salaf.
Coba lihat saja kelakuan sebagian kita terhadap orang yang beda pemahaman, padahal masih dalam tataran ijtihadiyah. Yang terlihat adalah watak keras, tak mau mengalah, sampai menganggap pendapat hanya boleh satu saja tidak boleh berbilang. Ujung-ujungnya punya menyesatkan, menghizbikan dan mengatakan sesat seseorang.
Padahal para ulama sudah mengingatkan untuk tidak meninggalkan mempelajari masalah adab dan akhlak.
Namun barangkali kita lupa?
Barangkali kita terlalu ingin cepat-cepat bisa kuasai ilmu yang lebih tinggi?
Atau niatan dalam belajar yang sudah berbeda, hanya untuk mendebat orang lain?
Pelajarilah Adab Sebelum Mempelajari Ilmu
Ketahuilah bahwa ulama salaf sangat perhatian sekali pada masalah adab dan akhlak. Mereka pun mengarahkan murid-muridnya mempelajari adab sebelum menggeluti suatu bidang ilmu dan menemukan berbagai macam khilaf ulama. Imam Darul Hijrah, Imam Malik rahimahullah pernah berkata pada seorang pemuda Quraisy,
تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم
“Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.”
Kenapa sampai para ulama mendahulukan mempelajari adab? Sebagaimana Yusuf bin Al Husain berkata,
بالأدب تفهم العلم
“Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.”
Guru penulis, Syaikh Sholeh Al ‘Ushoimi berkata, “Dengan memperhatikan adab maka akan mudah meraih ilmu. Sedikit perhatian pada adab, maka ilmu akan disia-siakan.”
Oleh karenanya, para ulama sangat perhatian sekali mempelajarinya.
Ibnul Mubarok berkata,
تعلمنا الأدب ثلاثين عاماً، وتعلمنا العلم عشرين
“Kami mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun.”
Ibnu Sirin berkata,
كانوا يتعلمون الهديَ كما يتعلمون العلم
“Mereka -para ulama- dahulu mempelajari petunjuk (adab) sebagaimana mereka menguasai suatu ilmu.”
Makhlad bin Al Husain berkata pada Ibnul Mubarok,
نحن إلى كثير من الأدب أحوج منا إلى كثير من حديث
“Kami lebih butuh dalam mempelajari adab daripada banyak menguasai hadits.” Ini yang terjadi di zaman beliau, tentu di zaman kita ini adab dan akhlak seharusnya lebih serius dipelajari.
Dalam Siyar A’lamin Nubala’ karya Adz Dzahabi disebutkan bahwa ‘Abdullah bin Wahab berkata,
ما نقلنا من أدب مالك أكثر مما تعلمنا من علمه
“Yang kami nukil dari (Imam) Malik lebih banyak dalam hal adab dibanding ilmunya.” –
Imam Malik juga pernah berkata, “Dulu ibuku menyuruhku untuk duduk bermajelis dengan Robi’ah Ibnu Abi ‘Abdirrahman -seorang fakih di kota Madinah di masanya-. Ibuku berkata,
تعلم من أدبه قبل علمه
“Pelajarilah adab darinya sebelum mengambil ilmunya.”
Imam Abu Hanifah lebih senang mempelajari kisah-kisah para ulama dibanding menguasai bab fiqih. Karena dari situ beliau banyak mempelajari adab, itulah yang kurang dari kita saat ini. Imam Abu Hanifah berkata,
الْحِكَايَاتُ عَنْ الْعُلَمَاءِ وَمُجَالَسَتِهِمْ أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ كَثِيرٍ مِنْ الْفِقْهِ لِأَنَّهَا آدَابُ الْقَوْمِ وَأَخْلَاقُهُمْ
“Kisah-kisah para ulama dan duduk bersama mereka lebih aku sukai daripada menguasai beberapa bab fiqih. Karena dalam kisah mereka diajarkan berbagai adab dan akhlaq luhur mereka.” (Al Madkhol, 1: 164)
Di antara yang mesti kita perhatikan adalah dalam hal pembicaraan, yaitu menjaga lisan. Luruskanlah lisan kita untuk berkata yang baik, santun dan bermanfaat. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata,
من عدَّ كلامه من عمله ، قلَّ كلامُه إلا فيما يعنيه
“Siapa yang menghitung-hitung perkataannya dibanding amalnya, tentu ia akan sedikit bicara kecuali dalam hal yang bermanfaat” Kata Ibnu Rajab, “Benarlah kata beliau. Kebanyakan manusia tidak menghitung perkataannya dari amalannya” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 291).
