Sunday, March 29, 2020

SABAR DAN TAWAKKAL DAPAT MENYEMBUHKAN CORONA
-
Sejak awal bulan ini, setiap hari, antara jam 23.00 hingga 01.00, saya membukakan pintu untuk suami yang baru pulang dari tugasnya di Rumah Sakit. Menemaninya berbincang sebentar sebelum tidur. Sebetulnya ia amat sangat lelah. Namun sudah menjadi kebiasaannya, setiap malam sepulang bekerja selalu mengajak saya berbincang tentang pekerjaannya hari itu. Dan Alhamdulillah... Allah menanamkan rasa ketertarikan pada saya untuk mendengarkannya. Karena banyak sekali ilmu yang teramat berharga yang bisa saya peroleh dari perbincangan singkat itu.
-
Saat ini musim pandemi Covid-19. Setiap malam saya memperoleh informasi gratis mengenai Covid ini, yang jelas real dan bukan hoax.
-
Sebagai seorang pulmonolog, yaitu ahli paru dan saluran pernafasan, ia menjadi pemegang kendali penanganan Covid-19 di 3 Rumah Sakit tempatnya bertugas. Qoddarullah...di 2 Rumah Sakit, hanya suami saya seorang diri yang bertugas sebagai pulmonolog. Karena teman-temannya sedang  off. Ada yang sedang cuti bersalin, beberapa dirumahkan akibat berinteraksi dengan penderita positif Covid-19 tanpa mengenakan APD di awal pandemi, ada juga yang dirumahkan karena usianya cukup lanjut sehingga rawan terimbas bahayanya Covid-19.
-
Dengan ilmu yang dimilikinya, ialah yang menentukan apakah seseorang suspect Covid-19 atau tidak. Screening ini dilakukan oleh dokter jaga di IGD di bawah monitoring suami saya. Karena jika tidak... Rumah Sakit berkali-kali "kecolongan" di mana pasien masuk dengan keluhan "selain gejala Covid-19"  ke IGD, ternyata beberapa hari kemudian setelah dirawat di ruangan biasa dengan penanganan sebagai pasien biasa, pasien mulai menunjukkan gejala Covid-19. Setelah diuji swab, ternyata positif. Betapa hal ini menggegerkan banyak orang yang pernah berinteraksi dengan penderita. Maka...dalam waktu seminggu... lebih dari 50-an orang petugas medis menjadi ODP (orang dalam pengawasan) Covid-19. Di antaranya, ada yang kemudian positif terpapar Covid-19 dan bahkan ada yang meninggal dunia.
-
Belajar dari kasus-kasus itu maka dilakukan screening ketat pada pasien-pasien yang datang ke IGD. Hasilnya diinfokan ke suami saya, untuk bisa diambil langkah selanjutnya. Jadi...bisa dibayangkan betapa beratnya beban tugas suami saya? Entah berapa ratus pasien dalam sehari harus ia beri keputusan atasnya. Maka tak heran... jam kerjanya bisa 17-18 jam dalam sehari dengan tidur hanya 4 jam saja.
-
Dari semua cerita suami, saya merangkum kisah mengenai para penderita Covid-19 ini menjadi beberapa kriteria.
-
Pertama. Penderita Covid-19 positif yang berat dan penuh kecemasan. Penderita jenis ini, tidak mampu bertahan lebih lama karena efek pengobatan menjadi lemah akibat psikologis yang amat rapuh.  Ya, tubuhnya tak bisa "diajak bekerja sama" untuk sembuh karena psikosomatis yang berat. Akhirnya.....perjalanan sakit pasien ini berujung di kamar jenazah.
-
Kedua. Penderita positif Covid-19 yang berat namun sabar dan tawakkal pada Sang Pemberi Kehidupan. Pasien jenis ini cepat berangsur membaik bahkan sudah bisa berjalan-jalan di ruang isolasinya dan kembali tertawa ceria. Suami pernah bertanya pada seorang pasien laki-laki berusia 34 tahun, "Kemarin itu kenapa sih, napasmu kelihatan berat banget? Sampai meringis-ringis?"
Jawabnya, "Yaa Allah...Dok...! Menarik udara masuk ke sini (menunjuk dada) saja sudah susah banget, ditambah rasanya juga perrriiiih banget di setiap tarikan. Kaya ada serpihan kaca menusuk-nusuk di dalam, Dok!"
Subhanallah...berat sekali penderitaannya. Namun kini...segala puji bagi-Mu Yaa Robb... ia sudah sehat kembali. Setiap suami saya visit, kedapatan ia sedang mendengarkan kajian Islam di gadgetnya. Kalau tidak, suara murottal yang terus berkumandang.
