*38 KEUTAMAAN BER-SHOLAWAT KEPADA NABI MUHAMMAD shallallahu alaihi wasallam DI DUNIA DAN AKHIRAT*
_Oleh: Muhammad Wasitho Abu Fawaz_
Bismillah. Bersholawat kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam merupakan suatu ibadah agung yang disyari'atkan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman di dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
Barangsiapa banyak membaca sholawat kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dengan ikhlas karena Allah dan sesuai tuntunan Nabi, maka ia akan meraih pahala yang besar, faedah dan keutamaan yang banyak di dunia dan akhirat.
» Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah menyebutkan keutamaan dan manfaat bagi seorang muslim dan muslimah yang banyak bersholawat kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam di dalam kitabnya Jalaa-ul Afhaam. Di antaranya:
1 ـ امتثال أمر الله سبحانه وتعالى
1. Dalam rangka Melaksanakan Perintah Allah subhanahu wata'ala.
2 – موافقته سبحانه في الصلاة عليه صلى الله عليه وسلم
2. Mencocoki apa yang dilakukan Allah, yaitu bersholawat kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-.
3 - موافقة ملائكة الله تعالى في الصلاة عليه صلى الله عليه وسلم
3. Mencocoki apa yang dilakukan para Malaikat, yaitu bersholawat kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-.
4 – حصول عشر صلوات من الله على المصلي عليه صلى الله عليه وسلم مرة
4. Mendapatkan 10 sholawat dari Allah kepada orang yang bersholawat 1 kali kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam.
5 – أنه يرفع عشر درجات
5. Ditinggikan 10 Derajat dari setiap sholawat yang kita baca.
6 – أنه يكتب له عشر حسنات في كل مرة
6. Dituliskan 10 kebaikan bagi orang yang bersholawat 1 kali kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
7 – انه يمحى عنه عشر سيئات
7. Dihapuskan 10 Keburukan dari orang yang bersholawat.
8 – أنه يرجى إجابة دعائه
8. Diharapkan menjadi sebab dikabulkannya do’a.
9 – أنها سبب لشفاعته صلى الله عليه وسلم
9. Sebab mendapatkan Syafa’at Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-.
10 – أن الصلاة صلى الله عليه وسلم سبب لغفران الذنوب
10. Sebab diampuninya dosa-dosa.
11– أنها سبب لكفاية الله العبد ما أهمه وما أغمه
11. Sebab yang menjadikan Allah mencukupi apa yang dibutuhkan oleh hamba yang bershalawat.
12 – أنها سبب لقرب العبد منه صلى الله عليه وسلم يوم القيامة
12. Mendekatkan posisi seorang hamba dengan Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- pada hari kiamat.
13 – أنها تقوم مقام الصدقة لذي العسرة
13. Sholawat kedudukannya sama dengan bershodaqoh kepada orang yang kesulitan.
14 – أنها سبب لقضاء الحوائج
14. Sebab dipenuhinya hajat-hajat seorang hamba.
15 – أنها سبب لصلاة الله على المصلي وصلاة ملائكته عليه
15. Menjadi sebab Allah dan para Malaikat mencurahkan sholawat kepada orang yang membacanya.
16 – أنها زكاة المصلي وطهارة له
16. Menjadi sebab dibersihkan dan disucikannya orang yang bersholawat.
17– أنها سبب لتبشير العبد بالجنة قبل موته
17. Menjadi sebab seorang hamba diberi kabar gembira dengan surga menjelang wafatnya.
18 – أن الصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم سبب للنجاة من أهوال يوم القيامة
18. Sebab keselamatan dari huru-hara hari kiamat yang begitu dahsyat.
19 – أنها سبب لرد النبي صلى الله عليه وسلم الصلاة والسلام على المصلي والمسلم عليه
19. Menjadi sebab dijawabnya salam kita ketika kita bersholawat dan salam kepada Nabi.
20 – أنها سبب لتذكر العبد ما نسيه.
20. Menjadi sebab seorang hamba teringat akan apa yang ia lupa.
21 – أنها سبب لطيب المجلس وأن لا يعود حسرة على أهله يوم القيامة
21. Menjadi sebab baiknya majelis, dan agar majelis tidak menjadi penyesalan bagi pelakunya di hari kiamat.
22 – أن الصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم سبب لنفي الفقر
22. Sholawat kepada Nabi merupakan sebab dihilangkannya kefakiran.
23 – أنها تنفي عن العبد اسم البخل
23. Sebab dihilangkannya kekikiran (sifat bakhil) dari seorang hamba.
24- أنها تنجي من نتن المجلس الذي لا يذكر فيه الله ورسوله ويحمد وثنى عليه فيه ويصلى على رسوله صلى الله عليه وسلم
24. Sholawat menyelamatkan pelakunya dari majelis yang busuk, yang tidak disebut di dalamnya nama Allah dan pujian kepada-Nya, serta nama Rasulullah dan sholawat kepada beliau.
25 – أنها سبب لتمام الكلام
25. Sebab sempurnanya khutbah/ pembicaraan.
26 – أنها سبب لوفور نور العبد على الصراط
26. Menjadi sebab banyaknya cahaya pada hari Kiamat bagi seorang hamba ketika melintas di atas Ash-Shirath (jembatan yang terbentang di atas neraka Jahanam, pent).
27 – أنها يخرج بها العبد عن الجفاء
27. Sholawat dapat mengeluarkan seorang hamba dari sikap kasar dan kaku.
28 – أنها سبب لإبقاء الله سبحانه الثناء الحسن للمصلي عليه صلى الله عليه وسلم بين أهل السماء والأرض
28. Menjadi sebab terus menerusnya pujian yang baik dari Allah di hadapan penduduk langit dan bumi bagi orang yang bersholawat kepada nabi.
29- - أنها سبب للبركه في ذلت المصلى وعمله وعمره وأسباب مصالحة لأن المصلي داعٍ ربه أن يبارك عليه وعلى آله وهذا الدعاء مستجاب والجزاء من جنسه
29. Menjadi sebab diberkahinya umur dan amalan orang yang bersholawat. Dan menjadi sebab untuk meraih berbagai kebaikan (di dunia dan akhirat, pent).
30- أنها سبب لنيل رحمة الله له
30. Menjadi sebab untuk mendapatkan rahmat Allah.
31- أنها سبب لدوام محبته للرسول صلى الله عليه وسلم
31. Menjadi sebab terus menerusnya cinta kita kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-.
32- سبب دوام محبة الرسول صلى الله عليه وسلم للمصلي.
32. Menjadi sebab terus menerusnya cinta Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- kepada orang yang bersholawat.
33- سبب هداية العبد وحياة قلبه.
