UNTAIAN NASEHAT UNTUK PRIBADI & SAUDARA2KU....
⁉ Apa yang Kita cari dalam hidup ini...?
๐ป Kita hidup di gunung merindukan pantai...
◆Kita hidup di pantai merindukan gunung...
⁉ Kalau kemarau kita tanya kapan hujan?
⁉ Di musim hujan kita tanya kapan kemarau?
๐ก Diam di rumah pengennya pergi...
◆Setelah pergi pengennya pulang ke rumah...
⏰ Waktu tenang cari keramaian...
◆Waktu ramai cari ketenangan...
๐ค Ketika masih bujang mengeluh kepengen nikah, Sudah berkeluarga, mengeluh belum punya anak, setelah punya anak mengeluh biaya hidup dan pendidikan...
๐ฏ Ternyata SESUATUMU tampak indah karena belum kita miliki...
⁉ Kapankah kebahagiaan akan didapatkan kalau kita hanya selalu memikirkan apa yang belum ada, tapi mengabaikan apa yang sudah kita miliki...
☑ Jadilah pribadi yang SELALU BERSYUKUR...
dengan rahmat yang sudah kita miliki...
๐❓Mungkinkah selembar daun yang kecil dapat menutupi bumi yang luas ini??
Menutupi telapak tangan saja sulit...
๐ Tapi kalo daun kecil ini nempel di mata kita, maka tertutuplah “BUMI" dengan Daun,
๐ Begitu juga bila hati ditutupi pikiran buruk sekecil apapun, maka kita akan melihat keburukan dimana-mana
Bumi inipun akan tampak buruk...
⛔ Jangan menutup mata kita, walaupun hanya dengan daun yang kecil...
⛔ Jangan menutupi hati kita, dengan sebuah pikiran buruk, walau cuma seujung kuku...
☑ SYUKURI apa yang sudah kita miliki, sebagai modal untuk meMULIAkan NYA...
๐ฏ Karena hidup adalah : WAKTU yang dipinjamkan,
dan Harta adalah Amanah yang dipercayakan...
yang semua itu akan di mintai pertanggung jawaban,
☑ Bersyukurlah atas nafas yang masih kita miliki...
☑ Bersyukurlah atas keluarga yang kita miliki...
☑ Bersyukurlah atas pekerjaan yang kita miliki...
☑ Bersyukur& selalu bersyukur di dalam segala hal. Bersegeralah berlomba dalam kebaikan di mulai dari sekarang.
๐ฐ Selamat meraih kebaikan di hari ini saudaraku semua....
✒Oleh: Ustadz Musyaffa Ad Dariny, MA ุญูุธู ุงููู ุชุนุงูู
Rumah Tahfidz, Belajar Tahsin dan Tajwid Al Qur'an, Kajian Ilmu syar'i Hub: Diana Gasim (Ummu Achmad ) 085312837788)
Monday, July 22, 2019
Lentera Da'wah:
*Wahai Orang Tua, Doakan Anakmu Yang Sedang Menuntut Ilmu*
Abu Ubaidah Yusuf As Sidawi
Hari2 ini, banyak orang tua mengantar anak2 mereka ke sekolah atau pesantren. Semoga sebagaimana sekarang kita bisa bergandengan tangan menuju taman surga dunia guna menimba ilmu agama, kitapun kelak bisa bergandengan tangan menuju surga sesungguhnya.
Terkadang ada perasaan berat dan setengah tega meninggalkan anak untuk berada di penjara suci, karena mereka tidak bisa bebas seperti anak2 lain seusianya.
Tapi tak perlu kau tangisi mereka karena mereka bukan dalam musibah yg perlu kau tangisi. Justru yang perlu kau tangisi jika anakmu tak ngerti ilmu agama. Kita mestinya senang tatkala putra putri kita berada di jalan mulia dan jauh dari pergaulan yg hina.
Yakinlah wahai orang tua bahwa perjuanganmu adalah untuk masa depan anak2 mu agar menjadi penyejuk hatimu di dunia dan bisa berkumpul kelak di surga bersama mereka.
Biarlah engkau dan mereka bersedih menahan kerinduan sementara agar mereka belajar kemandirian, kedewasaan, persahabatan dan menjadi manusia yg berilmu agama agar lurus agama dan berakhlak mulia.
Ibu dan ayah...
Jangan lupakan untuk menyelipkan untaian doa buat anakmu yg sedang berjuang mengejar surga dg ilmu agama.
Berikanlah motivasi dan dukunganmu untuk mereka, karena ketulusan tutur katamu begitu membekas memasuki relung hati mereka.
Imam Dzahabi menceritakan dalam biografi Imam Sulaim bin Ayyub ar-Razi, bahwa ketika masih kecil sekitar umur sepuluh tahun, dia belajar mengaji kepada sebagian ustadz di kampungnya.