Ya, sakitnya bukan penghalang untuknya semakin dekat dan pasrah pada Allah. Maka kekuatan dan kembali sehat pun menjadi akhir untuk sakitnya.
Ada kasus lain. Pasien usia lanjut yang juga kondisinya sudah berat. Allah memberinya anak yang sholih dan sangat berbakti sehingga anak ini memaksa kepada pihak rumah sakit untuk bisa menemani ibunya di ruang isolasi. Anaknya selalu mendampingi ibunya sambil membaca Al Quran, menghibur ibunya dan banyak bertanya kepada perawat tentang cara merawat Ibunya supaya ia tidak perlu sering meminta bantuan perawat. Ia sangat paham betapa beratnya tugas para perawat ini di masa pandemi ini. Kehadiran anaknya yang memotivasi ibunya ini membuat Ibunya berangsur sembuh. Suami saya baru saja menjawab pertanyaan saya tentang Ibu ini. "Insyaa Allah besok sudah bisa pulang." Allahu akbar...! Padahal Ibu ini ada co morbid karena usia lanjut. Namun Allah mengijinkannya sembuh...!
-
Ketiga. Penderita Covid-19 ringan yang hatinya diliputi kecemasan dan kepanikan. Penderita ini, tak seberat jenis kedua tadi. Hanya ada sesak sedikit dan demam. Setiap kali suami saya visit, pasien ini sangat banyak bertanya dan tidak mau dokternya pergi. Ketakutannya begitu besar. Yang menambah masalah adalah, istrinya sejak awal memaksa dengan berbagai cara untuk bisa menemani di ruang isolasi. Dengan berat hati pihak Rumah Sakit mengijinkan. Namun ternyata ini berdampak buruk. Karena istrinya ini juga punya kadar kecemasan, ketakutan dan kepanikan yang sama dengan sang suami. Setiap hari, kerjanya hanya memarahi perawat yang sangat sering dipanggilnya untuk hal yang tidak urgent. Apa yang terjadi? Pada hari ketiga, suaminya pun meninggal dunia. Padahal kondisi parunya sesungguhnya masih di level "aman". Ketakutan yang berlebihanlah yang membuat maut cepat menghampirinya.
-
Keempat. Penderita positif Covid-19 ringan yang selalu berusaha untuk tenang, sabar dan tawakkal. Pihak Rumah Sakit tidak bisa menginapkannya karena kapasitas ruang isolasi penuh. Maka mereka menjalani perawatan di rumah saja dengan mendapat obat dan pemantauan dari suami saya. Hari ini memasuki hari ke-15 dan kondisi mereka semakin membaik. Tidak ada lagi demam, sakit kepala ataupun pemberat lainnya.
-
Kelima. Penderita positif Covid-19 yang sangat berat dan sudah tak sadarkan diri. Pasien ini sudah memasuki end stage, di mana kesembuhan adalah mukjizat dari Allah. Namun sampai saat ini, suami saya belum melihat mukjizat itu datang sehingga perjalanan sakitnya pasien ini berujung di kamar jenazah.
-
Nah...dari kelima kriteria pasien di atas, sangat jelas terlihat. Penyakit se-berbahaya Covid-19 dapat sembuh apabila hati penderitanya diliputi ketenangan, pasrah dan tawakkal pada Allah, menggantungkan hidup sepenuhnya pada Allah sambil yakin sepenuhnya bahwa Allah akan menyembuhkan sakitnya.
Yang menyembuhkan bukan obat. Namun rahmat Allah pada mereka yang mau mendekat kepada-Nya.
-
Jadi...apakah mereka yang wafat, semuanya itu tidak sabar dan tidak tawakkal...? Nanti dulu..... Jangan menyimpulkan seperti itu. Kisah di atas adalah kisah yang mewakili puluhan pasien positif Covid-19 yang ditangani oleh suami saya. Adapun selainnya, saya yakin.. Allah Maha Tahu bahwa kematian lebih baik baginya karena Allah menghadiahinya dengan syahid yang menjadikan Surga nan indah sebagai tempat kembalinya.
-
Dan kabar baik lainnya adalah... atas ijin Allah, sudah banyak pasien Covid-19 yang sudah sehat sehingga sudah dipulangkan kembali ke rumahnya masing-masing.
-
Semoga wabah ini segera berakhir...