33. Menjadi sebab seorang hamba mendapatkan hidayah dan hatinya menjadi hidup.
34- سبب عرض اسم المصلى على النبي صلى الله عليه وسلم
34. Menjadi sebab diperlihatkannya nama orang yang bersholawat kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam (karena ada malaikat yang ditugaskan menyampaikan sholawat dan salam umat Islam kepada Nabi, pent).
35- سبب تثبيت القدم على الصراط.
35. Menjadi sebab kokohnya kaki kita ketika berada di atas Ash-Shiroth (dan tidak tergelincir darinya).
36- سبب أداء بعض حق المصطفى صلى الله عليه وسلم
36. Menjadi sebab untuk menunaikan sebagian hak Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-.
37- أنها متضمنة لذكر الله وشكره تعالى.
37. Sholawat termasuk dzikir dan syukur kepada Allah ta'ala.
38- أنها دعاء لأنها سؤال الله عز وجل أن يثني على خليله صلى الله عليه وسلم
38. Sholawat merupakan do’a. Karena ketika kita bersholawat berarti kita berdo’a meminta kepada Allah agar Allah memuji-muji kekasih-Nya -shallallahu ‘alaihi wasallam-.
(Lihat kitab Jalaa-ul Afhaam Fii Fadhli Ash-Sholawati 'Alaa Khoiril Anaam, karya Imam Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah rahimahullah).
Demikian faedah, manfaat dan keutamaan bersholawat kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wassalam. Semoga Allah memberikan taufiq dan pertolongan kepada kita semua agar bisa istiqomah dalam beribadah kepada-Nya, memperbanyak sholawat kepada Rosul-Nya, dan meneladani beliau hingga akhir hayat. Aamiin.
*GRUP MAJELIS HADIS:*
*WA Admin Grup Majelis Hadis Akhwat:*
081519901000 (Fifit Ummu Humaira)
0818935470 (Erina Chemy)
*Halaman Facebook:*
_Muhammad Wasitho Abu Fawaz_
_Pondok Pesantren Islam Al-Ittiba'_
*IG:* _muhammad_wasitho_
*Blog Dakwah Sunnah (Pondok Pesantren Islam Al-Ittiba' Klaten Jawa Tengah), Klik:*
Http://abufawaz.wordpress.com
Rumah Tahfidz, Belajar Tahsin dan Tajwid Al Qur'an, Kajian Ilmu syar'i Hub: Diana Gasim (Ummu Achmad ) 085312837788)
Sunday, December 17, 2017
Waktu dan Tempat untuk Bershalawat
Kapan waktu dan tempat bershalawat?
Sebagian muslim malas bershalawat, bahkan menjadikan sebagian moment saja untuk bershalawat seperti pada saat Maulid Nabi. Padahal ada waktu, tempat, atau keadaan tertentu yang kita diperintahkan untuk bershalawat dan itu banyak sekali. Kapan dan di mana itu?
Ternyata ulama kita terdahulu telah membahasnya. Ibnul Qayyim menyusun kitab tersendiri tentang masalah shalawat yang beliau beri judul “Jalaul Afham fii Fadhlish Shalah wa Salaam ‘ala Muhammad Khoiril Anaam”, yang berisi keutamaan shalawat dan salam kepada makhluk terbaik yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di dalam kitab tersebut beliau bahas sampai ada 41 waktu dan tempat diperintahkan untuk bershalawat. Ada yang dihukumi wajib, ada pula yang dihukumi sunnah muakkad. Rumaysho.Com akan ringkas sebagiannya dari kitab tersebut dan mencari-cari dalil-dalil yang mendukungnya.
Kapan waktu dan tempat bershalawat?
Sebagian muslim malas bershalawat, bahkan menjadikan sebagian moment saja untuk bershalawat seperti pada saat Maulid Nabi. Padahal ada waktu, tempat, atau keadaan tertentu yang kita diperintahkan untuk bershalawat dan itu banyak sekali. Kapan dan di mana itu?
Ternyata ulama kita terdahulu telah membahasnya. Ibnul Qayyim menyusun kitab tersendiri tentang masalah shalawat yang beliau beri judul “Jalaul Afham fii Fadhlish Shalah wa Salaam ‘ala Muhammad Khoiril Anaam”, yang berisi keutamaan shalawat dan salam kepada makhluk terbaik yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di dalam kitab tersebut beliau bahas sampai ada 41 waktu dan tempat diperintahkan untuk bershalawat. Ada yang dihukumi wajib, ada pula yang dihukumi sunnah muakkad. Rumaysho.Com akan ringkas sebagiannya dari kitab tersebut dan mencari-cari dalil-dalil yang mendukungnya.
1- Shalawat pada akhir tasyahud
Para ulama sepakat akan adanya perintah untuk bershalawat ketika itu. Namun mengenai wajib atau sunnahnya, para ulama memiliki silang pendapat.
Mengenai pensyariatannya disebutkan dalam hadits Ka’ab bin ‘Ujrah, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menemui kami, lalu kami berkata, “Wahai Rasulullah, kami telah mengetahui bagaimana kami harus mengucapkan salam kepadamu, lalu bagaimanakah kami bershalawat kepadamu?” Beliau menjawab, “Ucapkanlah:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ ، اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
“Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad kamaa shollaita ‘ala Ibroohim wa ‘ala aali Ibrohim, innaka hamidun majiid. Allahumma baarik ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad kamaa baarokta ‘ala Ibrohim wa ‘ala aali Ibrohimm innaka hamidun majiid (artinya: Ya Allah, semoga shalawat tercurah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana tercurah pada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Ya Allah, semoga berkah tercurah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana tercurah pada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia).” (HR. Bukhari no. 4797 dan Muslim no. 406).
Para ulama sepakat akan adanya perintah untuk bershalawat ketika itu. Namun mengenai wajib atau sunnahnya, para ulama memiliki silang pendapat.
Mengenai pensyariatannya disebutkan dalam hadits Ka’ab bin ‘Ujrah, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menemui kami, lalu kami berkata, “Wahai Rasulullah, kami telah mengetahui bagaimana kami harus mengucapkan salam kepadamu, lalu bagaimanakah kami bershalawat kepadamu?” Beliau menjawab, “Ucapkanlah:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ ، اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
“Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad kamaa shollaita ‘ala Ibroohim wa ‘ala aali Ibrohim, innaka hamidun majiid. Allahumma baarik ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad kamaa baarokta ‘ala Ibrohim wa ‘ala aali Ibrohimm innaka hamidun majiid (artinya: Ya Allah, semoga shalawat tercurah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana tercurah pada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Ya Allah, semoga berkah tercurah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana tercurah pada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia).” (HR. Bukhari no. 4797 dan Muslim no. 406).
