*Anak dan Sifat Pengecut*
Oleh : Ustadz Abdullah Zaen, Lc., MA حفظه الله
Sifat pengecut adalah salah satu sifat negatif yang harus dihilangkan dari diri anak sejak dini. Caranya adalah dengan menumbuhkan rasa percaya diri, berani mengambil resiko (dalam sesuatu yang positif) dan berani bertanggung jawab. Tidak boleh bagi orang tua untuk selalu menganggap remeh anaknya. Sehingga berakibat si anak senantiasa merasa kecut, kerdil dan cenderung lari dari tanggung jawab.
*Serahkanlah tugas kepadanya sesuai dengan kemampuan yang ia miliki.* Bukankah di dalam Islam, anak-anak dibolehkan untuk mengumandangkan adzan, bahkan juga sah untuk menjadi imam shalat? Beri dia kesempatan untuk memikul tanggung jawab agar terbiasa.
Banyak orang tua yang meremehkan anaknya, padahal si anak memiliki kemampuan. Kalau begitu keadaannya, kapan ia akan mampu dan berani mencoba?
‘Amr bin Salamah radhiyallahu ‘anhu menceritakan pengalamannya, “Dahulu ketika masih kecil, aku sudah memiliki hafalan yang kuat. Saat itu aku banyak menghafal al-Qur’an. Ketika ayahku dan beberapa orang kaumku pergi menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau mengajari mereka shalat. Di antara yang beliau sampaikan,
_“Hendaklah yang mengimami kalian adalah orang yang paling banyak hafalan al-Qur’annya”._
_Saat itu akulah orang yang paling banyak hafalan al-Qur’annya dibandingkan mereka. Maka akupun ditugasi untuk mengimami mereka. Ketika menjadi imam, aku hanya memakai kain yang pendek. Sehingga bila aku sujud terlihatlah sebagian auratku. Salah satu wanita Anshar berkata, “Mengapa kalian tidak menutupi aurat imam kalian dari pandangan kami?”. Maka merekapun membelikan untukku baju gamis. Sungguh tidak ada kegembiraan yang melebihi kegembiraanku saat memperoleh gamis tersebut”. HR. Bukhari dan lainnya._
Itulah didikan yang ditanamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada anak-anak muda. Beliau memberi mereka tanggung jawab. Bahkan terkadang beliau memberikan tanggung jawab yang besar kepada mereka.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menunjuk Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma yang kala itu masih sangat muda untuk memimpin sebuah pasukan besar. Padahal di antara anggota pasukan tersebut ada Abu Bakar, Umar dan beberapa sahabat senior lainnya. Tahukah Anda siapa lawan yang akan dihadapi pasukan tersebut? Mereka adalah pasukan Romawi! Ya, musuh yang sangat besar jumlahnya dan kuat. Sebagian orang sempat meragukan kepemimpinan Usamah. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tetap pada pendirian beliau. Padahal saat itu usia Usamah baru 18 tahun ! { Kisah selengkapnya bisa dibaca dalam Sirah Ibn Hisyam (IV/328) dan Fath al-Bâriy (VIII/152). }
Semua itu dilakukan, antara lain dalam rangka menumbuhkan keberanian dan kedewasaan. Maka latihlah putra-putri Anda untuk mengemban sebuah tanggung jawab menurut kapasitas dan kemampuan yang dimilikinya. Tidak dibebani melebihi kemampuannya. Juga tidak diremehkan kemampuan yang dimilikinya.
Tentu ada saatnya pula orang tua turun tangan membantu si anak. Bila ternyata dia terlihat tidak mampu atau akan putus asa. Sambil terus dibimbing agar bisa menyelesaikan tanggung jawabnya dengan baik.
*Selamat mempraktekkan!*
Rumah Tahfidz, Belajar Tahsin dan Tajwid Al Qur'an, Kajian Ilmu syar'i Hub: Diana Gasim (Ummu Achmad ) 085312837788)
Monday, July 1, 2019
```AKHLAK DAN NASEHAT KELUARGA DAN WANITA```
💐Muslimah, Tetap Produktif di Rumah !
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, dan sahabatnya. Wa ba’du.
Allah Ta’ala berfirman
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan hendaknya kalian tetap di rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah dulu.” (QS. Al-Ahzab: 33)
🏡 Rumah adalah kantor terbaik bagi muslimah, disanalah ia membangun karir dan merajut cita-cita untuk kebaikan kehidupan dunia dan akhiratnya kelak.
Perintah agar muslimah menetap dirumahnya mengandung banyak hikmah, diantaranya agar terjaga kehormatan, kesucian diri dan kemuliaannya. Bahkan, tempat ibadah terbaik bagi muslimah adalah di rumahnya.
Dari Ummu Humaid radhiallahuanha, beliau berkata: “Wahai Rasulullah, saya sangat ingin sekali shalat bersama Anda.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab :
قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلاةَ مَعِي وَصَلاتُكِ فِي بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي حُجْرَتِكِ وَصَلاتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاتِكِ فِي دَارِكِ وَصَلاتُكِ فِي دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ وَصَلاتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي مَسْجِدِي قَالَ فَأَمَرَتْ فَبُنِيَ لَهَا مَسْجِدٌ فِي أَقْصَى شَيْءٍ مِنْ بَيْتِهَا وَأَظْلَمِهِ فَكَانَتْ تُصَلِّي فِيهِ حَتَّى لَقِيَتْ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ
“Aku sudah tahu bahwa engkau sangat ingin shalat (berjamaah) bersamaku, namun shalatmu di dalam kamar khususmu (bait) lebih utama daripada shalatmu di ruang tengah rumahmu (hujrah),
dan shalatmu di ruang tengah rumahmu lebih baik daripada shalatmu di ruang depan rumahmu,
dan shalatmu di ruang depan rumahmu lebih baik daripada shalatmu di masjid kaummu,
dan shalatmu di masjid kaummu, lebih baik daripada shalatmu di masjidku ini (Masjid Nabawi).
Ummu Humaid lalu meminta untuk dibangunkan tempat shalat di pojok kamarnya yang paling gelap. Dan ia melakukan shalat di sana hingga berjumpa dengan Allah Azza wa Jalla” (HR. Ahmad no. 27090 dan Ibnu Hibban no. 2217, Ibnu Khuzaimah no. 1689, dishahihkan Al Albani rahimahullah)
Sayangnya, muncul anggapan bahwa membangun karir dan produktifitas hanya bisa dilakukan di luar rumah hingga kadang melanggar batasan syariat (ikhtilath, tabarruj).
Tentu anggapan ini keliru. Muslimah tetap bisa produktif walaupun menetap di dalam rumah. Bukan karena ia hanya dirumah, lantas tertutuplah jalan-jalan kebaikan untuknya.
Abu Darda radhiyallahu ‘anhu pernah menulis surat kepada Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu agar kembali ke tanah yang disucikan (Baitul Maqdis). Salman al-Farisi mengatakan :
إِنَّ الْاَرْضَ لَا تُقَدِّسُ أَحَدًا وَإِنَّمَا يُقَدِّسُ الْإِنْسَانَ عَمَلُهُ
“Tempat tidaklah mensucikan seseorang. Namun yang mensucikan seseorang adalah amalnya.” (Al-Muwatta’ No. 2232, bab Jaami’ al-Qadha wa Karahiyyatih)
Maksudnya, bahwa semata-mata tinggal dan menetap di tempat tertentu tidaklah menghapuskan dosa atau menaikkan derajat seseorang, namun yang menaikkan derajat seseorang di sisi Allah adalah amal shalih yang ia lakukan dimanapun ia berada.
Berlanjut insya alloh
Wallaahu a’lam
Penulis: Titi Komalasari
Murojaah: Ustadz Ratno, Lc
Artikel Muslimah.or.id
🍃Semoga bermanfaat untuk kita semua.
📚💎📚💎📚💎📚💎📚💎📚
💐Muslimah, Tetap Produktif di Rumah !
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, dan sahabatnya. Wa ba’du.
Allah Ta’ala berfirman
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan hendaknya kalian tetap di rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah dulu.” (QS. Al-Ahzab: 33)
🏡 Rumah adalah kantor terbaik bagi muslimah, disanalah ia membangun karir dan merajut cita-cita untuk kebaikan kehidupan dunia dan akhiratnya kelak.
Perintah agar muslimah menetap dirumahnya mengandung banyak hikmah, diantaranya agar terjaga kehormatan, kesucian diri dan kemuliaannya. Bahkan, tempat ibadah terbaik bagi muslimah adalah di rumahnya.
Dari Ummu Humaid radhiallahuanha, beliau berkata: “Wahai Rasulullah, saya sangat ingin sekali shalat bersama Anda.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab :
قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلاةَ مَعِي وَصَلاتُكِ فِي بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي حُجْرَتِكِ وَصَلاتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاتِكِ فِي دَارِكِ وَصَلاتُكِ فِي دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ وَصَلاتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي مَسْجِدِي قَالَ فَأَمَرَتْ فَبُنِيَ لَهَا مَسْجِدٌ فِي أَقْصَى شَيْءٍ مِنْ بَيْتِهَا وَأَظْلَمِهِ فَكَانَتْ تُصَلِّي فِيهِ حَتَّى لَقِيَتْ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ
“Aku sudah tahu bahwa engkau sangat ingin shalat (berjamaah) bersamaku, namun shalatmu di dalam kamar khususmu (bait) lebih utama daripada shalatmu di ruang tengah rumahmu (hujrah),
dan shalatmu di ruang tengah rumahmu lebih baik daripada shalatmu di ruang depan rumahmu,
dan shalatmu di ruang depan rumahmu lebih baik daripada shalatmu di masjid kaummu,
dan shalatmu di masjid kaummu, lebih baik daripada shalatmu di masjidku ini (Masjid Nabawi).
Ummu Humaid lalu meminta untuk dibangunkan tempat shalat di pojok kamarnya yang paling gelap. Dan ia melakukan shalat di sana hingga berjumpa dengan Allah Azza wa Jalla” (HR. Ahmad no. 27090 dan Ibnu Hibban no. 2217, Ibnu Khuzaimah no. 1689, dishahihkan Al Albani rahimahullah)
Sayangnya, muncul anggapan bahwa membangun karir dan produktifitas hanya bisa dilakukan di luar rumah hingga kadang melanggar batasan syariat (ikhtilath, tabarruj).
Tentu anggapan ini keliru. Muslimah tetap bisa produktif walaupun menetap di dalam rumah. Bukan karena ia hanya dirumah, lantas tertutuplah jalan-jalan kebaikan untuknya.
Abu Darda radhiyallahu ‘anhu pernah menulis surat kepada Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu agar kembali ke tanah yang disucikan (Baitul Maqdis). Salman al-Farisi mengatakan :
إِنَّ الْاَرْضَ لَا تُقَدِّسُ أَحَدًا وَإِنَّمَا يُقَدِّسُ الْإِنْسَانَ عَمَلُهُ
“Tempat tidaklah mensucikan seseorang. Namun yang mensucikan seseorang adalah amalnya.” (Al-Muwatta’ No. 2232, bab Jaami’ al-Qadha wa Karahiyyatih)
Maksudnya, bahwa semata-mata tinggal dan menetap di tempat tertentu tidaklah menghapuskan dosa atau menaikkan derajat seseorang, namun yang menaikkan derajat seseorang di sisi Allah adalah amal shalih yang ia lakukan dimanapun ia berada.
Berlanjut insya alloh
Wallaahu a’lam
Penulis: Titi Komalasari
Murojaah: Ustadz Ratno, Lc
Artikel Muslimah.or.id
🍃Semoga bermanfaat untuk kita semua.
📚💎📚💎📚💎📚💎📚💎📚
🏷🗒 *Cara Menasehati keluarga*
🖊Ustadz Abu Salman Al-Kwasayni, MA حفظه الله.
Nasihat kepada keluarga bukan hanya sekedar mengucapkan tanpa mendisiplinkan yang dinasehati.
🍃 Wahai para suami dan ayah, ketika dirimu akan memberikan nasihat kepada istri dan anakmu, maka perhatilah hal-hal berikut ini.
1⃣ Panggilah istri atau anakmu untuk di hadapanmu sebelum dirimu mulai menasehatinya.
•Janganlah engkau mulai menasehati mereka, ketika keadaan mereka masih berdiri, tiduran atau jalan, sedang minum/makan, memegang sesuatu, menyaksikan sesuatu atau mendengar sesuatu, karena nasehat tak akan mereka gubris sedikitpun, walau lisan mereka bilang ya aku dengar nasehatnya, namun ini hanya pembenaran saja atau lipstik biar nampak baik.
2⃣ Suruh memperhatikan tutur katamu ketika dirimu menasehati mereka.
•Jangan ajari istri dan anakmu durhaka...!, karena jika seorang suami atau ayah menasehati keluarganya, namun yang dinasehati tak memperhatikan dengan serius yang menasehati dengan tidak tengak-tengok kemana-mana.
3⃣Menasehati keluarga harus ada 'amar ma'ruf dan nahi munkar.
•Yaitu ingkari dulu kesalahannya atau disiplinkan kelalaiannya, barulah mulailah memberikan nasihat.