Yang kita saksikan di tengah-tengah kita, “Talk more, do less (banyak bicara, sedikit amalan)”.
Berbeda Pendapat Bukan Berarti Mesti Bermusuhan
Sungguh mengagumkan apa yang dikatakan oleh ulama besar semacam Imam Syafi’i kepada Yunus Ash Shadafiy -nama kunyahnya Abu Musa-. Imam Syafi’i berkata,
يَا أَبَا مُوْسَى، أَلاَ يَسْتَقِيْمُ أَنْ نَكُوْنَ إِخْوَانًا وَإِنْ لَمْ نَتَّفِقْ فِيْ مَسْأَلَةٍ
“Wahai Abu Musa, bukankah kita tetap bersaudara (bersahabat) meskipun kita tidak bersepakat dalam suatu masalah?” (Siyar A’lamin Nubala’, 10: 16).
Berdoalah Agar Memiliki Adab dan Akhlak yang Mulia
Dari Ziyad bin ‘Ilaqoh dari pamannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca do’a,
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الأَخْلاَقِ وَالأَعْمَالِ وَالأَهْوَاءِ
“Allahumma inni a’udzu bika min munkarotil akhlaaqi wal a’maali wal ahwaa’ [artinya: Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari akhlaq, amal dan hawa nafsu yang mungkar].” (HR. Tirmidzi no. 3591, shahih)
Doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lainnya,
اللَّهُمَّ اهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّى سَيِّئَهَا لاَ يَصْرِفُ عَنِّى سَيِّئَهَا إِلاَّ أَنْتَ
“Allahummahdinii li ahsanil akhlaaqi laa yahdi li-ahsanihaa illa anta, washrif ‘anni sayyi-ahaa, laa yashrif ‘anni sayyi-ahaa illa anta [artinya: Ya Allah, tunjukilah padaku akhlak yang baik, tidak ada yang dapat menunjukinya kecuali Engkau. Dan palingkanlah kejelekan akhlak dariku, tidak ada yang memalinggkannya kecuali Engkau].” (HR. Muslim no. 771, dari ‘Ali bin Abi Tholib)
أسأل الله أن يزرقنا الأدب وحسن الخلق
Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar mengaruniakan pada kami adab dan akhlak yang mulia.
Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/21107-pelajarilah-dahulu-adab-dan-akhlak.html
Terlalu banyak menggeluti ilmu diin sampai lupa mempelajari adab. Lihat saja sebagian kita, sudah mapan ilmunya, banyak mempelajari tauhid, fikih dan hadits, namun tingkah laku kita terhadap orang tua, kerabat, tetangga dan saudara muslim lainnya bahkan terhadap guru sendiri jauh dari yang dituntunkan oleh para salaf.
Coba lihat saja kelakuan sebagian kita terhadap orang yang beda pemahaman, padahal masih dalam tataran ijtihadiyah. Yang terlihat adalah watak keras, tak mau mengalah, sampai menganggap pendapat hanya boleh satu saja tidak boleh berbilang. Ujung-ujungnya punya menyesatkan, menghizbikan dan mengatakan sesat seseorang.
Padahal para ulama sudah mengingatkan untuk tidak meninggalkan mempelajari masalah adab dan akhlak.
Namun barangkali kita lupa?
Barangkali kita terlalu ingin cepat-cepat bisa kuasai ilmu yang lebih tinggi?
Atau niatan dalam belajar yang sudah berbeda, hanya untuk mendebat orang lain?