Sang ustadz mengatakan, “Maju dan cobalah membaca al-Qur’an.”
Dia (Sulaim bin Ayyub) pun berusaha semaksimal mungkin untuk membaca al-Fฤtihah, tetapi tidak bisa karena ada sesuatu pada lidahnya.
Sang ustadz lalu bertanya, “Apakah engkau punya seorang ibu?”
“Ya,” jawab Sulaim.
“Kalau begitu, mintalah kepada ibumu agar dia berdo’a supaya Allah memudahkan engkau untuk bisa membaca al-Qur’an dan meraih ilmu agama,” tutur sang ustadz selanjutnya.
Sulaim menjawab, “Ya, akan saya sampaikan pada ibuku.”
Maka setelah pulang ke rumah, dia menyampaikannya kepada ibunya, dan sang ibu lalu bermunajat dan berdo’a kepada Allah. Setelah itu, Sulaim menginjak masa dewasa dan berkelana ke Baghdad untuk menuntut ilmu bahasa Arab, fiqih, dan lain-lain.
Ketika dia pulang kembali ke kampungnya di Ray sedang menyalin kitab Mukhtashar al-Muzani di sebuah masjid, ternyata ustadznya yang dahulu datang seraya mengucapkan salam kepadanya. Namun, sang ustadz sudah tidak mengenal Sulaim lagi. Tatkala ustadznya mendengar salinan kitab tersebut dan dia tidak paham apa yang sedang dibaca, dia berkomentar, “Kapankah ilmu seperti ini bisa dipelajari?” Kata Sulaim, “Ingin sekali rasanya saya mengatakan padanya: ‘Jika Anda punya seorang ibu maka mintalah kepada ibu Anda agar mendoakan untuk Anda’, tetapi saya malu mengatakan hal itu.” (Siyar A’lฤmin Nubalฤ’ 34/156–157 oleh adz-Dzahabi)
Kisah ini memberikan faedah bahwa doa orang tua—terutama seorang ibu—adalah mustajab (pasti terkabul).
Sebab itu, wahai saudaraku penuntut ilmu, janganlah pernah engkau hanya bergantung pada dirimu. Tetaplah engkau memohon pertolongan kepada Allah dan mintalah kepada orang tuamu agar mendo’akan untukmu.
Dan engkau wahai orang tua, jangan lupa mendoakan anak2 mu agar betah di pondok dan dimudahkan memahami ilmu agama sehingga kelak menjadi anak-anak yg shalih dan shalihah.
Semoga Allah menganugerahkan ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Amin.
ุฑَุจِّ َูุจۡ ِูู ู ِู َّูุฏَُูู ุฐُุฑَِّّูุฉٗ ุทَِّูุจَุฉًۖ ุฅََِّูู ุณَู ِูุนُ ูฑูุฏُّุนَุงุٓกِ
“Ya Robbku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa" (Qs.al-Furqon : 38)
*Wahai Orang Tua, Doakan Anakmu Yang Sedang Menuntut Ilmu*
Abu Ubaidah Yusuf As Sidawi
Hari2 ini, banyak orang tua mengantar anak2 mereka ke sekolah atau pesantren. Semoga sebagaimana sekarang kita bisa bergandengan tangan menuju taman surga dunia guna menimba ilmu agama, kitapun kelak bisa bergandengan tangan menuju surga sesungguhnya.
Terkadang ada perasaan berat dan setengah tega meninggalkan anak untuk berada di penjara suci, karena mereka tidak bisa bebas seperti anak2 lain seusianya.
Tapi tak perlu kau tangisi mereka karena mereka bukan dalam musibah yg perlu kau tangisi. Justru yang perlu kau tangisi jika anakmu tak ngerti ilmu agama. Kita mestinya senang tatkala putra putri kita berada di jalan mulia dan jauh dari pergaulan yg hina.
Yakinlah wahai orang tua bahwa perjuanganmu adalah untuk masa depan anak2 mu agar menjadi penyejuk hatimu di dunia dan bisa berkumpul kelak di surga bersama mereka.
Biarlah engkau dan mereka bersedih menahan kerinduan sementara agar mereka belajar kemandirian, kedewasaan, persahabatan dan menjadi manusia yg berilmu agama agar lurus agama dan berakhlak mulia.
Ibu dan ayah...
Jangan lupakan untuk menyelipkan untaian doa buat anakmu yg sedang berjuang mengejar surga dg ilmu agama.
Berikanlah motivasi dan dukunganmu untuk mereka, karena ketulusan tutur katamu begitu membekas memasuki relung hati mereka.