2- Shalawat pada tasyahud awwal
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Imam Syafi’i berpendapat dalam Al Umm bahwa shalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada di tasyahud awwal. Inilah pendapat yang masyhur dalam madzhab Syafi’iyah. Inilah pendapat terbaru dari Imam Syafi’i. Namun hukumnya adalah sunnah, bukanlah wajib. Dalam pendapat terdahulu, Imam Syafi’i berkata, “Setelah tasyahud tidak wajib menambahkan shalawat.” Inilah yang diriwayatkan oleh Al Muzani, juga menjadi pendapat Imam Ahmad, Abu Hanifah dan Malik.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengungkapkan alasan kenapa pembacaan shalawat pada Nabi tetap ada pada tasyahud awwal, di mana beliau berkata, “Allah Ta’ala telah memerintahkan pada orang beriman untuk mengucapkan shalawat dan salam kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini menunjukkan bahwa ketika ada salam untuk beliau, maka di situ juga terdapat shalawat padanya. Oleh karena itu ketika para sahabat bertanya mengenai cara bershalawat pada beliau, mereka berkata, “Kami sudah mengetahui bagaimanakah cara mengucapkan salam kepadamu –wahai Rasulullah-, lantas bagaimanakah kami menyampaikan shalawat kepadamu?” Ini menunjukkan bahwa shalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu bergandengan dengan salam pada beliau. Oleh karena itu setiap yang mau bershalawat pada Nabi maka ia juga menyampaikan salam pada beliau.” (Jalaul Afham, hal. 321).
Alasan lainnya disampaikan oleh Ibnul Qayyim bahwa shalawat digandengkan dengan salam ketika menyebut nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan sesuatu yang lebih sempurna. (Jalaul Afham, hal. 322).
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Imam Syafi’i berpendapat dalam Al Umm bahwa shalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada di tasyahud awwal. Inilah pendapat yang masyhur dalam madzhab Syafi’iyah. Inilah pendapat terbaru dari Imam Syafi’i. Namun hukumnya adalah sunnah, bukanlah wajib. Dalam pendapat terdahulu, Imam Syafi’i berkata, “Setelah tasyahud tidak wajib menambahkan shalawat.” Inilah yang diriwayatkan oleh Al Muzani, juga menjadi pendapat Imam Ahmad, Abu Hanifah dan Malik.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengungkapkan alasan kenapa pembacaan shalawat pada Nabi tetap ada pada tasyahud awwal, di mana beliau berkata, “Allah Ta’ala telah memerintahkan pada orang beriman untuk mengucapkan shalawat dan salam kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini menunjukkan bahwa ketika ada salam untuk beliau, maka di situ juga terdapat shalawat padanya. Oleh karena itu ketika para sahabat bertanya mengenai cara bershalawat pada beliau, mereka berkata, “Kami sudah mengetahui bagaimanakah cara mengucapkan salam kepadamu –wahai Rasulullah-, lantas bagaimanakah kami menyampaikan shalawat kepadamu?” Ini menunjukkan bahwa shalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu bergandengan dengan salam pada beliau. Oleh karena itu setiap yang mau bershalawat pada Nabi maka ia juga menyampaikan salam pada beliau.” (Jalaul Afham, hal. 321).
Alasan lainnya disampaikan oleh Ibnul Qayyim bahwa shalawat digandengkan dengan salam ketika menyebut nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan sesuatu yang lebih sempurna. (Jalaul Afham, hal. 322).
3- Di akhir doa qunut.
Dari Al Hasan bin ‘Ali, ia berkarta, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajarkan padaku beberapa kalimat yang dibaca saat shalat witir. Beliau perintahkan untuk membaca:
اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ فَإِنَّكَ تَقْضِي وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ وَإِنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ مُحَمَّدٍ
Allahummahdiini fiiman hadait, wa baarik lii fiiman ‘athoit, watawallanii fiiman tawallait, wabaarik lii fiima a’thait, waqinii syarrama qadlait, fainnaka taqdhi walaa yuqdho ‘alaik, wa innahu laa yadzillu man waalait, tabaarakta rabbana wata’aalait, wa shallallahu ‘alan nabiyyi muhammad. (Ya Allah, berilah aku petunjuk di antara orang-orang yang Engkau beri petunjuk, dan berilah aku keberkahan di antara orang-orang yang telah Engkau beri keberkahan, uruslah diriku di antara orang-orang yang telah Engkau urus, lindungilah aku dari keburukan apa yang telah Engkau tetapkan, sesungguhnya Engkau Yang memutuskan dan tidak diputuskan kepadaku, sesungguhnya tidak akan hina orang yang telah Engkau jaga dan Engkau tolong. Engkau Maha Suci dan Maha Tinggi. Shalawat Allah atas Nabi Muhammad)” (HR. Abu Daud no. 1425, An Nasai no. 1745, At Tirmidzi no. 464. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih) (HR. An Nasai no. 1747. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini dhaif, begitu pula Syaikh Al Albani mendhoifkan hadits ini)
Namun dalam riwayat lainnya yang shahih disebutkan tanpa bacaan shalawat di akhir.
Dari Al Hasan bin ‘Ali, ia berkarta, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajarkan padaku beberapa kalimat yang dibaca saat shalat witir. Beliau perintahkan untuk membaca:
اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ فَإِنَّكَ تَقْضِي وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ وَإِنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ مُحَمَّدٍ
Allahummahdiini fiiman hadait, wa baarik lii fiiman ‘athoit, watawallanii fiiman tawallait, wabaarik lii fiima a’thait, waqinii syarrama qadlait, fainnaka taqdhi walaa yuqdho ‘alaik, wa innahu laa yadzillu man waalait, tabaarakta rabbana wata’aalait, wa shallallahu ‘alan nabiyyi muhammad. (Ya Allah, berilah aku petunjuk di antara orang-orang yang Engkau beri petunjuk, dan berilah aku keberkahan di antara orang-orang yang telah Engkau beri keberkahan, uruslah diriku di antara orang-orang yang telah Engkau urus, lindungilah aku dari keburukan apa yang telah Engkau tetapkan, sesungguhnya Engkau Yang memutuskan dan tidak diputuskan kepadaku, sesungguhnya tidak akan hina orang yang telah Engkau jaga dan Engkau tolong. Engkau Maha Suci dan Maha Tinggi. Shalawat Allah atas Nabi Muhammad)” (HR. Abu Daud no. 1425, An Nasai no. 1745, At Tirmidzi no. 464. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih) (HR. An Nasai no. 1747. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini dhaif, begitu pula Syaikh Al Albani mendhoifkan hadits ini)
Namun dalam riwayat lainnya yang shahih disebutkan tanpa bacaan shalawat di akhir.
4- Setelah takbir kedua dari shalat jenazah.