Pelajarilah Adab Sebelum Mempelajari Ilmu
Ketahuilah bahwa ulama salaf sangat perhatian sekali pada masalah adab dan akhlak. Mereka pun mengarahkan murid-muridnya mempelajari adab sebelum menggeluti suatu bidang ilmu dan menemukan berbagai macam khilaf ulama. Imam Darul Hijrah, Imam Malik rahimahullah pernah berkata pada seorang pemuda Quraisy,
تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم
“Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.”
Kenapa sampai para ulama mendahulukan mempelajari adab? Sebagaimana Yusuf bin Al Husain berkata,
بالأدب تفهم العلم
“Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.”
Guru penulis, Syaikh Sholeh Al ‘Ushoimi berkata, “Dengan memperhatikan adab maka akan mudah meraih ilmu. Sedikit perhatian pada adab, maka ilmu akan disia-siakan.”
Oleh karenanya, para ulama sangat perhatian sekali mempelajarinya.
Ibnul Mubarok berkata,
تعلمنا الأدب ثلاثين عاماً، وتعلمنا العلم عشرين
“Kami mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun.”
Ibnu Sirin berkata,
كانوا يتعلمون الهديَ كما يتعلمون العلم
“Mereka -para ulama- dahulu mempelajari petunjuk (adab) sebagaimana mereka menguasai suatu ilmu.”
Makhlad bin Al Husain berkata pada Ibnul Mubarok,
نحن إلى كثير من الأدب أحوج منا إلى كثير من حديث
“Kami lebih butuh dalam mempelajari adab daripada banyak menguasai hadits.” Ini yang terjadi di zaman beliau, tentu di zaman kita ini adab dan akhlak seharusnya lebih serius dipelajari.
Dalam Siyar A’lamin Nubala’ karya Adz Dzahabi disebutkan bahwa ‘Abdullah bin Wahab berkata,
ما نقلنا من أدب مالك أكثر مما تعلمنا من علمه
“Yang kami nukil dari (Imam) Malik lebih banyak dalam hal adab dibanding ilmunya.” –
Imam Malik juga pernah berkata, “Dulu ibuku menyuruhku untuk duduk bermajelis dengan Robi’ah Ibnu Abi ‘Abdirrahman -seorang fakih di kota Madinah di masanya-. Ibuku berkata,
تعلم من أدبه قبل علمه
“Pelajarilah adab darinya sebelum mengambil ilmunya.”
Imam Abu Hanifah lebih senang mempelajari kisah-kisah para ulama dibanding menguasai bab fiqih. Karena dari situ beliau banyak mempelajari adab, itulah yang kurang dari kita saat ini. Imam Abu Hanifah berkata,
الْحِكَايَاتُ عَنْ الْعُلَمَاءِ وَمُجَالَسَتِهِمْ أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ كَثِيرٍ مِنْ الْفِقْهِ لِأَنَّهَا آدَابُ الْقَوْمِ وَأَخْلَاقُهُمْ
“Kisah-kisah para ulama dan duduk bersama mereka lebih aku sukai daripada menguasai beberapa bab fiqih. Karena dalam kisah mereka diajarkan berbagai adab dan akhlaq luhur mereka.” (Al Madkhol, 1: 164)
Di antara yang mesti kita perhatikan adalah dalam hal pembicaraan, yaitu menjaga lisan. Luruskanlah lisan kita untuk berkata yang baik, santun dan bermanfaat. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata,
من عدَّ كلامه من عمله ، قلَّ كلامُه إلا فيما يعنيه
“Siapa yang menghitung-hitung perkataannya dibanding amalnya, tentu ia akan sedikit bicara kecuali dalam hal yang bermanfaat” Kata Ibnu Rajab, “Benarlah kata beliau. Kebanyakan manusia tidak menghitung perkataannya dari amalannya” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 291).
Yang kita saksikan di tengah-tengah kita, “Talk more, do less (banyak bicara, sedikit amalan)”.
