*Tauhid Cabang Keimanan Paling Tinggi*
Tauhid merupakan cabang keimanan yang paling tinggi. Adapun cabang-cabang keimanan yang lainnya tidak akan diterima kecuali setelah sahnya cabang keimanan yang paling tinggi tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ
“Iman itu lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling utama adalah perkataan ‘laa ilaaha illallah’ [tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah]. Sedangkan cabang yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu adalah salah satu cabang dari iman.” (HR. Muslim no. 162)
An-Nawawi rahimahullah berkata ketika menjelaskan hadits tersebut,
وَقَدْ نَبَّهَ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أَنَّ أَفْضَلهَا التَّوْحِيد الْمُتَعَيِّن عَلَى كُلّ أَحَد ، وَاَلَّذِي لَا يَصِحّ شَيْء مِنْ الشُّعَب إِلَّا بَعْد صِحَّتِهِ .
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan bahwa cabang keimanan yang paling utama adalah tauhid, yang merupakan kewajiban bagi setiap orang. Sedangkan cabang keimanan yang lain tidak akan sah kecuali setelah sahnya cabang tauhid tersebut.” (Syarh Shahih Muslim, 1: 112)
Ibadah Tidak Diterima Tanpa Tauhid
Syaikh Muhammad At-Tamimy rahimahullah membuat suatu ilustrasi yang sangat bagus mengenai syarat ibadah yang pertama, yaitu tauhid. Sebagaimana yang dikatakan oleh beliau di dalam kitabnya yang berjudul Al–Qawa’idul Arba’. Beliau rahimahullah berkata,
فاعلم: أنّ العبادة لا تسمّى عبادة إلا مع التوحيد، كما أنّ الصلاة لا تسمّى صلاة إلى مع الطهارة، فإذا دخل الشرك في العبادة فسدتْ كالحدَث إذا دخل في الطهارة
”Ketahuilah, sesungguhnya ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah kecuali dengan tauhid (yaitu memurnikan ibadah kepada Allah semata, pen.). Sebagaimana shalat tidaklah disebut sebagai shalat kecuali dalam keadaan bersuci (thaharah). Apabila ibadah tadi dimasuki syirik, maka ibadah itu batal. Sebagaimana hadats yang masuk dalam thaharah.”
Dari ilustrasi yang beliau sampaikan tersebut, jelaslah bahwa ibadah kita tidak akan diterima kecuali dengan tauhid. Hal itu seperti ibadah shalat dengan bersuci (thaharah). Karena tauhid adalah syarat diterimanya ibadah, sebagaimana bersuci adalah syarat sah ibadah shalat. Sebagaimana shalat tidak sah jika tidak dalam kondisi suci, demikian pula ibadah kita tidak akan sah kecuali disertai dengan tauhid, meskipun di dahinya terdapat tanda bekas sujud, berpuasa di siang hari, atau rajin shalat malam. Karena semua ibadah tersebut syaratnya adalah ikhlas dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Apabila terdapat satu saja dari ibadah tersebut yang dicampuri dengan kesyirikan, maka seluruh ibadah yang pernah dia lakukan akan batal dan hilanglah pahalanya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ ؛ بَلِ اللَّهَ فَاعْبُدْ وَكُنْ مِنَ الشَّاكِرِينَ
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (para Nabi) yang sebelummu, ‘Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. Karena itu, maka hendaklah Allah saja yang kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur’.” (QS. Az-Zumar [39]: 65-66)
Allah Ta’ala berfirman tentang orang-orang kafir,
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
“Dan kami hadapkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS. Al-Furqan [25]: 23)
Oleh karena itu, betapa pun agungnya jenis ibadah yang kita lakukan dan sebanyak apa pun kita mengerjakan ibadah tersebut, namun apabila tidak disertai dengan tauhid, maka ibadah tersebut tidak akan diterima. Sebagaimana seseorang yang tidak dalam keadaan berwudhu, lalu dia melakukan shalat dengan paling sempurna, dia memperlama berdiri, ruku’, dan sujudnya, serta memperbagus shalatnya, maka seluruh kaum muslimin sepakat bahwa shalatnya tidak sah. Bahkan dia dihukumi telah meninggalkan shalat karena agungnya syarat sah shalat ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
”Allah tidak akan menerima shalat seseorang di antara kalian apabila dia berhadats sampai dia berwudhu.” (HR. Bukhari no. 6954)
Diriwayatkan juga oleh Muslim (no. 559) dengan lafadz,
لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Shalat salah seorang di antara kalian tidak diterima apabila berhadats sampai dia berwudhu.”
