Monday, April 20, 2020

#Manhaj Menuntut Ilmu 🌻

Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah dalam kitabnya hilyah tholibil 'ilmi mengatakan bahwa ilmu itu ibadah. Maka harus memenuhi dua syarat ibadah yaitu iklash dan mutaba'ah (sesuai dengan contoh rosulullah).

Diantara manhaj dalam menuntut ilmu adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

نضَّر الله امرأً سَمِع مقالتي فوَعَاها وحَفِظها وبَلَّغها، فرُبَّ حامل فِقْه إلى مَن هو أفقه منه،

"Semoga Allah memberikan cahaya kepada wajah orang yang mendengarkan sabdaku lalu ia memahaminya lalu menghafalnya lalu menyampaikannya. Berapa banyak pembawa ilmu kepada orang yang lebih faham darinya."
HR At Tirmidzi.

Hadits adalah hadits mutawatir yang diriwayatkan oleh sekitar 20 orang sahabat.

Perhatikanlah..
Dalam hadits ini Nabi menyebutkan manhaj menuntut ilmu:
1. Mendengar.  2. Memahami.  3. Menghafal.  4. Menyampaikan.

Oleh karena itu sebagian ulama berkata, "Awal ilmu adalah husnul istimaa' yaitu pintar mendengar. Dan mendengar akan lebih sempurna dengan mencatat. Sebagaimana dikatakan oleh imam Az Zuhri: "Ikatlah ilmu dengan mencatatnya."

Maka hendaklah para penuntut pintar mendengar dan mencatat ilmu terlebih dahulu. Orang yang tak pandai mendengar ia tidak akan dapat menuntut ilmu.

Janganlah langsung loncat ke fase terakhir yaitu menyampaikan.. sehingga menjadi lebih pandai menshare dari pada mendengar.

Pandailah mendengar, lalu fahami lalu hafalkan dan kuasai lalu terakhir menyampaikan dengan penuh amanah ilmiyah.

Bila manhaj ini diabaikan.. akibatnya banyak bermunculan Lc (Langsung copas tanpa memahami). Sehingga ilmu tak kokoh. Lebih banyak berkicau dan komen bahkan berdebat. Allahul Musta'an.

👤 Ustadz Badru Salam Lc hafizhahullah

Mengi'rab...

 جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ

إِذَا : ظرف لما يستقبل من الزمان، تضمن معنى الشرط، خافظ لشرطه منصوب بجوابه

جَاءَ: فعل ماض

رَمَضَانُ : فاعل مرفوع

فُتِّحَتْ : فعل ماض مجهول جواب شرط غير جازم

أَبْوَابُ : النائب الفاعل

الجَنَّةِ : مضاف اليه مجرور

وَ : عاطف

َغُلِّقَتْ : معطوفة على جملة (فتحت)، فعل ماض مجهول جواب شرط غير جازم

أَبْوَابُ : نائب الفاعل

النَّارِ : مضاف اليه مجرور

وَ : عاطف

َصُفِّدَتِ : معطوفة على جملة (فتحت)، فعل ماض مجهول جواب شرط غير جازم

الشَّيَاطِينُ : نائب الفاعل

أليس كذالك؟؟؟👆

FAIDAH AT-TAMHĪD IBNUL JAZARIY

Walhamdulillāh telah berakhir sesi 1 Majlis Sama' dan Ta'liq Kitab At-Tamhīd Fī Ilmit Tajwīd Al-Imām Ibnul Jazariy radhiyallāhu 'anhu (Bab 1 s.d. Bab 3) bersama Fadhilatusy Syaikh 'Adil bin 'Aliy As-Sab'ān.

Di akhir majlis, panitia meminta seluruh peserta untuk mencatat setidaknya 25 faidah yang didapat dari kitab dan majlis tersebut. Maka, karena kami merasa faidah ini begitu bermanfaat, kami akan menuliskan di sini beberapa faidah yang kami catat:

1. Al-Imām Ibnul Jazariy menyusun kitab ini karena kegelisahan beliau melihat banyaknya para Qari yang lalai dalam mempraktikkan bacaan Al-Quran secara sempurna. Maka beliau menyusun kitab ini sebagai peringatan, karena menurut beliau belum ada kitab serupa yang ditulis sebelumnya.

2. Al-Imām Ibnul Jazariy menyusun kitab ini pada usia 18 tahun hijriyyah.

3. Di antara aib-aib qiraat adalah:
▪︎ At-Tarqīsh, yakni membaca kata demi kata dengan saktah, terputus-putus.
▪︎ At-Tar'īd, yakni membaca dengan suara yang bergetar dan menambah Hamzah tashil saat memanjangkan madd.
▪︎ At-Tathrīb, yakni membaca Al-Quran dengan irama-irama lagu, sehingga memanjangkan yang bukab madd atau menambah kadar panjang melampaui batasnya.
▪︎ At-Tahzīn, yakni keluar dari bacaan yang natural dan membaca dengan sesuatu yang lain yang dibuat-buat seakan-akan dia menangis padahal tidak ada rasa tadabbur di dalam hatinya, padahal yang demikian dapat menjerumuskan seseorang dalam sikap riya.

4. Asy-Syaikh mengatakan: yang dilarang dari semua aib-aib membaca Al-Quran adalah sikap takalluf. Adapun apabila seseorang membaca Al-Quran dengan mengindahkan iramanya dan membaguskan suaranya, maka termasuk perkara yang disukai.

5. Asy-Syaikh mengatakan: termasuk sikap takalluf adalah menyengaja membaca Al-Quran dengan maqamat, karena maqamat datang dari nyanyian dan musik. Maqamat berasal dari Persia.

6. Bacaan yang benar menurut Ibnul Jazariy adalah bacaan yang mudah dan ringan, memperjelas setiap lafazh-lafazhnya. Tidak keluar dari tabiat orang-orang Arab dan perkataan orang-orang yang fasih.

7. Di antara faidah yang paling utama dari memperbaiki pengucapan lafazh adalah tercapainya tadabbur terhadap Kitābullāh.

8. Setiap lafazh yang dibaca dengan benar sambil bertadabbur, menggetarkan hati, dengan cara pengucapan yang manis, maka ia telah menjadi apa yang diserukan Nabi agar menghiasi Al-Quran dengan suara kita. Jadi, menghiasi Al-Quran dengan suara artinya membacanya dengan benar dan tadabbur.

9. Tajwīd artinya adalah puncaknya keahlian dan tercapainya maksud perbaikan bacaan.

10. Tajwid merupakan hiasannya tilāwah dan qirāāh.

11. Maksud dari Mentajwidkan Al-Quran adalah memberikan setiap huruf hak-haknya dan menertibkan urutannya, mengembalikan setiap huruf dari Makhrajnya, dan menyesuaikan pengucapan dalam setiap keadannya, menyempurnakan lafazhnya, melembutkan pengucapannya, tanpa berlebihan dan melampaui batas.

12. Tahqīq artinya adalah memberikan kepada sesuatu haknya secara tepat, tanpa penambahan atau pengurangan.

13. Tartīl artinya tersusun secara rapi. Sebagaimana perkataan Al-Ashma'iy: gigi yang ratl artinya gigi yang tersusun rapi dan berjarak, tidak saling bertumpuk satu dengan lainnya. Dan batasan tartīl dalam tilāwah adalah: menertibkan setiap huruf sesuai dengan haknya masing-masing saat tilawah dengan cara menyempurnakan pengucapannya dengan jelas.

14. Makna Tartīl menurut Sayyidinā 'Aliy bin Abī Thālib radhiyallāhu 'anha adalah: mentajwidkan huruf-huruf dan memahami kaidah waqf.