Berbeda Pendapat Bukan Berarti Mesti Bermusuhan
Sungguh mengagumkan apa yang dikatakan oleh ulama besar semacam Imam Syafi’i kepada Yunus Ash Shadafiy -nama kunyahnya Abu Musa-. Imam Syafi’i berkata,
يَا أَبَا مُوْسَى، أَلاَ يَسْتَقِيْمُ أَنْ نَكُوْنَ إِخْوَانًا وَإِنْ لَمْ نَتَّفِقْ فِيْ مَسْأَلَةٍ
“Wahai Abu Musa, bukankah kita tetap bersaudara (bersahabat) meskipun kita tidak bersepakat dalam suatu masalah?” (Siyar A’lamin Nubala’, 10: 16).
Berdoalah Agar Memiliki Adab dan Akhlak yang Mulia
Dari Ziyad bin ‘Ilaqoh dari pamannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca do’a,
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الأَخْلاَقِ وَالأَعْمَالِ وَالأَهْوَاءِ
“Allahumma inni a’udzu bika min munkarotil akhlaaqi wal a’maali wal ahwaa’ [artinya: Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari akhlaq, amal dan hawa nafsu yang mungkar].” (HR. Tirmidzi no. 3591, shahih)
Doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lainnya,
اللَّهُمَّ اهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّى سَيِّئَهَا لاَ يَصْرِفُ عَنِّى سَيِّئَهَا إِلاَّ أَنْتَ
“Allahummahdinii li ahsanil akhlaaqi laa yahdi li-ahsanihaa illa anta, washrif ‘anni sayyi-ahaa, laa yashrif ‘anni sayyi-ahaa illa anta [artinya: Ya Allah, tunjukilah padaku akhlak yang baik, tidak ada yang dapat menunjukinya kecuali Engkau. Dan palingkanlah kejelekan akhlak dariku, tidak ada yang memalinggkannya kecuali Engkau].” (HR. Muslim no. 771, dari ‘Ali bin Abi Tholib)
أسأل الله أن يزرقنا الأدب وحسن الخلق
Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar mengaruniakan pada kami adab dan akhlak yang mulia.
Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/21107-pelajarilah-dahulu-adab-dan-akhlak.html
Contoh terapi sensori intergritas
Bismillah
Baru sempat browshing ..ternyata Si (sensory intergrasi) itu berkaitan dg permainan yg merangsang sensor motorik
Insya Allah mudah dan bisa diterapkan di rumah a, di di sekolah juga di tempat bermain seperti
1. Bermain trompolin
2. Mandi bola
3. Jepit jemuran utk menjepit potongan kertas , kain
4. Pasir sekarang ada pasir imitasi bisa di beli di toko sederhana sebelah pasar agung
5. Menginjak rumput
6. Mendengarkan Suara2 spt balon yang meletus , suara gemericik air , suara ketok2 palu,
7. Main berbisik2
8. Bermain tebak2 an dg Menulis angka dan huruf di punggung anak
9. Sikat sensory
10. Bermian spon yg cuci piring
11. Bermian busa di ember dg mengocok menggunakan tangan
12. Mensobek2 daun pisang , kertas
13. Membuat lem dg tapioka diberikan warna
14. Lempar tangkap bola
15. Berenang
16. Bermian balok, puzzle , menggunting , lem
17. Bermian pledo
18. Mewarnai , mencat
18. Dan masih banyak lagi permainan2 ana pernah liat di toko sederhana di lantai 2
Semua permainan itu didampingi orang tua/guru sambil diajak bermian dan diarahkan serta sambil di ajak bicara ...
jika anak suda melakukan kegiatan dg baik maka diapresiasi dg diberikan tos, jempol , bintang dll
Yang penting jauhkan anak dari gedget dan TV (tontonan yang merusak), berikan pemahaman ttg aqidah jika anak sudah menyimpang dg daya imajinasi yg menyelisihi syariat atau perilaku yg menyimpang ...
Masya Allah ... Alhamdulillah jadi menambah ilmu ..semoga barokah dan bermnafaat ...
Utk terapi wicara berikan anak instruksi satu2 ...