•Jangan pernah mimpi istri dan anak-anakmu akan paham serta akan menjalani nasihatmu tanpa dirimu nahi munkar kesalahannya terlebih dahulu. *Ibarat seorang yang akan menambal bannya namun tak mencabut paku atau duri yang tertancap pada bannya, maka pastilah akan terus bocor bannya walau nampaknya ditambal berulang"*, inilah gambaran seorang suami atau ayah yang memberikan nasihat kepada keluarganya tanpa nahi munkar kemudian mendisiplinkan terlebih dahulu.
Begitu juga seorang ibu ketika ia menasehati anak-anaknya harus mengikuti adab-adab nasehat apa yang telah dicontohkan oleh suaminya.
Ingatlah wahai para suami dan ayah, bahwa suksesmu bukan banyak hartumu, namun suksesmu adalah jika engkau menjaga keluarga mu dari api neraka.
Allah Ta'ala berfiirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allâh terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
[At-Tahrim/66:6]
Begity juga engkau wahai para ibu, dirimu disebut sukses jika dirimu mampu menjaga anak-anakmu dari api neraka.
📝 *Sifat yang harus dimiliki oleh pemimpin keluarga tergantung kondisi dan situasi yang dinasehati:*
1. Hukum asal lembut.
2. Bisa tegas.
3. Bisa bercanda.
4. Bisa romantis kepada pasangannya.
📚💎📚💎📚💎📚💎📚💎📚
🖊Ustadz Abu Salman Al-Kwasayni, MA حفظه الله.
Nasihat kepada keluarga bukan hanya sekedar mengucapkan tanpa mendisiplinkan yang dinasehati.
🍃 Wahai para suami dan ayah, ketika dirimu akan memberikan nasihat kepada istri dan anakmu, maka perhatilah hal-hal berikut ini.
1⃣ Panggilah istri atau anakmu untuk di hadapanmu sebelum dirimu mulai menasehatinya.
•Janganlah engkau mulai menasehati mereka, ketika keadaan mereka masih berdiri, tiduran atau jalan, sedang minum/makan, memegang sesuatu, menyaksikan sesuatu atau mendengar sesuatu, karena nasehat tak akan mereka gubris sedikitpun, walau lisan mereka bilang ya aku dengar nasehatnya, namun ini hanya pembenaran saja atau lipstik biar nampak baik.
2⃣ Suruh memperhatikan tutur katamu ketika dirimu menasehati mereka.
•Jangan ajari istri dan anakmu durhaka...!, karena jika seorang suami atau ayah menasehati keluarganya, namun yang dinasehati tak memperhatikan dengan serius yang menasehati dengan tidak tengak-tengok kemana-mana.
3⃣Menasehati keluarga harus ada 'amar ma'ruf dan nahi munkar.
•Yaitu ingkari dulu kesalahannya atau disiplinkan kelalaiannya, barulah mulailah memberikan nasihat.
•Jangan pernah mimpi istri dan anak-anakmu akan paham serta akan menjalani nasihatmu tanpa dirimu nahi munkar kesalahannya terlebih dahulu. *Ibarat seorang yang akan menambal bannya namun tak mencabut paku atau duri yang tertancap pada bannya, maka pastilah akan terus bocor bannya walau nampaknya ditambal berulang"*, inilah gambaran seorang suami atau ayah yang memberikan nasihat kepada keluarganya tanpa nahi munkar kemudian mendisiplinkan terlebih dahulu.
Begitu juga seorang ibu ketika ia menasehati anak-anaknya harus mengikuti adab-adab nasehat apa yang telah dicontohkan oleh suaminya.
Ingatlah wahai para suami dan ayah, bahwa suksesmu bukan banyak hartumu, namun suksesmu adalah jika engkau menjaga keluarga mu dari api neraka.
Allah Ta'ala berfiirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allâh terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
[At-Tahrim/66:6]
Begity juga engkau wahai para ibu, dirimu disebut sukses jika dirimu mampu menjaga anak-anakmu dari api neraka.
📝 *Sifat yang harus dimiliki oleh pemimpin keluarga tergantung kondisi dan situasi yang dinasehati:*
1. Hukum asal lembut.
2. Bisa tegas.
3. Bisa bercanda.
4. Bisa romantis kepada pasangannya.
📚💎📚💎📚💎📚💎📚💎📚
*Penuntut Ilmu Menahan Komentar yang Memperkeruh Suasana*
Di era sosmed ini, semua orang memiliki panggung untuk bicara. Siapa saja dan kapan saja seseorang bisa berkomentar tentang apa saja. Hendak kita seorang penuntut ilmu agama menjaga adab agar kita lebih banyak diam dan tidak berkomentar terlalu banyak. Terlebih apabila terjadi fitnah atau pembahasan yang berat dan butuh ilmu untuk memberikan komentar. Hendaknya penuntut ilmu lebih banyak diam daripada ikut terlalu banyak berkomentar. Terkadang komentarnya tersebut justru memperkeruh suasana dan menambah beratnya pembahasan serta menambah fitnah.
Sungguh indah nasehat dari Adz-Dzahabi
إذا وقعت الفتن فتمسك بالسنة والزم الصمت ولا تخض فيما لايعنيك وماأشكل عليك
“Apabila terjadi fitnah, berpegang teguhlah pada Sunnah dan TETAPLAH DIAM. Janganlah engkau disibukkan dengan yang tidak bermanfaat (bukan urusanmu) dan apa yang masih meragukan (musykil).” [As-Siyar A’lam AN-Nubala 20/141]
Hendaklah kita sebagai penuntut ilmu menahan diri untuk tidak berkomentar terkait hal yang kita tidak punya ilmu dalam permasalahan tersebut. Menahan diri dari berkoemntar apabila belum belajar bahasa Arab dan belum belajar ilmu-ilmu ushul. Terlebih permalasahan tersebut adalah permasalahan berat dan menyangkut hidup dan hajat orang banyak.
Apabila seseorang yang tidak berilmu berkomentar, maka akan muncul pendapat yang aneh dan justru akan memperkeruh suasana. Sebagaimana ungkapan:
من تكلم في غير فنه أتى بالعجائب
“Barangsiapa yang berbicara di luar ilmunya, akan muncul pendapat yang aneh-aneh.”
Salah satu adab bagi kita penuntut ilmu adalah banyak diam daripada berbicara.
Ibnu Jama’ah menukil perkataan salaf:
حق على العالم أن يتواضع لله في سره وعلانيته ويحترس من نفسه ويقف على ما أشكل عليه
“Hak bagi seorang berilmu adalah tawadhu’ (rendah hati) kepada Allah dalam keadaan sendiri maupun ramai, mawas diri dan diam (tawaqquf) terhadap hal yang masih meragukannya.” [Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim hal 26]
Menjaga lisan adalah suatu hal yang harus kita lakukan sebagaimana hadits berikut:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah dia berkata yang baik atau hendaklah diam.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Hurairah).
Kunci kebaikan adalah menjaga lisan sebagaimana hadits berikut:
عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الثَّقَفِيِّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ حَدِّثْنِي بِأَمْرٍ أَعْتَصِمُ بِهِ قَالَ قُلْ رَبِّيَ اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقِمْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا أَخْوَفُ مَا تَخَافُ عَلَيَّ فَأَخَذَ بِلِسَانِ نَفْسِهِ ثُمَّ قَالَ هَذَا
“Dari Sufyan bin ‘Abdullah ats-Tsaqafi, ia berkata: “Aku berkata, wahai Rasulullah, katakan kepadaku dengan satu perkara yang aku akan berpegang dengannya!” Beliau menjawab: “Katakanlah, ‘Rabbku adalah Allah’, lalu istiqamahlah”. Aku berkata: “Wahai Rasulullah, apakah yang paling anda khawatirkan atasku?”. Beliau memegang lidah beliau sendiri, lalu bersabda: “Ini”.[HR. Tirmidzi, Dishahihkan AL-Albani]
Demikian semoga bermanfaat
Penyusun: Ustadz Raehanul Bahraen
📚💎📚💎📚💎📚💎📚💎📚
Di era sosmed ini, semua orang memiliki panggung untuk bicara. Siapa saja dan kapan saja seseorang bisa berkomentar tentang apa saja. Hendak kita seorang penuntut ilmu agama menjaga adab agar kita lebih banyak diam dan tidak berkomentar terlalu banyak. Terlebih apabila terjadi fitnah atau pembahasan yang berat dan butuh ilmu untuk memberikan komentar. Hendaknya penuntut ilmu lebih banyak diam daripada ikut terlalu banyak berkomentar. Terkadang komentarnya tersebut justru memperkeruh suasana dan menambah beratnya pembahasan serta menambah fitnah.
Sungguh indah nasehat dari Adz-Dzahabi
إذا وقعت الفتن فتمسك بالسنة والزم الصمت ولا تخض فيما لايعنيك وماأشكل عليك
“Apabila terjadi fitnah, berpegang teguhlah pada Sunnah dan TETAPLAH DIAM. Janganlah engkau disibukkan dengan yang tidak bermanfaat (bukan urusanmu) dan apa yang masih meragukan (musykil).” [As-Siyar A’lam AN-Nubala 20/141]
Hendaklah kita sebagai penuntut ilmu menahan diri untuk tidak berkomentar terkait hal yang kita tidak punya ilmu dalam permasalahan tersebut. Menahan diri dari berkoemntar apabila belum belajar bahasa Arab dan belum belajar ilmu-ilmu ushul. Terlebih permalasahan tersebut adalah permasalahan berat dan menyangkut hidup dan hajat orang banyak.
Apabila seseorang yang tidak berilmu berkomentar, maka akan muncul pendapat yang aneh dan justru akan memperkeruh suasana. Sebagaimana ungkapan:
من تكلم في غير فنه أتى بالعجائب
“Barangsiapa yang berbicara di luar ilmunya, akan muncul pendapat yang aneh-aneh.”
Salah satu adab bagi kita penuntut ilmu adalah banyak diam daripada berbicara.
Ibnu Jama’ah menukil perkataan salaf:
حق على العالم أن يتواضع لله في سره وعلانيته ويحترس من نفسه ويقف على ما أشكل عليه
“Hak bagi seorang berilmu adalah tawadhu’ (rendah hati) kepada Allah dalam keadaan sendiri maupun ramai, mawas diri dan diam (tawaqquf) terhadap hal yang masih meragukannya.” [Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim hal 26]
Menjaga lisan adalah suatu hal yang harus kita lakukan sebagaimana hadits berikut:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah dia berkata yang baik atau hendaklah diam.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Hurairah).
Kunci kebaikan adalah menjaga lisan sebagaimana hadits berikut:
عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الثَّقَفِيِّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ حَدِّثْنِي بِأَمْرٍ أَعْتَصِمُ بِهِ قَالَ قُلْ رَبِّيَ اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقِمْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا أَخْوَفُ مَا تَخَافُ عَلَيَّ فَأَخَذَ بِلِسَانِ نَفْسِهِ ثُمَّ قَالَ هَذَا
“Dari Sufyan bin ‘Abdullah ats-Tsaqafi, ia berkata: “Aku berkata, wahai Rasulullah, katakan kepadaku dengan satu perkara yang aku akan berpegang dengannya!” Beliau menjawab: “Katakanlah, ‘Rabbku adalah Allah’, lalu istiqamahlah”. Aku berkata: “Wahai Rasulullah, apakah yang paling anda khawatirkan atasku?”. Beliau memegang lidah beliau sendiri, lalu bersabda: “Ini”.[HR. Tirmidzi, Dishahihkan AL-Albani]
Demikian semoga bermanfaat
Penyusun: Ustadz Raehanul Bahraen
📚💎📚💎📚💎📚💎📚💎📚
*Realita Kebebasan Berpendapat di Sosial Media*
Di zaman modern saat ini, dengan adanya sosial media dan internet, seseorang dengan mudah berbicara dan menyampaikan pendapatnya. Di sosial media lebih mudah menyampaikan aspirasi dan pendapat. Akan tetapi sosial media ada juga sisi negatifnya, yaitu setiap orang bebas berbicara negatif, mencaci dan mencela. Lebih bebas daripada di dunia nyata karena ia bisa sembunyi di balik akun sosial media yang ia punya, bisa lebih berani karena tersembunyi dan bisa lebih lari dari tanggung jawab.
Sebagai seorang mukmin, tentu sangat tidak layak berbicara kasar, mencela dan melaknat kapanpun dam di mana pun, baik di dunia nyata maupun dunia maya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻦَ ﻟَﻴْﺲَ ﺑِﺎﻟﻠَّﻌَّﺎﻥِ ﻭَﻟَﺎ ﺍﻟﻄَّﻌَّﺎﻥِ، ﻭَﻟَﺎ ﺍﻟْﻔَﺎﺣِﺶِ ﻭَﻟَﺎ ﺍﻟْﺒَﺬِﻱﺀِ
“Sesungguhnya orang mukmin itu orang yang tidak suka melaknat, mencela, berkata keji/jorok, dan kotor” (HR. Ahmad 1/416; shahih).
Bangkrut Akibat Lisan yang Buruk di Sosial Media
Hendaknya kita berhati-hati menjaga lisan kita di dunia nyata dan menjaga tulisan serta komentar kita di dunia maya. Karena tulisan ini kedudukannya sama dengan ucapan lisan. Sebagaimana kaidah:
الكتابة تنزل منزلة القول
“Tulisan (hukumnya) sebagaimana lisan”
Ketika lisan suka mencaci, mencela, melaknat, ghibah dan berkata-kata kotor kepada orang lain, ini sama saja kita akan “bagi-bagi pahala gratis” kepada mereka kemudian kita akan bangkrut. Mengapa demikian? Karena dengan lisan dan tulisan kita, mereka yang kita cela dan caci-maki adalah pihak yang kita dzalimi. Jika kita tidak meminta maaf di dunia, maka urusan akan berlanjut di akhirat.