15. Perbedaan Tahqīq dengan Tartīl: Tartīl artinya membaca Al-Quran dengan maksud tadabbur, merenungkannya, dan mengambil kesimpulan hukumnya. Sedangkan Tahqīq artinya membaca Al-Quran dengan maksud melatih lidah dan melembutkan lafazh-lafazh yang masih berat diucapkan.

16. Dalam bertilawah kita bisa mengamalkan Tahqīq dan Tartīl pada sebagian keadaan, atau Hadr (membaca dengan cepat) dan Hadramah (membaca sangat cepat) pada keadaan lain untuk memperbanyak pahala kebaikan, karena setiap huruf bernilai 10 kebaikan.

17. Al-Imām 'Āshim digambarkan sebagai Qāri yang kuat dan suaranya indah. Kuat di sini dalam artian bisa mengucapkan Hamzah tanpa tashil, padahal menurut orang Arab, Hamzah adalah huruf yang sulit diucapkan. Makanya riwayat yang sampai kepada kita dari Qirāāh 'Āshim jarang yang membaca Hamzah dengan tashīl.

18. Pensifatan bacaan Al-Imām Hamzah yang dikenal banyak kerusakan, bukanlah bacaan Hamzah itu sendiri, melainkan bacaan kebanyakan murid-muridnya, dan bacaan mereka tidak layak disandarkan kepada bacaan Hamzah karena rusaknya bacaan tersebut.

19. Ibn Mujāhid memilih bacaan Al-Imām Abū 'Amr dalam tilāwah kesehariannya, demikian pula Ibnul Jazariy. Beliau mengatakan bahwa bacaan Abū 'Amr adalah bacaan yang pertengahan. Dan inilah bacaan yang terpilih.

20. Istilah "Madd" sama dengan "Mathth" artinya adalah suara huruf madd atau līn.

21. Ibnul Jazariy membagi madd menjadi dua: madd thabī'iy dan madd 'aradhiy. Madd 'Aradhiy ini yang sekarang dikenal dengan Madd Far'iy.

22. Istilah Tamkīn adalah satu istilah dalam Madd 'Aradhiy. Apabila dikatakan "makkin", maka artinya tambahlah panjang maddnya.
(Catatan: Istilah ini berbeda dengan apa yang hari ini kita kenal sebagai Madd Tamkīn)

23. Istilah isybā' digunakan untuk kesempurnaan hukum yang dikehendaki bagi orang yang tidak menyempurnakannya. Istilah ini digunakan juga untuk menyatakan: kesempurnaan dalam menunaikan pengucapan harakat tanpa kekurangan atau ikhtilās.
(Catatan: istilah isybā' hari ini juga digunakan untuk kekeliruan membaca harakat secara berlebihan).

24. Izhhār atau Bayān artinya mengucapkan dua huruf masing-masing secara sempurna sesuai dengan keadaan asalnya, menunaikan seluruh sifatnya, murni hingga paripurna kedudukannya.

25. Asy-Syaikh mengatakan bahwa seluruh hukum tajwid diadakan sebagai tashīl (mempermudah) dan takhfīf (memperingan). Maka, idghām, ikhfā, dan qalb termasuk ke dalam bab tashīl secara umum.

26. Istilah Qalb lebih fasih daripada Iqlab.

27. Cara membaca Qalb dan Ikhfā Syafawiy sama saja, yakni dengan merapatkan bibir tanpa memberikan celah padanya, karena tujuan awal hukum tajwid adalah tashīl. Sedangkan apabila kita mengucapkannya dengan menyisakan celah/ merenggangkan bibir itu justru akan menyulitkan, sehingga faidah tashīlnya menjadi hilang.

28. Tashīl secara khusus bermakna mengubah cara membaca Hamzah. Karena hamzah merupakan huruf yang sulit diucapkan, maka ia kadang diubah cara bacanya menjadi salah satu dari empat keadaan:
▪︎ Bayna-bayna, yakni mengucapkan huruf Hamzah di antara Hamzah dan Madd.
▪︎ Badal, yakni mengubah Hamzah menjadi Alif, atau Waw, atau Ya.
▪︎ Hadzf, yakni menghilangkan Hamzah dalam pengucapan.
▪︎ Takhfīf, yakni salah satu makna tashīl membaca satu huruf tanpa tasydīd.

29. Tasydīd adalah lawan dari takhfīf, artinya membaca huruf dengan menahan makhraj.

30. Tahqīq, juga digunakan untuk ibarah lawan dari tashīl. Maksudnya mengucapkan dua Hamzah secara jelas.

31. Fath, artinya mengucapkan Alif yang tersusun pada fathah secara sempurna tanpa memiringkannya.

32. Al-Ghafr, adalah istilah kuno untuk fathah.

33. Imālah adalah lawan dari fath. Imālah terbagi menjadi dua: imālah kubrā dan imālah shughrā.
▪︎ Imālah Kubrā adalah mengucapkan Alif yang tersusun pada fathah dengan memiringkannya ke arah kasrah dengan kadar kemiringan yang besar.
▪︎ Imālah Shughrā adalah memiringkannya ke arah kasrah dengan kadar kemiringan yang kecil.

34. Asy-Syaikh mengatakan: berhati-hatilah membaca fathah tipis yang sempurna dengan imālah shughra dan ini merupakan kekeliruan yang tersebar luas. Sampai-sampai cukup banyak para pembelajar Al-Quran yang protes saat mendengar bacaan riwayat Al-Imām Warsy dari rekaman Asy-Syaikh Al-Hushariy. Mereka memprotesnya karena bacaan imālah Al-Hushariy menurut mereka adalah fathah. Padahal yang keliru adalah mereka sendiri yang membaca fathah dengan imālah shughra.

34. Taghlīzh artinya menggemukkan huruf sampai mulut penuh dengan gemanya.
(Catatan: hari ini kita mengenalnya dengan istilah tafkhīm)

35. Tarqīq adalah lawan dari Taghlīzh, menipiskan suara huruf hingg mulut tidak penuh den

gan gemanya. Tarqīq terbagi menjadi dua: Tarqīq maftūh dan Tarqīq Ghayru Maftūh, yakni imālah.

36. Raum artinya adalah mengucapkan sebagian harakat, hingga sebagian besar darinya tidak terucap kecuali tersisa sedikit saja. Maka kita hanya akan mendengarnya secara samar-samar. Orang yang buta bisa mengetahuinya, tapi orang yang tuli tidak bisa.

37. Isymām artinya memonyongkan kedua bibir setelah mensukunkan huruf tanpa suara. Diketahui oleh orang yang tuli tapi tidak diketahui oleh orang yang buta.

38. Ikhtilās artinya adalah mempercepat harakat. Disebut cepat karena sebagian harakat telah hilang.

39. Kata ikhfā juga digunakan dalam istilah ikhfā harakat, yaitu mengurangi kadar panjangnya.

Wallāhu a'lam.

21 April 2020
Menjelang Shubuh di Depok

- Penulis: Muhammad Laili Al-Fadhli -
Penuntut Ilmu Hendaknya Memilih Waktu Yang Baik Untuk Belajar


Redaksi Muslim.Or.Id 1 September 2014 4 Comments


Penuntut Ilmu Hendaknya Memilih Waktu Yang Baik Untuk Belajar


Termasuk hikmah dari Allah bahwasanya tingkatan semangat seseorang, motivasi, keinginan dan konsentrasi untuk mencari ilmu dan meraihnya, berbeda dan bervariasi antara satu waktu dengan waktu lainnya, sepanjanga hari, pekan dan bulan. Itulah sebabnya di sebagian waktu seseorang merasakan kenikmatan jiwa yang menakjubkan, cepat paham dan kuat dalam menghafal dibandingkan dengan waktu-waktu yang lain.