Imam Dzahabi menceritakan dalam biografi Imam Sulaim bin Ayyub ar-Razi, bahwa ketika masih kecil sekitar umur sepuluh tahun, dia belajar mengaji kepada sebagian ustadz di kampungnya.
Sang ustadz mengatakan, “Maju dan cobalah membaca al-Qur’an.”
Dia (Sulaim bin Ayyub) pun berusaha semaksimal mungkin untuk membaca al-Fฤtihah, tetapi tidak bisa karena ada sesuatu pada lidahnya.
Sang ustadz lalu bertanya, “Apakah engkau punya seorang ibu?”
“Ya,” jawab Sulaim.
“Kalau begitu, mintalah kepada ibumu agar dia berdo’a supaya Allah memudahkan engkau untuk bisa membaca al-Qur’an dan meraih ilmu agama,” tutur sang ustadz selanjutnya.
Sulaim menjawab, “Ya, akan saya sampaikan pada ibuku.”
Maka setelah pulang ke rumah, dia menyampaikannya kepada ibunya, dan sang ibu lalu bermunajat dan berdo’a kepada Allah. Setelah itu, Sulaim menginjak masa dewasa dan berkelana ke Baghdad untuk menuntut ilmu bahasa Arab, fiqih, dan lain-lain.
Ketika dia pulang kembali ke kampungnya di Ray sedang menyalin kitab Mukhtashar al-Muzani di sebuah masjid, ternyata ustadznya yang dahulu datang seraya mengucapkan salam kepadanya. Namun, sang ustadz sudah tidak mengenal Sulaim lagi. Tatkala ustadznya mendengar salinan kitab tersebut dan dia tidak paham apa yang sedang dibaca, dia berkomentar, “Kapankah ilmu seperti ini bisa dipelajari?” Kata Sulaim, “Ingin sekali rasanya saya mengatakan padanya: ‘Jika Anda punya seorang ibu maka mintalah kepada ibu Anda agar mendoakan untuk Anda’, tetapi saya malu mengatakan hal itu.” (Siyar A’lฤmin Nubalฤ’ 34/156–157 oleh adz-Dzahabi)
Kisah ini memberikan faedah bahwa doa orang tua—terutama seorang ibu—adalah mustajab (pasti terkabul).
Sebab itu, wahai saudaraku penuntut ilmu, janganlah pernah engkau hanya bergantung pada dirimu. Tetaplah engkau memohon pertolongan kepada Allah dan mintalah kepada orang tuamu agar mendo’akan untukmu.
Dan engkau wahai orang tua, jangan lupa mendoakan anak2 mu agar betah di pondok dan dimudahkan memahami ilmu agama sehingga kelak menjadi anak-anak yg shalih dan shalihah.
Semoga Allah menganugerahkan ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Amin.
ุฑَุจِّ َูุจۡ ِูู ู ِู َّูุฏَُูู ุฐُุฑَِّّูุฉٗ ุทَِّูุจَุฉًۖ ุฅََِّูู ุณَู ِูุนُ ูฑูุฏُّุนَุงุٓกِ
“Ya Robbku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa" (Qs.al-Furqon : 38)
๐ *MUQADDIMAH JAZARIYYAH DAN TUHFATUL ATHFAAL, APA BEDANYA?* ๐
✅ Kitab Muqaddimah Jazariyyah (Jazari) dan Tuhfatul Athfaal (Tuhfah) merupakan di antara matn ilmu tajwid yang telah diakui dan menjadi rujukan utama para Ulama Tajwid dan Ahli Qiraat.
✅ Keduanya disusun dalam bentuk bait-bait syair _(nazhm),_ karenanya keduanya juga sering disebut sebagai "Manzhumah".
✅ Keduanya disusun dengan pola syair _(bahr) rajaz,_ karenanya susunan bait kedua Matn ini sama dan bisa dilagukan dengan nada yang sama persis.
๐ Matn Jazari atau judul aslinya adalah _Al-Muqaddimah Fiimaa Yajibu 'Alaa Qaariil Qur'aani An Ya'lamah_ ditulis oleh *Al-Imam Muhammad Ibnul Jazariy* (751-833 H).
๐ Matn Tuhfah yang judul aslinya adalah _Tuhfatul Athfaal wal Ghilmaani Fii Tajwiidil Qur'aan_ ditulis oleh *Al-Imam Sulaiman Al-Jamzuriy* (wafat 1208 H).
✅ Di antara perbedaannya:
⭕ Pembahasan pada Jazari sedikit lebih luas dibandingkan Tuhfah.
⭕ Bahasan pada Tuhfah hanya mencakup beberapa bab yang membicarakan hukum-hukum Tajwid seperri: Nun Sakinah/ Tanwin, Mim Sakinah, Lam Sakinah, Mitslain-Mutqaribain-Mutajanisain, dan Persoalan Madd.