Di akhirat kita tidak bisa meminta maaf begitu saja, akan tetapi ada kompensasinya. Kompenasi tersebur bukan uang ataupun harta. Karena ini sudah tidak bermanfaat di hari kiamat.
Allah berfirman,
ﻳَﻮْﻡَ ﻟَﺎ ﻳَﻨْﻔَﻊُ ﻣَﺎﻝٌ ﻭَﻟَﺎ ﺑَﻨُﻮﻥَ ﺇِﻟَّﺎ ﻣَﻦْ ﺃَﺗَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﺑِﻘَﻠْﺐٍ ﺳَﻠِﻴﻢٍ
“Pada hari dimana harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat” (Asy-Syu’araa`: 88-89).
Kompensasi Berat Atas Buruknya Lisan di Sosial Media
Kompensasinya adalah sebagai berikut:
Jika punya pahala kebaikan seperti pahala shalat dan puasa, maka akan dibagi-bagikan kepada mereka yang didzalimi di dunia dan belum selesai perkaranya artinya belum ada maaf dan memaafkan
Jika yang mendzalimi (mencela dan memaki) sudah habis pahalanya, maka dosa orang yang didzalimi akan ditimpakan dam diberikan kepada orang yang mendzalimi
Inilah yang disebut dengan orang yang bangkrut atau “muflis” di hari kiamat berdasarkan hadits berikut,
أَتَدْرُونَ مَنِ الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ
“Apakah kalian tahu siapa muflis (orang yang pailit) itu?”
Para sahabat menjawab, ”Muflis (orang yang pailit) itu adalah yang tidak mempunyai dirham maupun harta benda.”
Tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Muflis (orang yang pailit) dari umatku ialah, orang yang datang pada hari Kiamat membawa (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun (ketika di dunia) dia telah mencaci dan (salah) menuduh orang lain, makan harta, menumpahkan darah dan memukul orang lain (tanpa hak). Maka orang-orang itu akan diberi pahala dari kebaikan-kebaikannya. Jika telah habis kebaikan-kebaikannya, maka dosa-dosa mereka akan ditimpakan kepadanya, kemudian dia akan dilemparkan ke dalam neraka” (HR. Muslim).
Jaga Lisan Sebelum Anda Diadili di Akhirat
Tahukah anda bahwa di dunia ini cukup sulit mencari keadilan yang seadil-adilnya. Ini adalah bukti adanya kehidupan setelah kematian di mana pada hari tersebut akan ada keadilan yang seadil-adilnya. Hendaknya kita sebagai seorang muslim menjaga lisan kita, karena memang lidah itu tidak bertulang, sangat mudah kita dengan lisan dan tulisan kita menyakiti orang lain. Terlebih yang disakiti adalah sesama muslim yang sejatinya bersaudara
Allah berfirman,
ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳُﺆْﺫُﻭﻥَ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ ﻭَﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨَﺎﺕِ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻣَﺎ ﺍﻛْﺘَﺴَﺒُﻮﺍ ﻓَﻘَﺪِ ﺍﺣْﺘَﻤَﻠُﻮﺍ ﺑُﻬْﺘَﺎﻧًﺎ ﻭَﺇِﺛْﻤًﺎ ﻣُّﺒِﻴﻨًﺎ
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesunguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata” (Al-Ahzab: 58).
Karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamin surga mereka yang bisa menjaga lisannya. Beliau bersabda,
ﻣَﻦْ ﻳَﻀْﻤَﻦَّ ﻟِﻲ ﻣَﺎﺑَﻴْﻦَ ﻟِﺤْﻴَﻴْﻪِ ﻭَﻣَﺎ ﺑَﻴْﻦَ ﺭِﺟْﻠَﻴْﻪِ ﺃَﺿْﻤَﻦْ ﻟَﻪُ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔَ
“Barangsiapa bisa memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) apa yang ada di antara dua janggutnya dan dua kakinya, maka kuberikan kepadanya jaminan masuk surga” (HR. Bukhari).
Demikian semoga bermanfaat
Penyusun: Ustadz dr. Raehanul Bahraen
📚💎📚💎📚💎📚💎📚💎📚
Di zaman modern saat ini, dengan adanya sosial media dan internet, seseorang dengan mudah berbicara dan menyampaikan pendapatnya. Di sosial media lebih mudah menyampaikan aspirasi dan pendapat. Akan tetapi sosial media ada juga sisi negatifnya, yaitu setiap orang bebas berbicara negatif, mencaci dan mencela. Lebih bebas daripada di dunia nyata karena ia bisa sembunyi di balik akun sosial media yang ia punya, bisa lebih berani karena tersembunyi dan bisa lebih lari dari tanggung jawab.
Sebagai seorang mukmin, tentu sangat tidak layak berbicara kasar, mencela dan melaknat kapanpun dam di mana pun, baik di dunia nyata maupun dunia maya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻦَ ﻟَﻴْﺲَ ﺑِﺎﻟﻠَّﻌَّﺎﻥِ ﻭَﻟَﺎ ﺍﻟﻄَّﻌَّﺎﻥِ، ﻭَﻟَﺎ ﺍﻟْﻔَﺎﺣِﺶِ ﻭَﻟَﺎ ﺍﻟْﺒَﺬِﻱﺀِ
“Sesungguhnya orang mukmin itu orang yang tidak suka melaknat, mencela, berkata keji/jorok, dan kotor” (HR. Ahmad 1/416; shahih).
Bangkrut Akibat Lisan yang Buruk di Sosial Media
Hendaknya kita berhati-hati menjaga lisan kita di dunia nyata dan menjaga tulisan serta komentar kita di dunia maya. Karena tulisan ini kedudukannya sama dengan ucapan lisan. Sebagaimana kaidah:
الكتابة تنزل منزلة القول
“Tulisan (hukumnya) sebagaimana lisan”
Ketika lisan suka mencaci, mencela, melaknat, ghibah dan berkata-kata kotor kepada orang lain, ini sama saja kita akan “bagi-bagi pahala gratis” kepada mereka kemudian kita akan bangkrut. Mengapa demikian? Karena dengan lisan dan tulisan kita, mereka yang kita cela dan caci-maki adalah pihak yang kita dzalimi. Jika kita tidak meminta maaf di dunia, maka urusan akan berlanjut di akhirat.
Di akhirat kita tidak bisa meminta maaf begitu saja, akan tetapi ada kompensasinya. Kompenasi tersebur bukan uang ataupun harta. Karena ini sudah tidak bermanfaat di hari kiamat.
Allah berfirman,
ﻳَﻮْﻡَ ﻟَﺎ ﻳَﻨْﻔَﻊُ ﻣَﺎﻝٌ ﻭَﻟَﺎ ﺑَﻨُﻮﻥَ ﺇِﻟَّﺎ ﻣَﻦْ ﺃَﺗَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﺑِﻘَﻠْﺐٍ ﺳَﻠِﻴﻢٍ
“Pada hari dimana harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat” (Asy-Syu’araa`: 88-89).
Kompensasi Berat Atas Buruknya Lisan di Sosial Media
Kompensasinya adalah sebagai berikut:
Jika punya pahala kebaikan seperti pahala shalat dan puasa, maka akan dibagi-bagikan kepada mereka yang didzalimi di dunia dan belum selesai perkaranya artinya belum ada maaf dan memaafkan
Jika yang mendzalimi (mencela dan memaki) sudah habis pahalanya, maka dosa orang yang didzalimi akan ditimpakan dam diberikan kepada orang yang mendzalimi
Inilah yang disebut dengan orang yang bangkrut atau “muflis” di hari kiamat berdasarkan hadits berikut,
أَتَدْرُونَ مَنِ الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ
“Apakah kalian tahu siapa muflis (orang yang pailit) itu?”
Para sahabat menjawab, ”Muflis (orang yang pailit) itu adalah yang tidak mempunyai dirham maupun harta benda.”
Tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Muflis (orang yang pailit) dari umatku ialah, orang yang datang pada hari Kiamat membawa (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun (ketika di dunia) dia telah mencaci dan (salah) menuduh orang lain, makan harta, menumpahkan darah dan memukul orang lain (tanpa hak). Maka orang-orang itu akan diberi pahala dari kebaikan-kebaikannya. Jika telah habis kebaikan-kebaikannya, maka dosa-dosa mereka akan ditimpakan kepadanya, kemudian dia akan dilemparkan ke dalam neraka” (HR. Muslim).
Jaga Lisan Sebelum Anda Diadili di Akhirat
Tahukah anda bahwa di dunia ini cukup sulit mencari keadilan yang seadil-adilnya. Ini adalah bukti adanya kehidupan setelah kematian di mana pada hari tersebut akan ada keadilan yang seadil-adilnya. Hendaknya kita sebagai seorang muslim menjaga lisan kita, karena memang lidah itu tidak bertulang, sangat mudah kita dengan lisan dan tulisan kita menyakiti orang lain. Terlebih yang disakiti adalah sesama muslim yang sejatinya bersaudara
Allah berfirman,
ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳُﺆْﺫُﻭﻥَ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ ﻭَﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨَﺎﺕِ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻣَﺎ ﺍﻛْﺘَﺴَﺒُﻮﺍ ﻓَﻘَﺪِ ﺍﺣْﺘَﻤَﻠُﻮﺍ ﺑُﻬْﺘَﺎﻧًﺎ ﻭَﺇِﺛْﻤًﺎ ﻣُّﺒِﻴﻨًﺎ
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesunguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata” (Al-Ahzab: 58).
Karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamin surga mereka yang bisa menjaga lisannya. Beliau bersabda,
ﻣَﻦْ ﻳَﻀْﻤَﻦَّ ﻟِﻲ ﻣَﺎﺑَﻴْﻦَ ﻟِﺤْﻴَﻴْﻪِ ﻭَﻣَﺎ ﺑَﻴْﻦَ ﺭِﺟْﻠَﻴْﻪِ ﺃَﺿْﻤَﻦْ ﻟَﻪُ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔَ
“Barangsiapa bisa memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) apa yang ada di antara dua janggutnya dan dua kakinya, maka kuberikan kepadanya jaminan masuk surga” (HR. Bukhari).
Demikian semoga bermanfaat
Penyusun: Ustadz dr. Raehanul Bahraen
📚💎📚💎📚💎📚💎📚💎📚
*MAINAN DAN PERMAINAN UNTUK ANAK*
Oleh : Ustadz Abdullah Zaen, Lc., MA حفظه الله
Mainan dan permainan sangat penting dalam dunia anak-anak. Bahkan dapat dikatakan bahwa dunia anak adalah dunia bermain.
Mainan dan permainan memberikan kebahagiaan dan kesenangan bagi mereka. Mainan juga bisa memperluas pandangan dan pengetahuan.
Sejatinya banyak sekali pelajaran yang mereka peroleh dari permainan meski kelihatannya sepele.
Jadi, keliru besar jika orang tua memisahkan anak dengan dunia bermain. Atau masih ada sebagian orang tua yang mengabaikan arti mainan bagi anak dan tidak merasa perlu untuk bermain dengan anak. I
anak-anak itu bukan miniatur orang dewasa. Mereka memiliki dunia sendiri yang seringkali berbeda dengan dunia orang dewasa.
Hal ini sangat penting untuk dipahami para orang tua dan para pendidik, sehingga terciptalah hubungan yang hangat, komunikasi yang lancar dan suasana belajar yang menyenangkan.
Sebenarnya bimbingan yang agung ini telah diberikan oleh Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam. Beliau adalah teladan bagi segenap pendidik yang menginginkan kesuksesan di dunia dan akhirat.
Aisyah radhiyallahu’anha menceritakan, “Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam pulang dari perang Tabuk atau perang Khaibar, dan pada rak milik Aisyah terdapat tirai. Tiba-tiba angin berhembus hingga menyingkap ujung tirai itu, maka terlihatlah boneka-boneka milik Aisyah. Nabi shallallahu’alaihiwasallam bertanya, “Apa itu wahai Aisyah?”. Ia menjawab, “Bonekaku”. Nabi melihat di antara boneka itu terdapat boneka kuda dari kain perca yang memiliki sepasang sayap. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bertanya lagi, “Boneka apa itu yang ada di tengah?”. Aisyah menjawab, “Boneka kuda”. Nabi berkata, “Apa yang ada padanya?”. Aisyah menjawab, “Sepasang sayap”. Nabi shallallahu’alaihiwasallam berkata, “Kuda memiliki sepasang sayap?”. Aisyah menjawab, “Tidakkah engkau mendengar bahwa Nabi Sulaiman ‘alaihissalam memiliki kuda yang bersayap?”. Maka Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam pun tertawa (lebar) saat mendengarnya, hingga aku bisa melihat gigi geraham beliau”. HR. Abu Dawud dan dinilai sahih oleh Syaikh al-Albany.