Dengan demikian, seyogyanya seorang penuntut ilmu memilih waktu yang sesuai untuk konsumsi ilmiahnya. Memilih metode yang sesuai untuk belajar di waktu tersebut. Karena menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya termasuk menyia-nyiakan waktu dan memboroskan tenaga. Berikut adalah sebagian dari wasiat ulama salaf berkenaan dengan masalah ini.

Al Khathib Al Baghdadi berkata,

فأجود الأوقات: الأسحار، ثم بعدها وقت انتصاف النهار، وبعدها الغدوات دون العشيات. وحفظ الليل أصلح من حفظ النهار، وأوقات الجوع أحمد للتحفظ من أوقات الشبع

“waktu yang paling baik untuk menghafal adalah waktu sahur, di tengah hari, kemudian di pagi hari. Menghafal di waktu malam lebih baik dari waktu siang. Dan waktu lapar lebih baik dari waktu kenyang” (Al Faqih wal Mutafaqqih, 2/103).

Imam Ibnu Jama’ah berkata,

أن يقسم أوقات ليله ونهار ويغتنم ما بقي من عمره فإن بقية العمر لا قيمة له. وأجود الأوقات للحفظ الأسحار وللبحث الإبكار وللكتاب وسط النهار وللمطالعة والمذاكرة الليل

“(termasuk ada seorang penuntut ilmu) adalah membagi waktu malam dan siangnya, dan memanfaatkan sis umurnya. Karena sisa umur tidak ternilai harganya baginya. Waktu yang paling baik untuk menghafal adalah waktu sahur, waktu pagi untuk penelitian, tengah hari untuk menulis, dan malam untuk menelaah serta mudzakarah (mengulang)” (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallimin).

Ibnul Jauzi berkata,

وللحفظ أوقات من العمر، فأفضلها الصبا، وما يقاربه من أوقات الزمان، وأفضلها عادة الأسحار، وأنصاف النهار، والغدوات خير من العشيات، وأوقات الجوع خير من أوقات الشبع

“dalam menghafal ada waktu-waktunya, yang paling baik adalah ketika masih kecil, atau yang masih mendekati itu lebih baik dari rentang usia yang lain. Dan yang paling baik adalah ketika waktu sahur dan tengah hari. dan waktu-waktu pagi hingga siang, lebih baik dari siang hingga sore. waktu lapar lebih baik dari waktu kenyang” (Shaidul Khathir, 580).

Khalil bin Ahmad berkata, “waktu pikiran paling jernih adalah waktu sahur” (Wafayatul A’yan, 1/173).

Syah Waliyullah Ad Dahlawi berkata, “waktu untuk menghadap Allah adalah ketika terbebas dari gangguan alami (fisik) seperti ketika sangat lapar, sangat kenyang, sangat mengantuk, terlalu capek. Atau gangguan pikiran, seperti telinga yang bising karena suara ribut, pandangan yang dipenuhi dengan gambar-gambar berwarna-warni dan dari bisikan-bisikan lainnya” (Hujjatullahil Balighah).

[disalin dari buku “102 Kiat Agar Semangat Belajar Agama Membara” terjemahan dari kitab Kaifa Tatahammas fi Thalabil ‘Ilmi Asy Syar’i karya Abul Qa’qa’ Muhammad bin Shalih Alu Abdillah hal 161-162 ]



Artikel Muslim.Or.Id



Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/22499-penuntut-ilmu-hendaknya-memilih-waktu-yang-baik-untuk-belajar.html
Penuntut Ilmu Harus Memiliki Sifat Jujur dan Amanah


Firman Hidayat 12 September 2014 1 Comment

Penuntut Ilmu Harus Memiliki Sifat Jujur dan Amanah


Menuntut ilmu merupakan suatu pekerjaan yang tidak perlu lagi diragukan akan keuntungan dan keutamaan yang akan diperoleh darinya. Menuntut ilmu merupakan ciri khas umat terakhir yang menghuni bumi ini, umat Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam. Betapa banyak ayat dan hadits yang membicarakan keuntungan mempelajari syariat Islam. Bahkan tidak ada seorang muslim pun yang berakal kecuali ia akan senantiasa berpesan kepada karib kerabat dan sahabatnya agar tidak lengah dari mempelajari syariat. Hal itu karena begitu besarnya keuntungan dalam aktifitas mempelajari syariat Islam.

Dalam Al-Quran, antara lain Allah pernah mengatakan,

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Mujadilah: 11)

Ketinggian derajat di sini mencakup derajat di dunia seperti diberi kedudukan di tengah masyarakat serta keharuman namanya maupun derajat di akhirat dengan diberikan kedudukan tingga di Surga. (Fath Al-Bari I/141)

Allah juga berfirman,

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ

“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS Al-Baqarah: 269)

Tentang al-hikmah di sini, Mujahid pernah mengatakan, “Maksudnya adalah ilmu dan fiqih.” (Akhlaq Al-‘Ulama hlm. 9)

Di antara firman Allah yang menunjukkan besarnya keuntungan pada aktifitas belajar adalah kewajiban memperdalam dan menambah ilmu, mengingat firman Allah Ta’ala yang berisi perintah pada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam,

وقل رب زدني علما

“Katakanlah, ‘Wahai Rabb-ku, tambahkan ilmu padaku.” (QS Thaha: 114)

Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak pernah memerintahkan Nabi-nya meminta tambahan sesuatu kecuali ilmu saja, tidak ada yang lain. Hal ini tentu karena Allah tahu bahwa ada begitu keuntungan besar yang akan diperoleh dalam ilmu. Apalagi kalau bukan buah takut pada Allah ‘Azza wa Jalla,

إنما يخشى الله من عباده العلمؤا

“Di antara hamba-hamba Allah hanya para ulama lah yang takut pada-Nya.” (QS Fathir: 28)

Khasy-yah ini tujuan paling agung dalam menuntut ilmu, bukan untuk berlagak di hadapan orang-orang dengan penuh kesombongan.

Ayat dapat difahami, khasy-yah seseorang kepada Allah berbanding lurus dengan ilmu yang dimilikinya. Semakin ilmunya luas, rasa takutnya pada Allah pun semakin kuat pula. Jika sama sekali tidak memeliki ilmu? Sama sekali tidak tahu mana yang halal dan mana yang haram? Tentu saja segala tindakan dosa bakal mudah diterjangnya tanpa ada rasa khawatir tertimpa azab dan siksa.

Ibaratnya suatu jalan yang kerap terjadi perampokkan dan penyamunan. Orang yang tidak mengetahui bahwa di jalan tersebut ramai penyamun, ia akan biasa saja melewatinya, tanpa ada sedikit pun rasa takut. Walaupun boleh jadi saat ia lewat sedang tidak ada penyamun yang mangkal di situ. Di lain hari ia juga akan melewati jalan tersebut dengan perasaan yang sama, aman dan tidak khawatir. Akan tetapi jika di suatu hari ada orang yang memberinya tahu, bahwa ternyata jalan yang biasa dilaluinya itu banyak penyamun yang beropreasi di sana, tentu sikapnya akan berobah derasti. Dari yang sebelumnya jalan biasa, kini mulai waspada dan hati-hati.