⭕ Bahasan pada Jazari mencakup apa yang ada pada Tuhfah secara umum, ditambah permasalahan Makharijul Huruf, Sifat-Sifat Huruf, Tafkhim dan Tarqiq, Permasalahan Waqf dan Ibtida, serta Sekilas Ilmu Penulisan Al-Quran _(Rasm)_ yang berhubungan dengan _Waqf_ dan _Ibtida,_ yakni permasalahan _Maqthu-Maushul_ dan _Ta Ta'nits._
⭕ Kedua kitab tersebut dapat dikatakan saling melengkapi satu sama lain, karena ada beberapa bahasan yang dirinci pada Tuhfah namun hanya dibahas sekilas pada Jazari, seperti Persoalan Madd dan Mitslain-Mutaqaribain-Mutajanisain.
⭕️ Terkhusus Bab Madd, dalam Matn Jazari hanya tercantum empat baris bait saja, sedangkan dalam Matn Tuhfah sampai terbagi pada tiga bab, bahkan mengambil porsi sampai kurang lebih 40% dari keseluruhan bait-bait Tuhfah.
⭕ Kedua kitab ini telah menjadi rujukan para Ulama Tajwid di seluruh dunia, dimana Tuhfah biasanya dijadikan rujukan untuk para pemula dan Jazari diberikan sebagai lanjutannya.
_Wallaahu a'lam_
*- Laili Al-Fadhli -*
✅ Kitab Muqaddimah Jazariyyah (Jazari) dan Tuhfatul Athfaal (Tuhfah) merupakan di antara matn ilmu tajwid yang telah diakui dan menjadi rujukan utama para Ulama Tajwid dan Ahli Qiraat.
✅ Keduanya disusun dalam bentuk bait-bait syair _(nazhm),_ karenanya keduanya juga sering disebut sebagai "Manzhumah".
✅ Keduanya disusun dengan pola syair _(bahr) rajaz,_ karenanya susunan bait kedua Matn ini sama dan bisa dilagukan dengan nada yang sama persis.
๐ Matn Jazari atau judul aslinya adalah _Al-Muqaddimah Fiimaa Yajibu 'Alaa Qaariil Qur'aani An Ya'lamah_ ditulis oleh *Al-Imam Muhammad Ibnul Jazariy* (751-833 H).
๐ Matn Tuhfah yang judul aslinya adalah _Tuhfatul Athfaal wal Ghilmaani Fii Tajwiidil Qur'aan_ ditulis oleh *Al-Imam Sulaiman Al-Jamzuriy* (wafat 1208 H).
✅ Di antara perbedaannya:
⭕ Pembahasan pada Jazari sedikit lebih luas dibandingkan Tuhfah.
⭕ Bahasan pada Tuhfah hanya mencakup beberapa bab yang membicarakan hukum-hukum Tajwid seperri: Nun Sakinah/ Tanwin, Mim Sakinah, Lam Sakinah, Mitslain-Mutqaribain-Mutajanisain, dan Persoalan Madd.
⭕ Bahasan pada Jazari mencakup apa yang ada pada Tuhfah secara umum, ditambah permasalahan Makharijul Huruf, Sifat-Sifat Huruf, Tafkhim dan Tarqiq, Permasalahan Waqf dan Ibtida, serta Sekilas Ilmu Penulisan Al-Quran _(Rasm)_ yang berhubungan dengan _Waqf_ dan _Ibtida,_ yakni permasalahan _Maqthu-Maushul_ dan _Ta Ta'nits._
⭕ Kedua kitab tersebut dapat dikatakan saling melengkapi satu sama lain, karena ada beberapa bahasan yang dirinci pada Tuhfah namun hanya dibahas sekilas pada Jazari, seperti Persoalan Madd dan Mitslain-Mutaqaribain-Mutajanisain.
⭕️ Terkhusus Bab Madd, dalam Matn Jazari hanya tercantum empat baris bait saja, sedangkan dalam Matn Tuhfah sampai terbagi pada tiga bab, bahkan mengambil porsi sampai kurang lebih 40% dari keseluruhan bait-bait Tuhfah.
⭕ Kedua kitab ini telah menjadi rujukan para Ulama Tajwid di seluruh dunia, dimana Tuhfah biasanya dijadikan rujukan untuk para pemula dan Jazari diberikan sebagai lanjutannya.