Catatan penting
Hanya saja ada beberapa hal yang harus diperhatikan orang tua dalam masalah bermain ini. Di antaranya:
Pertama: Memilih permainan yang minim dampak negatifnya
Di zaman ini banyak sekali permainan dan mainan yang lebih dominan efek buruknya dibanding efek positifnya. Contohnya: Play Stasion, game online dan yang semisalnya. Permainan seperti ini tentunya harus dihindari.
Berilah permainan lain yang bukan hanya menyenangkan, namun juga menyehatkan dan tidak menguras kantong orang tua.
Kedua: Ada saatnya bermain dan ada saatnya belajar
Tidak benar bila anak dibiarkan bermain sepanjang hari. Namun anak harus dibiasakan membagi waktu dengan baik.
Kejenuhan ketidaktertarikan belajar, tidak bisa diam dan ketidakfokusan belajar pada anak kecil sangat mungkin terjadi.
Kita justru berusaha mengajarkan kepada mereka, bagaimana melewati semua itu menuju keseriusan belajar sesungguhnya. Kita perlu memberikan kejelasan kapan saatnya serius belajar, kapan saatnya mereka sedang bermain.
Contoh sederhana: Ketika jam bermain belum ada aktifitas belajar, anak dibiarkan melakukan aktifitas bermain. Bahkan akan baik sekali bila orang tua ikut terlibat dalam permainan mereka.
Namun, saat mereka memulai sebuah pembelajaran, maka saat itu keseriusan ditunjukkan oleh orang tua sekaligus terus diingatkan pada anak. D
setiap pembelajaran ada waktu kosong perpindahan dari pembelajaran satu ke pembelajaran lain. Di situ pula anak bisa mengekspresikan keinginan bermainnya beberapa saat.
* Diringkas oleh Abdullah Zaen dari Mencetak Generasi Rabbani karya Ummu Ihsan dan Abu Ihsan (hal. 143-144) dengan beberapa tambahan.
♻♻♻♻♻♻♻♻♻♻♻
Oleh : Ustadz Abdullah Zaen, Lc., MA حفظه الله
Mainan dan permainan sangat penting dalam dunia anak-anak. Bahkan dapat dikatakan bahwa dunia anak adalah dunia bermain.
Mainan dan permainan memberikan kebahagiaan dan kesenangan bagi mereka. Mainan juga bisa memperluas pandangan dan pengetahuan.
Sejatinya banyak sekali pelajaran yang mereka peroleh dari permainan meski kelihatannya sepele.
Jadi, keliru besar jika orang tua memisahkan anak dengan dunia bermain. Atau masih ada sebagian orang tua yang mengabaikan arti mainan bagi anak dan tidak merasa perlu untuk bermain dengan anak. I
anak-anak itu bukan miniatur orang dewasa. Mereka memiliki dunia sendiri yang seringkali berbeda dengan dunia orang dewasa.
Hal ini sangat penting untuk dipahami para orang tua dan para pendidik, sehingga terciptalah hubungan yang hangat, komunikasi yang lancar dan suasana belajar yang menyenangkan.
Sebenarnya bimbingan yang agung ini telah diberikan oleh Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam. Beliau adalah teladan bagi segenap pendidik yang menginginkan kesuksesan di dunia dan akhirat.
Aisyah radhiyallahu’anha menceritakan, “Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam pulang dari perang Tabuk atau perang Khaibar, dan pada rak milik Aisyah terdapat tirai. Tiba-tiba angin berhembus hingga menyingkap ujung tirai itu, maka terlihatlah boneka-boneka milik Aisyah. Nabi shallallahu’alaihiwasallam bertanya, “Apa itu wahai Aisyah?”. Ia menjawab, “Bonekaku”. Nabi melihat di antara boneka itu terdapat boneka kuda dari kain perca yang memiliki sepasang sayap. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bertanya lagi, “Boneka apa itu yang ada di tengah?”. Aisyah menjawab, “Boneka kuda”. Nabi berkata, “Apa yang ada padanya?”. Aisyah menjawab, “Sepasang sayap”. Nabi shallallahu’alaihiwasallam berkata, “Kuda memiliki sepasang sayap?”. Aisyah menjawab, “Tidakkah engkau mendengar bahwa Nabi Sulaiman ‘alaihissalam memiliki kuda yang bersayap?”. Maka Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam pun tertawa (lebar) saat mendengarnya, hingga aku bisa melihat gigi geraham beliau”. HR. Abu Dawud dan dinilai sahih oleh Syaikh al-Albany.
Catatan penting
Hanya saja ada beberapa hal yang harus diperhatikan orang tua dalam masalah bermain ini. Di antaranya:
Pertama: Memilih permainan yang minim dampak negatifnya
Di zaman ini banyak sekali permainan dan mainan yang lebih dominan efek buruknya dibanding efek positifnya. Contohnya: Play Stasion, game online dan yang semisalnya. Permainan seperti ini tentunya harus dihindari.
Berilah permainan lain yang bukan hanya menyenangkan, namun juga menyehatkan dan tidak menguras kantong orang tua.
Kedua: Ada saatnya bermain dan ada saatnya belajar
Tidak benar bila anak dibiarkan bermain sepanjang hari. Namun anak harus dibiasakan membagi waktu dengan baik.
Kejenuhan ketidaktertarikan belajar, tidak bisa diam dan ketidakfokusan belajar pada anak kecil sangat mungkin terjadi.
Kita justru berusaha mengajarkan kepada mereka, bagaimana melewati semua itu menuju keseriusan belajar sesungguhnya. Kita perlu memberikan kejelasan kapan saatnya serius belajar, kapan saatnya mereka sedang bermain.
Contoh sederhana: Ketika jam bermain belum ada aktifitas belajar, anak dibiarkan melakukan aktifitas bermain. Bahkan akan baik sekali bila orang tua ikut terlibat dalam permainan mereka.
Namun, saat mereka memulai sebuah pembelajaran, maka saat itu keseriusan ditunjukkan oleh orang tua sekaligus terus diingatkan pada anak. D
setiap pembelajaran ada waktu kosong perpindahan dari pembelajaran satu ke pembelajaran lain. Di situ pula anak bisa mengekspresikan keinginan bermainnya beberapa saat.
* Diringkas oleh Abdullah Zaen dari Mencetak Generasi Rabbani karya Ummu Ihsan dan Abu Ihsan (hal. 143-144) dengan beberapa tambahan.
♻♻♻♻♻♻♻♻♻♻♻
HSI Pembatal Keislaman 32
Nawaqidhul Islam:
■ *Nawāqidhul Islām*
■ *Halaqah 32 | PENJELASAN PEMBATAL KEISLAMAN KETUJUH III*
📀 _link audio_
══════❁﷽❁══════
Diceritakan bahwasanya dahulu ketika Nabi Sulaiman meninggal dunia Syaitan & juga Jin menaruh sihir dibawah singgasana beliau yg isinya ini adalah bacaan². Kemudian mengabarkan kepada manusia bahwasanya dahulu Sulaiman bisa mendudukan kami (Jin dan juga Syaitan) adalah karena membaca sihir ini. Yaitu membaca bacaan ini. Padahal ini adalah kedustaan dari syaitan & juga Jin, Allāh Subhānahu wa Ta’āla Dia-lah yang telah menundukan Jin & juga syaitan untuk Nabi Sulaiman alaihi wasallam, menundukan mereka sehingga mereka tunduk ketika diperintah oleh Nabi Sulaiman alaihi wasallam
Diperintahkan untuk membangun maka mereka membangun
Diperintahkan untuk menyelam kedalam lautan, mengambil apa yang ada didalam laut berupa perhiasan mereka melakukan
Dan ada diantaranya ini adalah keutamaan yang Allāh berikan kepada Nabi Sulaiman alaihi wasallam
وَالشَّيَاطِينَ كُلَّ بَنَّاءٍ وَغَوَّاصٍ
Diceritakan bahwasanya dahulu ketika Nabi Sulaiman meninggal dunia Syaitan & juga Jin menaruh sihir dibawah singgasana beliau yg isinya ini adalah bacaan². Kemudian mengabarkan kepada manusia bahwasanya dahulu Sulaiman bisa mendudukan kami (Jin dan juga Syaitan) adalah karena membaca sihir ini. Yaitu membaca bacaan ini. Padahal ini adalah kedustaan dari syaitan & juga Jin, Allāh Subhānahu wa Ta’āla Dia-lah yang telah menundukan Jin & juga syaitan untuk Nabi Sulaiman alaihi wasallam, menundukan mereka sehingga mereka tunduk ketika diperintah oleh Nabi Sulaiman alaihi wasallam
Diperintahkan untuk membangun maka mereka membangun
Diperintahkan untuk menyelam kedalam lautan, mengambil apa yang ada didalam laut berupa perhiasan mereka melakukan
Dan ada diantaranya ini adalah keutamaan yang Allāh berikan kepada Nabi Sulaiman alaihi wasallam
وَالشَّيَاطِينَ كُلَّ بَنَّاءٍ وَغَوَّاصٍ
وَآخَرِينَ مُقَرَّنِينَ فِي الْأَصْفَادِ
[QS Sad:37&38]
“Dan Syaitan² ada Diantara mereka sebagai orang yang membangun & diantaranya menyelam & ada diantara yg dibelenggu”
Allāh Subhānahu wa Ta’āla telah menundukan Jin dan juga Syaitan untuk nabi Sulaiman alaihi salam. Oleh karena itu mereka tunduk kepada Nabi Sulaiman alaihi salam & Nabi Sulaiman alaihi salam pernah berdoa kepada Allāh
وَهَبْ لِي مُلْكًا لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِي ۖ
Allāh Subhānahu wa Ta’āla telah menundukan Jin dan juga Syaitan untuk nabi Sulaiman alaihi salam. Oleh karena itu mereka tunduk kepada Nabi Sulaiman alaihi salam & Nabi Sulaiman alaihi salam pernah berdoa kepada Allāh
وَهَبْ لِي مُلْكًا لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِي ۖ
[Surat Sad 35]
“Ya Allāh berilah aku kekuasaan yang tidak Engkau berikan kepada seorang pun setelahku”
Diantaranya adalah menundukan Jin dan juga syaitan tidak diberikan oleh Allāh kepada orang lain setelah Nabi Sulaiman alaihi salam. Ini adalah – فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ – keutamaan yang Allāh berikan kepada siapa yang dikehendaki.
Ini adalah sebab kenapa Jin dan Syaitan tunduk di zaman Nabi Sulaiman alaihi salam bukan karena Nabi Sulaiman alaihi salam membaca mantra² atau membaca kholasim (bacaan²) kemudian syaitan² tersebut tunduk kepada Nabi Sulaiman alaihi salam *TIDAK*, tapi ini semua adalah mu’jizat Allāh Subhānahu wa Ta’āla yang telah menundukan mereka untuk Nabi Sulaiman alaihi salam.
Adapun yg dilakukan oleh tukang-tukang sihir atau yang semisalnya, bagaimana mereka bisa menundukan Jin, mereka menundukan dengan mantra² dengan bacaan² isinya adalah kekufuran kepada Allāh, celaan kepada Allāh, celaan kepada syariat Nya, kesyirikan kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla, pemujaan kepada Jin. Ini adalah isi dari mantra² yang diucapkan oleh tukang sihir. Apabila diucapkan oleh tukang sihir maka Syaitan akan ridha dan senang karena dia sangat senang dengan kekufuran, apabila dia ridha maka dengan senang hati dia & juga pasukannya membantu apa yang diinginkan oleh tukang sihir.
Diperintahkan untuk mengganggu si fulan, diperintahkan untuk menyantet si Fulan, diperintahkan untuk memelet si Fulan dengan senang hati mereka membantu dengan syarat tukang sihir tersebut kufur kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla
Diantaranya adalah menundukan Jin dan juga syaitan tidak diberikan oleh Allāh kepada orang lain setelah Nabi Sulaiman alaihi salam. Ini adalah – فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ – keutamaan yang Allāh berikan kepada siapa yang dikehendaki.
Ini adalah sebab kenapa Jin dan Syaitan tunduk di zaman Nabi Sulaiman alaihi salam bukan karena Nabi Sulaiman alaihi salam membaca mantra² atau membaca kholasim (bacaan²) kemudian syaitan² tersebut tunduk kepada Nabi Sulaiman alaihi salam *TIDAK*, tapi ini semua adalah mu’jizat Allāh Subhānahu wa Ta’āla yang telah menundukan mereka untuk Nabi Sulaiman alaihi salam.
Adapun yg dilakukan oleh tukang-tukang sihir atau yang semisalnya, bagaimana mereka bisa menundukan Jin, mereka menundukan dengan mantra² dengan bacaan² isinya adalah kekufuran kepada Allāh, celaan kepada Allāh, celaan kepada syariat Nya, kesyirikan kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla, pemujaan kepada Jin. Ini adalah isi dari mantra² yang diucapkan oleh tukang sihir. Apabila diucapkan oleh tukang sihir maka Syaitan akan ridha dan senang karena dia sangat senang dengan kekufuran, apabila dia ridha maka dengan senang hati dia & juga pasukannya membantu apa yang diinginkan oleh tukang sihir.