Untuk masalah perintah untuk bershalawat saat itu tak ada perselisihan ulama di dalamnnya. Para ulama berselisih pendapat tentang keabsahan shalat jenazah tanpa shalawat. Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa membaca shalawat dalam shalat jenazah itu wajib.
Dalil yang menunjukkan adanya perintah membaca shalawat dalam shalat jenazah,
عَنْ مَعْمَرٍ عَنِ الزُّهْرِىِّ قَالَ أَخْبَرَنِى أَبُو أُمَامَةَ بْنُ سَهْلٍ : أَنَّهُ أَخْبَرَهُ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- : أَنَّ السُّنَّةَ فِى الصَّلاَةِ عَلَى الْجَنَازَةِ أَنْ يُكَبِّرَ الإِمَامُ ، ثُمَّ يَقْرَأُ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ بَعْدَ التَّكْبِيرَةِ الأُولَى سِرًّا فِى نَفْسِهِ ، ثُمَّ يُصَلِّى عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- وَيُخْلِصُ الدُّعَاءَ لِلْجَنَازَةِ فِى التَّكْبِيرَاتِ لاَ يَقْرَأُ فِى شَىْءٍ مِنْهُنَّ ، ثُمَّ يُسَلِّمُ سِرًّا فِى نَفْسِهِ.
Dari Ma’mar, dari Az Zuhriy, telah diceritakan dari Abu Umamah bin Sahl bahwa ada seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengajarkan padanya: Yang ada dalam shalat jenazah, imam itu bertakbir, lalu membaca Al Fatihah setelah takbir pertama secara lirih yang didengar dirinya sendiri, kemudian bershalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beberapa takbir berikutnya menujukan doa yang murni untuk mayit, tidak ada bacaan (surat) pada takbir-takbir tersebut. Kemudian mengucapkan salam secara lirih untuk dirinya sendiri. (HR. Al Baihaqi 4: 39).
Semoga berlanjut pada bahasan lainnya tentang shalawat. Dan semoga terus mengantarkan kita untuk rajin bershalawat
Untuk masalah perintah untuk bershalawat saat itu tak ada perselisihan ulama di dalamnnya. Para ulama berselisih pendapat tentang keabsahan shalat jenazah tanpa shalawat. Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa membaca shalawat dalam shalat jenazah itu wajib.
Dalil yang menunjukkan adanya perintah membaca shalawat dalam shalat jenazah,
عَنْ مَعْمَرٍ عَنِ الزُّهْرِىِّ قَالَ أَخْبَرَنِى أَبُو أُمَامَةَ بْنُ سَهْلٍ : أَنَّهُ أَخْبَرَهُ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- : أَنَّ السُّنَّةَ فِى الصَّلاَةِ عَلَى الْجَنَازَةِ أَنْ يُكَبِّرَ الإِمَامُ ، ثُمَّ يَقْرَأُ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ بَعْدَ التَّكْبِيرَةِ الأُولَى سِرًّا فِى نَفْسِهِ ، ثُمَّ يُصَلِّى عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- وَيُخْلِصُ الدُّعَاءَ لِلْجَنَازَةِ فِى التَّكْبِيرَاتِ لاَ يَقْرَأُ فِى شَىْءٍ مِنْهُنَّ ، ثُمَّ يُسَلِّمُ سِرًّا فِى نَفْسِهِ.
Dari Ma’mar, dari Az Zuhriy, telah diceritakan dari Abu Umamah bin Sahl bahwa ada seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengajarkan padanya: Yang ada dalam shalat jenazah, imam itu bertakbir, lalu membaca Al Fatihah setelah takbir pertama secara lirih yang didengar dirinya sendiri, kemudian bershalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beberapa takbir berikutnya menujukan doa yang murni untuk mayit, tidak ada bacaan (surat) pada takbir-takbir tersebut. Kemudian mengucapkan salam secara lirih untuk dirinya sendiri. (HR. Al Baihaqi 4: 39).
Semoga berlanjut pada bahasan lainnya tentang shalawat. Dan semoga terus mengantarkan kita untuk rajin bershalawat
5- Ketika khutbah yaitu saat khutbah Jumat, khutbah ied, khutbah istisqa’ (minta hujan) dan khutbah lainnya.
Para ulama berselisih pendapat apakah membaca shalawat merupakan syarat sah dalam khutbah ataukah bukan. Berdasarkan pendapat dari Imam Syafi’i dan pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad, khutbah barulah sah dengan bershalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan Imam Abu Hanifah dan Imam Malik menganggap bahwa khutbah itu sah meski tanpa shalawat. Pendapat ini juga menjadi salah satu pendapat dalam madzhab Imam Ahmad.
Ulama yang menyatakan wajibnya bershalawat dalam khutbah berdalil dengan firman Allah Ta’ala,
أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ (1) وَوَضَعْنَا عَنْكَ وِزْرَكَ (2) الَّذِي أَنْقَضَ ظَهْرَكَ (3) وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ (4)
“Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?, dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu, yang memberatkan punggungmu? Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu.” (QS. Asy Syarh: 1-4). Ibnu ‘Abbas menyatakan bahwa Allah meninggikan penyebutan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika nama-Nya disebut, maka disandingkan pula dengan nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Akan tetapi, Ibnul Qayyim berpendapat bahwa yang dimaksudkan dalam ayat bahwa Nabi Muhammad disandingkan dengan Allah pada penyebutan azan yaitu pada kalimat ‘asyhadu alla ilaha illallah’ dan ‘asyhadu anna muhammadar rasulullah’.
Adapun dalil bahwa shalawat itu dibacakan ketika khutbah, hal ini berdasarkan riwayat dari ‘Abdullah bin Ahmad, dari ‘Aun bin Abi Juhaifah bahwa ayahnya yang pernah menjadi petugas keamanan dari sahabat ‘Ali bin Abi Tholib menyatakan bahwa dahulu ia di bawah mimbar, ia menyaksikan ‘Ali radhiyallahu ‘anhu saat itu sedang naik mimbar. Di awalnya, Ali menyanjung Allah, bershalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Ali mengatakan bahwa generasi terbaik dari umat ini setelah nabinya yaitu Abu Bakr, lalu Umar. Allah menganugerahkan pada mereka kebaikan sesuai yang Dia kehendaki. (Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad 1: 106 dan Al Khotib Al Baghdadiy dalam Tarikh Baghdad 10: 114).
Para ulama berselisih pendapat apakah membaca shalawat merupakan syarat sah dalam khutbah ataukah bukan. Berdasarkan pendapat dari Imam Syafi’i dan pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad, khutbah barulah sah dengan bershalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan Imam Abu Hanifah dan Imam Malik menganggap bahwa khutbah itu sah meski tanpa shalawat. Pendapat ini juga menjadi salah satu pendapat dalam madzhab Imam Ahmad.