_Wallaahu a'lam_
*- Laili Al-Fadhli -*
Adab-Adab Penuntut Ilmu
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Rasulullah, amma ba’du. Para pembaca yang budiman, menuntut ilmu agama adalah sebuah tugas yang sangat mulia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah maka Allah akan pahamkan dia dalam hal agamanya.” (HR. Bukhari) Oleh sebab itu sudah semestinya kita berupaya sebaik-baiknya dalam menimba ilmu yang mulia ini. Nah, untuk bisa meraih apa yang kita idam-idamkan ini tentunya ada adab-adab yang harus diperhatikan agar ilmu yang kita peroleh membuahkan barakah, menebarkan rahmah dan bukannya malah menebarkan fitnah atau justru menyulut api hizbiyah. Wallaahul musta’aan.
ADAB PERTAMA
Mengikhlaskan Niat untuk Allah ‘azza wa jalla
Yaitu dengan menujukan aktivitas menuntut ilmu yang dilakukannya untuk mengharapkan wajah Allah dan negeri akhirat, sebab Allah telah mendorong dan memotivasi untuk itu. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Maka ketahuilah, sesungguhnya tidak ada sesembahan yang hak selain Allah dan minta ampunlah atas dosa-dosamu.” (QS. Muhammad: 19). Pujian terhadap para ulama di dalam al-Qur’an juga sudah sangat ma’ruf. Apabila Allah memuji atau memerintahkan sesuatu maka sesuatu itu bernilai ibadah.
Oleh sebab itu maka kita harus mengikhlaskan diri dalam menuntut ilmu hanya untuk Allah, yaitu dengan meniatkan dalam menuntut ilmu dalam rangka mengharapkan wajah Allah ‘azza wa jalla. Apabila dalam menuntut ilmu seseorang mengharapkan untuk memperoleh persaksian/gelar demi mencari kedudukan dunia atau jabatan maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Barang siapa yang menuntut ilmu yang seharusnya hanya ditujukan untuk mencari wajah Allah ‘azza wa jalla tetapi dia justru berniat untuk meraih bagian kehidupan dunia maka dia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat.” yakni tidak bisa mencium aromanya, ini adalah ancaman yang sangat keras. Akan tetapi apabila seseorang yang menuntut ilmu memiliki niat memperoleh persaksian/ijazah/gelar sebagai sarana agar bisa memberikan manfaat kepada orang-orang dengan mengajarkan ilmu, pengajian dan sebagainya, maka niatnya bagus dan tidak bermasalah, karena ini adalah niat yang benar.
ADAB KEDUA
Bertujuan untuk Mengangkat Kebodohan Diri Sendiri dan Orang Lain
Dia berniat dalam menuntut ilmu demi mengangkat kebodohan dari dirinya sendiri dan dari orang lain. Sebab pada asalnya manusia itu bodoh, dalilnya adalah firman Allah ta’alayang artinya, “Allah lah yang telah mengeluarkan kalian dari perut-perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun, dan kemudian Allah ciptakan bagi kalian pendengaran, penglihatan dan hati supaya kalian bersyukur.” (QS. An Nahl: 78). Demikian pula niatkanlah untuk mengangkat kebodohan dari umat, hal itu bisa dilakukan dengan pengajaran melalui berbagai macam sarana, supaya orang-orang bisa memetik manfaat dari ilmu yang kau miliki.
ADAB KETIGA
Bermaksud Membela Syariat
Yaitu dalam menuntut ilmu itu engkau berniat untuk membela syariat, sebab kitab-kitab yang ada tidak mungkin bisa membela syariat (dengan sendirinya). Tidak ada yang bisa membela syariat kecuali si pembawa syariat. Seandainya ada seorang ahlul bid’ah datang ke perpustakaan yang penuh berisi kitab-kitab syariat yang jumlahnya sulit untuk dihitung lantas dia berbicara melontarkan kebid’ahannya dan menyatakannya dengan lantang, saya kira tidak ada sebuah kitab pun yang bisa membantahnya. Akan tetapi apabila dia berbicara dengan kebid’ahannya di sisi orang yang berilmu demi menyatakannya maka si penuntut ilmu itu akan bisa membantahnya dan menolak perkataannya dengan dalil al-Qur’an dan as-Sunnah. Oleh sebab itu saya katakan: Salah satu hal yang harus senantiasa dipelihara di dalam hati oleh penuntut ilmu adalah niat untuk membela syariat. Manusia kini sangat membutuhkan keberadaan para ulama, supaya mereka bisa membantah tipu daya para ahli bid’ah serta seluruh musuh Allah ‘azza wa jalla.
