Virus corona...
_Pulang_
Akhirnya pondok tempat anakku belajar selama di Solo, memulangkan ribuan santrinya. Setelah sepekan berusaha maksimal menjaga para santri dari wabah. Memang tak mudah tetap menjalankan rutinitas menimba ilmu sebagaimana biasa. Berbeda dengan sekolah biasa, aktivitas pondok padat dengan kajian ilmu dan praktik amalan sesuai sunnah nabi. Konsekuensinya, banyak kegiatan berkumpul. Sesuatu yang dihindari saat ini. Keputusan ini pastilah dipertimbangkan dengan sangat matang.
Anakku menelepon dengan suara tercekat. Menceritakan proses berpamitan antar santri semalam.
"Maaf, suaraku serak karena tenggorokan sakit, Umi. Air mata sampai hampir kering. Semalam kami bertangisan waktu saling pamitan. Kami khawatir ngga ketemu lagi. Apalagi temanku yang ayah ibunya dokter. Semua sibuk mengurusi masalah ini. Jadi dia engga tau nanti di rumah sama siapa."
Anakku diam sejenak.
"Dia juga engga tahu apakah bisa kembali ke pondok lagi, karena ada kekhawatiran jika orangtuanya yang berjuang sebagai tim medis terpapar dengan penyakit itu."
Aku berlinangan air mata mendengarnya. Aku mengingatkannya untuk banyak mendoakan tim medis. Semua yang bekerja di rumah sakit. Dokter, perawat, pegawai, bahkan petugas kebersihan. Saat ini mereka sedang berjihad mempertaruhkan nyawa untuk keselamatan orang lain.
Wajar saja jika para pemuda yang berusia di atas 17 tahun itu menangis. Mereka telah bergaul belasan tahun. Susah senang bersama layaknya saudara. Tidak menyangka bakal berpisah dengan kondisi seperti ini. Ini tahun terakhir mereka nyantri di pondok. Ujian terakhir sebagai pengganti ujian nasional entah diadakan kapan. Belum ada kepastian.
Sambil terisak aku menyemangati putraku. Bahwa ini adalah ujian hidup yang harus dilalui. Kita harus kuat agar selamat. Mereka yang jadi korban pun dijanjikan pahala yang besar atas kesabaran menerima takdir Allah. Tak lupa kutitip pesan agar berterimakasih saat berpamitan pada ustadz.
Lalu dia bicara lagi, "Ummi, aku bukannya ngga pengen Ummi Abi ke sini, tapi lebih baik aku pulang sendiri. Ngga usah dijemput."
"Emang kenapa, Mas?" tanyaku.
Padahal sebulan lalu dia pesan, agar aku bawa adik-adik saat jemput dia pulang liburan Ramadhan.
"Aku khawatir sama keselamatan Ummi dan Abi kalau datang ke sini," jawabnya.
Ya Allah....
Aku menangis lagi.
"Ummi dan Abi akan berusaha tetap sehat dan selamat saat jemput Mas. Mas ngga usah pikirin itu."
12 tahun di pondok, aku kagum dengan ilmunya yang sudah jauh di atas orangtuanya.
Tapi yang lebih aku kagum, adabnya terhadapku sungguh dijaga.
Masyaallah.
Tak lama kututup telepon darinya, ada WA dari ustadz bahwa pihak pondok menyediakan bus untuk kepulangan santri.
Alhamdulillah.
Bus-bus itu dikondisikan aman selama perjalanan. Sebelum siswa masuk, bus disemprot desinfektan. Makanan dan minuman disediakan sehingga tak perlu berhenti untuk makan.
Saat ditelepon lagi, kuterangkan apa saja yang harus dilakukan untuk melindungi diri saat perjalanan kembali ke Cileungsi. "Sebelum masuk rumah, nanti Mas harus cuci kaki dan tangan pakai sabun, langsung ke kamar mandi bersihkan seluruh badan. Baru nanti salim sama Umi, Abi, dan adik-adik."
Sesungguhnya dia menempuh resiko pulang, karena Bogor sudah termasuk RedZone. Namun, tebak apa katanya?
"Aku nanti diam di kamar depan aja selama 14 hari. Takutnya bawa bahaya buat keluarga."
Masyaallah.
Fi amaanillah, anakku.
Semoga Allah menjagamu
Cileungsi, 25 Maret 2020
Siti Alimah Sofyan.
Ibu yang menanti anaknya pulang.
.
No comments:
Post a Comment