Ulama yang menyatakan wajibnya bershalawat dalam khutbah berdalil dengan firman Allah Ta’ala,
أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ (1) وَوَضَعْنَا عَنْكَ وِزْرَكَ (2) الَّذِي أَنْقَضَ ظَهْرَكَ (3) وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ (4)
“Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?, dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu, yang memberatkan punggungmu? Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu.” (QS. Asy Syarh: 1-4). Ibnu ‘Abbas menyatakan bahwa Allah meninggikan penyebutan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika nama-Nya disebut, maka disandingkan pula dengan nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Akan tetapi, Ibnul Qayyim berpendapat bahwa yang dimaksudkan dalam ayat bahwa Nabi Muhammad disandingkan dengan Allah pada penyebutan azan yaitu pada kalimat ‘asyhadu alla ilaha illallah’ dan ‘asyhadu anna muhammadar rasulullah’.
Adapun dalil bahwa shalawat itu dibacakan ketika khutbah, hal ini berdasarkan riwayat dari ‘Abdullah bin Ahmad, dari ‘Aun bin Abi Juhaifah bahwa ayahnya yang pernah menjadi petugas keamanan dari sahabat ‘Ali bin Abi Tholib menyatakan bahwa dahulu ia di bawah mimbar, ia menyaksikan ‘Ali radhiyallahu ‘anhu saat itu sedang naik mimbar. Di awalnya, Ali menyanjung Allah, bershalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Ali mengatakan bahwa generasi terbaik dari umat ini setelah nabinya yaitu Abu Bakr, lalu Umar. Allah menganugerahkan pada mereka kebaikan sesuai yang Dia kehendaki. (Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad 1: 106 dan Al Khotib Al Baghdadiy dalam Tarikh Baghdad 10: 114).
6- Shalawat setelah kumandang azan dan iqamah.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَىَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَىَّ صَلاَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا اللَّهَ لِىَ الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِى الْجَنَّةِ لاَ تَنْبَغِى إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ لِىَ الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ
“Jika kalian mendengar muadzin, maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkan oleh muadzin. Kemudian bershalawatlah untukku. Karena siapa yang bershalawat kepadaku sekali, maka Allah akan bershalawat padanya (memberi ampunan padanya) sebanyak sepuluh kali. Kemudian mintalah wasilah pada Allah untukku. Karena wasilah itu adalah tempat di surga yang hanya diperuntukkan bagi hamba Allah, aku berharap akulah yang mendapatkannya. Siapa yang meminta untukku wasilah seperti itu, dialah yang berhak mendapatkan syafa’atku.” (HR. Muslim no. 384).
Mengenai amalan sesudah mendengarkan azan disebutkan pula dalam hadits dari Jabir bin Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِى وَعَدْتَهُ ، حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa mengucapkan setelah mendengar adzan ‘allahumma robba hadzihid da’watit taammah wash sholatil qoo-imah, aati Muhammadanil wasilata wal fadhilah, wab’atshu maqoomam mahmuuda alladzi wa ‘adtah’ [Ya Allah, Rabb pemilik dakwah yang sempurna ini (dakwah tauhid), shalat yang ditegakkan, berikanlah kepada Muhammad wasilah (kedudukan yang tinggi), dan fadilah (kedudukan lain yang mulia). Dan bangkitkanlah beliau sehingga bisa menempati maqom (kedudukan) terpuji yang telah Engkau janjikan padanya], maka dia akan mendapatkan syafa’atku kelak.” (HR.Bukhari no. 614 )
Ada juga amalan sesudah mendengarkan azan jika diamalkan akan mendapatkan ampunan dari dosa. Dari Sa’ad bin Abi Waqqash, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ الْمُؤَذِّنَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولاً وَبِالإِسْلاَمِ دِينًا. غُفِرَ لَهُ ذَنْبُهُ
“Siapa yang mengucapkan setelah mendengar azan: Asyhadu alla ilaha illallah wahdahu laa syarika lah wa anna muhammadan ‘abduhu wa rasuluh, radhitu billahi robbaa wa bi muhammadin rosulaa wa bil islami diinaa (artinya: aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, tidak ada sekutu baginya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, aku ridha sebagai Rabbku, Muhammad sebagai Rasul dan Islam sebagai agamaku), maka dosanya akan diampuni.” (HR. Muslim no. 386)
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bahwa seseorang pernah berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya muadzin selalu mengungguli kami dalam pahala amalan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قُلْ كَمَا يَقُولُونَ فَإِذَا انْتَهَيْتَ فَسَلْ تُعْطَهْ
“Ucapkanlah sebagaimana disebutkan oleh muadzin. Lalu jika sudah selesai kumandang azan, berdoalah, maka akan diijabahi (dikabulkan).” (HR. Abu Daud no. 524 dan Ahmad 2: 172. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan). Artinya, doa sesudah azan termasuk di antara doa yang diijabahi.
Intinya, ada lima hal yang dilakukan oleh yang mendengarkan azan sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Jalaa-ul Afham (hal. 329-331): (1) mengucapkan seperti apa yang diucapkan oleh muadzin, (2) bershalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, (3) minta pada Allah untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wasilah dan keutamaan sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah, (4) membaca radhitu billahi robba … sebagaimana disebutkan dalam hadits Sa’ad bin Abi Waqqash , (5) memanjatkan doa sesuai yang diinginkan.
Setelah menyebutkan lima amalan di atas, Ibnul Qayyim berkata, “Inilah lima amalan yang bisa diamalkan sehari semalam. Ingatlah yang bisa terus menjaganya hanyalah as saabiquun, yaitu yang semangat dalam kebaikan.” (Jalaa-ul Afham, hal. 333).
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَىَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَىَّ صَلاَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا اللَّهَ لِىَ الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِى الْجَنَّةِ لاَ تَنْبَغِى إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ لِىَ الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ
“Jika kalian mendengar muadzin, maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkan oleh muadzin. Kemudian bershalawatlah untukku. Karena siapa yang bershalawat kepadaku sekali, maka Allah akan bershalawat padanya (memberi ampunan padanya) sebanyak sepuluh kali. Kemudian mintalah wasilah pada Allah untukku. Karena wasilah itu adalah tempat di surga yang hanya diperuntukkan bagi hamba Allah, aku berharap akulah yang mendapatkannya. Siapa yang meminta untukku wasilah seperti itu, dialah yang berhak mendapatkan syafa’atku.” (HR. Muslim no. 384).