Diperintahkan untuk mengganggu si fulan, diperintahkan untuk menyantet si Fulan, diperintahkan untuk memelet si Fulan dengan senang hati mereka membantu dengan syarat tukang sihir tersebut kufur kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla
وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَىٰ مُلْكِ سُلَيْمَانَ ۖ
Kemudian Allāh mengatakan :
وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ
Dan Sulaiman tidak kufur
Bagaimana seorang Nabi kufur, para Nabi adalah orang-orang yang Ma’sum dijaga oleh Allāh dari dosa-dosa besar dan juga dari kekufuran
Kemudian Allāh mengatakan :
وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ
Dan Sulaiman tidak kufur
Bagaimana seorang Nabi kufur, para Nabi adalah orang-orang yang Ma’sum dijaga oleh Allāh dari dosa-dosa besar dan juga dari kekufuran
وَلَٰكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا
Akan tetapi Syaitan² itulah yang kufur
يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ
Dimana mereka mengajarkan kepada manusia sihir
يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ
Dimana mereka mengajarkan kepada manusia sihir
[QS Al-Baqarah 102]
Syaitan-syaitan itu adalah makhluk yang kufur diantara sebabnya adalah – يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ – mereka mengajarkan kepada manusia sihir.
_*Abdullāh Roy*_
_Di kota Al-Madīnah_
Materi audio ini disampaikan di dalam Grup WA *Halaqah Silsilah ‘Ilmiyyah (HSI) ‘Abdullāh Roy.*
Materi audio ini disampaikan di dalam Grup WA *Halaqah Silsilah ‘Ilmiyyah (HSI) ‘Abdullāh Roy.*
═══════ ❁ ❁ ═══════
RINGKASAN KAJIAN USTADZ YAZID BIN ‘ABDUL QADIR JAWAS -hafizhahullaah-
*MENGAJAK KELUARGA KE SURGA DENGAN MENDIDIK MEREKA DI ATAS AL-QUR-AN & AS-SUNNAH*
[1]- MUQADDIMAH:
Ketika banyak kemungkaran, kemaksiatan dan musibah; maka kita harus instropeksi diri-diri kita; karena telah banyak kemakisatan dari diri kita, anak dan istri kita. Sehingga dengan memperbaiki diri dan keluarga; maka akan mewujudkan kebaikan dalam masyarakat dan Negara. Dan perubahan bukanlah dari arah pemimpin tapi dari arah kita.
Allah -Ta’aala- berfirman:
{...إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ...}
“…Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri…” (QS. Ar-Ra’d: 11)
Perubahan itu bukan dengan pergantian penguasa, perubahan terjadi dengan sebab yang Allah sebutkan dalam ayat di atas. Allah tidak menyebutkan perubahan ada pada penguasa dan hukum mereka; akan tetapi perubahan adalah pada diri kita dulu, dimulai dari rumah tangga. Keluarga harus diajak kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah, kembali kepada Islam yang benar. Dengan kebaikan masyarakat; maka akan Allah bukakan barakah. Allah –Ta’aalaa- berfirman:
{وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ...}
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi,...” (QS. Al-A’raf: 96)
Jadi kita mulai dengan diri-diri kita.
[2]- PERNIKAHAN ADALAH FITRAH
Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- berfirman:
{فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ}
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,” (QS. Ar-Ruum: 30)
Pernikahan yang benar adalah laki-laki dan perempuan, dan inilah yang kita bahas. Dan kita tidak membahas pernikahan yang tidak benar dan yang menyalahi fitrah; seperti: pernikahan laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan.
Kemudian karena yang menikahi adalah laki-laki; maka pembicaraan tentang pernikahan ini diarahkan kepada laki-laki. Allah berfirman:
{...فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ...}
“…maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat...” (QS. An-Nisa’: 3)
Dan Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian memiliki kemampuan untuk menikah; maka menikahlah, karena nikah lebih menundukkan pandangan, dan ia lebih membentengi“farji” (kema1uan). Dan barangsiapa yang tidak mampu; maka hendaklah dia berpuasa, karena ia (puasa itu)dapat membentengi diri.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Di sini Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- menyebutkan bagi orang yang mampu untuk menikah: untuk segera menikah; karena akan lebih menundukkan pandangannya. Dengannya ia tidak akan melangar syari’at; seperti “istimnaa’” (onani); maka ini hukumnya haram dalam Islam, sebab Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- memberikan solusi bagi yang belum mampu menikah untuk berpuasa; bukan dengan onani.
Pernikahan yang sah akan membawa kepada separuh agama. Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
إِذَا تَزَوَّجَ الْعَبْدُ؛ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ نِصْفَ الدِّيْنَ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِيْمَا بَقِيَ
“Siapa saja yang menikah; maka diatelah melengkapi separuh imannya,maka hendaklah dia bertakwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi.” (HR. Ath-Thabrani)
Imam Al-Munawi -rahimahullaah-menjelaskan: “Rasulullah menjadikan takwa ke dalam dua bagian: satu bagian dapat diraih dengan menikah,dan satu bagian lagi dengan amal shalih selainnya. Abu Hatim -rahimahullaah- berkata: ‘Secara umum yang menguasai agama seseorang adalah kemaluan dan perutnya, dan salah satu dari keduanya dapat dicukupi dengan menikah’.”
Nabi juga bersabda dalam hadits yang lain:
مَنْ رَزَقَهُ اللهُ امْرَأَةً صَالِحَةً؛ فَقَدْ أَعَانَهُ عَلَى شَطْرِ دِيْنِهِ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي الشَّطْرِ الثَّانِيْ
“Siapa saja yang dikaruniai oleh Allah istri shalihah; maka sungguh Allah telah membantu dia dalam melaksanakan separuh agamanya. Hendaklah dia bertakwa kepada Allah dalam menjaga separuhnya lagi.” (HR. Ath-Thabrani)
Seorang istri yang shalihah dapat mambantu untuk menjaga separuh agama. Dengan menikah; maka banyak keutamaan dan ganjarannya. Di antaranya: seorang memberikan nafkah kepada istri yang ini lebih utama dari infak untuk orang miskin, membebaskan budak, dan infak dalam jihad fi sabilillah.
Kalau orang belum menikah kemudian bekerja mencari uang; maka uangnya untuk apa?! Tapi kalau dia menikah; maka dia memberi nafkah kepada istri dan anak, membiayai sekolah anak: dan dia akan mendapat ganjaran.
Juga seorang akan terjaga dari zina, homo, dan lain-lain.
Sehingga Islam tidak menyukai hidup membujang. Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ، فََإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Nikahilah wanita yang penyayang dan subur, karena aku akan berbangga dengan banyaknya umatku di hadapan pada nabi pada Hari Kiamat.” (HR. Ahmad dan lainnya).
Pernah suatu ketika tiga orang Shahabat datang bertanya kepada Ummahatul Mukminin tentang ibadah Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-. Setelah diterangkan; maka ketiganya spontan ingin meningkatkan ibadah masing-masing. Salah seorang dari mereka berkata: “Sungguh, aku akan berpuasa sepanjang masa tanpa putus.” Shahabat lain berkata: “Aku akan shalat malam selamanya.” Dan yang satu lagi berkata: “Akan aku jauhi wanita,sehingga saya tidak akan menikah selama-lamanya....”
Ketika hal itu didengar oleh Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-; makabeliau segera keluar seraya bersabda:
أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا، أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Benarkah kalian yang telah mengatakan begini dan begitu? Demi Allah, sungguh akulah yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa kepada-Nya di antara kalian. Meski demikian, aku tetap berpuasa dan aku berbuka (tidak puasa), aku shalat dan aku pun tidur, dan aku juga menikahi wanita. Maka, siapa saja yang tidak menyukai sunnahku; maka dia tidak termasuk golonganku.” (HR. Al-Bukhari & Muslim)
Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-menyebutkan: bahwa menikah termasuk Sunnah beliau; sehingga laki-laki harus segera menikah. Beliau bersabda:
النِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِي، فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي، وَتَزَوَّجُوا، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ الْأُمَمَ، وَمَنْ كَانَ ذَا طَوْلٍ فَلْيَنْكِحْ، وَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ، فَإِنَّ الصَّوْمَ لَهُ وِجَاءٌ
“Menikah adalah sunnahku. Siapa yang enggan mengerjakan sunnahku; maka dia bukan dari golonganku. Menlkahlah kalian! Karena sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya jumlah kalian di hadapan seluruh umat kelak. Siapa yang memiliki kemampuan untuk menikah; maka menikahlah. Dan siapa yang belum mampu hendaklah berpuasa, karena puasa itu adalah perisai baginya (dari berbagai syahwat) .” (HR. Ibnu Majah)
Para nabi dan rasul juga menikah.Allah -Ta’aalaa- berfirman:
{وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً...}
“Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad) dan Kami berikan kepada mereka istri-istri dan keturunan…” (QS. Ar-Ra’d: 38)
[3]- TUJUAN PERNIKAHAN
Jalan yang sah adalah dengan menikah, bukan dengan pacaran, kumpul kebo dan lainnya.
Adapun zina; maka dosa besar yang keji. Allah berfirman:
{وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا}
“Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Israa’: 32)
Menikah akan mendatangkan kebahagiaan, sakinah, mawaddah, dan rahmah. Dan hal ini akan dia dapatkan dengan melaksanakan ibadah dalam rumah tangganya, karena kita memang diciptakan untuk beribadah kepada Allah.
Allah berfirman:
{وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ}
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum: 21).
Antara orang yang sudah menikah dengan yang belum adalah berbeda. Orang yang telah menikah akan mendapatkan ketenangan. Ketika pulang kerja; maka istri sudah siap untuk menyambutnya, karena istri memang tugasnya di rumah; bukan bekerja di luar rumah.
Dan kecintaan yang hakiki ada setelah pernikahan bukan dengan pacaran, dan kecintaan ini ada bahkan pada orang kafir sehingga ada di antara mereka yang bisa langgeng pernikahannya sampai usia tua.
Rasulullah bersabda:
لَمْ يُرَ لِلْمُتَحَابَّيْنِ مِثْلَ النِّكَاحِ
“Tidak pernah terlihat dua insan yang saling mencintai seperti halnya yang terlihat dalam pernikahan.” (HR. Ibnu Majah dan lainnya)
Cinta orang pacaran adalah semu: motor pinjam, dandan juga demikian, dan seterusnya. Semuanya pura-pura. Cinta yang dibungkusdengan kepura-puraan.
Berduaan dengan perempuan adalah haram, melihat perempuan yang tidak halal juga haram, meraba perempuan yang tidak halal juga haram.
Di antara tujuan pernikahan juga adalah: mendapatkan keturunan yang shalih. Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- berfirman:
{وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ}
“Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau istri) dari jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rezeki dari yang baik. Mengapa mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?” (QS. An-Nahl: 72)
Setiap orang yang menikah pasti ingin memiliki anak. Dengan menikah -dengan izin Allah- ia akan mendapatkan keturunan yang shalih, sehingga menjadi aset yang sangat berharga. Karena anak yang shalih akan senantiasa mendo’akan kedua orang tuanya, serta dapat menjadikan amal seseorang terus mengalir meskipun jasadnya sudah berkalang tanah
di dalam kubur. Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah seluruh amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim)
Bahkan ada orang tua yang sedikit amalnya kemudian Allah masukkan ke dalam Surga dengan sebab istighfar anaknya. Ketika anak meminta ampunan kepada Allah setiap hari; maka akan diampuni dosa orang tua sehingga bisa masuk Surga. Ini kalau satu anak; bagaimana kalau banya anak yang memintakan ampunan untuk orang tua. Sehingga KB (membatasi kelahiran) dalam Islam adalah haram. Dan Nabi ingin umatnya banyak anak, dan Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- juga mendo’akan Anas untuk banyak anak dan banyak rezeki:
اللّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ، وَبَارِكْ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتَهُ
“Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya dan berkahilah baginya apa-apa yang Engkau anugerahkan kepadanya.” (HR. Al-Bukhari)
Dengan kehendak Allah, Anasmenjadi orang yang paling banyak anaknya dan paling banyak hartanya pada waktu itu di Madinah. Anas pun menyatakan: “Putriku, Umainah, memberithukan bahwa anak-anakku yang sudah meninggal dunia berjumlah 120 sekian orang sewaktu Hajjaj bin Yusuf memasuki kota Bashrah.”
Seorang muslim tidak boleh khawatir tentang masa depan. Allah Yang Menciptakan; maka Allah juga Yang Memberi Rezeki. Allah Al-Khaliq dan juga Ar-Razzaq. Akan tetapi dibisiki oleh setan dari jenis jin dan setan dari jenis manusia: nanti makannya bagaimana, sekolahnya bagaimana. Maka antum jangan mau dibisiki setan dan jangan jadi setan. Wajib kita menyerahkan segala urusan kepada Allah.
Allah berfirman:
{الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاءِ وَاللَّهُ يَعِدُكُمْ مَغْفِرَةً مِنْهُ وَفَضْلا وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ}
“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kemiskinan kepadamu dan menyuruh kamu berbuat keji (kikir), sedangkan Allah menjanjikan ampunan dan karunia-Nya kepadamu. Dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 268)
Orang dulu tidak pernah berfikir kalau banyak anak bagaimana makan dan sekolahnya, orang sekarang yang banyak takutnya. Dan -sekali lagi- Nabi menyukai umatnya untuk banyak anak.