Ilustrasi ini hanyalah untuk memberikan gambaran secara mudah tentang kedudukan tauhid. Karena hakikat yang sebenarnya, syarat ikhlas dan tauhid agar ibadah diterima tentu saja lebih agung dan jauh berbeda jika dibandingkan dengan syarat thaharah agar shalat diterima. Karena apabila seseorang menunaikan shalat dengan sengaja dalam keadaan hadats, maka terdapat perselisihan pendapat di antara ulama tentang kafirnya orang ini. Akan tetapi, apabila seseorang beribadah kepada Allah Ta’ala dengan berbuat syirik kepada-Nya, maka para ulama tidak pernah berselisih pendapat bahwa ibadahnya tidak akan diterima. Para ulama juga bersepakat bahwa orang tersebut telah kafir, karena dia telah terjerumus dalam syirik akbar, sehingga amal ibadahnya tidak ada satu pun yang diterima. (Lihat Syarh Al-Qawa’idul Arba’ oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh, hal. 4-5)
[Selesai]
***
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.or.id
Group Bersih Muslim
📱WA Akhwat: https://bit.ly/2Dj1thGi
Rumah Tahfidz, Belajar Tahsin dan Tajwid Al Qur'an, Kajian Ilmu syar'i Hub: Diana Gasim (Ummu Achmad ) 085312837788)
Friday, September 27, 2019
*U Z L A H*
Oleh : Fariq bin Gasim Anuz
🖍 🖍 🖍 🖍 🖍
Ulama berbeda pendapat tentang uzlah (mengisolir diri dari manusia) dan bergaul dengan manusia, manakah yang lebih utama di antara keduanya?
Mereka yang menganggap uzlah itu lebih utama, berhujjah dengan hadits Abi Said, ia berkata, "Ada orang yang bertanya, 'Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling baik itu?' Beliau menjawab, 'Seorang yang berjihad dengan diri dan hartanya, dan seorang yang tinggal di bukit terpencil beribadah kepada Rabbnya dan meninggalkan manusia karena kejahatannya." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits Uqbah bin Amir radiallahu anhu, ia berkata, "Aku berkata, 'Wahai Rasulullah, apakah keselamatan itu?' Beliau menjawab, 'Kendalikanlah lidahmu, dan tetaplah tinggal di rumahmu, serta menangislah atas kesalahanmu." (HR. At-Tirmidzi, Ahmad, dan selainnya. Dishahihkan oleh Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini dalam Tahqiq kitab As-Shamth wa adabul lisan Oleh Imam Ibnu Abi Ad-Dunya)
Mereka yang beranggapan bahwa bergaul dengan manusia itu lebih utama berdalil dengan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, "Orang mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar menghadapi gangguan mereka itu lebih baik dari pada orang mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar menghadapi gangguan mereka." (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi)
Apabila engkau sudah tahu manfaat-manfaat dan kerugian-kerugian uzlah, maka tidaklah bisa dihukumi secara mutlak bahwa uzlah itu lebih utama atau bergaul dengan manusia itu yang lebih utama, tetapi haruslah dilihat person dan kondisinya.
Harus dilihat pula orang yang digaulinya serta kondisi orang tersebut. Juga harus dilihat faktor apa yang mendorong untuk berhubungan dengannya.