Mengenai amalan sesudah mendengarkan azan disebutkan pula dalam hadits dari Jabir bin Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِى وَعَدْتَهُ ، حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa mengucapkan setelah mendengar adzan ‘allahumma robba hadzihid da’watit taammah wash sholatil qoo-imah, aati Muhammadanil wasilata wal fadhilah, wab’atshu maqoomam mahmuuda alladzi wa ‘adtah’ [Ya Allah, Rabb pemilik dakwah yang sempurna ini (dakwah tauhid), shalat yang ditegakkan, berikanlah kepada Muhammad wasilah (kedudukan yang tinggi), dan fadilah (kedudukan lain yang mulia). Dan bangkitkanlah beliau sehingga bisa menempati maqom (kedudukan) terpuji yang telah Engkau janjikan padanya], maka dia akan mendapatkan syafa’atku kelak.” (HR.Bukhari no. 614 )
Ada juga amalan sesudah mendengarkan azan jika diamalkan akan mendapatkan ampunan dari dosa. Dari Sa’ad bin Abi Waqqash, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ الْمُؤَذِّنَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولاً وَبِالإِسْلاَمِ دِينًا. غُفِرَ لَهُ ذَنْبُهُ
“Siapa yang mengucapkan setelah mendengar azan: Asyhadu alla ilaha illallah wahdahu laa syarika lah wa anna muhammadan ‘abduhu wa rasuluh, radhitu billahi robbaa wa bi muhammadin rosulaa wa bil islami diinaa (artinya: aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, tidak ada sekutu baginya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, aku ridha sebagai Rabbku, Muhammad sebagai Rasul dan Islam sebagai agamaku), maka dosanya akan diampuni.” (HR. Muslim no. 386)
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bahwa seseorang pernah berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya muadzin selalu mengungguli kami dalam pahala amalan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قُلْ كَمَا يَقُولُونَ فَإِذَا انْتَهَيْتَ فَسَلْ تُعْطَهْ
“Ucapkanlah sebagaimana disebutkan oleh muadzin. Lalu jika sudah selesai kumandang azan, berdoalah, maka akan diijabahi (dikabulkan).” (HR. Abu Daud no. 524 dan Ahmad 2: 172. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan). Artinya, doa sesudah azan termasuk di antara doa yang diijabahi.
Intinya, ada lima hal yang dilakukan oleh yang mendengarkan azan sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Jalaa-ul Afham (hal. 329-331): (1) mengucapkan seperti apa yang diucapkan oleh muadzin, (2) bershalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, (3) minta pada Allah untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wasilah dan keutamaan sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah, (4) membaca radhitu billahi robba … sebagaimana disebutkan dalam hadits Sa’ad bin Abi Waqqash , (5) memanjatkan doa sesuai yang diinginkan.
Setelah menyebutkan lima amalan di atas, Ibnul Qayyim berkata, “Inilah lima amalan yang bisa diamalkan sehari semalam. Ingatlah yang bisa terus menjaganya hanyalah as saabiquun, yaitu yang semangat dalam kebaikan.” (Jalaa-ul Afham, hal. 333).
7- Bershalawat ketika berdoa.
Ibnul Qayyim menyatakan bahwa ada tiga tingkatan dalam bershalawat saat doa:
a- Bershalawat sebelum memanjatkan doa setelah memuji Allah.
b- Bershalawat di awal, pertengahan dan akhir doa.
c- Bershalawat di awal dan di akhir, lalu menjadikan hajat yang diminta di pertengahan doa.
Mengenai perintah bershalawat saat akan memanjatkan doa disebutkan dalam hadits Fudholah bin ‘Ubaid, ia berkata,
سَمِعَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- رَجُلاً يَدْعُو فِى صَلاَتِهِ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « عَجِلَ هَذَا ». ثُمَّ دَعَاهُ فَقَالَ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ « إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِتَحْمِيدِ اللَّهِ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ ثُمَّ لِيُصَلِّ عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ لِيَدْعُ بَعْدُ بِمَا شَاءَ ».
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar seseorang memanjatkan doa dalam shalatnya, lalu ia tidak memanjatkan shalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pun berkata, “Orang ini terlalu tergesa-gesa dalam doanya.” Kemudian beliau memanggilnya lalu menegurnya atau mengatakan pada lainnya, “Jika salah seorang di antara kalian berdoa, maka mulailah dengan memuji Allah, menyanjung-Nya, lalu bershalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mintalah doa yang diinginkan.” (HR. Tirmidzi no. 3477 dan Abu Daud no. 1481. Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Al Hafizh Abu Thohir menilai sanad hadits tersebut hasan).
Ibnul Qayyim menyatakan pula bahwa membaca shalawat pada saat berdoa, kedudukannya seperti membaca Al Fatihah dalam shalat. Jadi pembuka doa adalah shalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Untuk shalat, pembukanya adalah dengan bersuci.
Ahmad bin Abu Al Hawra’ pernah mendengar Abu Sulaiman Ad Daroniy berkata, “Siapa yang ingin memanjatkan hajatnya pada Allah, maka mulailah dengan bershalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mintalah hajatnya. Kemudian tutuplah doa tersebut dengan shalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena shalawat pada beliau akan membuat doa tersebut maqbulah (mudah diterima).” (Jalaa-ul Afham, hal. 335-336).
Dari Zirr, dari ‘Abdullah, ia berkata,
كُنْتُ أُصَلِّى وَالنَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ مَعَهُ فَلَمَّا جَلَسْتُ بَدَأْتُ بِالثَّنَاءِ عَلَى اللَّهِ ثُمَّ الصَّلاَةِ عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ دَعَوْتُ لِنَفْسِى فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- سَلْ تُعْطَهْ سَلْ تُعْطَهْ
“Aku pernah shalat dan kala itu Abu Bakr dan ‘Umar bersama dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika aku duduk, aku memulai doaku dengan memuji Allah, lalu bershalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian aku berdoa untuk diriku sendiri. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Mintalah, engkau akan diberi. Mintalah, engkau akan diberi.” (HR. Tirmidzi no. 593. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).
‘Umar radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan,
إِنَّ الدُّعَاءَ مَوْقُوفٌ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ لاَ يَصْعَدُ مِنْهُ شَىْءٌ حَتَّى تُصَلِّىَ عَلَى نَبِيِّكَ -صلى الله عليه وسلم-
“Sesungguhnya doa itu diam antara langit dan bumi, tidak naik ke atas hingga engkau bershalawat pada Nabimu shallallahu ‘alaihi wa sallam” (HR. Tirmidzi no. 486. Syaikh Al Albani menyatakan hadits ini hasan).
Lakukanlah adab berdoa ini: (1) memuji Allah terlebih dahulu, (2) bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, (3) memanjatkan doa yang diinginkan, (4) menutup dengan shalawat dan sanjungan pada Allah. Moga setiap doa kita dikabulkan oleh Allah.
8- Bershalawat ketika masuk dan keluar masjid.