Dengan gaya bahasa dan intonasi yg bisa dipahami oleh anak ...
Jika anak memahami maka diberikan apresiasi juga ..
Ketika anak merengek dan menangis maka berikan pemahaman dan diajarkan utk bicara dgn jelasd lakukanlah dg konsisten ...
Semuanya Semuanya membutuhkan kesabaran dan keikhlasan serta wajah yang gembira serta ilmu ...teruslah memberikan semangat dan motivasi yg baik dg kata2 yg santun kepada anak ...
Jauhkan anak2 dari lebel2 yg jelek ...
Jangan lupa terus berdoa kepada Allah ...
Bismillah
Baru sempat browshing ..ternyata Si (sensory intergrasi) itu berkaitan dg permainan yg merangsang sensor motorik
Insya Allah mudah dan bisa diterapkan di rumah a, di di sekolah juga di tempat bermain seperti
1. Bermain trompolin
2. Mandi bola
3. Jepit jemuran utk menjepit potongan kertas , kain
4. Pasir sekarang ada pasir imitasi bisa di beli di toko sederhana sebelah pasar agung
5. Menginjak rumput
6. Mendengarkan Suara2 spt balon yang meletus , suara gemericik air , suara ketok2 palu,
7. Main berbisik2
8. Bermain tebak2 an dg Menulis angka dan huruf di punggung anak
9. Sikat sensory
10. Bermian spon yg cuci piring
11. Bermian busa di ember dg mengocok menggunakan tangan
12. Mensobek2 daun pisang , kertas
13. Membuat lem dg tapioka diberikan warna
14. Lempar tangkap bola
15. Berenang
16. Bermian balok, puzzle , menggunting , lem
17. Bermian pledo
18. Mewarnai , mencat
18. Dan masih banyak lagi permainan2 ana pernah liat di toko sederhana di lantai 2
Semua permainan itu didampingi orang tua/guru sambil diajak bermian dan diarahkan serta sambil di ajak bicara ...
jika anak suda melakukan kegiatan dg baik maka diapresiasi dg diberikan tos, jempol , bintang dll
Yang penting jauhkan anak dari gedget dan TV (tontonan yang merusak), berikan pemahaman ttg aqidah jika anak sudah menyimpang dg daya imajinasi yg menyelisihi syariat atau perilaku yg menyimpang ...
Masya Allah ... Alhamdulillah jadi menambah ilmu ..semoga barokah dan bermnafaat ...
Utk terapi wicara berikan anak instruksi satu2 ...
Dengan gaya bahasa dan intonasi yg bisa dipahami oleh anak ...
Jika anak memahami maka diberikan apresiasi juga ..
Ketika anak merengek dan menangis maka berikan pemahaman dan diajarkan utk bicara dgn jelasd lakukanlah dg konsisten ...
Semuanya Semuanya membutuhkan kesabaran dan keikhlasan serta wajah yang gembira serta ilmu ...teruslah memberikan semangat dan motivasi yg baik dg kata2 yg santun kepada anak ...
Jauhkan anak2 dari lebel2 yg jelek ...
Jangan lupa terus berdoa kepada Allah ...
Apa itu Terapi Sensori Integrasi? (Terapi#2)
Ini tulisan kedua saya tentang jenis terapi. Sekali lagi, tulisan ini berdasarkan pengetahuan saya yang terbatas dari sumber internet dan pengalaman pribadi (pernyataan disclaimer nih hehe).
Setiap hari, bahkan setiap detik otak manusia akan menerima banyak rangsangan, yang kemudian diterima, dihantarkan, diolah, dan diberikan respon yang sesuai melalui indera dan organ-organ yang dimiliki. Proses ini berlangsung sangat cepat, bahkan otomatis setiap saat.
Nah, proses inilah yang disebut sensori integrasi.
Anak dengan gangguan perkembangan atau berkebutuhan khusus biasanya terganggu dalam proses sensori integrasinya.