Di antara manfaat memiliki banyak anak adalah:
a. Mendapat karunia yang sangat besar yang lebih tinggi nilainya daripada harta.
b. Menjadi buah hati yang menyejukkan pandangan.
c. Sarana untuk memperoleh ganjaran dari sisi Allah.
d. Di dunia mereka bisa tolong-menolong dalam kebajikan.
e. Dapat membantu meringankan beban orang tua.
f. Doa mereka menjadi amal yang bermanfaat ketika kedua orang tua tidak bisa lagi beramal (telah meninggal dunia).
g. Jika salah satunya ditakdirkan meninggal tatkala masih kecil atau belum baligh; insya Allah dia menjadi syafa’at (penghalang masuknya seseorang ke dalam Neraka) bagi kedua orang tua di akhirat.
h. Menjadi hijab (pembatas) antara dirinya dan api Neraka, manakala orang tuanya mampu mendidik mereka hingga menjadi anak yang shalih dan shalihah.
i. Menjadi salah satu sebab kemenangan kaum muslimin ketika jihadfi sabilillah diserukan, karena jumlah mereka yang sangat banyak.
j. Membuat Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-; berbangga pada hari Kiamat, dengan sebab jumlah umatnya yang begitu banyak.
[4]- HAK ISTRI YANG WAJIB DIPENUHI OLEH SUAMI
Di antara yang paling pokok adalah: memberikan nafkah yang lahir maupun bathin, memberikan pakaian, dan mendidiknya.
Dan nafkah harus dari harta yang halal, karena kalau diberikan dari yang haram; maka do’anya bisa tidak dikabulkan oleh Allah.
Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- menyebutkan orang yang lama bepergian, yang rambutnya kusut, berdebu, dan ia menengadahkan kedua tangannya ke langit: ‘Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!’ Sedang makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia diberi kecukupan dengan yang haram; maka bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan?!” (HR. Muslim)
Safar merupakan sebab untuk dikabulkannya do’a. Akan tetapi disebutkan bahwa ada penghalang berupa makan dari yang haram; sehingga do’anya tidak dikabulkan oleh Allah.
Sehingga suami harus mencarai harta yang halal, karena daging yang tumbuh dari yang haram; maka lebih berhak untuk Neraka.
Dan memberi nafkah untuk keluarga adalah besar pahalanya.
Yang wajib memberi nafkan adalah laki-laki, sedangkan istri tidak wajib. Karena mencari nafkah memang kewajiban laki-laki
Allah berfirman:
{الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ...}
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya...” (QS. An-Nisaa’: 34)
Seorang suami harus mencari nafkah, tidak boleh begantung kepada orang lain, tidak boleh bergantung kepada orang tua, dan semisalnya.
Dan ini ganjarannya besar, sedangnkan menyaia-nyiakan keluarga ada ancaman dari Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-.
Seorang suami juga wajib untuk mengajak istri ke Surga, dengan cara mendidiknya. Inilah fokus pembahasn kita.
Allah berfirman:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ}
“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)
Menjaga keluarga dari api Neraka mengandung maksud: menasihati mereka agar ta’at, bertakwa kepada Allah -’Azza Wa Jalla- dan mentauhidkan-Nya serta menjauhkan syirik, mengajarkan kepada mereka tentang syari’at Islam, dan tentang adab-adabnya. Para Sahabat dan mufassirin (ahli tafsir) menjelaskan tentang tafsir ayat tersebut sebagai berikut.
Ali bin Abi Thalib -radhiyallaahu ‘anhu- berkata: “Ajarkanlah agama kepada keluarga kalian, dan ajarkan pula adab-adab Islam.”
Qatadah -rahimahullaah- berkata: “Suruh keluarga kalian untuk ta’at kepada Allah! Cegah mereka dari berbuat maksiat! Hendaknya mereka melaksanakan perintah Allah danbantulah mereka! Apabila kalian melihat mereka berbuat maksiat; maka cegah dan laranglah mereka!”
Ibnu Jarir ath-Thabari -rahimahullaah- berkata: “Ajarkan kepada keluarga kalian: keta’atan kepada Allah yang hal itu dapat menyelamatkan diri mereka dari api Neraka.”
Imam Asy-Syaukani -rahimahullaah-mengutip perkataan Ibnu Jarir: “Wajib bagi kita mengajarkan anak-anak kita dienul islam (ajaran agama Islam), serta mengajarkan segala kebaikan danadab-adab Islam.”
Maka wajib untuk memerintahkan keluarga kepada yang ma’ruf dan melarang mereka dari yang mungkar. Dan ma’ruf yang paling ma’ruf adalah Tauhid dan mungkar yang paling mungkar adalah syirik. Maka ini harus diajarkan.
Oleh karena itulah setelah seorang laki-laki melakukan akad nikah; maka suami langsung mengatakan kepada istrinya: “Kewajiban kamu adalah untuk ta’at kepadaku.” Karena setelah ayahnya menyerahkan anak perempuannya kepada suaminya; maka tanggung jawab diserahkan kepada suami. Dan suami untuk bisa memikul tanggung jawab tersebut harus dengan menuntut ilmu. Ketika orang-orang sibuk dengan pemilihan pemimpin Negara; maka harusnya kita menyibukkan diri sendiri dengan kepemimpinan sebagai pemimpin yang baik bagi keluarga.
Tapi banyak suami yang menjadi makmum, dan pemimpinnya adalah istrinya. Apa yang dikatakan oleh istrinya; maka dia mendengar dan ta’at. Ini adalah suami yang bodoh. Allah menjadikan kepemimpinan pada suami -sebagaimana dalam ayat (QS. An-Nisaa’: 34) di atas-.
Dan setiap orang hendaknya berdo’a untuk bisa menjadi pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa, dengan beragama berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah dengan pemahaman Salaf. Dan setiap orang harus meluangkan waktu untuk menuntut ilmu (yang ini merupakan bentuk ibadah). Dan manusia diciptakan untuk beribadah, adapaun mencari nafkah; adalah sekedarnya. Sehingga seorang harus meluangkan waktunya untuk menuntut ilmu.
Kalau istri tidak masak; maka suami tidak berdosa. Akan tetapi ketika istri tidak bisa wudhu’ dan tidak bisa Shalat; maka suaminya berdosa.
Kemudian suami juga harus memperhatikan pendidikan anaknya, bukan hanya diserahkan kepada sekolah Islam.
[5]- KEWAJIBAN UNTUK MENDIDIK ANAK
Kita ditanya tentang istri dan anak kita, kita tidak ditanya tentang siapa pemimpin kita: apakah 01 ataukah 02. Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالأَمِيرُ رَاعٍ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ، وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ، فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian bertanggung jawab atas orang yang dipimpinnya. Seorang amir (raja) adalah pemimpin, seorang suami pun pemimpin atas keluarganya, dan istri juga pemimpin bagi rumah suaminya dan anak-anaknya. Setiap kalian adalah pemimpin, dan kamu sekalian akan diminta pertanggungjawaban atas orang yang dipimpinnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Banyak rumah tangga berantakan karena suami sibuk dengan politik, dagang, kerja, usaha; sehingga tidak memperhatikan istri dan anaknya.
Wajib mendidik anak dengan baik dan sabar agar mencintai Allah dan Rasul-Nya.
Dan pendidikan yang palin pokok adalah Tauhid. Allah -Ta’aalaa- berfirman:
{وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ}
“Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya: ”Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar.” (QS. Luqman: 13)
Juga mengajarkan kalimat-kalimat yang baik: dzikir-dzikir dan membaca Al-Qur-an. Sehingga orang tua juga harus rajin membaca Al-Qur-an, minimal satu juz; agar bisa menjadi teladan bagi anak-anaknya.
Disamping kita menyekolahkan anak di sekolah-sekolah Islam; maka pendidikan di rumah juga jangan ditinggalkan. Terus ajarkan adab-adab Islami: adab makan dan minum dengan tangan kanan, bacaan ketika masuk dan keluar WC, bacaan tidur, dan lain-lain. Dan yang harus diperhatikan juga adalah Shalat, mulai disuruh Shalat pada umur tujuh tahun umur tiga/empat tahun diajarkan maka tidak masalah, tapi jangan diajak ke masjid jika mengganggu. Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا، وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Suruhlah anak kalian shalat ketika berumur tujuh tahun, dan kalau sudah berusia sepuluh tahun meninggalkan shalat, maka pukullah dia. Dan pisahkanlah tempat tidurnya (antara anak laki-laki dan anak wanita) .” (HR. Abu Dawud)
Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- berfirman:
{وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى}
“Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan shalat dan sabar dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik di akhirat) adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. Thaha: 132)
Jika istri sibuk dengan masak, anak sibuk dengan main; maka kepala rumah tangga harus memerintahkan untuk Shalat. Maka kita boleh agak keras untuk ini, karena kalau tidak; maka kasihan mereka nantinya.
Dan dengan mengerjakan Shalat; maka Allah akan memberikan rezeki -sebagaimana dalam ayat di atas-.
Nabi Ibrahim -‘alaihis salaam- selain berdo’a agar anak cucunya tidak meyembah berhala: juga berdo’a agar anak cucunya tetap Shalat. Allah berfirman:
{رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ}
“Ya Rabb-ku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang yang tetap melaksanakan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah do’aku.” (QS. Ibrahim: 40)
Anak istri harus benar shalatnya, hafal do’a-do’anya, dan memahami makna-makna dari apa yang dibaca.
Maka harus diperhatikan waktu-waktu Shalat, wudhu’-nya, dan Shalat berjama’ah bagi laki-laki. Allah berfirman:
{وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ}
“Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang yang rukuk.” (QS. Al-Baqarah: 43)
Imam Ibnu Katsir -rahimahullaah- berkata: “Banyak ulama berdalil dengan ayat ini atas wajibnya shalat berjama’ah.”
Adapun perempuan; maka yang terbaik adalah Shalat di rumah.
Orang tua juga harus memperhatikan akhlak anak-anaknya dan juga lisan-lisan mereka. Dan yang terbanyak memasukkan ke Neraka adalah lisan.
سُئِلَ رَسُولُ اللهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الجَنَّةَ، فَقَالَ: ((تَقْوَى اللهِ وَحُسْنُ الخُلُقِ)) وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ، فَقَالَ: ((الفَمُ وَالفَرْجُ))
Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- ditanya tentang kebanyakan yang menyebabkan manusia masuk Surga; maka beliau menjawab: “Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik.” Dan ketika ditanya tentang kebanyakan yang menyebabkan manusia masuk Neraka, maka beliau menjawab: “Mulut dan kemaluan.” (HR, At-Tirmidzi)
Juga harus memperhatikan pergaulan anak, karena Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seorang bergantung kepada agama teman karibnya; maka hendaklah seorang dari kalian melihat dengan siapa dia berteman.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan lainnya)
Pergaulan anak harus dijaga, baik pergaulan dengan manusia atau juga dengan HP. Karena anak bisa melihat hal yang haram atau bermain yang menghabiskan waktu. Belum lagi syubhat yang ada di HP itu.
Kita senantiasa berdo’a kepada Allah agar dianugerahi anak-anak yang shalih, seperti yang Allah firmankan tentang do’a hamba-hamba Allah:
{...رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا}
“…Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan: )
Selain berdo’a juga harus ada usaha. Sama seperti berdo’a untuk diberi ilmu; maka juga harus ada usaha dengan menuntut ilmu.
Di antara pendidikan terhadap keluarga adalah dengan mengajarkan do’a-do’a dan dzikir-dzikir yang shahih. Seperti dzikir pagi & sore, dzikir mulai dari bangun tidaur sampai mau tidur lagi.
Selain juga hal-hal lain: seperti mengajarkan untuk bersedekah. Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- menyebutkan bahwa yang banyak masuk Neraka adalah para wanita dan beliau perintahkan mereka untuk bersedekah.
Maka yang paling pertama diperhatikan adalah keadan suami itu sendiri, kemudian istri yang harus ta’at kepada suami. Dan ada tabi’at yang bengkok dan susah untuk diperbaiki; maka harus bersabar.
Kewajiban suami untuk mendidik istri, karena terkadang pendidikan yang baik bagi anak tidak disetujui oleh istri; sehingga harsu mendidik istri terlebih dahulu.
[6]- HAK SUAMI YANG WAJIB DIPENUHI OLEH ISTRI
Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- berfirman:
{الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ...}
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka)...” (QS. An-Nisa’: 34)
Seorang istri punya kewajiban ta’at yang besar kepada suaminya. Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Seandainya aku boleh untuk menyuruh seorang untuk sujud kepada orang lain; maka aku akan perintahkan seorang wanita untuk sujud kepada suaminya.” (HR. At-Tirmidzi dan lainnya).
Dan perempuan kalau dia ta’at kepada suaminya; maka dia masuk Surga. Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خُمُسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وحصَّنت فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ
“Apabila seorang istri mengerjakan shalat yang lima waktu, berpuasa pada bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya (menjaga kehormatannya), dan taطat kepada suaminya: niscaya ia akan masuk Surga dari pintu mana saja yang dikehendakinya.” (HR. Ibnu Hibban)
Nabi sebutkan empat yang tidak berat untuk dilakukan istri agar bisa masuk Surga.