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلْيُسَلِّمْ عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- وَلْيَقُلِ اللَّهُمَّ افْتَحْ لِى أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ وَإِذَا خَرَجَ فَلْيُسَلِّمْ عَلَى النَّبِىِّ وَلْيَقُلِ اللَّهُمَّ اعْصِمْنِى مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
“Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka ucapkanlah salam pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian ucapkanlah ‘Allahummaftah lii abwaaba rohmatik’ (artinya: Ya Allah, bukakanlah untukku pintu rahmat-Mu). Kemudian saat keluar, ucapkanlah salam pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ucapkanlah ‘Allahumma’shimnii minasy syaithonir rojiim’ (artinya: Ya Allah, lindungilah aku dari godaan setan yang terkutuk).” (HR. Ibnu Majah no. 773. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari Fatimah, puteri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk masjid, beliau mengucapkan,
بِسْمِ اللَّهِ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى ذُنُوبِى وَافْتَحْ لِى أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ
“Bismillah wassalaamu ‘ala rosulillah. Allahummaghfir lii dzunuubi waftahlii abwaaba rohmatik (artinya: Dengan menyebut nama Allah dan salam atas Rasulullah. Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku dan bukakanlah padaku pintu rahmat-Mu).” Lalu ketika keluar masjid, beliau mengucapkan,
بِسْمِ اللَّهِ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى ذُنُوبِى وَافْتَحْ لِى أَبْوَابَ فَضْلِكَ
“Bismillah wassalaamu ‘ala rosulillah. Allahummaghfir lii dzunuubi waftahlii abwabaa fadhlik (artinya: Dengan menyebut nama Allah dan salam atas Rasulullah. Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku dan bukakanlah padaku pintu karunia-Mu).” (HR. Ibnu Majah no. 771 dan Tirmidzi no. 314. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
9- Bershalawat di Bukit Shafa dan Marwah (Saat Sa’i untuk Haji dan Umrah)
Diceritakan bahwa Ibnu ‘Umar berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir di Shafa tiga kali. Lalu beliau mengucapkan ‘laa ilaha illallallah wahdahu laa syarika lah lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qodiir’, lalu beliau bershalawat, kemudian beliau berdoa dengan memperlama berdiri dan doa tersebut. Yang dilakukan kala di Marwah juga semisal itu. (HR. Ismai’il Al Qadhi dalam keutamaan shalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam no. 87. Zaid bin Ahmad An Nusyairiy mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih). Dalam doa secara umum ada perintah untuk bershalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Wahb bin Al Ajda’, ia berkata bahwa ia pernah mendengar ‘Umar bin Al Khattab berkhutbah di Makkah, lantas ia berkata, “Jika seseorang di antara kalian berhaji, lakukanlah thawaf keliling Ka’bah. Setelah itu lakukanlah shalat dua raka’at di belakang Maqom Ibrahim. Kemudian ciumlah hajar Aswad. Lalu mulailah (sa’i) dari Shafa dengan berdiri di bukit tersebut sambil menghadap Ka’bah, saat itu bertakbir tujuh kali, antara setiap dua takbir itu ada sanjungan dan pujian pada Allah Ta’ala. Kemudian bershalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berdoa untuk diri sendiri. Yang dilakukan di bukit Marwah semisal itu pula. (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro 5: 94 dan Isma’il Al Qadhi dalam keutamaan shalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam no. 81. Zaid bin Ahmad An Nusyairiy mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).
10- Bershalawat di Dalam Majelis Perkumpulan
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Abul Qasim –Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda,
أَيُّمَا قَوْمٍ جَلَسُوْا فَأَطَالُوا الجُلُوْسَ ثُمَّ تَفَرَّقُوْا قَبْلَ أَنْ يَذْكُرُوْا اللهَ وَ يُصَلُّوْا عَلَى نَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِلاَّ كَانَتْ عَلَيْهِمْ مِنَ اللهِ تِرَةٌ إِنْ شَاءَ اللهُ عَذَّبَهُمْ وَ إِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُمْ
“Kaum mana saja yang duduk lama di suatu majelis kemudian ia berpisah sebelum menyebut nama Allah dan sebelum bershalawat pada Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka akan ditimpa kekurangan dari Allah. Jika Allah menghendaki, Dia akan mengadzab atau akan menyiksa mereka.” (HR. Al Hakim dalam Mustadroknya 1: 674). Ada juga hadits semacam itu dalam riwayat Tirmidzi namun tanpa menyebutkan shalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ini menunjukkan bahwa majelis apa saja baik perkumpulan yang membicarakan masalah agama maupun dunia yang di dalamnya tidak ada sanjungan pada Allah dan shalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hanyalah majelis yang menuai kerugian.
11- Bershalawat ketika nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebut.
Para ulama berselisih pendapat tentang wajibnya berselisih pendapat tentang wajibnya bershalawat ketika itu. Abu Ja’far Ath Thohawiy dan Abu ‘Abdillah Al Halimi berkata bahwa wajib bershalawat pada Nabi ketika nama beliau disebut. Sedangkan ulama lainnya menganggapnya sunnah, artinya tidak berdosa jika tidak bershalawat kala itu.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَىَّ
“Sungguh celaka, orang yang disebut namaku di sisinya lantas ia tidak bershalawat untukku” (HR. Tirmidzi no. 3545. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)
Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa yang dimaksud ‘raghima anfu’ adalah doa jelek dan celaan. Doa seperti ini ada ketika meninggalkan sesuatu yang bukan sekedar sunnah. Orang yang meninggalkan sunnah tentu tidak didoakan jelek seperti itu.
Dari ‘Ali bin Abi Tholib, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْبَخِيلُ الَّذِى مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَىَّ
“Orang yang disebut pelit adalah orang yang ketika disebut namaku di sisinya lalu ia tidak bershalawat untukku.” (HR. Tirmidzi no. 3546. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)
Pernyataan pelit menunjukkan gelaran yang jelek. Jika tidak bershalawat ketika itu hanyalah perkara sunnah, tentu tidak digelari seperti itu. Istilah bakhil (pelit) juga ditujukan pada orang yang enggan memenuhi yang wajib.
Wallahu a’lam. Moga kita tidak dicap sebagai orang yang pelit. Setiap nama nabi kita disebut, marilah bershalawat untuk beliau: Allahumma shalli wa sallim ‘ala Muhammad, atau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.
12- Bershalawat ketika melewati kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Sahnun, ia berkata, telah menceritakan pada kami ‘Abdurrahman bin Al-Qasim, dari Malik, dari ‘Abdullah bin Dinar, ia berkata, “Aku pernah melihat ‘Abdullah bin ‘Umar berdiri di sisi kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia bershalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mendoakan Abu Bakr dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Riwayat ini disebutkan oleh Malik dalam Al-Muwatha’, 1: 166.