Bogor, 29 Maret 2020
-Iin Indriyani-
(Istri dari dr. Rahmadi Iwan Guntoro, Sp.P.)
Virus corona...



_Pulang_

Akhirnya pondok tempat anakku belajar selama di Solo, memulangkan ribuan santrinya. Setelah sepekan berusaha maksimal menjaga para santri dari wabah. Memang tak mudah tetap menjalankan rutinitas menimba ilmu sebagaimana biasa. Berbeda dengan sekolah biasa,  aktivitas pondok padat dengan kajian ilmu dan  praktik amalan sesuai sunnah nabi. Konsekuensinya, banyak kegiatan berkumpul. Sesuatu yang dihindari saat ini. Keputusan ini pastilah dipertimbangkan dengan sangat matang.

Anakku menelepon dengan suara tercekat. Menceritakan proses berpamitan antar santri semalam. 

"Maaf, suaraku serak karena tenggorokan sakit, Umi. Air mata sampai hampir kering. Semalam kami bertangisan waktu saling pamitan. Kami khawatir ngga ketemu lagi. Apalagi temanku yang ayah ibunya dokter. Semua sibuk mengurusi masalah ini. Jadi dia engga tau nanti di rumah sama siapa."

Anakku diam sejenak.

"Dia juga engga tahu apakah bisa kembali ke pondok lagi, karena ada kekhawatiran jika orangtuanya yang berjuang sebagai tim medis terpapar dengan penyakit itu."

Aku berlinangan air mata mendengarnya. Aku mengingatkannya untuk banyak mendoakan  tim medis. Semua yang bekerja di rumah sakit. Dokter, perawat, pegawai, bahkan petugas kebersihan. Saat ini mereka sedang berjihad mempertaruhkan nyawa untuk keselamatan orang lain.

Wajar saja jika para pemuda yang berusia di atas 17 tahun itu menangis. Mereka telah bergaul belasan tahun. Susah senang bersama layaknya saudara. Tidak menyangka bakal berpisah dengan kondisi seperti ini. Ini tahun terakhir mereka nyantri di pondok. Ujian terakhir sebagai pengganti ujian nasional entah diadakan kapan. Belum ada kepastian.

Sambil terisak aku menyemangati putraku. Bahwa ini adalah ujian hidup yang harus dilalui. Kita harus kuat agar selamat. Mereka yang jadi korban pun dijanjikan pahala yang besar atas kesabaran menerima takdir Allah. Tak lupa kutitip pesan agar berterimakasih saat berpamitan pada ustadz.

Lalu dia bicara lagi, "Ummi, aku bukannya ngga pengen Ummi Abi ke sini, tapi lebih baik aku pulang sendiri. Ngga usah dijemput."

"Emang kenapa, Mas?" tanyaku.
Padahal sebulan lalu dia pesan, agar aku bawa adik-adik saat jemput dia pulang liburan Ramadhan.

"Aku khawatir sama keselamatan Ummi dan Abi kalau datang ke sini," jawabnya.

Ya Allah....
Aku menangis lagi.
"Ummi dan Abi akan berusaha tetap sehat dan selamat saat jemput Mas. Mas ngga usah pikirin itu."

12 tahun di pondok, aku kagum dengan ilmunya yang sudah jauh di atas orangtuanya.
Tapi yang lebih aku kagum, adabnya terhadapku sungguh dijaga.
Masyaallah.

Tak lama kututup telepon darinya, ada WA dari ustadz bahwa pihak pondok menyediakan bus untuk kepulangan santri.
Alhamdulillah.

Bus-bus itu dikondisikan aman selama perjalanan. Sebelum siswa masuk, bus disemprot desinfektan. Makanan dan minuman disediakan sehingga tak perlu berhenti untuk makan.

Saat ditelepon lagi, kuterangkan apa saja yang harus dilakukan untuk melindungi diri saat perjalanan kembali ke Cileungsi.  "Sebelum masuk rumah, nanti Mas harus cuci kaki dan tangan pakai sabun, langsung ke kamar mandi bersihkan seluruh badan. Baru nanti salim sama Umi, Abi, dan adik-adik."

Sesungguhnya dia menempuh resiko pulang, karena Bogor sudah termasuk RedZone. Namun, tebak apa katanya?