Dalam hadits yang lain, Rasulullah & bersabda tentang sifat wanita penghuni Surga:
“… Wanita-wanita kalian yang menjadi penghuni Surga adalah yang penuh kasih sayang, banyak anak, dan setia kepada suaminya yang jika suaminya marah, ia mendatanginya dan meletakkan tangannya di atas tangan suaminya dan berkata: ‘Aku tidak dapat tidur nyenyak hingga engkau ridha?” (HR. Ath-Thabrani)
Seorang istri tidak bisa memenuhi hak Allah sampai dia memenuhi hal suaminya. Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-bersabda:
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَا تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا، وَلَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا، وَهِيَ عَلَى قَتَبٍ، لَمْ تَمْنَعْهُ
“… Demi Allah, yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seorang wanita tidak akan sanggup menunaikan hak Allah sebelum ia menunaikan hak suaminya. Andaikan suami meminta dirinya (untuk berhubungan intim) ketika berada di atas punggung unta; maka ia tetap tidak boleh menolak.” (HR. Ibnu Majah)
-ditulis dengan ringkas oleh: Ahmad Hendrix
*MENGAJAK KELUARGA KE SURGA DENGAN MENDIDIK MEREKA DI ATAS AL-QUR-AN & AS-SUNNAH*
[1]- MUQADDIMAH:
Ketika banyak kemungkaran, kemaksiatan dan musibah; maka kita harus instropeksi diri-diri kita; karena telah banyak kemakisatan dari diri kita, anak dan istri kita. Sehingga dengan memperbaiki diri dan keluarga; maka akan mewujudkan kebaikan dalam masyarakat dan Negara. Dan perubahan bukanlah dari arah pemimpin tapi dari arah kita.
Allah -Ta’aala- berfirman:
{...إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ...}
“…Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri…” (QS. Ar-Ra’d: 11)
Perubahan itu bukan dengan pergantian penguasa, perubahan terjadi dengan sebab yang Allah sebutkan dalam ayat di atas. Allah tidak menyebutkan perubahan ada pada penguasa dan hukum mereka; akan tetapi perubahan adalah pada diri kita dulu, dimulai dari rumah tangga. Keluarga harus diajak kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah, kembali kepada Islam yang benar. Dengan kebaikan masyarakat; maka akan Allah bukakan barakah. Allah –Ta’aalaa- berfirman:
{وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ...}
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi,...” (QS. Al-A’raf: 96)
Jadi kita mulai dengan diri-diri kita.
[2]- PERNIKAHAN ADALAH FITRAH
Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- berfirman:
{فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ}
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,” (QS. Ar-Ruum: 30)
Pernikahan yang benar adalah laki-laki dan perempuan, dan inilah yang kita bahas. Dan kita tidak membahas pernikahan yang tidak benar dan yang menyalahi fitrah; seperti: pernikahan laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan.
Kemudian karena yang menikahi adalah laki-laki; maka pembicaraan tentang pernikahan ini diarahkan kepada laki-laki. Allah berfirman:
{...فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ...}
“…maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat...” (QS. An-Nisa’: 3)
Dan Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian memiliki kemampuan untuk menikah; maka menikahlah, karena nikah lebih menundukkan pandangan, dan ia lebih membentengi“farji” (kema1uan). Dan barangsiapa yang tidak mampu; maka hendaklah dia berpuasa, karena ia (puasa itu)dapat membentengi diri.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Di sini Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- menyebutkan bagi orang yang mampu untuk menikah: untuk segera menikah; karena akan lebih menundukkan pandangannya. Dengannya ia tidak akan melangar syari’at; seperti “istimnaa’” (onani); maka ini hukumnya haram dalam Islam, sebab Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- memberikan solusi bagi yang belum mampu menikah untuk berpuasa; bukan dengan onani.
Pernikahan yang sah akan membawa kepada separuh agama. Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
إِذَا تَزَوَّجَ الْعَبْدُ؛ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ نِصْفَ الدِّيْنَ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِيْمَا بَقِيَ
“Siapa saja yang menikah; maka diatelah melengkapi separuh imannya,maka hendaklah dia bertakwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi.” (HR. Ath-Thabrani)
Imam Al-Munawi -rahimahullaah-menjelaskan: “Rasulullah menjadikan takwa ke dalam dua bagian: satu bagian dapat diraih dengan menikah,dan satu bagian lagi dengan amal shalih selainnya. Abu Hatim -rahimahullaah- berkata: ‘Secara umum yang menguasai agama seseorang adalah kemaluan dan perutnya, dan salah satu dari keduanya dapat dicukupi dengan menikah’.”
Nabi juga bersabda dalam hadits yang lain:
مَنْ رَزَقَهُ اللهُ امْرَأَةً صَالِحَةً؛ فَقَدْ أَعَانَهُ عَلَى شَطْرِ دِيْنِهِ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي الشَّطْرِ الثَّانِيْ
“Siapa saja yang dikaruniai oleh Allah istri shalihah; maka sungguh Allah telah membantu dia dalam melaksanakan separuh agamanya. Hendaklah dia bertakwa kepada Allah dalam menjaga separuhnya lagi.” (HR. Ath-Thabrani)
Seorang istri yang shalihah dapat mambantu untuk menjaga separuh agama. Dengan menikah; maka banyak keutamaan dan ganjarannya. Di antaranya: seorang memberikan nafkah kepada istri yang ini lebih utama dari infak untuk orang miskin, membebaskan budak, dan infak dalam jihad fi sabilillah.
Kalau orang belum menikah kemudian bekerja mencari uang; maka uangnya untuk apa?! Tapi kalau dia menikah; maka dia memberi nafkah kepada istri dan anak, membiayai sekolah anak: dan dia akan mendapat ganjaran.
Juga seorang akan terjaga dari zina, homo, dan lain-lain.
Sehingga Islam tidak menyukai hidup membujang. Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ، فََإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Nikahilah wanita yang penyayang dan subur, karena aku akan berbangga dengan banyaknya umatku di hadapan pada nabi pada Hari Kiamat.” (HR. Ahmad dan lainnya).
Pernah suatu ketika tiga orang Shahabat datang bertanya kepada Ummahatul Mukminin tentang ibadah Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-. Setelah diterangkan; maka ketiganya spontan ingin meningkatkan ibadah masing-masing. Salah seorang dari mereka berkata: “Sungguh, aku akan berpuasa sepanjang masa tanpa putus.” Shahabat lain berkata: “Aku akan shalat malam selamanya.” Dan yang satu lagi berkata: “Akan aku jauhi wanita,sehingga saya tidak akan menikah selama-lamanya....”
Ketika hal itu didengar oleh Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-; makabeliau segera keluar seraya bersabda:
أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا، أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Benarkah kalian yang telah mengatakan begini dan begitu? Demi Allah, sungguh akulah yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa kepada-Nya di antara kalian. Meski demikian, aku tetap berpuasa dan aku berbuka (tidak puasa), aku shalat dan aku pun tidur, dan aku juga menikahi wanita. Maka, siapa saja yang tidak menyukai sunnahku; maka dia tidak termasuk golonganku.” (HR. Al-Bukhari & Muslim)
Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-menyebutkan: bahwa menikah termasuk Sunnah beliau; sehingga laki-laki harus segera menikah. Beliau bersabda:
النِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِي، فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي، وَتَزَوَّجُوا، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ الْأُمَمَ، وَمَنْ كَانَ ذَا طَوْلٍ فَلْيَنْكِحْ، وَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ، فَإِنَّ الصَّوْمَ لَهُ وِجَاءٌ
“Menikah adalah sunnahku. Siapa yang enggan mengerjakan sunnahku; maka dia bukan dari golonganku. Menlkahlah kalian! Karena sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya jumlah kalian di hadapan seluruh umat kelak. Siapa yang memiliki kemampuan untuk menikah; maka menikahlah. Dan siapa yang belum mampu hendaklah berpuasa, karena puasa itu adalah perisai baginya (dari berbagai syahwat) .” (HR. Ibnu Majah)
Para nabi dan rasul juga menikah.Allah -Ta’aalaa- berfirman:
{وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً...}
“Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad) dan Kami berikan kepada mereka istri-istri dan keturunan…” (QS. Ar-Ra’d: 38)
[3]- TUJUAN PERNIKAHAN
Jalan yang sah adalah dengan menikah, bukan dengan pacaran, kumpul kebo dan lainnya.
Adapun zina; maka dosa besar yang keji. Allah berfirman:
{وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا}
“Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Israa’: 32)
Menikah akan mendatangkan kebahagiaan, sakinah, mawaddah, dan rahmah. Dan hal ini akan dia dapatkan dengan melaksanakan ibadah dalam rumah tangganya, karena kita memang diciptakan untuk beribadah kepada Allah.
Allah berfirman:
{وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ}
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum: 21).
Antara orang yang sudah menikah dengan yang belum adalah berbeda. Orang yang telah menikah akan mendapatkan ketenangan. Ketika pulang kerja; maka istri sudah siap untuk menyambutnya, karena istri memang tugasnya di rumah; bukan bekerja di luar rumah.
Dan kecintaan yang hakiki ada setelah pernikahan bukan dengan pacaran, dan kecintaan ini ada bahkan pada orang kafir sehingga ada di antara mereka yang bisa langgeng pernikahannya sampai usia tua.
Rasulullah bersabda:
لَمْ يُرَ لِلْمُتَحَابَّيْنِ مِثْلَ النِّكَاحِ
“Tidak pernah terlihat dua insan yang saling mencintai seperti halnya yang terlihat dalam pernikahan.” (HR. Ibnu Majah dan lainnya)
Cinta orang pacaran adalah semu: motor pinjam, dandan juga demikian, dan seterusnya. Semuanya pura-pura. Cinta yang dibungkusdengan kepura-puraan.
Berduaan dengan perempuan adalah haram, melihat perempuan yang tidak halal juga haram, meraba perempuan yang tidak halal juga haram.
Di antara tujuan pernikahan juga adalah: mendapatkan keturunan yang shalih. Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- berfirman:
{وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ}
“Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau istri) dari jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rezeki dari yang baik. Mengapa mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?” (QS. An-Nahl: 72)
Setiap orang yang menikah pasti ingin memiliki anak. Dengan menikah -dengan izin Allah- ia akan mendapatkan keturunan yang shalih, sehingga menjadi aset yang sangat berharga. Karena anak yang shalih akan senantiasa mendo’akan kedua orang tuanya, serta dapat menjadikan amal seseorang terus mengalir meskipun jasadnya sudah berkalang tanah
di dalam kubur. Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah seluruh amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim)
Bahkan ada orang tua yang sedikit amalnya kemudian Allah masukkan ke dalam Surga dengan sebab istighfar anaknya. Ketika anak meminta ampunan kepada Allah setiap hari; maka akan diampuni dosa orang tua sehingga bisa masuk Surga. Ini kalau satu anak; bagaimana kalau banya anak yang memintakan ampunan untuk orang tua. Sehingga KB (membatasi kelahiran) dalam Islam adalah haram. Dan Nabi ingin umatnya banyak anak, dan Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- juga mendo’akan Anas untuk banyak anak dan banyak rezeki:
اللّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ، وَبَارِكْ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتَهُ
“Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya dan berkahilah baginya apa-apa yang Engkau anugerahkan kepadanya.” (HR. Al-Bukhari)
Dengan kehendak Allah, Anasmenjadi orang yang paling banyak anaknya dan paling banyak hartanya pada waktu itu di Madinah. Anas pun menyatakan: “Putriku, Umainah, memberithukan bahwa anak-anakku yang sudah meninggal dunia berjumlah 120 sekian orang sewaktu Hajjaj bin Yusuf memasuki kota Bashrah.”
Seorang muslim tidak boleh khawatir tentang masa depan. Allah Yang Menciptakan; maka Allah juga Yang Memberi Rezeki. Allah Al-Khaliq dan juga Ar-Razzaq. Akan tetapi dibisiki oleh setan dari jenis jin dan setan dari jenis manusia: nanti makannya bagaimana, sekolahnya bagaimana. Maka antum jangan mau dibisiki setan dan jangan jadi setan. Wajib kita menyerahkan segala urusan kepada Allah.
Allah berfirman:
{الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاءِ وَاللَّهُ يَعِدُكُمْ مَغْفِرَةً مِنْهُ وَفَضْلا وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ}
“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kemiskinan kepadamu dan menyuruh kamu berbuat keji (kikir), sedangkan Allah menjanjikan ampunan dan karunia-Nya kepadamu. Dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 268)
Orang dulu tidak pernah berfikir kalau banyak anak bagaimana makan dan sekolahnya, orang sekarang yang banyak takutnya. Dan -sekali lagi- Nabi menyukai umatnya untuk banyak anak.
Di antara manfaat memiliki banyak anak adalah:
a. Mendapat karunia yang sangat besar yang lebih tinggi nilainya daripada harta.
b. Menjadi buah hati yang menyejukkan pandangan.
c. Sarana untuk memperoleh ganjaran dari sisi Allah.
d. Di dunia mereka bisa tolong-menolong dalam kebajikan.
e. Dapat membantu meringankan beban orang tua.
f. Doa mereka menjadi amal yang bermanfaat ketika kedua orang tua tidak bisa lagi beramal (telah meninggal dunia).
g. Jika salah satunya ditakdirkan meninggal tatkala masih kecil atau belum baligh; insya Allah dia menjadi syafa’at (penghalang masuknya seseorang ke dalam Neraka) bagi kedua orang tua di akhirat.
h. Menjadi hijab (pembatas) antara dirinya dan api Neraka, manakala orang tuanya mampu mendidik mereka hingga menjadi anak yang shalih dan shalihah.
i. Menjadi salah satu sebab kemenangan kaum muslimin ketika jihadfi sabilillah diserukan, karena jumlah mereka yang sangat banyak.
j. Membuat Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-; berbangga pada hari Kiamat, dengan sebab jumlah umatnya yang begitu banyak.