ADAB KEEMPAT
Berlapang Dada Dalam Masalah Khilaf
Hendaknya dia berlapang dada ketika menghadapi masalah-masalah khilaf yang bersumber dari hasil ijtihad. Sebab perselisihan yang ada di antara para ulama itu bisa jadi terjadi dalam perkara yang tidak boleh untuk berijtihad, maka kalau seperti ini maka perkaranya jelas. Yang demikian itu tidak ada seorang pun yang menyelisihinya diberikan uzur. Dan bisa juga perselisihan terjadi dalam permasalahan yang boleh berijtihad di dalamnya, maka yang seperti ini orang yang menyelisihi kebenaran diberikan uzur. Dan perkataan anda tidak bisa menjadi argumen untuk menjatuhkan orang yang berbeda pendapat dengan anda dalam masalah itu, seandainya kita berpendapat demikian niscaya kita pun akan katakan bahwa perkataannya adalah argumen yang bisa menjatuhkan anda.
Yang saya maksud di sini adalah perselisihan yang terjadi pada perkara-perkara yang diperbolehkan bagi akal untuk berijtihad di dalamnya dan manusia boleh berselisih tentangnya. Adapun orang yang menyelisihi jalan salaf seperti dalam permasalahan akidah maka dalam hal ini tidak ada seorang pun yang diperbolehkan untuk menyelisihi salafush shalih, akan tetapi pada permasalahan lain yang termasuk medan pikiran, tidaklah pantas menjadikan khilaf semacam ini sebagai alasan untuk mencela orang lain atau menjadikannya sebagai penyebab permusuhan dan kebencian.
Maka menjadi kewajiban para penuntut ilmu untuk tetap memelihara persaudaraan meskipun mereka berselisih dalam sebagian permasalahan furu’iyyah (cabang), hendaknya yang satu mengajak saudaranya untuk berdiskusi dengan baik dengan didasari kehendak untuk mencari wajah Allah dan demi memperoleh ilmu, dengan cara inilah akan tercapai hubungan baik dan sikap keras dan kasar yang ada pada sebagian orang akan bisa lenyap, bahkan terkadang terjadi pertengkaran dan permusuhan di antara mereka. Keadaan seperti ini tentu saja membuat gembira musuh-musuh Islam, sedangkan perselisihan yang ada di antara umat ini merupakan penyebab bahaya yang sangat besar, Allah ta’alaberfirman yang artinya, “Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kalian berselisih yang akan menceraiberaikan dan membuat kekuatan kalian melemah. Dan bersabarlah sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. al-Anfaal: 46)
ADAB KELIMA
Beramal Dengan Ilmu
Yaitu hendaknya penuntut ilmu mengamalkan ilmu yang dimilikinya, baik itu akidah, ibadah, akhlaq, adab, maupun muamalah. Sebab amal inilah buah ilmu dan hasil yang dipetik dari ilmu, seorang yang mengemban ilmu adalah ibarat orang yang membawa senjatanya, bisa jadi senjatanya itu dipakai untuk membela dirinya atau justru untuk membinasakannya. Oleh karenanya terdapat sebuah hadits yang sah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “al-Qur’an adalah hujjah untukmu atau untuk menjatuhkanmu.”
ADAB KEENAM
Berdakwah di Jalan Allah
Yaitu dengan menjadi seorang yang menyeru kepada agama Allah ‘azza wa jalla, dia berdakwah pada setiap kesempatan, di masjid, di pertemuan-pertemuan, di pasar-pasar, serta dalam segala kesempatan. Perhatikanlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau setelah diangkat menjadi Nabi dan Rasul tidaklah hanya duduk-duduk saja di rumahnya, akan tetapi beliau mendakwahi manusia dan bergerak ke sana kemari. Saya tidak menghendaki adanya seorang penuntut ilmu yang hanya menjadi penyalin tulisan yang ada di buku-buku, namun yang saya inginkan adalah mereka menjadi orang-orang yang berilmu dan sekaligus mengamalkannya.
ADAB KETUJUH
Bersikap Bijaksana (Hikmah)
Yaitu dengan menghiasi dirinya dengan kebijaksanaan, di mana Allah berfirman yang artinya, “Hikmah itu diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan barang siapa yang diberi hikmah sungguh telah diberi kebaikan yang sangat banyak.” (QS. al-Baqarah: 269). Yang dimaksud hikmah ialah seorang penuntut ilmu menjadi pembimbing orang lain dengan akhlaknya dan dengan dakwahnya mengajak orang mengikuti ajaran agama Allah ‘azza wa jalla, hendaknya dia berbicara dengan setiap orang sesuai dengan keadaannya. Apabila kita tempuh cara ini niscaya akan tercapai kebaikan yang banyak, sebagaimana yang difirmankan Tuhan kita ‘azza wa jalla yang artinya, “Dan barang siapa yang diberikan hikmah sungguh telah diberi kebaikan yang amat banyak.” Seorang yang bijak (Hakiim) adalah yang dapat menempatkan segala sesuatu sesuai kedudukannya masing-masing. Maka sudah selayaknya, bahkan menjadi kewajiban bagi para penuntut ilmu untuk bersikap hikmah di dalam dakwahnya.