Maka dengan bertambahnya ilmu, bertambahlah pula rasa takut pada Allah Ta’ala. Dan Mahasuci Allah dari segala bentuk permisalan.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kerap kali mendorong dan memotofasi umatnya agar terus mempelajari syariatnya. Antara lain sabda beliau Shallallahu’alaihi Wasallam, “Siapa yang menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu, Allah pasti memberi salah satu jalan menuju Surga. Sesungguhnya para Malaikat mendaratkan sayap-sayapnya untuk penuntut ilmu. Sesungguhnya penduduk langit, bumi, dan ikan hiau yang berada di perut laut senantiasa memintakan ampun bagi seorang ulama. Sejatinya keutamaan seorang yang berilmu atas seorang yang ahli ibadah laksana keutamaan rembulan di bulan purnama atas seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama merupakan pewaris para nabi. Dan sesungguhnya nabi-nabi tidak pernah mewariskan dinar maupun dinar. Akan tetapi mereka hanya mewariskan ilmu. Maka siapa yang mengambilnya, berati ia telah mengambil bagian yang besar.” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari Shahabat Abu Ad-Darda’ –radhiyallahu ‘anhu-)

Masih banyak lagi nas-nas yang menyebutkan keutamaan ilmu. Kiranya bagi seorang Muslim yang akalnya masih sehat dapatlah cukup hanya sekedar isyarat saja, tidak seperti orang dungu yang meskipun dibacakan Al-Quran, Injil, Zabur, dan seluruh kitab Allah tidak akan membuatnya tergugah.

Akan tetapi perlu diketahui bahwa seorang pelajar yang berjalan dalam rangka menimba dan mempelajari ilmu ada di sana rambu-rambu yang perlu diperhatikan. Agar apa yang selama ini ia cari tidak berubah menjadi mala petaka bagi dirinya. Akhirnya sesuatu yang seharusnya membuatnya mulia justru berubah menjadi bencana.

Salah satu adab yang kerap kali dilupakan para pelajar dan penuntut ilmu di zaman ini adalah sikap jujur dan amanah dalam menuntut ilmu. Padahal dusta yang merupakan lawan dari jujur, dan khianat yang tak lain lawan dari amanah, termasuk sifat yang paling buruk dan bejat. Seorang mukmin yang Allah terangi hatinya dengan iman tidak mungkin memendam kedua sifat buruk tersebut. Apatah lagi seorang penuntut ilmu syariat yang selalu dinaungi sayap-sayap para Malaikat dan pemburu warisan para nabi dan rasul!!

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS Al-Anfal: 26)

Ilmu merupakan salah satu amanah yang benar-benar harus ditunaikan karena kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Oleh sebab itu sepantasnya bagi penuntu dan pengembannya dapat mengemban dan menunaikannya dengan penuh kejujuran dan amanah serta diiringi rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di samping itu ia juga harus selalu waspada terjerumus pada menyandarkan sesuatu atas nama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam secara zhalim dan tidak benar.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sendiri sudah jauh-jauh hari mewanti-wanti dan mengancam siapa saja yang berani berdusta atas namanya. Perkara yang semisal dengan dusta atas nama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah terlau ceroboh membawakan suatu riwayat dari beliau Shallallahu’alaihi Wasallam.

Al-Bukhari melaporkan dari ‘Ali bin Abu Thalib –radhiyallahu ‘anhu-, ujarnya, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Kalian jangan berdusta atas namaku. Karena sesungguhnya siapa yang berdusta atas namaku, sebaiknya ia masuk Neraka saja.”

Menurut satu riwayat lain disebutkan, “Hendaknya ia mempersiapkan tempat duduknya di Neraka.”

Ath-Thabrani meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma-, tuturnya, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

تناصحوا في العلم ، فإن خيانة أحدكم في علمه أشد خيانة في ماله ، و إن الله سائلكم يوم القيامة

“Hendaknya kalian saling memberi nasehat tentang ilmu. Sesungguhnya khianat salah seorang kalian terhadap ilmunya itu lebih besar daripada pengkhianatannya pada hartanya. Dan sesungguhnya Allah pasti akan memintai kalian pertanggungjawaban pada hari kiamat.” (Dalam sanad hadits ini ada seorang perawi yang diperbincangkan kepribadiannya)

Ada satu kebiasaan tercela di tengah penuntut ilmu dan masyarakat pada umumnya, yaitu tindakan mereka yang terlalu bermudah-mudahan memberikan fatwa hanya karena pernah mentelaah suatu permasalahan syariat. Sudah seperti itu, ia menyangka bahwa dirinya sudah layak mengeluarkan fatwa dan mengkritisi pendapat-pendapat pakar fiqih.

Padahal jika kita melihat bagaimana sikap orang-orang terdahulu yang benar-benar sangat hati-hati memberi fatwa meskipun keilmuan mereka tidak perlu diragukan lagi, tentu kita akan merasa kerdil dan malu terhadap apa yang ada pada kita. Baru pernah menghadiri beberapa daurah dan kajian ilmiah serta mengkhatamkan beberapa gelintir buku saja sudah merasa seakan-akan mebawa lautan ilmu, gampang mengeluarkan fatwa, sembrono menyalahkan orang lain, dan tindakan-tindakan rendahan lainnya.

Disebutkan dalam kitab Adab Al-Mufti wa Al-Mustafti karya Ibnu Ash-Shalah, bahwa pada suatu ketika ada seseorang yang mendatangi Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq –radhiyallahu ‘anhum– untuk mempertanyakan sesuatu. Maka Al-Qasim berkata, “Aku bukan pakarnya.”

Orang yang tadi datang pun terus merayu, “Sesungguhnya aku didorong untuk bertanya padamu. Aku tidak mengetahuinya selainmu.”

Al-Qasim menjawab, “Anda jangan melihat panjangnya janggutku dan padatnya orang di sekelilingku. Demi Allah, aku bukan pakarnya.”

Kemudian beliau berkata pula, “Demi Allah, sekiranya lisanku dipotong itu lebih kusukai daripada aku harus berbicara tanpa ilmu tentangnya.”

Sufyan bin ‘Uyainah dan Sahnun bin Sa’id pernah mengatakan, “Orang yang paling gampang mengeluarkan fatwa adalah orang yang paling minim ilmunya.”

Al-Haitsam bin Jamil berkata, “Aku menyaksikan Malik bin Anas diberi pertanyaan sebanyak 48 masalah. 32 masalah di antaranya beliau katakan, ‘Aku tidak tahu.’”

Berfatwa tanpa ilmu kerap kali menyebabkan lahirnya kesesatan dan kedustaan. Boleh jadi menghalalkan yang seharusnya haram atau mengharamkan yang seharusnya halal.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَٰذَا حَلَالٌ وَهَٰذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ* مَتَاعٌ قَلِيلٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit, dan bagi mereka azab yang pedih.” (QS An-Nahl: 116-117)

Agar dapat menimimalisir berbicara tanpa ilmu atau berdusta atas nama seseorang adalah dengan selalu memusatkan perhatian ketika menghadiri pengajian atau ketika pelajaran tengah berlangsung. Bukan malah datang ke pengajian atau kelas hanya untuk kemudian dijadikan sebagai ajang lomba tidur. Atau hal yang serupa adalah dengan banyak melakukan hal sia-sia ketika pelajaran tengah berlangsung. Seperti misalnya banyak main HP, ngobrol dengan sesama hadirin, banyak izin keluar kelas karena alasan yang tidak masuk akal, atau bahkan hanya sekedar setor muka di hadapat sang guru. Tindakan-tindakan semacam ini sangat tidak layak dilakukan oleh mereka yang mengaku sebagai penuntut ilmu.

Kemudian banyak melakukan hal sia-sia ketika pelajaran tengah berlangsung hanya akan mengganggu konsenterasi memahami penjelasan sang guru. Apalagi permasalahan yang sedang dibahas terhitung rumit dan sulit yang tidak hanya memerlukan kesadaran penuh, namun juga konsenterasi dan berfungsinya akal pikiran secara sempurna. Bahkan jika perlu, tidak hanya suara guru yang didengar, namun juga gerak-gerik bibir guru juga diperhatikan agar tidak ada satu huruf pun yang salah terdengar. Karena biasanya satu kalimat saja luput dari penangkapan indera, dapat mempengaruhi pemahaman seseorang. Apalagi mereka yang pemahamannya standart. Yang seharusnya hukumnya A, malah difahami hukumnya B. Dan demikianlah seterusnya.