Gejalanya bisa bermacam-macam dan berbeda setiap anak. Contohnya anak saya, Hanif, baru bisa berjalan di usia 18 bulan. Agak terlambat tapi masih normal. Tapi ternyata Hanif belum bisa melompat sampai usianya sekitar 3 tahun, hal ini berdampak ia harus selalu berpegangan ketika naik undakan dan kekuatannya dalam mengayuh sepeda.
Contoh lainnya, ada anak yang hipersensitif terhadap sentuhan, tidak suka dipeluk, dan tidak mau berjalan di rumput. Nah, yang seperti ini juga bisa diterapi sensori.
Jika ada yang pernah melihat proses terapi SI, akan tampak seperti sedang main-main di indoor playground. Memang seperti itulah terapinya, bermain secara terarah. Biasanya terapis akan melakukan assessment terlebih dahulu untuk menentukan jenis- jenis aktivitas yang bisa memperkuat kelemahan anak dan orang tua bisa mengulangnya di rumah.
Jadi jika ada yang bilang ‘ngapain bayar mahal untuk mainan doang, mending main sendiri di playground’, itu salah besar.
Terapis dapat membantu orang tua mengetahui kelemahan anak dan menyarankan jenis-jenis aktivitas yang sesuai.
Mengajak anak main ke playground tanpa mengarahkannya ke aktivitas yang sesuai tidak akan menyelesaikan masalah karena anak cenderung memilih permainan yang disukai, bukan yang diperlukan.
Di sinilah diperlukan peran orang tua dalam mengarahkan dan mengulang stimulasi sensori integrasi di rumah.
Ada beberapa istilah yang sering dipakai dalam indikator terapi sensori intergrasi.
Vestibular: sistem sensori ini terletak di telinga bagian dalam, berfungsi untuk memberitahu bagaimana posisi kita di atas permukaan bumi dan memberikan respon selanjutnya.
Misalnya jika kita hendak jatuh, maka tangan kita akan terjulur menahan atau mencari pegangan.
Proprioceptive: sistem sensori ini terdapat di dalam otot, berfungsi menginformasikan ke otak perihal posisi badan, gerakan yang dilakukan dan kekuatan yang dibutuhkan.
Tactile: sistem reseptor yang terdapat pada kulit disekujur tubuh, berperan menerima rangsang getaran, tekanan, rasa sakit,dan gerakan.
Beberapa alat yang digunakan di terapi sensori integrasi sebagai berikut.
Sikat sensori berfungsi untuk merangsang tactile. Biasanya disapukan di tangan, kaki dan punggung, tapi tidak boleh di perut, muka dan telapak.
Untuk anak yang hipersensitif dan menolak sikat, bisa digunakan spon lembut sebagai tahap awal.
Sikat sensori juga bisa meningkatkan awareness anak terhadap lingkungan sekitar.
Bola bobath atau disebut juga bola pilates, bisa juga untuk terapi selain untuk senam emaknya^^. Meletakkan anak secara terlentang di atas bola dapat memperkuat tulang belakangnya. Anak diletakkan secara tengkurap di atas bola sambil kita pegangi kakinya lalu didorong ke depan pelan-pelan sehingga anak akan terdorong untuk merentangkan tangan ke depan menahan dirinya agar tidak jatuh. Hal ini dapat merangsang vestibular anak.
Banyak aktivitas lain yang dapat kita lakukan di rumah tanpa alat khusus. Untuk latihan tactile, dapat melakukan permainan tebak angka/huruf dengan digambar pakai jari di punggung anak.
Untuk latihan vestibular, dapat diberikan melalui mengayun-ayun anak dengan kain atau naik ayunan. Latihan proprioseptive dapat dilakukan dengan membiarkan anak membawa sebagian belanjaan.
Keseimbangan dapat dilatih dengan menuntun anak berjalan di titian dan masih banyak inspirasi bermain secara terarah yang bisa kita dapatkan baik dari terapis maupun membaca berbagai literatur.
Jangan ragu untuk mengkonsultasikan dengan ahlinya jika terdapat perkembangan si kecil yang mencurigakan.
Selamat bermain dengan anak!
Subscribe to:
Comments (Atom)