Apa sisi positif dan negatif akibat berhubungan dengan orang lain, lalu bandingkan antara keduanya, baru setelah itu menjadi jelas mana yang lebih utama antara keduanya.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata dalam Syarah Riyadus Shalilih juz 6 halaman 198, "Ketahuilah bahwa yang paling utama adalah seorang mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar atas gangguan mereka.
Orang yang demikian itu lebih utama dari seorang mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar atas gangguan mereka.
Tetapi terkadang terjadi perkara-perkara yang menjadikan uzlah itu lebih baik dari bergaul dengan manusia. Yang demikian apabila manusia takut fitnah mengenai dirinya, seperti tinggal di negeri yang diterapkan padanya peraturan-peraturan yang mengharuskan ia menyimpang dari diennya, atau harus mendakwahkan bid'ah, atau ia melihat bahwa kemaksiatan telah merajalela, ia takut terimbas dan terjerumus ke lembah dosa dan nista, maka dengan kondisi yang ada itu uzlah lah yang lebih baik bagi dia....
Inilah perinciannya, bahwa uzlah itu lebih baik, jika dengan bergaul dapat menimbulkan keburukan dan kerusakan bagi agamanya.
Apabila tidak menimbulkan keburukan dan fitnah maka kembali ke hukum asal bahwa bergaul dengan manusia itu lebih utama, karena ia dapat melakukan amar ma'ruf nahi mungkar, berdakwah menyampaikan kebenaran, menjelaskan tuntunan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka hal ini lebih baik bagi dia."
[Disarikan dari buku Mukhtashar Minhajul Qashidin, hal 118-126, karya Al-Imam Ibnu Qudamah, dengan tambahan dari beberapa buku lainnya]
Oleh : Fariq bin Gasim Anuz
🖍 🖍 🖍 🖍 🖍
Ulama berbeda pendapat tentang uzlah (mengisolir diri dari manusia) dan bergaul dengan manusia, manakah yang lebih utama di antara keduanya?
Mereka yang menganggap uzlah itu lebih utama, berhujjah dengan hadits Abi Said, ia berkata, "Ada orang yang bertanya, 'Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling baik itu?' Beliau menjawab, 'Seorang yang berjihad dengan diri dan hartanya, dan seorang yang tinggal di bukit terpencil beribadah kepada Rabbnya dan meninggalkan manusia karena kejahatannya." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits Uqbah bin Amir radiallahu anhu, ia berkata, "Aku berkata, 'Wahai Rasulullah, apakah keselamatan itu?' Beliau menjawab, 'Kendalikanlah lidahmu, dan tetaplah tinggal di rumahmu, serta menangislah atas kesalahanmu." (HR. At-Tirmidzi, Ahmad, dan selainnya. Dishahihkan oleh Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini dalam Tahqiq kitab As-Shamth wa adabul lisan Oleh Imam Ibnu Abi Ad-Dunya)
Mereka yang beranggapan bahwa bergaul dengan manusia itu lebih utama berdalil dengan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, "Orang mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar menghadapi gangguan mereka itu lebih baik dari pada orang mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar menghadapi gangguan mereka." (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi)
Apabila engkau sudah tahu manfaat-manfaat dan kerugian-kerugian uzlah, maka tidaklah bisa dihukumi secara mutlak bahwa uzlah itu lebih utama atau bergaul dengan manusia itu yang lebih utama, tetapi haruslah dilihat person dan kondisinya.
Harus dilihat pula orang yang digaulinya serta kondisi orang tersebut. Juga harus dilihat faktor apa yang mendorong untuk berhubungan dengannya.
Apa sisi positif dan negatif akibat berhubungan dengan orang lain, lalu bandingkan antara keduanya, baru setelah itu menjadi jelas mana yang lebih utama antara keduanya.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata dalam Syarah Riyadus Shalilih juz 6 halaman 198, "Ketahuilah bahwa yang paling utama adalah seorang mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar atas gangguan mereka.