Maka ketika sudah salah menangkap penjelasan sang guru, bisa jadi ketika keluar dari pengajian dan kelas pelajaran, langsung menyampaikan apa yang ditangkapnya dari sang guru. Hasilnya tidak dapat tidak, ia telah berkata dusta atas nama gurunya. Padahal sang guru berlepas diri dari apa yang ditangkapnya itu.

Apalagi di zaman modert seperti saat ini. Ketika media-media informasi mudah didapat, seperti facebook dan twitter. Berapa banyak Anda jumpai mereka yang baru saja keluar dari pengajian atau daurah, langsung update di akun jejaringan sosial yang dimilikinya. Bahkan penulis pernah menjumpai orang yang sudah terburu-buru update ketika pelajaran tengah berlangsung. Iya kalau apa yang ia tangkap dari sang guru sesuai realita, jika ternyata berbedar bagaimana?!

Dalam hal ini penulis tidak menyalahkan mereka yang menebar ilmu di jejaringan sosial, akan tetapi alangkah baiknya jika apa yang ditulis itu benar-benar sesuai dengan keadaan yang ada. Tidak ada penambahan ataupun pengurangan yang bersifat sia-sia, apalagi diotak-atik seperti kebiasaan ahlul bida’ wal ahwa’ (baca: pelaku bid’ah dan pengekor hawa nafsu) yang kerap mengotak-atik teks-teks Al-Quran dan hadits shahih.

Pernah suatu kali salah seorang dosen kami, Syaikh ‘Ali Hufaizh, menceritakan ketika beliau tengah mengisi suatu pengajian di sebuah masjid. Karena suaranya yang tinggi, sehingga orang-orang di luar masjid yang berlalu lalang pun dapat mendengarnya. Di kemudian hari salah seorang yang mendengar suatu penjelasan beliau dari luar masjid menyampaikan sesuatu pada orang lain. Satu permasalah penting. Ketika hal tersebut didengar oleh Syaikh, ternyata beliau mengingkarinya. Bukan seperti itu penjelasan yang beliau pernah sampaikan saat itu.

Hal lain yang perlu diperhatikan selain satu hal di atas adalah saat membaca buku. Membaca buku juga sangat diperlukan sikap kehati-hatian. Sebaiknya seorang yang membaca buku selau memusatkan perhatiannya pada apa yang tengah dibacanya. Bukan sekedar membaca tanpa ada keseriusan. Oleh sebab itu, seyogyanya membaca buku bukan saja target cepat selesai dan banyaknya buku yang dikhatamkan, namun juga target memahami buku yang dibacanya hingga benar-benar faham. Jika ada hal-hal yang kiranya sulit difahami sendiri, alangkah baiknya jika ia menanyakannya pada seorang yang ahli di bidangnya. Membaca sedikit dengan disertai pemahaman yang benar itu lebih baik daripada banyak khatam kitab namun salah tangkap.

Sungguh betapa indahnya syair yang mengatakan,

أقول زيدا فيسمعه عمروا *** و يكتبه بكرا و يقرؤه بدرا

Aku katakan Zaid, dia malah mendengarnya ‘Amr

Lalu ia menulisnya Bakr namun dibacanya Badr 

Mudah-mudahan Allah ‘Azza wa Jalla memberikan rizki pada kita semua berupa sikap amanah, jujur, dan khasy-yah pada-Nya, serta memberikan kita kecintaan pada ilmu dan mengamalkannya. Sesungguhnya hanya Dia jualah Dzat yang Mahamengabulkan doa. Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Dia semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. []



Penulis: Firman Hidayat

Artikel Muslim.Or.Id



Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/22603-penuntut-ilmu-harus-memiliki-sifat-jujur-dan-amanah.html
Mengokohkan Ilmu dengan Beramal

dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D. 10 Juni 2018 1 Comment

Mengokohkan Ilmu dengan Beramal


Sangat perhatian dalam mengamalkan ilmu
Perhatian dalam mengamalkan ilmu agama merupakan sebab terbesar semakin kokoh dan mantapnya ilmu agama (ilmu syar’i) yang telah kita dapatkan. Jika amal tidak diperhatikan alias ditinggalkan, maka hilanglah ilmu.

Dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu Ta’ala ‘anhu, beliau berkata,

هتف بالعلم العمل ؛ فإن أجابه وإلا ارتحل

“Amal itu memanggil dengan sebab ilmu. Jika panggilan itu direspon, (maka itulah yang diharapkan). Jika tidak, maka dia akan pergi.” [1]

Oleh karena itu, amal adalah sebab kokohnya ilmu. Asy-Sya’bi rahimahullahu Ta’ala (generasi tabi’in) berkata,

كنا نستعين على حفظ الحديث بالعمل به

“Dulu kami berusaha untuk menghapal hadits dengan mengamalkannya.” [2]

Juga diriwayatkan dari Abu Darda’ radhiyallahu Ta’ala ‘anhu, beliau berkata,

إنك لن تكون عالما حتي تكون متعلما، ولن تكون متعلما حتي تكون عاملا بما تعلمت

“Sesungguhnya Engkau tidak akan menjadi seorang ‘alim (orang yang berilmu), sampai Engkau belajar (menuntut ilmu). Tidaklah Engkau menjadi penuntut ilmu, sampai Engkau mengamalkan ilmu yang telah Engkau pelajari.” [3]

Kalimat-kalimat yang semakna dengan kutipan di atas sangatlah banyak dinukil dari para salaf terdahulu, semoga Allah Ta’ala meridhai dan merahmati mereka semuanya.

Memohon pertolongan Allah Ta’ala dalam mengamalkan ilmu
Di antara doa yang dirutinkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap hari setelah shalat subuh adalah,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا

“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik, dan amal yang diterima.”

Dalam riwayat yang lain,

وَعَمَلًا صالحا

“Dan amal yang shalih.” [4]

Dalam doa di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendahulukan ilmu yang bermanfaat sebelum rizki yang baik dan amal yang shalih (amal yang diterima). Hal ini karena seorang hamba tentu saja tidak bisa membedakan mana rizki yang baik dan mana rizki yang tidak baik (yang haram), kecuali dengan ilmu. Demikian pula, seorang hamba tidak bisa membedakan mana amal yang shalih dengan amal yang sia-sia, kecuali dengan ilmu.

Doa di atas juga sangat cocok dan sesuai dipanjatkan setiap muslim di pagi hari sebelum memulai berbagai aktivitas harian. Karena hari-hari setiap muslim adalah medan untuk beramal dengan tiga target yang terdapat dalam doa di atas, yaitu: (1) ilmu yang bermanfaat; (2) rizki yang baik (halal); dan (3) amal shalih yang diterima.

Setelah memanjatkan doa di atas, seorang muslim berangkat memulai berbagai aktivitasnya, dengan terus memohon pertolongan dari Allah Ta’ala, agar senantiasa mendapatkan bantuan dan pertolongan dalam menuntut ilmu, mencari rezeki yang halal dan bersungguh-sungguh dalam beramal shalih.

Ilmu yang bermanfaat dan amal yang diterima adalah dua hal yang saling terkait. Karena “ilmu yang bermanfaat” (al-‘ilmu an-naafi’) itu mengandung dua pengertian:

Pertama, dilihat dari sumbernya. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, juga perkataan para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan para ulama yang mendapatkan petunjuk di atas kebenaran.

Kedua, dilihat dari dampak ilmu tersebut. Tidak diragukan lagi, ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membuahkan amal shalih, bukan sekedar hanya sebagai wawasan semata.