"Aku nanti diam di kamar depan aja selama 14 hari. Takutnya bawa bahaya buat keluarga."

Masyaallah.

Fi amaanillah, anakku.
Semoga Allah menjagamu

Cileungsi, 25 Maret 2020

Siti Alimah Sofyan.

Ibu yang menanti anaknya pulang.
.
Tunas ilmu

🌿⚘ *POSITIVE THINKING*

Tersebarnya wabah bukan hal baru dalam sejarah kehidupan manusia. Sudah ada sejak dahulu. Namun yang menarik untuk dicermati, bahwa jumlah korban dibanding orang yang selamat, ternyata lebih banyak yang selamat.

Hingga saat inipun, jumlah korban wabah covid-19 di seluruh dunia, dibanding yang sehat, tetap lebih banyak yang sehat.

Jadi, *nikmat yang Allah berikan pada kita itu lebih banyak dibanding musibah yang ditimpakan-Nya.* Maka berhentilah berkeluh-kesah! Sebab hal itu tidak menyelesaikan masalah.

Tumbuhkan pikiran positif. Apalagi tentang Allah _ta’ala._

Tahukah Anda, bahwa sebenarnya kenikmatan dunia itu sangat simpel. Hanya tersimpul dalam tiga poin. Sebagaimana dijelaskan Baginda Rasul _shallallahu ‘alaihi wasallam,_

"مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ، مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ؛ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا"

_"Barang siapa yang melewati harinya dengan perasaan aman di dalam rumahnya. Badannya sehat. Memiliki makanan untuk hari itu. Maka seakan ia telah memiliki dunia"._ HR. Tirmidziy dan dinilai _hasan_ oleh beliau serta al-Albaniy.

Tiga hal itu adalah:

*Pertama: Aman tinggal di rumah*

Rata-rata kita saat ini bisa berkumpul dengan keluarga di rumah. Sebuah nikmat yang teramat mahal bagi sebagian kalangan. Dikarenakan padatnya pekerjaan yang ‘menggila’. Bahkan weekend pun masih digunakan untuk lembur.

Sekarang, karena adanya himbauan social distancing, semua anggota keluarga ‘dipaksa’ berkumpul di rumah. Bahkan di luaran sana, ada aparat berpatroli menjaga agar kita masuk ke rumah. Bukankah ini sebuah nikmat yang tak ternilai?

*Kedua: Sehat jasmani*

Dengan gencarnya himbauan gaya hidup sehat, banyak perilaku salah yang kita tinggalkan. Sekarang rumah menjadi lebih bersih. Pola makan semakin teratur. Bertambah rajin olahraga dan berjemur matahari pagi. Efeknya imunitas tubuh pun makin meningkat.

*Ketiga: Bisa makan*
Petunjuk nabawi di atas menjelaskan bahwa bisa makan di hari ini, adalah sebuah kenikmatan luar biasa. Bahagia itu tidak harus punya tabungan yang cukup untuk makan setahun ke depan.

Tak bisa dipungkiri bahwa penghasilan berkurang nominalnya. Namun kekurangan itu bisa disiasati dengan berburu keberkahan. Sehingga yang sedikit itu bisa cukup. Atau bahkan lebih.

Caranya? Syukuri dan berlatih hidup sederhana. Bukankah dahulu Rasulullah _shallallahu ‘alaihi wasallam_ sekeluarga pernah hanya mengonsumsi kurma dan air putih selama berbulan-bulan?

Kurangi pengeluaran yang tidak primer. Contohnya pulsa dan lauk-pauk berlebih. Apalagi pengeluaran yang tidak ada manfaatnya. Seperti rokok.

Adapun orang dikaruniai Allah rizki banyak, berbagilah. Sekarang kesempatan emas mendulang pahala melimpah. Sebab pahala sedekah akan semakin berlipat, manakala kebutuhan si fakir semakin mendesak.

_Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, Ahad, 4 Sya’ban 1441 / 29 Maret 2020_

🌐 Sumber : *Artikel* : Http://tunasilmu.com

☕ Silahkan disebarkan, mudah2an anda mendapatkan bagian dari pahalanya ☕
Barakallah fikum. 
                                       

✒ Ditulis oleh Ustadz Abdullah Zaen Lc MA  حفظه الله تعالى.

▪┈┈◈❂◉❖ ° ❖◉❂◈┈┈▪