Orang yang demikian itu lebih utama dari seorang mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar atas gangguan mereka.
Tetapi terkadang terjadi perkara-perkara yang menjadikan uzlah itu lebih baik dari bergaul dengan manusia. Yang demikian apabila manusia takut fitnah mengenai dirinya, seperti tinggal di negeri yang diterapkan padanya peraturan-peraturan yang mengharuskan ia menyimpang dari diennya, atau harus mendakwahkan bid'ah, atau ia melihat bahwa kemaksiatan telah merajalela, ia takut terimbas dan terjerumus ke lembah dosa dan nista, maka dengan kondisi yang ada itu uzlah lah yang lebih baik bagi dia....
Inilah perinciannya, bahwa uzlah itu lebih baik, jika dengan bergaul dapat menimbulkan keburukan dan kerusakan bagi agamanya.
Apabila tidak menimbulkan keburukan dan fitnah maka kembali ke hukum asal bahwa bergaul dengan manusia itu lebih utama, karena ia dapat melakukan amar ma'ruf nahi mungkar, berdakwah menyampaikan kebenaran, menjelaskan tuntunan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka hal ini lebih baik bagi dia."
[Disarikan dari buku Mukhtashar Minhajul Qashidin, hal 118-126, karya Al-Imam Ibnu Qudamah, dengan tambahan dari beberapa buku lainnya]
10 perkara mensucikan jiwa
https://youtu.be/peg0uVOXcwI
Masya Allah.... Tauhid adalah perkara yg sangat penting utk mensucikan jiwa
Dijelaskan ada 10 perkara mensucikan jiwa:
1. Bertauhid
2. Berdoa kpd Allah
3. Berpegang teguh kpd Al-Quran
4. Menjadikan nabi dan para rasul terutama nama Muhammad sebagai teladan
5. Membersihkan hati dari penyakit sebelum mensucikan /membersihkan hati dari keindahan
6. Seseorang berusaha utk mengingat kematian
7. Memilih teman yg baik dan menghindari teman yg buruk
8.menutup segala sarana2 yg bisa menjerumuskan kita ke dalam maksiat
9. Jauhkan ujub dan bangga diri
Jika bukan karena Allah maka kita tidaklah akan mendapatkan hidayah, dan jika bukan karena Allah kami tidak akan sholat dan bersedekah
Jangan merendahkan orang lain dan hati2 kepada menyakiti ujub karena akan menghapuskan amalan seperti banjir besar
10. Mengerti dan mengenali sifat jiwa
Dalam al-quran Allah sebutkan ada 3 sifat jiwa:
a. Nafsu Muthmainnah (jiwa yg tenang yg tidak dapat menerima maksiat apapun)
Yg paling Allah rido
b. Nafsu lawwamah
Jiwa yg mulia.. Ketika kita berbuat maksiat maka jiwa ini mencelanya dan dia kembali beristighfar
c. Nafsu amarrotu bisuu..
Jiwa yg suka rindu akan berbuat maksiat
Dengan mengenali jiwa ini maka akan lebih mudah utk mensucikan jiwanya
Semoga bermanfaat utk mensucikan jiwa2 kita..
Semoga Allah mudahkan kita semua utk menghadiri kajian kitab Tauhid dan belajar bahasa Arab.. Aamiin
Semoga Allah mudahkan juga utk terus menimba ilmu syar'i dan mengamalkannya karena mengharap ridho Allah..aamiin
Syaithon gak tinggal diam yak.. Pastinya lebih banyak godaan nya ketika mau membersihkan jiwa
Setelah Allah mudahkan utk menghindari syirik, bid'ah.. Lalu Allah uji lagi dg dosa2 besar dan kecil yg terkadang tidak kita sadari....
Astaghfirullah..
Subscribe to:
Comments (Atom)