[4]- HAK ISTRI YANG WAJIB DIPENUHI OLEH SUAMI
Di antara yang paling pokok adalah: memberikan nafkah yang lahir maupun bathin, memberikan pakaian, dan mendidiknya.
Dan nafkah harus dari harta yang halal, karena kalau diberikan dari yang haram; maka do’anya bisa tidak dikabulkan oleh Allah.
Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- menyebutkan orang yang lama bepergian, yang rambutnya kusut, berdebu, dan ia menengadahkan kedua tangannya ke langit: ‘Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!’ Sedang makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia diberi kecukupan dengan yang haram; maka bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan?!” (HR. Muslim)
Safar merupakan sebab untuk dikabulkannya do’a. Akan tetapi disebutkan bahwa ada penghalang berupa makan dari yang haram; sehingga do’anya tidak dikabulkan oleh Allah.
Sehingga suami harus mencarai harta yang halal, karena daging yang tumbuh dari yang haram; maka lebih berhak untuk Neraka.
Dan memberi nafkah untuk keluarga adalah besar pahalanya.
Yang wajib memberi nafkan adalah laki-laki, sedangkan istri tidak wajib. Karena mencari nafkah memang kewajiban laki-laki
Allah berfirman:
{الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ...}
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya...” (QS. An-Nisaa’: 34)
Seorang suami harus mencari nafkah, tidak boleh begantung kepada orang lain, tidak boleh bergantung kepada orang tua, dan semisalnya.
Dan ini ganjarannya besar, sedangnkan menyaia-nyiakan keluarga ada ancaman dari Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-.
Seorang suami juga wajib untuk mengajak istri ke Surga, dengan cara mendidiknya. Inilah fokus pembahasn kita.
Allah berfirman:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ}
“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)
Menjaga keluarga dari api Neraka mengandung maksud: menasihati mereka agar ta’at, bertakwa kepada Allah -’Azza Wa Jalla- dan mentauhidkan-Nya serta menjauhkan syirik, mengajarkan kepada mereka tentang syari’at Islam, dan tentang adab-adabnya. Para Sahabat dan mufassirin (ahli tafsir) menjelaskan tentang tafsir ayat tersebut sebagai berikut.
Ali bin Abi Thalib -radhiyallaahu ‘anhu- berkata: “Ajarkanlah agama kepada keluarga kalian, dan ajarkan pula adab-adab Islam.”
Qatadah -rahimahullaah- berkata: “Suruh keluarga kalian untuk ta’at kepada Allah! Cegah mereka dari berbuat maksiat! Hendaknya mereka melaksanakan perintah Allah danbantulah mereka! Apabila kalian melihat mereka berbuat maksiat; maka cegah dan laranglah mereka!”
Ibnu Jarir ath-Thabari -rahimahullaah- berkata: “Ajarkan kepada keluarga kalian: keta’atan kepada Allah yang hal itu dapat menyelamatkan diri mereka dari api Neraka.”
Imam Asy-Syaukani -rahimahullaah-mengutip perkataan Ibnu Jarir: “Wajib bagi kita mengajarkan anak-anak kita dienul islam (ajaran agama Islam), serta mengajarkan segala kebaikan danadab-adab Islam.”
Maka wajib untuk memerintahkan keluarga kepada yang ma’ruf dan melarang mereka dari yang mungkar. Dan ma’ruf yang paling ma’ruf adalah Tauhid dan mungkar yang paling mungkar adalah syirik. Maka ini harus diajarkan.
Oleh karena itulah setelah seorang laki-laki melakukan akad nikah; maka suami langsung mengatakan kepada istrinya: “Kewajiban kamu adalah untuk ta’at kepadaku.” Karena setelah ayahnya menyerahkan anak perempuannya kepada suaminya; maka tanggung jawab diserahkan kepada suami. Dan suami untuk bisa memikul tanggung jawab tersebut harus dengan menuntut ilmu. Ketika orang-orang sibuk dengan pemilihan pemimpin Negara; maka harusnya kita menyibukkan diri sendiri dengan kepemimpinan sebagai pemimpin yang baik bagi keluarga.
Tapi banyak suami yang menjadi makmum, dan pemimpinnya adalah istrinya. Apa yang dikatakan oleh istrinya; maka dia mendengar dan ta’at. Ini adalah suami yang bodoh. Allah menjadikan kepemimpinan pada suami -sebagaimana dalam ayat (QS. An-Nisaa’: 34) di atas-.
Dan setiap orang hendaknya berdo’a untuk bisa menjadi pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa, dengan beragama berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah dengan pemahaman Salaf. Dan setiap orang harus meluangkan waktu untuk menuntut ilmu (yang ini merupakan bentuk ibadah). Dan manusia diciptakan untuk beribadah, adapaun mencari nafkah; adalah sekedarnya. Sehingga seorang harus meluangkan waktunya untuk menuntut ilmu.
Kalau istri tidak masak; maka suami tidak berdosa. Akan tetapi ketika istri tidak bisa wudhu’ dan tidak bisa Shalat; maka suaminya berdosa.
Kemudian suami juga harus memperhatikan pendidikan anaknya, bukan hanya diserahkan kepada sekolah Islam.
[5]- KEWAJIBAN UNTUK MENDIDIK ANAK
Kita ditanya tentang istri dan anak kita, kita tidak ditanya tentang siapa pemimpin kita: apakah 01 ataukah 02. Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالأَمِيرُ رَاعٍ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ، وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ، فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian bertanggung jawab atas orang yang dipimpinnya. Seorang amir (raja) adalah pemimpin, seorang suami pun pemimpin atas keluarganya, dan istri juga pemimpin bagi rumah suaminya dan anak-anaknya. Setiap kalian adalah pemimpin, dan kamu sekalian akan diminta pertanggungjawaban atas orang yang dipimpinnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Banyak rumah tangga berantakan karena suami sibuk dengan politik, dagang, kerja, usaha; sehingga tidak memperhatikan istri dan anaknya.
Wajib mendidik anak dengan baik dan sabar agar mencintai Allah dan Rasul-Nya.
Dan pendidikan yang palin pokok adalah Tauhid. Allah -Ta’aalaa- berfirman:
{وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ}
“Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya: ”Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar.” (QS. Luqman: 13)
Juga mengajarkan kalimat-kalimat yang baik: dzikir-dzikir dan membaca Al-Qur-an. Sehingga orang tua juga harus rajin membaca Al-Qur-an, minimal satu juz; agar bisa menjadi teladan bagi anak-anaknya.
Disamping kita menyekolahkan anak di sekolah-sekolah Islam; maka pendidikan di rumah juga jangan ditinggalkan. Terus ajarkan adab-adab Islami: adab makan dan minum dengan tangan kanan, bacaan ketika masuk dan keluar WC, bacaan tidur, dan lain-lain. Dan yang harus diperhatikan juga adalah Shalat, mulai disuruh Shalat pada umur tujuh tahun umur tiga/empat tahun diajarkan maka tidak masalah, tapi jangan diajak ke masjid jika mengganggu. Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا، وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Suruhlah anak kalian shalat ketika berumur tujuh tahun, dan kalau sudah berusia sepuluh tahun meninggalkan shalat, maka pukullah dia. Dan pisahkanlah tempat tidurnya (antara anak laki-laki dan anak wanita) .” (HR. Abu Dawud)
Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- berfirman:
{وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى}
“Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan shalat dan sabar dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik di akhirat) adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. Thaha: 132)
Jika istri sibuk dengan masak, anak sibuk dengan main; maka kepala rumah tangga harus memerintahkan untuk Shalat. Maka kita boleh agak keras untuk ini, karena kalau tidak; maka kasihan mereka nantinya.
Dan dengan mengerjakan Shalat; maka Allah akan memberikan rezeki -sebagaimana dalam ayat di atas-.
Nabi Ibrahim -‘alaihis salaam- selain berdo’a agar anak cucunya tidak meyembah berhala: juga berdo’a agar anak cucunya tetap Shalat. Allah berfirman:
{رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ}
“Ya Rabb-ku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang yang tetap melaksanakan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah do’aku.” (QS. Ibrahim: 40)
Anak istri harus benar shalatnya, hafal do’a-do’anya, dan memahami makna-makna dari apa yang dibaca.
Maka harus diperhatikan waktu-waktu Shalat, wudhu’-nya, dan Shalat berjama’ah bagi laki-laki. Allah berfirman:
{وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ}
“Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang yang rukuk.” (QS. Al-Baqarah: 43)
Imam Ibnu Katsir -rahimahullaah- berkata: “Banyak ulama berdalil dengan ayat ini atas wajibnya shalat berjama’ah.”
Adapun perempuan; maka yang terbaik adalah Shalat di rumah.
Orang tua juga harus memperhatikan akhlak anak-anaknya dan juga lisan-lisan mereka. Dan yang terbanyak memasukkan ke Neraka adalah lisan.
سُئِلَ رَسُولُ اللهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الجَنَّةَ، فَقَالَ: ((تَقْوَى اللهِ وَحُسْنُ الخُلُقِ)) وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ، فَقَالَ: ((الفَمُ وَالفَرْجُ))
Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- ditanya tentang kebanyakan yang menyebabkan manusia masuk Surga; maka beliau menjawab: “Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik.” Dan ketika ditanya tentang kebanyakan yang menyebabkan manusia masuk Neraka, maka beliau menjawab: “Mulut dan kemaluan.” (HR, At-Tirmidzi)
Juga harus memperhatikan pergaulan anak, karena Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seorang bergantung kepada agama teman karibnya; maka hendaklah seorang dari kalian melihat dengan siapa dia berteman.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan lainnya)
Pergaulan anak harus dijaga, baik pergaulan dengan manusia atau juga dengan HP. Karena anak bisa melihat hal yang haram atau bermain yang menghabiskan waktu. Belum lagi syubhat yang ada di HP itu.
Kita senantiasa berdo’a kepada Allah agar dianugerahi anak-anak yang shalih, seperti yang Allah firmankan tentang do’a hamba-hamba Allah:
{...رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا}
“…Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan: )
Selain berdo’a juga harus ada usaha. Sama seperti berdo’a untuk diberi ilmu; maka juga harus ada usaha dengan menuntut ilmu.
Di antara pendidikan terhadap keluarga adalah dengan mengajarkan do’a-do’a dan dzikir-dzikir yang shahih. Seperti dzikir pagi & sore, dzikir mulai dari bangun tidaur sampai mau tidur lagi.
Selain juga hal-hal lain: seperti mengajarkan untuk bersedekah. Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- menyebutkan bahwa yang banyak masuk Neraka adalah para wanita dan beliau perintahkan mereka untuk bersedekah.
Maka yang paling pertama diperhatikan adalah keadan suami itu sendiri, kemudian istri yang harus ta’at kepada suami. Dan ada tabi’at yang bengkok dan susah untuk diperbaiki; maka harus bersabar.
Kewajiban suami untuk mendidik istri, karena terkadang pendidikan yang baik bagi anak tidak disetujui oleh istri; sehingga harsu mendidik istri terlebih dahulu.
[6]- HAK SUAMI YANG WAJIB DIPENUHI OLEH ISTRI
Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- berfirman:
{الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ...}
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka)...” (QS. An-Nisa’: 34)
Seorang istri punya kewajiban ta’at yang besar kepada suaminya. Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Seandainya aku boleh untuk menyuruh seorang untuk sujud kepada orang lain; maka aku akan perintahkan seorang wanita untuk sujud kepada suaminya.” (HR. At-Tirmidzi dan lainnya).
Dan perempuan kalau dia ta’at kepada suaminya; maka dia masuk Surga. Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خُمُسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وحصَّنت فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ
“Apabila seorang istri mengerjakan shalat yang lima waktu, berpuasa pada bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya (menjaga kehormatannya), dan taطat kepada suaminya: niscaya ia akan masuk Surga dari pintu mana saja yang dikehendakinya.” (HR. Ibnu Hibban)
Nabi sebutkan empat yang tidak berat untuk dilakukan istri agar bisa masuk Surga.
Dalam hadits yang lain, Rasulullah & bersabda tentang sifat wanita penghuni Surga:
“… Wanita-wanita kalian yang menjadi penghuni Surga adalah yang penuh kasih sayang, banyak anak, dan setia kepada suaminya yang jika suaminya marah, ia mendatanginya dan meletakkan tangannya di atas tangan suaminya dan berkata: ‘Aku tidak dapat tidur nyenyak hingga engkau ridha?” (HR. Ath-Thabrani)
Seorang istri tidak bisa memenuhi hak Allah sampai dia memenuhi hal suaminya. Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-bersabda:
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَا تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا، وَلَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا، وَهِيَ عَلَى قَتَبٍ، لَمْ تَمْنَعْهُ
“… Demi Allah, yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seorang wanita tidak akan sanggup menunaikan hak Allah sebelum ia menunaikan hak suaminya. Andaikan suami meminta dirinya (untuk berhubungan intim) ketika berada di atas punggung unta; maka ia tetap tidak boleh menolak.” (HR. Ibnu Majah)
-ditulis dengan ringkas oleh: Ahmad Hendrix
Subscribe to:
Comments (Atom)