Allah ta’ala menyebutkan tingkatan-tingkatan dakwah di dalam firman-Nya yang artinya, “Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasehat yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS. an-Nahl: 125). Dan Allah ta’ala telah menyebutkan tingkatan dakwah yang keempat dalam mendebat Ahli kitab dalam firman-Nya, “Dan janganlah kamu mendebat ahlu kitab kecuali dengan cara yang lebih baik kecuali kepada orang-orang zhalim diantara mereka.” (QS. al-‘Ankabuut: 46). Maka hendaknya penuntut ilmu memilih cara dakwah yang lebih mudah diterima oleh pemahaman orang.
ADAB KEDELAPAN
Penuntut Ilmu Harus Bersabar Dalam Menuntut Ilmu
Yaitu hendaknya dia sabar dalam belajar, tidak terputus di tengah jalan dan merasa bosan, tetapi hendaknya di terus konsisten belajar sesuai kemampuannya dan bersabar dalam meraih ilmu, tidak cepat jemu karena apabila seseorang telah merasa jemu maka dia akan putus asa dan meninggalkan belajar. Akan tetapi apabila dia sanggup menahan diri untuk tetap belajar ilmu niscaya dia akan meraih pahala orang-orang yang sabar; ini dari satu sisi, dan dari sisi lain dia juga akan mendapatkan hasil yang baik.
ADAB KESEMBILAN
Menghormati Ulama dan Memosisikan Mereka Sesuai Kedudukannya
Sudah menjadi kewajiban bagi para penuntut ilmu untuk menghormati para ulama dan memosisikan mereka sesuai kedudukannya, dan melapangkan dada-dada mereka dalam menghadapi perselisihan yang ada di antara para ulama dan selain mereka, dan hendaknya hal itu dihadapinya dengan penuh toleransi di dalam keyakinan mereka bagi orang yang telah berusaha menempuh jalan (kebenaran) tapi keliru, ini catatan yang penting sekali, sebab ada sebagian orang yang sengaja mencari-cari kesalahan orang lain dalam rangka melontarkan tuduhan yang tak pantas kepada mereka, dan demi menebarkan keraguan di hati orang-orang dengan cela yang telah mereka dengar, ini termasuk kesalahan yang terbesar. Apabila menggunjing orang awam saja termasuk dosa besar maka menggunjing orang berilmu lebih besar dan lebih berat dosanya, karena dengan menggunjing orang yang berilmu akan menimbulkan bahaya yang tidak hanya mengenai diri orang alim itu sendiri, akan tetapi mengenai dirinya dan juga ilmu syar’i yang dibawanya.
Sedangkan apabila orang-orang telah menjauh dari orang alim itu atau harga diri mereka telah jatuh di mata mereka maka ucapannya pun ikut gugur. Apabila dia menyampaikan kebenaran dan menunjukkan kepadanya maka akibat gunjingan orang ini terhadap orang alim itu akan menjadi penghalang orang-orang untuk bisa menerima ilmu syar’i yang disampaikannya, dan hal ini bahayanya sangat besar dan mengerikan. Saya katakan, hendaknya para pemuda memahami perselisihan-perselisihan yang ada di antara para ulama itu dengan anggapan mereka berniat baik dan disebabkan ijtihad mereka dan memberikan toleransi bagi mereka atas kekeliruan yang mereka lakukan, dan hal itu tidaklah menghalanginya untuk berdiskusi dengan mereka dalam masalah yang mereka yakini bahwa para ulama itu telah keliru, supaya mereka menjelaskan apakah kekeliruan itu bersumber dari mereka ataukah dari orang yang menganggap mereka salah ?! Karena terkadang tergambar dalam pikiran seseorang bahwa perkataan orang alim itu telah keliru, kemudian setelah diskusi ternyata tampak jelas baginya bahwa dia benar. Dan demikianlah sifat manusia, “Semua anak Adam pasti pernah salah dan sebaik-baik orang yang salah adalah yang senantiasa bertaubat”. Adapun merasa senang dengan ketergelinciran seorang ulama dan justru menyebar-nyebarkannya di tengah-tengah manusia sehingga menimbulkan perpecah belahan maka hal ini bukanlah termasuk jalan Salaf.
ADAB KESEPULUH
Berpegang Teguh Dengan Al Kitab dan As Sunnah
Wajib bagi penuntut ilmu untuk memiliki semangat penuh guna meraih ilmu dan mempelajarinya dari pokok-pokoknya, yaitu perkara-perkara yang tidak akan tercapai kebahagiaan kecuali dengannya, perkara-perkara itu adalah :
1. Al-Qur’an Al-Karim
Oleh sebab itu wajib bagi penuntut ilmu untuk bersemangat dalam membacanya, menghafalkannya, memahaminya serta mengamalkannya karena al-Qur’an itulah tali Allah yang kuat, dan ia adalah landasan seluruh ilmu. Para salaf dahulu sangat bersemangat dalam mempelajarinya, dan diceritakan bahwasanya terjadi berbagai kejadian yang menakjubkan pada mereka yang menunjukkan begitu besar semangat mereka dalam menelaah al-Qur’an. Dan sebuah kenyataan yang patut disayangkan adalah adanya sebagian penuntut ilmu yang tidak mau menghafalkan al-Qur’an, bahkan sebagian di antara mereka tidak bisa membaca al-Qur’an dengan baik, ini merupakan kekeliruan yang besar dalam hal metode menuntut ilmu. Karena itulah saya senantiasa mengulang-ulangi bahwa seharusnya penuntut ilmu bersemangat dalam menghafalkan al-Qur’an, mengamalkannya serta mendakwahkannya, dan untuk bisa memahaminya dengan pemahaman yang selaras dengan pemahaman salafush shalih.
2. As Sunnah yang shahihah
Ia merupakan sumber kedua dari sumber syariat Islam, dialah penjelas al-Qur’an al Karim, maka menjadi kewajiban penuntut ilmu untuk menggabungkan antara keduanya dan bersemangat dalam mendalami keduanya. Penuntut ilmu sudah semestinya menghafalkan as-Sunnah, baik dengan cara menghafal nash-nash hadits atau dengan mempelajari sanad-sanad dan matan-matannya, membedakan yang shahih dengan yang lemah, menjaga as-Sunnah juga dengan membelanya serta membantah syubhat-syubhat yang dilontarkan Ahlu bid’ah guna menentang as-Sunnah.
ADAB KESEBELAS
Meneliti Kebenaran Berita yang Tersebar dan Bersikap Sabar
Salah satu adab terpenting yang harus dimiliki oleh penuntut ilmu adalah tatsabbut (meneliti kebenaran berita), dia harus meneliti kebenaran berita-berita yang disampaikan kepadanya serta mengecek efek hukum yang muncul karena berita tersebut. Di sana ada perbedaan antara tsabaat dan tatsabbut, keduanya adalah dua hal yang berlainan walaupun memiliki lafazh yang mirip tapi maknanya berbeda. Ats tsabaat artinya bersabar, tabah dan tidak merasa bosan dan putus asa. Sehingga tidak semestinya dia mengambil sebagian pembahasan dari sebuah kitab atau suatu bagian dari cabang ilmu lantas ditinggalkannya begitu saja. Sebab tindakan semacam ini akan membahayakan bagi penuntut ilmu serta membuang-buang waktunya tanpa faedah. Dan cara seperti ini tidak akan membuahkan ilmu. Seandainya dia mendapatkan ilmu, maka yang diperolehnya adalah kumpulan permasalahan saja dan bukan pokok dan landasan pemahaman. Contoh orang yang hanya sibuk mengumpulkan permasalahan itu seperti perilaku orang yang sibuk mencari berita dari berbagai surat kabar dari satu koran ke koran yang lain. Karena pada hakikatnya perkara terpenting yang harus dilakukan adalah ta’shil (pemantapan pondasi, ilmu ushul) dan pengokohannya serta kesabaran untuk mempelajarinya.
Dengan perantara nama-nama-Mu yang terindah dan sifat-sifat-Mu yang tertinggi ya Allah, ampunilah dosa-dosa hamba. Begitu banyak nikmat telah hamba sia-siakan. Umur, kesempatan, waktu luang, kesehatan dan keamanan. Semuanya telah Engkau curahkan, namun aku selalu lalai dan tidak pandai mensyukuri pemberian-Mu. Ya Allah bimbinglah hamba-Mu ini, untuk meraih kebahagiaan pada hari di mana tidak ada lagi hari sesudahnya, ketika kematian telah disembelih di antara surga dan neraka. Ketika para penduduk surga semakin bergembira dan para penghuni neraka bertambah sedih dan merana. Ya Allah, limpahkanlah kepada kami ilmu yang bermanfaat, dan lindungilah kami dari ilmu yang tidak bermanfaat. Ya Allah, kami mohon kepada-Mu hidayah, ketakwaan, terjaganya kehormatan dan kecukupan. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyinaa Muhammad, walhamdulillaahi Rabbil ‘alamiin.
***
Adab-adab ini disadur dari Thiibul Kalim al-Muntaqa Min Kitaab al-‘Ilm Li Ibni Utsaimin karya Abu Juwairiyah oleh Abu Mushlih Ari Wahyudi
Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/202-adab-adab-penuntut-ilmu.html
Subscribe to:
Comments (Atom)