Dan amal itulah yang akan semakin mengokohkan ilmunya. [5]

***

@ Sint-Jobskade NL 718, 12 Ramadhan 1439/ 29 Mei 2018

Oleh seorang hamba yang sangat butuh ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim



Catatan kaki:

[1]     Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asaakir dalam “Dzamm man lam ya’mal bi ‘ilmihi”, hal. 38.

[2]     Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam “Jaami’ bayaan al-‘ilmi”, 1/709.

[3]     Diriwayatkan oleh Al-Khathib Al-Baghdadi dalam “Al-Iqtidha”, hal. 16-17.

[4]    Diriwayatkan oleh Ahmad (6/294), Ibnu Majah (no. 925) dan Ath-Thabrani dalam Ad-Du’aa’ (no. 670). Dinilai hasan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Nataaijul Afkaar (2/315) dan dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah.

[5]     Pembahasan ini disarikan dari kitab Tsamaratul ‘Ilmi Al-‘Amalu, karya Syaikh ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr.



Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/40167-mengokohkan-ilmu-dengan-beramal.html
4 Nasihat untuk Penuntut Ilmu


dr. M Saifudin Hakim, M.Sc., Ph.D. 18 Januari 2019 9 Comments


4 Nasihat untuk Penuntut Ilmu


Di akhir majelis yang membahas hadits ke-146 dari kitab ‘Umdatul Ahkaam, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala menyampaikan beberapa nasihat penting kepada para penuntut ilmu dengan mengatakan,

“Kita tutup majelis ini dengan beberapa kalimat yang ringkas, aku meminta kepada Allah Ta’ala untuk bisa mengambil manfaat darinya.

Pertama, aku menyampaikan kabar gembira kepada saudara sekalian yang hadir untuk menuntut ilmu pada zaman ini bahwa sesungguhnya mereka akan mendapatkan pahala, dan mereka termasuk dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu, Allah Ta’ala akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim no. 2699)

Lebih-lebih mereka menahan beratnya safar (perjalanan jauh), terpisah dari keluarga dan kampung halaman. Aku berharap kepada Allah Ta’ala untuk melipatgandakan pahala bagi mereka.

Baca Juga: Derajat Mulia Penuntut Ilmu Agama

Kedua, sesungguhnya seseorang yang melatih (membiasakan) dirinya untuk menanggung kesulitan selama menuntut ilmu termasuk dalam ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Karena hal itu termasuk dalam firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 200)

Baca Juga: Penuntut Ilmu Harus Memiliki Sifat Jujur dan Amanah

Ketiga, aku berharap agar semua yang hadir dapat mengambil manfaat dari ilmu yang didapatkan. Bukan manfaat dari sisi hapalan dan pemahaman, dua hal ini insyaa Allah juga ditekankan, akan tetapi (yang lebih penting adalah) manfaat dengan diamalkan dan (perubahan) akhlak. Karena tujuan dari ilmu adalah untuk diamalkan. Bukanlah maksud dari ilmu adalah sebagai argumen (hujjah) yang menyudutkan orang yang mempelajarinya (karena tidak diamalkan, pent.).

Wajib atas kalian untuk beramal dengan semua ilmu yang shahih yang telah sampai kepada kalian, sehingga ilmu tersebut berfaidah, menancap dan kokoh di hati kalian. Oleh karena itu dikatakan,

العلم يهتف بالعمل، فإن أجاب و إلا ارتحل

“Ilmu memanggil untuk diamalkan. Jika panggilan itu disambut, ilmu akan tetap. Namun jika panggilan itu tidak disambut, ilmu akan pergi.”

Perkataan ini benar. Karena jika Engkau mengamalkan ilmumu, maka hal itu akan lebih memperkokoh ilmu dan lebih bermanfaat. Sesungguhnya Allah Ta’ala akan menambahkan untuk kalian ilmu, cahaya, dan juga bashirah.

Baca Juga: Penuntut Ilmu Hendaknya Memilih Waktu Yang Baik Untuk Belajar

Keempat, demikian pula aku berharap kepada para penuntut ilmu jika sedang menuntut ilmu, hendaknya membantu saudaranya sesuai dengan kemampuannya dan tidak memiliki penyakit hasad kepada mereka. Janganlah mengatakan, “Jika aku mengajarkan ilmu kepadanya, aku takut dia menjadi lebih berilmu dibandingkan aku.” Bahkan kami katakan, “Jika Engkau mengajari saudaramu, Engkau menjadi lebih berilmu darinya.” Karena Allah Ta’ala telah memberikan kepadamu ilmu yang sebelumnya Engkau tidak mengetahuinya.

Terdapat hadits yang valid dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ

“Dan Allah akan senantiasa meonolong hamba-Nya ketika hamba-Nya tersebut menolong saudaranya.” (HR. Muslim no. 2699)

Jika Engkau menolong saudaramu dengan mengajarkannya suatu masalah (bab) ilmu, Allah Ta’ala akan membantumu dengan mengajarkan ilmu lainnya yang belum Engkau miliki. Maka janganlah hasad dengan saudaramu, sebarkanlah ilmu di tengah-tengah mereka, inginkanlah bagi mereka sama seperti apa yang Engkau inginkan bagi dirimu sendiri.”

Baca Juga:

Adab-Adab Penuntut Ilmu
Mengokohkan Ilmu dengan Beramal
[Selesai]

***

@Jogjakarta tercinta, 6 Rabi’ul akhir 1440/ 14 Desember 2018

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.Or.Id



Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/44670-empat-nasihat-untuk-penuntut-ilmu.html
Menikmati Kajian Rutin yang Membahas Buku Sampai Selesai


dr. Raehanul Bahraen, M.Sc, Sp.PK 30 April 2019 1 Comment


Menikmati Kajian Rutin yang Membahas Buku Sampai Selesai
Saudaraku, mari kita kembalikan nikmatnya ilmu dan nikmatnya majelis ilmu serta berbahagia di majelis ilmu, yaitu dengan:

1. Belajar serius dan bersungguh-sungguh, bukan dengan terlalu banyak tertawa dan guyonan saja di majelis ilmu

2. Belajar dengan materi berisi ilmu berupa tauhid, aqidah, fikih, adab dan akhlak serta ilmu-ilmu ushul seperti bahasa arab, ushul fikh, ushul tafsir dan lain-lainnya. Bukan hanya berisikan cerita-cerita saja, motivasi-motivasi saja atau terlalu banyak politik praktis lalu lupa dengan tauhid dan aqidah

3. Mencatat dengan fokus dan rajin serta menyimpulkan ketika mencatat, bukan dengan hanya mendengar saja kemudian lupa, apalagi sibuk dengan urusan lain seperti terlalu sibuk memfoto ustadz dan keadaan sekitar kajian untuk di upluad, terlalu sibuk berbicara dengan teman sebelahnya dan lain-lain

4. Kajian rutin (misalnya sepekan sekali) menyelesaikan buku tertentu di depan ustadz/ulama yang menjelaskan buku tersebut, bukan hanya kajian tematik yang temanya tidak tetap (apalagi hanya pilih-pilih tema yang disukai saja) dan (maaf) “kajian semau gue” mau datang atau tidak datang terserah dia. Dia tidak pernah sekalipun punya keinginan belajar di kajian rutin padahal fasilitas ada.

Baca Juga: Apapun Keadaanya, Jangan Pernah Tinggalkan Majelis Ilmu

Saudaraku, memang secara umum majelis ilmu adalah kenikmatan dan kebahagiaan. Di majelis ilmu lah kita merasakan manisnya iman dan kebahagiaan yang sejati.