Malik juga berkata, dari ‘Abdullah bin Dinar, dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ketika beliau ingin bersafar atau tiba dari safar, beliau mendatangi kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau mengucapkan shalawat untuk Nabi dan berdoa lalu berpaling.
Dari Ibnu Numair, dari Muhammad bin Basyir, dari ‘Abdullah, dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ketika beliau tiba dari safar, beliau terlebih dahulu mendatangi kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu bershalawat untuknya, tanpa mengusap-ngusap kubur beliau. Kemudian beliau mengucapkan salam pula pada Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu, lalu mengucapkan salam pada ayahnya, Umar bin Al-Khattab sambil berkata, “Assalamu ‘alaik yaa Abah, salam untukmu wahai ayahku.” (Jala’ Al-Afham, hlm. 352-353)
Wallahu waliyyut taufiq.
13- Bershalawat ketika keluar ke pasar atau menghadiri undangan atau semacamnya.
Ibnu Abi Hatim berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id bin Yahya bin Sa’id Al-Qatthan, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyr, telah menceritakan kepada kami Mas’ar, telah menceritakan kepada kami ‘Amir bin Syaqiq, dari Abu Wail, ia berkata, “Aku melihat ‘Abdullah duduk-duduk di perjamuan (pesta), menghadiri jenazah, atau selainnya, ia tidaklah berdiri hingga ia memuji dan menyanjung Allah, juga bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia berdoa dengan beberapa doa. Ketika ia pergi ke pasar, ia menghampiri suatu tempat di sana, lantas ia pun duduk, memuji Allah, bershalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta berdoa dengan beberapa doa.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, Ibnu Abi Syaibah 6: 103, dan An-Namiri. As-Sakhawi berkata dalam Al-Qaul Al-Badi’ hlm. 218 bahwa sanad riwayat ini jayyid. Lihat Jala’ Al-Afham, hlm. 353)
14- Bershalawat ketika bangun dari tidur malam.
An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kabir, ia berkata, telah menceritakan padaku ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali, telah menceritakan pada kami Khalaf yaitu Ibnu Tamim, telah menceritakan pada kami Abul Ahwash, telah menceritakan pada kami Syarik, dari Abu Ishaq, dari Abu ‘Ubaidah, dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, “Allah itu menertawai dua orang. Orang pertama adalah orang yang bertemu musuh. Ia terus berada di atas kudanya kala teman-temannya terpukul mundur. Ia tetap terus kokoh. Jika ia terbunuh, ia mati syahid. Jika ia tetap hidup, itulah yang Allah menertawainya.
Orang kedua adalah orang yang bangun di tengah malam, tidak ada seorang pun yang mengetahuinya. Ia menyempurnakan wudhu, kemudian ia memuji dan menyanjung Allah serta mengagungkan-Nya, lalu bershalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian ia membuka Al-Qur’an. Itulah yang Allah menertawainya. Allah berfirman, “Lihatlah pada hamba-Ku yang berdiri shalat malam tanpa dilihat oleh seorang pun selain Aku.”
Dikeluarkan pula oleh ‘Abdur Razaq (11/ no. 8798), telah menceritakan pada kami Ma’mar, dari Abu Ishaq, dari Abu ‘Ubaidah, dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia berkata seperti kalimat di atas. (Lihat Jala’ Al-Afham, hlm. 354)
Semoga manfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.
15- Setelah mengkhatamkan Al-Qur’an.
Karena setelah mengkhatamkan Al-Qur’an adalah kesempatan untuk berdoa.
Ada riwayat dari Imam Ahmad yang menunjukkan anjuran do’a setelah khatam Al-Qur’an. Ada riwayat dari Abul Harits, “Ketika Anas mengkhatamkan Al-Qur’an, ia mengumpulkan keluarga dan anaknya.”
Diriwayatkan dari Ibnu Abi Daud dalam Fadhail Al-Qur’an, dari Al-Hakam, ia berkata bahwa Mujahid dan ‘Abdah bin Abi Lubabah mengutus kepadanya, bahwa mereka ingin mengkhatamkan Al-Qur’an. Lalu disebutkan, “Sesungguhnya doa itu mudah diijabahi ketika seseorang mengkhatamkan Al-Qur’an. Lantas ia berdo’a dengan beberapa do’a.”
Diriwayatkan pula dari Ibnu Mas’ud, ia berkata, “Siapa yang mengkhatamkan Al-Qur’an, maka ia memiliki doa yang mustajab (terkabulkan).”
Mujahid juga berkata, “Rahmat itu turun ketika seseorang mengkhatamkan Al-Qur’an.”
Ibnul Qayyim berakta, “Jika tempat terbaik dan waktu terijabahnya do’a adalah ketika khatam Al-Qur’an, maka tempat terbaik ketika bershalawat ketika itu pula.” (Jala’ Al-Alfham, hlm. 354-356)
16- Pada hari jumat
Di antara waktu terbaik lagi untuk bershalawat adalah pada hari Jum’at.
Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَكْثِرُوا عَلَىَّ مِنَ الصَّلاَةِ فِى كُلِّ يَوْمِ جُمُعَةٍ فَإِنَّ صَلاَةَ أُمَّتِى تُعْرَضُ عَلَىَّ فِى كُلِّ يَوْمِ جُمُعَةٍ ، فَمَنْ كَانَ أَكْثَرَهُمْ عَلَىَّ صَلاَةً كَانَ أَقْرَبَهُمْ مِنِّى مَنْزِلَةً
“Perbanyaklah shalawat kepadaku pada setiap Jum’at. Karena shalawat umatku akan diperlihatkan padaku pada setiap Jum’at. Barangsiapa yang banyak bershalawat kepadaku, dialah yang paling dekat denganku pada hari kiamat nanti.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra. Dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib, Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa hadits ini hasan lighairihi ‘hasan dilihat dari jalur lain’)
17- Ketika berdiri dari majelis
Dari ‘Abdurrahman bin Abu Hatim, ia berkata bahwa telah menceritakan padanya Abu Sa’id bin Yahya bin Sa’id Al-Qatthan, telah menceritakan padanya ‘Utsman bin ‘Umar, ia berkata bahwa ia mendengar Sufyan bin Sa’id tak terhitung jumlahnya ketika berdiri dari majelis, ia mengucapkan,
صَلَّى اللهُ وَمَلاَئِكَتُهُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَنْبِيَاءَ اللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ
“Semoga Allah memberi shalawat (rahmat) pada Muhammad, begitu pula malaikat-Nya pada beliau, juga pada nabi Allah dan malaikat-Nya.” (Disebutkan oleh As-Sakhawi dalam Al-Qaul Al-Badi’, hlm. 384. Ia berkata bahwa riwayat tersebut dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim dan An-Numairi)
Subscribe to:
Comments (Atom)