Majelis ilmu adalah taman surga, seseorang akan merasa tenang dan bahagia apabila berada di taman yang indah apalagi taman itu adalah surga.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوا قَالُوا وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ قَالَ حِلَقُ الذِّكْرِ

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Jika kamu melewati taman-taman surga, maka singgahlah dengan senang.” Para sahabat bertanya,”Apakah taman-taman surga itu?” Beliau menjawab,”Halaqah-halaqah (kelompok-kelompok) dzikir.” [HR Tirmidzi, no. 3510, Ash Shahihah, no. 2562.]

Baca Juga: Inilah Keutamaan Menghadiri Majelis Ilmu Di Masjid

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

إن للذكر من بين الأعمال لذة لا يشبهها شيء، فلو لم يكن للعبد من ثوابه إلا اللذة الحاصلة للذاكر والنعيم الذي يحصل لقلبه لكفى به، ولهذا سميت مجالس الذكر رياض الجنة

“Sesungguhnya dzikir di antara amal memiliki kelezatan yang tidak bisa diserupai oleh sesuatupun, seandaikan tidak ada balasan pahala bagi hamba kecuali kelezatan dan kenikmatan hati yang dirasakan oleh orang yang berdziki, maka hal itu [kenikmatan berdzikit saja, pent] sudah mencukupi, oleh karena itu majelis-majelis dzikir dinamakan taman-taman surga.” [Al-Wabilush Shayyib hal. 81]

Berikut kami membahas sedikit poin di atas:

1. Belajar serius dan bersungguh-sungguh, bukan dengan terlalu banyak tertawa dan guyonan di majelis ilmu
Majelis ilmu bukan tempatnya terlalu banyak tertawa dan guyon, tetapi tempat serius dan rendah hati memohon kepada Allah ilmu dan berkahnya. Boleh saja guyon dan bercanda, tapi tidak boleh terlalu banyak karena akan mengeraskan hati,. Sebagian orang HANYA suka pada kajian yang banyak bercanda dan guyonnya, mereka sangka itulah kajian ilmu yang nyaman dan enak.

Perhatikan bagaimana majelis ilmu di zaman dahulu. Imam Adz Dzahabi rahimahullah menyampaikan kisah Ahmad bin Sinan, ketika beliau berkata,

كان عبد الرحمن لا يتحدث في مجلسه ولا يبرى قلم ولا يقوم أحد كأنما على رءوسهم الطير أو كأنهم في صلاة

“Tidak ada seorangpun yang bercakap-cakap di majelis Abdurrahman bin Mahdi. Pena tak bersuara. Tidak ada yang bangkit. Seakan-akan di kepala mereka ada burung atau seakan-akan mereka berada dalam shalat.” [Tadzkiratul Hufadz 1/242]

Baca Juga: Catatlah Ilmu Ketika Di Majelis Ilmu

2. Belajar dengan materi berisi ilmu berupa tauhid, aqidah, fikih, adab dan akhlak serta ilmu-ilmu ushul seperti bahasa arab, ushul fikh, ushul tafsir dan lain-lainnya.
Bukan berisikan hanya cerita-cerita saja, motivasi-motivasi saja atau terlalu banyak politik praktis lalu lupa dengan tauhid dan aqidah. Majelis ilmu berisi tentang ilmu agama, bukan urusan-urusan dunia atau sekedar motivasi dunia saja.

3. Mencatat dengan fokus dan rajin serta menyimpulkan ketika mencatat
Bukan dengan hanya mendengar saja kemudian lupa, apalagi sibuk dengan urusan lain seperti terlalu sibuk memfoto ustadz dan keadaan sekitar kajian untuk di upluad, terlalu sibuk berbicara dengan teman sebelahnya dan lain-lain.

Ilmu tersebut dengan mencatatnya, ini adalah bimbingan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam,beliau bersabda,

قَيِّدُوا الْعِلْمَ بِالْكِتَابِ

“Ikatlah ilmu dengan dengan menulisnya” [Silsilah Ash-Shahiihah no. 2026]

4. Kajian rutin (misalnya sepekan sekali) menyelesaikan buku tertentu di depan ustadz/ulama yang menjelaskan buku tersebut
Bukan hanya kajian tematik yang temanya tidak tetap (apalagi hanya pilih-pilih tema yang disukai saja) dan (maaf) “kajian semau gue” mau datang atau tidak datang terserah dia. Dia tidak pernah sekalipun punya keinginan belajar di kajian rutin padahal fasilitas ada.

Baca Juga: Menjadi Yang Terdepan Dalam Mendatangi Majelis Ilmu

Saudaraku, ketika menghadiri kajian tematik kita akan merasakan lezatnya ilmu dan kebahagiaan ilmu, akan tetapi apabila tidak diikuti dengan menghadiri kajian rutin membahas buku, maka kajian tematik lama-kelamaan akan membosankan dan bisa jadi pemahamannya akan setengah-setengah.

Perhatikan penjelasan Syaikh Muhammad Shalih bin Al-‘Utsaimin berikut,

ألا يأخذ من كل كتاب نتفة، أو من كل فن قطعة ثم يترك؛ لأن هذا الذي يضر الطالب، ويقطع عليه الأيام بلا فائدة، فمثلاً بعض الطلاب يقرأ في النحو : في الأجرومية ومرة في متن قطر الندي، ومرة في الألفية. ..وكذلك في الفقه: مرة في زاد المستقنع، ومرة في عمدة الفقه، ومرة في المغني ، ومرة في شرح المهذب، وهكذا في كل كتاب، وهلم جرا ، هذا في الغالب لا يحصلُ علماً، ولو حصل علماً فإنه يحصل مسائل لا أصولاً

“Janganlah mempelajari buku sedikit-sedikit, atau setiap cabang ilmu sepotong-sepotong kemudian meninggalkannya, karena ini membahayakan bagi penuntut ilmu dan menghabiskan waktunya tanpa faidah, misalnya sebagian penuntut ilmu memperlajari ilmu nahwu, ia belajar kitab Al-Jurumiyah sebentar kemudian berpindah ke Matan Qathrun nadyi kemudian berpindah ke Matan Al-Alfiyah..demikian juga ketika mempelajari fikih, belajar Zadul mustaqni sebentar, kemudian Umdatul fiqh sebentar kemudian Al-Mughni kemudian Syarh Al-Muhazzab, dan seterusnya. Cara seperti Ini umumnya tidak mendapatkan ilmu, seandainya ia memperoleh ilmu, maka ia tidak memperoleh kaidah-kaidah dan dasar-dasar.” [Kitabul ‘ilmi syaikh ‘Utsaimin hal. 39]

Semoga kita bisa merasakan nikmatnya majelis ilmu yang sesungguhnya dan ketenangan yang membawa kepada kebahagiaan. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ

Dan tidaklah sekelompok orang berkumpul di dalam satu rumah di antara rumah-rumah Allah; mereka membaca Kitab Allah dan saling belajar diantara mereka, kecuali ketenangan turun kepada mereka, rahmat meliputi mereka, malaikat mengelilingi mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di kalangan (para malaikat) di hadapanNya.” [HR Muslim]

Baca Juga: Mengapa Tidak Merasakan Ketentraman Hati Di Majelis Ilmu?

Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah berkata,

المراد بمجالس الذكر وأنها التي تشتمل على ذكر الله بأنواع الذكر الواردة من تسبيح وتكبير وغيرهما وعلى تلاوة كتاب الله سبحانه وتعالى وعلى الدعاء بخيري الدنيا والآخرة وفي دخول قراءة الحديث النبوي ومدارسة العلم الشرعي ومذاكرته والاجتماع على صلاة النافلة في هذه المجالس نظر والأشبه اختصاص ذلك بمجالس التسبيح والتكبير ونحوهما والتلاوة حسب وإن كانت قراءة الحديث ومدارسة العلم والمناظرة فيه من جملة ما يدخل تحت مسمى ذكر الله تعالى

“Yang dimaksud dengan majelis-majelis dzikir adalah mencakup majlis-majlis yang berisi dzikrullah, dengan macam-macam dzikir yang ada (tuntunannya, Pent) berupa tasbih, takbir, dan lainnya. Juga yang berisi bacaan Kitab Allah Azza wa Jalla dan berisi doa kebaikan dunia dan akhirat. Dan menghadiri majelis pembacaan hadits Nabi, mempelajari ilmu agama, mengulang-ulanginya, berkumpul melakukan shalat nafilah (sunah) ke dalam majlis-majlis dzikir adalah suatu visi. Yang lebih nyata, majlis-majlis dzikir adalah lebih khusus pada majlis-majlis tasbih, takbir dan lainnya, juga qiraatul Qur’an saja. Walaupun pembacaan hadits, mempelajari dan berdiskusi ilmu (agama) termasuk jumlah yang masuk di bawah istilah dzikrullah Ta’ala”. [Fathul Bari, 11/212]

Baca Juga:

4 Nasihat untuk Penuntut Ilmu
Menyambut Ramadhan Dengan Ilmu
Demikian semoga bermanfaat

@ Lombok, Pulau seribu masjid

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslim.or.id



Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/46438-menikmati-kajian-rutin-yang-membahas-buku-sampai-selesai.html
Aturan group belajar via online


Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh...

Kami ucapkan selamat datang bagi peserta terdaftar.

Grup ini adalah grup belajar Daurah Tafsir Sepersepuluh Alquran.

✅ Grup ini hanya untuk peserta yang sudah mendaftar sebelumnya. Mohon jangan bagikan tautan grup ini kepada siapa pun.

✅ Pembelajaran dimulai pada 1 Ramadhan/24 April. Untuk itu kami harapkan agar saudara/i sekalian bisa bersabar, dimohon jangan keluar dari grup ini, dan tidak perlu menjapri para pembimbing grup atau admin.

✅ Perlu diketahui program ini gratis, tanpa biaya sedikitpun.

✅ Grup ini akan dibuka utk tanya jawab seputar TEKNIS PEMBELAJARAN pada tanggal 28 Sya'ban/21 April besok.

🌷Terima Kasih
=================
⚠️ Mohon maaf, nomor yang tidak terdaftar sebelumnya akan dikeluarkan.

🛑

Insyaallah hari Selasa (21 April/28 Syaban) grup ini akan dibuka untuk tanya jawab terkait TEKNIS PEMBELAJARAN.

Silakan layangkan pertanyaan anda di grup ini jika sudah dibuka.

Mohon untuk tidak menjapri admin.

Terima Kasih.

Durus muhimmah bag (muqoddimah, keadaan salafus soleh dengan alqur'an)

Dauroh online khusus bagi yang muqim di indonesia

💠 "Inilah Agama Islam"
Sebuah program pembelajaran singkat tentang keindahan agama islam. bertujuan mengajak segenap kaum muslimin dinegara Indonesia untuk turut ikut serta dalam acara ini.

🎙Yang akan disampaikan langsung oleh Syaikh Dr. Haitsam bin Muhammad Sarhan - hafidzohullah-,  pengajar tetap di Masjid Nabawi dan akan membahas seputar ( Poin-Poin Penting Yang Sepatutnya Diketahui Oleh Seorang Muslim).

🔸Pembelajaran ini akan berlangsung secara berkala melalui akun Telegram Beliau dibawah ini:

https://t.me/haitsam_sarhan/196
Atau
https://t.me/haitsam_sarhan

🗞 Keistimewaan bagi yang mengikuti  daurah ini adalah:

🖋 Materi akan disampaikan secara berkala yang dilengkapi dengan Terjemahannya dalam bahasa Indonesia.

🖋 Pada setiap pertemuan akan disediakan latihan soal untuk para peserta sebagai tolak ukur sejauh mana pemahaman mereka terhadap materi yang disampaikan.

🖋 Total hadiah sebesar 60 jt yang telah disediakan oleh program "Inilah Agama Islam" untuk para peserta yang berprestasi dan akan dibagikan secara berkala pada setiap selesai ujian harian ataupun ujian akhir.

🔸Program pembelajaran ini  akan dimulai pada tgl  2 - 8 Ramadhan 1441 H.

📢 Mari ikuti program ini dan Silahkan sebarkan seluas-luasnya kepada segenap kaum muslimin.
 Ingat bahwa yang menunjukkan jalan kebaikan kepada sesama akan mendapat pahala yang semisalnya.

📞 Contract person :
1. Ustadz abdulaziz LC. MA
+966 56 331 3822
2. Ustadz mufassir LC. MA
+62 812-1314-9676
3. Usamah
+966 53 839 3729

📒Materi kajian bisa diunduh melalui Link dibawah ini:
https://drive.google.com/open?id=1JuScfhuFM0gB7W-LLhThAXx5-WCNX0J_


01 Durus muhimmah bag (muqoddimah, keadaan salafus soleh dengan alqur'an)
Total points19/25
Ini adalah program pembelajaran ilmiyah singkat dan mendasar. level kedua: penjelsan kitab durus al muhimmah li'aamatil ummah (pelajaran penting untuk seluruh ummat).
Program ini memuat cuplikan video yang berdurasi kurang dari lima menit, disertai dengan diagram ilustratif, dan latihan soal via online.
kami juga memiliki program yang sama dengan bahasa yang berbeda, silahkan lihat dalam situs ini:

http://www.alsarhaan.com/

Mari ikut berkontribusi dalam menyebarkan da'wah tauhid dengan metode tanya jawab ini. Semoga allah menjadikan Anda sebagai pembuka jalan kebaikan.

Wajib mengisi email anda disini 👇
Email address *
diana.anuz@gmail.com
Nama / kunyah *
Diana Gasim Bin Anuz
No. Handphone (WA) *
6285312837788
Saksikan terlebih dahulu cuplikan video ini, kemudian jawablah soal latihan berikut:
Siapakah nama penulis kitab durus al muhimmah? *
1/1
Kitab ini mencakup.... *
2/2
Kenapa kita harus belajar kitab durus muhimmah? *
2/2
Hendaknya seorang muslim sebaiknya memulai tahsin tilawah dan hafalannya dari.... *
2/2
Didalam mentadaburi alqur'an dan mengamalkannya manusia terbagi menjadi dua golongan yang bertolak belakang dan pertengahan *
2/2
Kitab tafsir manakah yang sebaiknya dibaca pertama oleh penuntut ilmu ? *
2/2
Seorang pemula sebaiknya memulai belajarnya dari kitab-kitab kecil sebelum kitab-kitab besar *
2/2
Seorang penuntut ilmu memulai bacaannya dalam kitab tafsir dari surat-surat yang dia sukai sampai dia terbiasa, seperti surat Al qosos, surat Maryam, surat Al kahfi *
2/2
Seorang penuntut ilmu yang merasa kesulitan dalam membaca kitab tafsir, bisa mendengarkannya melalui aplikasi audio, sperti aplikasi tafsir as-sa'di .
2/2
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam telah memperingati orang-orang yang membaca alqur'an dan tidak mentadaburi maknanya *
0/2
Correct answer
Pilihlah dari daftar A jawaban yang sesuai yang ada pada daftar B *
I'tiqodi dan amali
Tiga macam
Besar, kecil dan khofi (tersembunyi)
Score
Tauhid
2/2
Syirik
0/2
Nifaq
0/2
Correct answers
I'tiqodi dan amali
Tiga macam
Besar, kecil dan khofi (tersembunyi)
Syirik
Nifaq
Ikuti pelajaran berikutnya berkenaan dengan metode salaf dalam menghafalkan alqur'an pada link ini: