Thursday, August 29, 2019

RESUME KAJIAN KELUARGA KAMIS MALAM*
*Mesjid Darussalam Griya Tugu Asri*

Kamis, 11 April 2019
Oleh: Ustadz Herfi Ghulam Faizi, Lc

*Kurikulum Pendidikan Anak Usia 0-3 Tahun*

Bakti orang tua pada anak akan menentukan bakti anak pada orang tua.

Sebagaimana kisah seorang laki-laki yang bertemu dengan Umar bin Khattab untuk mengadukan perihal anaknya yang durhaka kepadanya. Kemudian Umar mendatangkan anak tersebut dan memberitahukan pengaduan ayahnya. Anak itu kemudian bertanya kepada Umar, _“Wahai Amirul Mukminin, adakah hak anak terhadap orang tuanya?”_ _“Ya, ada. Jumlahnya ada tiga”_ jawab Umar.

1. Memilihkan ibu yang baik (demikian pula sebaliknya)
2. Memberikan nama yang baik
3. Mengajarkan Qur’an kepadanya

Anak itu berkata mantap, _“Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya ayahku belum pernah memberikan satupun di antara semua hak itu. Ibuku adalah seorang bangsa Ethiopia dan masih beragama Majusi hingga saat ini. Mereka menamakan aku Ja’la (kecoa), dan ayahku belum pernah mengajarkan satu huruf pun dari al-Kitab (Al Quran).”_

Umar menoleh kepada laki-laki itu, dan berkata tegas, _“Engkau telah datang kepadaku mengadukan kedurhakaan anakmu. Padahal, engkau telah mendurhakainya sebelum dia mendurhakaimu.”_

Ada empat hal yang menjadi pilar dalam pendidikan anak:

1. Pendidikan anak itu hukumnya wajib.
Sebagaimana firman Allah dalam _QS. At-Tahrim: 6_
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
_“Hai orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”_

Kata ‘jagalah’ dalam bahasa Arab termasuk dalam kata kerja perintah. Kata perintah dari Allah kepada kita sebagai hamba-Nya fungsinya adalah perintah yang sifatnya wajib, selama tidak ada konteks yang mengalihkan perintah itu dari makna wajib ke makna selain wajib.

Kata  قُوا أَنْفُسَكُمْ ‘jagalah dirimu dan keluargamu’ menggunakan kata kerja perintah, sehingga maknanya adalah _lil wujuh_, untuk mewajibkan apa yang diperintahkan. Maka قُوا أَنْفُسَكُمْ wajibnya sama seperti ‘wa aqiimu shalah’ (dan dirikanlah shalat), ‘yaa ayuhaladzina ‘amanu qutiba ‘alaikumushshiam’, wajibnya zakat bagi yang mampu.

Oleh karena itu, dalam Islam, pendidikan anak adalah bagian dari agama. Sebagaimana shalat untuk mendekatkan diri pada Allah, mendidik anak pun dalam rangka untuk mendekatkan diri pada Allah.

2. Mendidik anak adalah ketrampilan
Seseorang ketika memiliki anak tidak otomatis terasah keibuan atau keayahannya. Karenanya, tidak jarang kita mendengar ada orang yang menyia-nyiakan anaknya. Tidak dididik, tetapi hanya diberi nafkah lahir saja. Bahkan ada juga yang tidak mendapatkan keduanya; nafkah lahir dan pendidikan.

Oleh karena itu, keibuan serta keayahan harus dididik sejak awal. Ini harus jadi program utama dalam keluarga kita. Kita harus menyiapkan anak laki-laki menjadi seorang ayah dan anak perempuan menjadi seorang ibu.

3. Pendidikan anak membutuhkan waktu yang panjang.
Yaitu, lebih panjang dari jenjang pendidikan formal yang ada saat ini. Pendidikan anak akan tetap menjadi tanggung jawab orang tua, sepanjang usia yang Allah berikan bagi kita dan anak-anak kita. Pendidikan membutuhkan nafas yang panjang, sehingga saat kita ingin menanamkan sesuatu tidak boleh terburu-buru.

Ketika mendengar capaian teman sekelas anak kita sudah melebihinya, lalu kita memforsir anak kita di rumah. Hal itu menjadi perkara yang menjenuhkan bagi anak kita. Padahal, amal shalih itu bisa membuat orang menjadi jenuh. Karenanya, dalam Islam kebaikan tidak hanya satu, tapi sangat banyak sekali sehingga orang tidak jenuh untuk mengerjakannya. Oleh karena itu, saat mendengar teman anak kita memiliki capaian yang lebih, kita harus tetap tenang. Bila kita forsir, anak kita akan mengerjakannya dengan penuh tekanan dan tidak menikmatinya.

Mendidik anak untuk menjadi penghafal Qur’an itu letihnya hingga tahap ia menikmati berinteraksi dengan Qur’an. Jadi, fokus kita adalah untuk capaian jangka panjang. Jangan sampai ada trauma amal shalih pada anak kita.  Dengan begitu, kita sebagai orang tua tidak akan tergesa-gesa. Mendidik anak tidak boleh instan.

Bayangkan, untuk bisa menikmati hasil pohon zaitun dari sebuah biji, butuh waktu belasan tahun. Namun, para petani bisa demikian bersabar untuk tidak mempercepat prosesnya dengan menambahkan obat-obat tertentu yang bisa mengurangi kualitas minyaknya. Pendidikan anak dianalogikan Al-Qur’an dalam *QS. Al-Fath: 29*
كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَىٰ عَلَىٰ سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ
_“yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir.”_

Bukti bahwa pendidikan anak itu merupakan proses yang panjang adalah saat Rasulullah _Shalallahu ‘alahi wasallam_ masih mendidik Fathimah *radhiyallahu ‘anha* meskipun ia sudah menikah:
_Dari Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Fathimah telah mengadu kepadaku tentang kedua tangannya yang capek membuat adonan dari tepuk gandum. Lalu aku berkata, “Jika kamu datang ke bapakmu, maka mintalah pembantu kepadanya.” Lalu Rasulullah Shalallahu ‘alahi wasallam bersabda, “Maukah kalian berdua aku tunjukkan sesuatu yang lebih baik untuk kalian dari pada seorang pembantu?, jika kalian hendak mendatangi kasur kalian, maka ucapkanlah 33 kali tahmid, 33 kali tasbih, dan 34 kali takbir.”_ [HR. At-Tirmidzi]

Hubungan orang tua dengan anak tak sekadar hubungan ayah dan anaknya, tapi bisa juga sebagai teman akrab, dan bahkan seperti guru dengan muridnya.

4. Pendidikan anak adalah sebuah proses yang hasilnya membutuhkan pertolongan Allah.

Sehebat apapun orangtua, sebanyak apapun teori pendidikan yang dikuasai, pahamilah bahwa shahlih atau tidak shalih adalah hadiah atau pemberian dari Allah. Karena itu, maka keshalihan itu adanya hanya di sisi Allah. Dengan menginsyafi ini, kita akan berikhtiar semampunya agar Allah senang pada kita dan menghadiahkan keturunan yang shalih.

Sehebat apakah kita dibanding Nabi Ibrahim, tetapi beliau masih berdoa,
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
_“Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang shalih.”_
*[QS. Ash Shaffaat: 100]*

Sehebat apakah kita dibanding Nabi Zakaria, tetapi beliau masih berdoa.
رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً ۖ إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ
 _“Ya Tuhanku, berilah aku keturunan yang baik dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa.”_
*[QS. Ali Imran: 38]*

Sehebat apakah kita dibanding Rasulullah _Shalallahu ‘alahi wasallam_ yang diajari doa oleh Allah,
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
_“Ya Tuhan kami, karuniakanlah pada kami dan keturunan kami serta istri-istri kami penyejuk mata kami. Jadikanlah pula kami sebagai imam bagi orang-orang yang bertaqwa.”_
*[QS. Al-Furqan: 74]*

*USIA 0-3 Tahun*

*I. Kebutuhan Utama*

_*Asupan Fisik dan Jiwa*
_
Kedua kebutuhan utama anak di tiga tahun pertama bisa dipenuhi dalam sekali waktu dengan proses menyusui. Dengan menyusui, orangtua memenuhi kebutuhan makanan untuk fisik anak dan juga asupan ruhiyah untuk jiwa anak.

*QS. Al-Baqarah: 233*
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۚ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ ۚ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ ۗ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗ وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
_“Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah menderita karena anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan._

Dalam ayat ini, suami dan istri tidak boleh saling mengancam untuk mengabaikan atau menyia-nyiakan anaknya. (لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ

Para ulama menyatakan makna 'taqwa' dalam ayat tersebut bukanlah shalat, ngaji, dan sebagainya. Dalam ayat ini, makna ‘taqwa’ berbeda penekanannya pada suami dan istri. Untuk istri, bentuk taqwa pada Allah adalah dengan menyusui, sedangkan pada suami bentuk taqwa pada Allah adalah dengan menafkahi istri dan anak. Jadi, jika seorang perempuan menyusui anaknya, pengawasnya adalah Allah. Pun jika seorang laki-laki menafkahi istri dan anaknya, khususnya ketika istrinya sedang menyusui anaknya di dua tahun pertama kehidupannya. Ini merupakan bentuk penegasan agar seorang laki-laki memberikan kenyamaan pada istrinya saat menyusui anaknya.

Dalam Islam, ada ibadah-ibadah yang kemuliaannya ditentukan oleh waktu. Semisal; shaum di bulan Ramadhan, shalat Jum’at, qiyamul lail saat malam, dzikir pagi dan petang. Dan, bagi wanita yang baru melahirkan, menyusui adalah ibadah yang paling utama. Karenanya, ada hikmah di balik masa nifas selama 40 hari. Masa nifas merupakan isyarat yang kuat dari Allah bahwa pada saat tersebut, ibadah yang paling utama adalah menyusui. Seolah Allah berkata, _“Jangan pikirkan Aku, urusilah dulu anakmu.”_

Menyusui bukan hanya perkara memberikan ASI (terminologi ‘memberikan’ maksudnya adalah ASI yang diperah/dipompa lalu ditempatkan di dalam botol dan diberikan kepada anak). Di dalam menyusui juga terkandung tujuan untuk memenuhi asupan jiwa anak. Menyusui adalah untuk memberikan kenyamanan dan ketenangan pada anak. Menyusui bukanlah sekadar proses transfer ASI, tetapi juga kontak jiwa dengan anak. Maka, perlu dihindari oleh wanita yang sedang menyusui untuk menunjukkan ketidaksukaan ketika anak minta menyusu. Mungkin, ada kalanya di mana seorang ibu merasa keletihan setelah beraktivitas, ataupun mengalami perselisihan dengan suaminya. Lalu saat bayi menangis karena ingin menyusu, sang ibupun lantas menggendongnya dengan kasar dan menyusuinya dengan cara yang kasar pula. Bayi tersebut mungkin kenyang, tapi sungguh jiwanya masih lapar.

Dengan proses menyusui pula, Allah memberi kita fasilitas untuk bisa melatih pengendalian emosi anak di kemudian hari. Sehingga, jika proses menyusui itu berhasil, anak di usia lima atau enam tahun akan lebih mudah diatasi saat mengalami tantrum. Tantrum adalah nafsu anak. Sedangkan nafsu anak di usia awal adalah menyusui. Ibnul Qayyim berkata; “nafsu itu seperti anak yang menyusui, jika kamu turuti maka ia akan terus menyusui, tapi jika kamu cegah dengan perlahan, maka ia akan pergi dengan sendirinya.”

*II. Masalah yang Perlu Diwaspadai*

*a. Al-Ghiroh (Kecemburuan)*

Kecemburuan pada anak adalah hal yang mesti diwaspadai. Anak yang sudah berusia dua tahun dan akan memiliki adik, tapi tak disiapkan dengan dialog, bisa menimbulkan kecemburuan. Anak yang dalam dirinya terdapat kecemburuan cenderung mudah marah.

Rasulullah begitu mewaspadai interaksi yang tidak adil dari orangtua terhadap anak. Dalam beberapa riwayat dijelaskan:
- Rasulullah pernah duduk di masjid dengan seorang sahabat. Lalu, saat anak laki-laki sahabat tersebut datang, ia langsung menyambut dengan mencium dan memangkunya. Namun, ketika anak perempuannya datang hanya disuruh untuk duduk di sampingnya. Lalu Rasulullah _Shalallahu ‘alahi wasallam_ berkata pada sahabat itu, “apa yang menghalangimu untuk bisa berbuat adil terhadap keduanya?”

- ‘Amir berkata bahwa beliau mendengar An Nu’man bin Basyir _radhiyallahu ‘anhuma_ yang ketika itu berada di atas mimbar berkata, “Ayahku memberikan hadiah padaku.” Lantas ibunya Nu’man,  ‘Amroh bintu Rowahah berkata, “Aku tidak ridho sampai engkau mempersaksikan hal itu pada Rasulullah _Shallallahu ‘alaihi wasallam.”- Lalu Rasulullah _Shallallahu ‘alaihi wasallam_ datang, lantas Basyir (ayah Nu’man) berkata, “Aku telah memberikan hadiah pada anak laki-lakiku dari istriku, ‘Amroh bin Rowahah. Lalu istriku memerintah padaku untuk mempersaksikan masalah hadiah ini padamu, wahai Rasulullah.” Rasulullah _Shallallahu ‘alaihi wasallam_ pun bertanya pada Basyir, “Apakah engkau memberi anak-anakmu yang lain seperti anakmu itu?” “Tidak”, begitu jawaban Basyir. Beliau bersabda,
فَاتَّقُوا اللَّهَ ، وَاعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلاَدِكُمْ
"Bertakwalah pada Allah. Bersikap adillah terhadap anak-anakmu.”

Dalam hal ini, peran ayah amat penting untuk membersamai anak ketika sudah berusia satu tahun, sehingga ia tidak merasakan kecemburuan pada sang adik. Ibu pun demikian, seorang ibu sejatinya belum memiliki cukup waktu untuk belajar mendidik anak sampai memiliki menantu. Apalagi jika waktu yang ada dipakai untuk beraktivitas di luar rumah. Terutama saat anak masih berada di usia-usia fitrah (enam tahun pertama).

Seorang ibu, bila tidak ada udzur dalam menyusui (semisal udzur medis), lalu ia meninggalkan tugasnya untuk menyusui anak maka itu bukan sekadar kesalahan, tetapi juga kriminal. Pembahasan tiga tahun pertama kehidupan anak adalah pembahasan mengenai ‘sidik jari’ anak kita. Di situlah amat diperlukan kehadiran ibu di rumah. Tidak apa-apa wanita bekerja di luar rumah, tapi siapkanlah jawaban di hadapan Allah kelak. Bagi yang tidak ingin menyusui anaknya secara langsung pun tidak masalah, yang terpenting siapkan jawaban di hadapan Allah.

*b. Benturan Menyapih*
Saat anak disapih dengan cara yang tidak baik, maka anak akan merasakan bahwa orangtuanya tidak menyayanginya lagi. Meskipun otak fisik anak belum bisa berpikir baik, tapi otak batinnya sudah bisa merasakan. Hal ini dapat menimbulkan goncangan jiwa. Jika anak sudah mengalami guncangan jiwa, maka ia akan mengalami ketidaktenangan jiwa di kemudian hari. Oleh karena itu, jangan sampai ada trauma dalam menyapih karena orang tua bisa mengalami kesulitan di kemudian hari.

Hal ini pun terkait dengan menjaga keharmonisan antara suami dan istri di tiga tahun pertama kehidupan seorang anak. Semisal pada kasus terberat suami dan istri memilih untuk berpisah, maka anak akan kehilangan perhatian.

Rasulullah _Shalallahu ‘alaihi wasallam_ juga sangat memerhatikan hal ini. Apabila ada sahabat yang syahid di medan perang dan memiliki anak yang masih kecil, maka beliau akan mendatangi rumah mereka untuk menghibur.

_In syaa Allah berlanjut di pertemuan berikutnya._

*Resume oleh Deasy Rosalina
_Wallahu'alam bishshawab_

--------------------------------


*RESUME KAJIAN KELUARGA KAMIS MALAM*

Mesjid Darussalam Griya Tugu Asri
Kamis, 25 April 2019

Oleh: Ustadz Herfi Ghulam Faizi, Lc

*KURIKULUM PENDIDIKAN ANAK USIA 1-3 TAHUN (Bag. 2)*

Dalam syari’at Islam, pendidikan keluarga adalah mihrab untuk mendekatkan diri pada Allah. Sama seperti mihrab tempat imam shalat. Pendidikan keluarga adalah bagian dari agama yang tidak bisa dipisahkan. Jika ada orang masuk surga karena banyak shalatnya, ada orang masuk surga karena banyak sedekahnya, ada orang masuk surga karena banyak jihad dan perjuangannya untuk umat ini, dan ada juga orang yang masuk surga karena mendidik keluarganya dengan sebaik-baik pendidikan.

*Hal yang Perlu Diwaspadai pada Anak Usia 1-3 Tahun*

1. Masalah Menyapih
Jangan sampai anak merasa kehilangan cinta yang sebelumnya ia dapatkan lewat dekapan ataupun gendongan orangtuanya.

2. Masalah Mengompol
Mendidik anak mengatur buang air kecil juga merupakan proses untuk melatih anak mengendalikan hawa nafsunya. Jika anak ingin BAK saat berada di masjid lalu kita minta untuk menahannya sampai di toilet dan berhasil, maka semestinya kita juga bisa melatih anak untuk menahan emosinya.

3. Kecemburuan
Cemburu pada adik yang baru dilahirkan. Dalam Siroh Nabawiyah, Rasulullah menegur sahabat yang membedakan perlakuannya saat menyambut anak laki-laki dan anak perempuannya. Rasulullah juga tidak mau menjadi saksi atas ketidakadilan Bashir (ayah Nu’man bin Bashir) yang akan membagikan tanahnya hanya kepada Nu’man.

*Nilai yang Perlu Ditanamkan pada Anak Usia 1-3 Tahun*

*1. Cinta*
Selain memenuhi asupan jiwa dan fisik, orangtua juga perlu menanam nilai cinta dalam diri anak. Cara menanam cinta pada anak sangatlah sederhana. Konsep pendidikan dalam Islam memang memiliki karakteristik yang sederhana. Oleh karena itu, bila sebuah teori pendidikan aplikasinya terlalu sulit, maka kita harus curiga bahwa hal itu bukan dari Islam.

Apa yang bisa dilakukan untuk menanamkan cinta?
- Duduk bersama dengan anak (hanya berdua saja)
- Menghabiskan waktu-waktu yang tepat untuk membersamai anak; bermain, mengobrol, makan bersama

Sejatinya, kalimat dari seorang ayah atau ibu, _“Aku mencintaimu,”_ atau _“Aku sayang kamu,”_ tidak ada manfaatnya jika anak tidak pernah dibersamai secara fisik dan intens oleh orangtuanya. Jika anak tidak pernah dibersamai, anak akan sulit menangkap sinyal cinta. Karena, bagi anak bahasa cinta itu sederhana; siapapun orang yang paling sering menyentuh dirinya, siapa orang yang paling sering mengelus kepalanya, menggendong dirinya, mendengarkan ketika dia berbicara, melayani apapun yang dia minta, maka itulah orang yang paling besar cintanya bagi anak. Demikianlah seorang anak mendefinisikan cinta.

Dalam kitab, *“Anak Kita dari Masa Kanak-Kanak sampai Masa Pemuda”* , DR. Ma’mun Ubaidah (dokter dan pemerhati masalah psikologi) menuliskan:
_Tahun-tahun pertama kehidupan seorang anak dianggap sebagai fase yang sangat penting untuk membangun hubungan yang kuat antara anak dengan orangtuanya. Di mana, anak di usia itu akan bergantung dan memiliki keterikatan dengan orang yang mengayomi, menyayangi dirinya, memenuhi kebutuhan dasarnya (Contoh: saat menangis, orang itu langsung menggendongnya; dia terjatuh orang itu langsung bangun dan mengangkatnya, dst)._

_Di sela membangun hubungan antara anak dengan orangtuanya, akan tumbuh cinta antara anak dan orangtuanya. Cinta ini akan menguat seiring kedekatan fisik antara anak dan orang tuanya. Itu semua bisa dilakukan oleh kedua orangtuanya dengan menggendong, mencandai, memberi makan, mengobrol bersama, menjawab pertanyaan-pertanyaannya, dan senantiasa cepat dalam merespon apapun yang ia inginkan dalam setiap keadaan sehat ataupun sakit._

_Jika hubungan antara anak dan orangtua di tahun-tahun pertama ini gagal terbangun, baik anak dibiarkan sendiri atau dipegang oleh banyak orang (seperti di panti asuhan) dalam waktu yang panjang, maka kelak akan sulit baginya untuk mencari pengganti kasih sayang atau kelembutan yang tidak ia dapatkan._

_Sementara itu, anak yang mendapatkan sentuhan-sentuhan fisik (banyak digendong, banyak diajak duduk, banyak diajak bicara, banyak diajak bermain) di tahun-tahun pertama kehidupannya, akan merasakan cinta yang membuatnya mudah untuk mempelajari perkara-perkara yang baru di kemudian hari._

Contohnya adalah pada sosok Nabi Musa _‘alaihissalam._ Nabi Musa saat kecil diasuh dengan penuh kasih sayang oleh ibunya. Hikmah Allah menunjukkan, Musa tidak ingin menyusu pada wanita lain. Sehingga ibunya sendirilah yang menyusuinya dengan rengkuhan penuh cinta. Dengan ASI dan rengkuhan yang istimewa itulah, Musa tumbuh menjadi sosok yang mudah beradaptasi dengan hal-hal baru. Awalnya Musa tinggal di istana yang nyaman hingga usia remaja. Lalu, saat kabar terbunuhnya orang Koptik oleh Musa secara tak sengaja saat berkelahi dengan seseorang dari Bani Israil didengar oleh Fir’aun, Fir’aun memutuskan untuk membunuhnya. Musa pun melarikan diri ke arah Madyan. Lihatlah, Musa yang tumbuh di istana dengan penuh kemewahan mudah beradaptasi dengan kondisi yang harus dihadapinya. Setibanya di Madyan dengan kondisi tak membawa pakaian dan belum makan, ia melihat dua wanita yang sedang menghalangi domba-domba mereka agar tidak bercampur dengan domba-domba milik penggembala laki-laki. Lazimnya orang asing akan merasa lebih butuh untuk dibantu daripada membantu. Namun, tidak demikian dengan Nabi Musa. Ia justru langsung membantu kedua wanita itu. Musa mengambilkan air dari sumur dan diberikan kepada domba-domba milik dua wanita tersebut. Hingga akhirnya ia menikah dengan salah satu dari dua wanita tersebut. Dalam hal ini, jelas Musa sangat bisa beradaptasi terhadap segala hal baru yang dialaminya.

_Anak yang semasa kecilnya mendapatkan sentuhan cinta yang cukup dari orangtuanya, maka dia akan tidur dengan nyenyak, selera makannya tinggi, tenang saat bertemu orang, tidak takut, tidak malu, tidak mudah emosi, dan memiliki kesehatan fisik yang baik. Adapun anak yang terhalang tidak mendapatkan sentuhan cinta akan berakibat sebaliknya; susah untuk makan, banyak nangis, cepat marah untuk urusan sepele, dan tidur yang tidak nyenyak._

Demikianlah, begitu pentingnya duduk, bermain, bicara dengan anak. Kita bisa lihat begitu jualah Rasulullah mementingkan hal tersebut. Hal ini bisa dilihat dari hadits dari Imam Asy-Suyuthi dalam Kitab Jamius Shaghir bahwa Rasulullah bermain dengan Zainab binti Ummu Salamah (Ummahatul Mukminin) acapkali bertemu dengannya dan memanggilnya dengan sebutan ‘Zuainab’ (Zainab kecil, imut).

Kita juga bisa memahami hadits ketika Rasulullah menggendong Umamah binti Zainab (cucu beliau) saat shalat.
_"Dari Abu Qatadah al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : saya melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat mengimami para sahabat sambil menggendong Umamah binti Zainab, anak Zainab puteri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di atas bahunya, maka apabila ruku beliau meletakkannya dan apabila selesai sujud beliau menggendongnya kembali.”_

Di samping itu ada juga hadits riwayat Bukhari yang menyatakan bahwa Rasulullah _Shallallahu ‘alaihi wa sallam_ begitu senang bermain dan bercanda dengan Hasan dan Husain dan bersabda; “Ya Allah aku mencintai dua anak ini, maka cintailah jua kedua anak ini.”

*2. Bahasa*
Anak usia 1 hingga 3 tahun perlu belajar bahasa, bukan belajar bicara. Anak di tiga tahun pertama memiliki kebutuhan akan kosa kata. Mungkin, di usia tersebut anak masih sulit untuk mengungkapkan, tetapi setelah usia itu di usia 4-6 tahun, anak akan mengalami ledakan bahasa. Tanpa diduga, semua kosakata yang diajarkan di tiga tahun pertama akan bisa keluar di usia 4-6 tahun.

Pendidikan bahasa ini penting sebagaimana kalimat Rasulullah _Shallallahu ‘alaihi wa sallam_ saat ditanya oleh Abu Bakar. _“Wahai Rasulullah, aku tidak pernah mendapati orang Arab yang lebih fasih daripada dirimu.”_ Lalu beliau mengatakan, _“Karena aku orang Quraisy dan aku disusui di Bani Sa’ad.”_

Rasulullah adalah sosok yang saat bicara memiliki pilihan kata yang sangat baik. Tidak ada pilihan kata beliau yang saat didengar tidak enak. Untuk bisa bicara di hadapan kaum Quraisy harus bisa memiliki pilihan kata yang baik. Jika tidak, mereka akan langsung meninggalkan.

Kalimat Rasulullah _Shallallahu ‘alaihi wa sallam_ ‘disusui di Bani Sa’ad’ dijadikan alasan oleh beliau atas kefasihan bahasa yang dimiliki. Bukankah menyusui itu di dua tahun pertama kehidupan? Oleh sebab itu, kebutuhan anak di tiga tahun pertamanya adalah bahasa, karena akan berkaitan dengan kefasihannya saat dewasa.

Imam Syafi’i mengatakan, _“Andai dalam syair tidak ada kebohongan, maka aku akan menekuni ilmu syair.”_ (dalam syair, untuk menjadikan sesuatu itu indah harus dibingkai dengan sesuatu yang berlebih-lebihan dan cenderung pada kebohongan)

Imam Syafi’I adalah orang yang fasih bahasanya. Beliau punya Diwan Syafi’i; tentang keutamaan menuntut ilmu, dll. Kecerdasan berbahasa Imam Syafi’i ini tidak bisa dilepaskan dari tiga tahun pertama kehidupannya saat diajak pulang oleh ibunya dari Gaza ke Mekkah dan beliau ditaruh di suku Huzail. Suku tersebut adalah suku yang terkenal akan kefasihan bahasanya. Imam Syafi’i berkata; _"Aku ini jika berdebat dengan orang yang lebih pintar, maka aku pasti akan menang. Tapi jika aku berdebat dengan orang yang bodoh, maka aku pasti akan kalah."_

Hal yang bisa dilakukan untuk menanamkan nilai tentang bahasa:
1. Saat duduk dengan anak, alihkan perhatiannya untuk melihat benda-benda yang ada di sekitarnya. Misal; ada binatang lewat, sampaikan bahwa itu adalah A atau B.
2. Jawablah setiap pertanyaan anak
3. Berbicaralah dengan anak seperti bicara dengan orang dewasa. Bukan dengan pilihan kata yang dibuat-buat seperti anak yang belum bisa jelas dalam berbicara. Agar anak tahu bahasa yang benar.
4. Mintalah anak untuk mengulang bicaranya walaupun kita sudah paham apa yang ia maksud.
5.
• Diam dan dengarkan ketika anak sedang berbicara. Hal ini penting agar anak memiliki ketrampilan mendengarkan. Mendengarkan adalah ketrampilan, sedangkan mendengar adalah pemberian. Maka, sejak kecil, ajari anak untuk memiliki keahlian untuk mendengarkan dengan cara mendengarkannya saat bicara.
• Jangan potong pembicaraannya karena tidak sabar
• Jika bertanya pada anak, jangan buru-buru untuk mendapatkan jawaban.
6.
• Masukkan kosa kata-kosa kata pendek dari ayat-ayat Qur’an. _Bismillahirrahmanirrahim, Hasbunallah wa ni’mal wakil, A’udzubillahiminasysyaithanirrajiim, Ihdinashshirathal mustaqim_
• Masukkan juga dzikir yang mudah, _Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar_
- Sampaikan kisah-kisah yang berkaitan dengan benda-benda yang sudah diketahui anak. Contoh; semut (interaksi Nabi Sulaiman dengan semut), burung (dialog Hud-hud dengan Nabi Sulaiman), bendungan (siapkan cerita tentang dam di negeri Saba’ yang jebol karena masyarakatnya tidak mau bersyukur)

*Waspadai! Membiarkan anak usia tiga tahun pertama untuk duduk dalam jeda waktu yang sangat lama di depan televisi*

Penelitian tentang struktur otak anak saat anak sibuk menonton TV. Di antara hasilnya adalah, tampak adanya fenomena otak malas. Seharusnya, itu bekerja jika anak membaca atau berbicara dengan orangtuanya. Sebaliknya, tiap otak malas itu akan bekerja kembali ketika anak bermain.
Penelitian di Inggris dengan subyek 11.000 anak mendapati bahwa anak-anak yang banyak melihat TV di tiga tahun pertamanya, di usia 7 tahun anak tersebut cenderung mudah berkelahi, mudah bohong, curang, dan mencuri.
Analisis bahwa, film kartun apapun itu, dalam waktu satu jam, ada puluhan adegan yang sifatnya kekerasan (memaki-makin teman, memarahi, dll)

*Q&A*
1. Bagaimana dengan Rasulullah _Shallallahu ‘alaihi wa sallam_ yang pada saat tahun-tahun pertamanya justru berada di luar rumah?
Poinnya adalah bukan anak tersebut berada di luar rumah atau dalam rumah. Tapi, lebih kepada tidak banyaknya orang yang memegang anak. Yang memegang Rasulullah _Shallallahu ‘alaihi wa sallam_ hanya Halimah dan suaminya. Selama lima tahun itupun, Halimah memperlakukan Rasulullah _Shallallahu ‘alaihi wa sallam_ seperti anak kandungnya. Saat di Madinah, Bani Sa’ad mengalami paceklik, lalu Halimah datang dan meminta bantuan, beliau pun berkata, _"Engkau adalah ibuku setelah ibuku.”_ Karena Rasulullah merasakan bahwa perlakuan Halimah sama seperti perlakuan ibu kandung beliau.

Jadi, jika kita ingin menitipkan anak, maka pastikan orang tersebut memperlakukan anak kita seperti memperlakukan anak kandungnya.

_“Aku dan orang yang mengurus (kafil) anak yatim (kedudukannya) di dalam surga seperti ini.” Beliau mengisyaratkan dengan (kedua jarinya yaitu) telunjuk dan jari tengah serta agak merenggangkan keduanya.”_ [HR. Imam Al-Bukhari]

Kafil bukan hanya memberi uang, atau mengelus kepalanya, tetapi para ulama menyatakan bahwa kafil itu tidak sempurna sampai kafil itu menganggap anak yatim tersebut sebagai anaknya sendiri.

2. Bagaimana dengan kebutuhan jasad anak di usia 1-3 tahun?
Secara gerak fisik masih terbatas, jadi kebutuhannya adalah membangun pondasi. Di usia berikutnya (4-6 tahun), kebutuhan utama adalah gerak dan dialog.
_“Gerak anak yang berlebih di waktu kecil, akan mendukung kecerdasannya ketika dewasa.”_ [HR. Tirmidzi]

3. Bagaimana cara memperbaiki pengasuhan anak yang saat usia 1 hingga 3 tahun banyak dipegang oleh orang lain karena adanya kondisi sang ibu tidak dapat mengasuh secara penuh? Akibatnya, anak tersebut ketika mencapai usia sebelum baligh, muncul kondisi-kondisi yang dijabarkan oleh Ustadz, mudah marah, tidur kurang nyenyak, dsb

Ada anak melakukan sebuah kesalahan karena ia jahat. Ada anak melakukan kesalahan karena ia sakit (jiwanya). Saat ada anak tidak mendapatkan kebutuhannya di usia 1-3 tahun, dan di kemudian hari muncul gejala tersebut, maka penyebabnya bukan karena nakal, tapi karena ia sedang sakit.

*QS. Yunus: 57*
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
_“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.”_

Qur’an bisa mengobati penyakit yang ada dalam jiwa. Kisah dua orang hafidz Qur’an yang berasal dari panti asuhan. Salah satunya, bahkan melihat orangtuanya bunuh diri. Namun, Qur’an berhasil menyembuhkan itu semua. Bukan hanya dengan menghafal, tapi dengan memasukkan nilai-nilai yang baik dari beragam interaksinya.

Wallahu’alam bishshawab

Oleh: Deasy Rosalina (telah direvisi oleh Ustadz Herfi Ghulam Faizi, Lc)
[30/8 06.47] Taud Sinta Ummu Al: Ini kajian keluarga  kamis malam.. pengisinya ustadz Herfi.. bagian dari kurikulum Madrasah dan manajemen kuttab
Team janaiZ

RELAWAN JANAIZ AKHAWAT

*_Tim Cinere_*
1. Ummi Mitra: 08121271249  (koordinator)
2. Uni Sovie 0811100147 (koordinator)
3. Rafina 085694052636
4. Tina 082113157008

*_Tim Kemang /Pondok Indah_*
1. Berliana 0816750250
2. Devi 081310993310 (koordinator)
3  Rusi ( 087878662297)
4  Irin  ( 0811163078)

_*Tim Jagakarsa*_
1. Ummu Nur 085817567763 , 085213516164 (koordinator)
2. Wiwien 089661777527
3. dr Okti 081210127164

*_Tim Cirendeu/ Legoso_*
1.  Zuwaida 081382421746 (koordinator)
2. Sri Anggraeni 081387638880
3. Lestari 081315791138
4. Dewi Ummu Zazil 089604002597

_*Tim Pondok Cabe*_
1. Liliek 081398991095 (koordinator)
2. Titien 081210446476
3. Itje 081280884884

*_Tim Bintaro_*
1. Fithri 08176667354 (koordinator)
2. Yana 081281562508
3. Reni 08197206174
4. Aisyah 089652428103
5. Anis +6281314676964

_*Tim Graha Bintaro dan sekitar*_
_(termasuk Graha Raya)_
1. Desy +6289519726016 (koordinator)
2. SITA 08158897827 / 081806168558 (koordinator)
3. Mila +628179101765
4. Dai +628129234818
5. Sara +62817769232
6. Afni +6281288809252

*_Tim Pamulang_*
1.  Zainab 08561862236 (koordinator)
2. Ummu Yahya 085772246125
3. Sari 08128137223
4. Shanti 087886260958
5. Linda 083891946647
6. Dewi   0818161997

*_Tim Jombang Sudimara_*
1.  Sri Sugiarti 087781942770 (koordinator)
2. Ika 08568114600
3. Wilma 083876874467
4. Heni 081316310929
5. Yuli 8129253975
6. Wiwik 08159191656
7. Titin 082387068805
8. Sari 08155115335

*_Tim Sahabat Bilal BSD_*
1. Betty 0818846464 (koordinator)
2. Lia 0859455042799
3. Ranti 081287564021
4. Yuri 08 11154095
5. Dian 08121008702
6. Era 081380919153
7. Neni 081210062093
8. Neneng 081286357103
9. Eke 08129357385

*_Tim Ciledug_*
1. Ira / ummu Razan 0812 8182 6113 (koordinator)
2. Ani 0813 1064 8894
3. Cicih 0813 8025 5585
4. Hindun 0812 8950 0665
5. Lely 0858 8046 6435
6. Sugi 0852 1375 9001
7. Susi 0815 8563 5198
8. Yanti 0812 8700 3191

*_Tim Jakarta Pusat_* _(Tanah Abang dan Bendungan Hilir)_
1. Diah M. 082114466974
 (koordinator)
2. Ummu Umar 087787298659
3. Riany 087780902260
4. Dina Ummu Ibrohim 087888804757

*_Tim Jakarta Barat_* _(Kemanggisan, Palmerah dan wilayah kecamatan Grogol Petamburan)_
1. Dian ummu Afiif 08112433381 (koordinator)
2. Nina ummu Adam 081210960996
3. Leni 081574151805
4. Lenny 087776143940
5. Heny ummu Khanza 081296366679
6. Dian ummu Akmal 08176880625
7. Erma 085781926187
8. Ella ummu Gaia 081212873087

*Team Jakarta Timur, Depok, pasar Rebo*.
1. Marwah : +628119472674 (koordinator)
2. Yanti : +6281219167735
3. Rika : +62816555222

⚘ ⚘⚘ ⚘
*TERSEBARNYA RIWAYAT HAFSH*

🍃🍂🍃🍂🍃🍂🍃🍂🍃🍂

Banyak dibicarakan oleh komunitas Al-Qur’an baik di dunia Arab atau lainnya tentang penyebab tersebarnya riwayat Hafsh di dunia Islam. Sebagian kalangan mengatakan bahwa pemerintahan Turki Usmani (sekitar 922 H/1516 M) mempunyai peranan yang sangat signifikan dalam hal ini, yaitu melalui kekuatan politik kekuasaan. Sebagaimana diketahui bahwa pemerintahan Turki Usmani pada saat mencetak mushaf, mereka memilih bacaan riwayat Hafsh. Lalu mereka kembangkan bacaan riwayat ini ke seluruh negeri. Namun pendapat ini dibantah oleh Ghanim Qadduri al-Hamd. Dia mengatakan bahwa riwayat Hafsh sebenarnya telah menyebar di beberapa tempat. Kemudian Ghanim menyebutkan perkataan Abu Hayyan dalam tafsirnya “al-Bahr al-Muhith”: tentang riwayat Warsy dan ‘Ashim :

 وهى (رواية ورش ) الرواية التى تنشأ عنها ببلادنا ( الأندلس ) ونتعلمها فى المكتب . وقال عن قراءة عاصم : وهى القراءة التى ينشأ عليها أهل العراق ( البحر۱ ص ۱۱٥)
“Riwayat Warsy sudah menyebar di negeri Andalus dan diajarkan di maktab-maktab, sedang riwayat ‘Ashim disebarkan di negeri Andalus ini oleh Penduduk Irak.”

Ghanim kemudian merujuk kepada perkataan Muhammad al-Mar’asyi yang hidup pada abad ke 12 H (w. 1150 H) yang disebut juga dengan Savhaqli Zadah:

والمأخوذ فى ديارنا ( عش مدينة فى جنوب تركيا الآن ) قراءة عاصم برواية حفص عنه

“Yang dijadikan patokan di negeri kami (Turki) adalah bacaan ‘Ashim riwayat Hafsh.”

Dalam pandangan penulis ada beberapa penyebab tentang menyebarnya riwayat Hafsh. Ada yang berupa faktor alamiah yaitu riwayat tersebut mengalir dan menyebar dengan sendirinya seperti mengalirnya air sebagaimana juga tersebarnya madzhab-madzhab fikih, dan ada juga faktor ilmiah yaitu dilihat dari materi bacaan Hafsh itu sendiri.

Secara garis besar bisa penulis rangkum sebagai berikut :

1.) Jika dilihat dari segi materi ilmiah, maka riwayat Hafsh adalah riwayat yang relatif mudah dibaca bagi orang yang non-Arab mengingat beberapa hal :

Pertama : tidak banyak bacaan Imalah, kecuali pada kata : (مجرىها ) pada surah Hud. Hal ini berbeda dengan bacaan Syu’bah, Hamzah, al-Kisa’i, Abu ‘Amr dan Warsy yang banyak membaca Imalah.

Kedua : tidak ada bacaan Shilah Mim Jama’ sebagaimana apa yang kita lihat pada bacaan Qalun dan Warsy. Bacaan Shilah membutuhkan kecermatan bagi pembaca, mengingat bacaan ini tidak ada tanda tertulisnya.

Ketiga : Dalam membaca Mad Muttashil dan Munfashil, bacaan riwayat Hafsh terutama thariq Syathibiyyah tidak terlalu panjang sebagaimana bacaan Warsy dan Hamzah yang membutuhkan nafas yang panjang. Bahkan dalam thariq Thayyibah, yaitu yang melalui jalur ‘Amr bin ash-Shabbah thariq Zar’an dan al-Fil bacaan Hafsh dalam Mad Munfashil bisa Qashr (2 harakat).

Keempat : dalam membaca Hamzah baik yang bertemu dalam satu kalimah atau pada dua kalimah, baik berharakat atau sukun, riwayat Hafsh cenderung membaca tahqiq yaitu membaca dengan tegas (syiddah) dengan tekanan suara dan nafas yang kuat, sehingga terkesan kasar. Hal ini berbeda dengan bacaan Nafi’ melalui riwayat Warsy, Qalun. Bacaan Abu ‘Amr melalui riwayat ad-Duri dan as-Susi. Bacaan Ibn Katsir melalui riwayat al-Bazzi dan Qunbul yang banyak merubah bacaan Hamzah menjadi bacaan yang lunak. Contohnya adalah pada Hamzah sakinah atau jika ada dua Hamzah bertemu dalam satu kalimah atau dua kalimah. Imam Hafsh mempunyai bacaan tashil baina baina hanya pada satu tempat saja yaitu pada kalimat : ءأعجمى  pada surah Fushshilat : 44.

Kelima : Hafsh mempunyai bacaan Isymam hanya pada satu tempat yaitu pada kata : لا تأمنا  sebagaimana juga bacaan imam lainnya selain Abu Ja’far. Keenam: Hafsh mempunyai bacaan Mad Shilah Qashirah hanya pada kalimat : ويخلد فيه مهانا pada surah al-Furqan: 69. Hal ini berbeda dengan bacaan Ibn Katsir yang banyak membaca Shilah Ha’ Kinayah.

2.) Jika dilihat dari awal kemunculan bacaan ‘Ashim yaitu di Kufah atau Iraq, secara politis, negeri Kufah (Iraq) adalah negerinya pengikut Ali (Syi’ah). Bacaan Hafsh juga bermuara kepada sahabat Ali. Kemudian Negeri Baghdad, dimana Hafsh pernah mengajar disini, adalah Ibukota negara (Abbasiyyah) pada masa itu, pusat kegiatan ilmiah, sehingga penyebarannya relatif lebih mudah. Jika kemudian Hafsh bermukim di Mekah kiblat kaum Muslimin yang banyak dihuni mukimin dari berbagai penjuru dunia dan mengajar Al-Qur’an di sini, maka bisa dibayangkan pengaruh bacaannya.

Penulis juga melihat adanya hubungan yang cukup signifikan antara madzhab fikih dan Qira’at. Sebagai contoh: riwayat Warsy adalah riwayat yang banyak diikuti oleh masyarakat di Afrika Utara. Di sana madzhab fikih yang banyak dianut adalah madzhab Maliki. Masa hidup Imam Malik adalah sama dengan masa hidup Imam Nafi’. Keduanya di Madinah. Bisa jadi pada saat masyarakat Afrika Utara berkunjung ke Madinah untuk haji atau lainnya, mereka belajar fikih kepada Imam Malik dan belajar Qira’atnya kepada Imam Nafi’. Kita tahu bahwa Hafsh pernah bermukim dan mengajar Al-Qur’an di Mekah. Imam Syafi’i juga hidup di Mekah. Boleh jadi pada saat hidupnya kedua Imam tersebut kaum Muslimin memilih madzhab kedua Imam tersebut. Kemudian jika kita melihat sanad bacaan riwayat Hafsh pada guru-guru dari Indonesia, semisal sanad Kiai Munawwir Krapyak, akan kita jumpai banyak ulama madzhab Syafi’i pada sanad tersebut, seperti Zakariyya al-Anshari dan lain sebagainya.

3.) Hafsh mempunyai jam mengajar yang demikian lama, sebagaimana dikatakan oleh Ibn al-Jazari sehingga murid-muridnya bertebaran di berbagai tempat. Hal ini berbeda dengan Syu’bah yang tidak begitu lama mengajar.

4.) Hafsh dianggap sebagai perawi Imam ‘Ashim yang demikian piawai dan menguasai terhadap bacaan gurunya. Sebagaimana diketahui Hafsh adalah murid yang sangat setia pada ‘Ashim. Mengulang bacaan berkali-kali, dan menyebarkan bacaan ‘Ashim di beberapa negeri dalam rentang waktu yang demikian lama. Makki al-Qaisi menyebutkan bahwa ‘Ashim mempunyai kefashihan membaca yang tinggi, validitas sanadnya juga sangat kuat dan para perawinya juga tsiqah (sangat dipercaya).

5.) Ghanim Qadduri al-Hamd menyebutkan bahwa mushaf pertama yang dicetak di Hamburg (Jerman) pada tahun 1694 M/1106 H, diharakati dengan bacaan Hafsh yang ada di perpustakaan-perpustakaan di beberapa negeri Islam. Hal ini mempunyai banyak pengaruh pada masyarakat, dimana mereka menginginkan adanya mushaf yang sudah dicetak. Para penerbit mushaf di Hamburg sudah tentu melihat terlebih dahulu kecenderungan masyarakat Islam pada saat itu. Bahkan Blacher, seorang orientalis yang cukup terkemuka dalam bidang studi Al-Qur’an pernah mengatakan :

  ان الجماعة الاسلامية لن تعترف فى المستقبل الا بقراءة حفص عن عاصم

“Kaum Muslimin pada masa yang akan datang tidak akan menggunakan bacaan Al-Qur’an kecuali dengan riwayat Hafsh dari ‘Ashim.”

Pernyataan Blacher yang pasti didahului oleh pengamatan yang seksama, jelas menggambarkan kecenderungan masyarakat di dunia Islam pada saat itu dan pada masa yang akan datang sehingga dia bisa memastikan hal tersebut.

6.) Ghanim Qadduri juga menyebutkan dengan melansir dari kitab “Tarikh Al-Qur’an” karya Muhammad Thahir Kurdi, bahwa penulis mushaf yang sangat terkenal pada masa pemerintahan Turki Usmani, adalah al-Hafizh Usman (w. 1110 H). Penulis ini sepanjang hidupnya telah menulis mushaf dengan tangannya sendiri, sebanyak 25 mushaf. Dari mushaf yang diterbitkan inilah riwayat Hafsh menyebar ke seantero negeri. Penulis melihat bagaimana hubungan antara keahlian menulis mushaf dengan khat yang indah bisa menjadi unsur yang cukup signifikan dalam penyebaran satu riwayat. Jika kemudian pemerintah Turki Usmani mencetak mushaf sendiri, dan menyebarkannya ke seantero negeri kekuasaannya, maka hal itu akan menambah pesatnya riwayat Hafsh. Dari sini penulis melihat adanya hubungan antara kekuasaan politik dengan penyebaran satu ideologi tertentu.

7.) Peranan para qari’, guru, imam salat, dan radio, kaset, televisi, juga sangat berpengaruh terhadap penyebaran riwayat Hafsh. Kita tahu bahwa rekaman suara pertama di dunia Islam adalah suaranya Mahmud Khalil al-Hushari atas inisiatif dari Labib Sa’id sebagaimana diceritakannya sendiri pada kitabnya “al-Mushaf al-Murattal atau al-Jam’ash Shauti al-Awwal” rekaman ini dengan riwayat Hafsh thariq asy-Syathibiyyah. Suara yang bagus melalui teknologi yang canggih ikut memengaruhi satu bacaan.

8.) Lebih dari penyebab lahiriah dari penyebaran riwayat Hafsh, kita tidak boleh melupakan adanya penyebab “maknawiyyah” atau faktor “berkah” atau bisa kita katakan faktor “x” pada diri Hafsh. Unsur-unsur spiritual seperti kesalehan, keikhlasan, ketekunan, pengorbanan Hafsh dalam mengabdi kepada Al-Qur’an ikut menjadi penyebab tersebarnya satu riwayat bahkan madzhab fikih atau lainnya.

*Penutup*

Riwayat Hafsh telah menjadi femomena tersendiri dalam penyebaran satu riwayat dalam Qira’at. Riwayat Hafsh akan terus melebar dan menyebar ke seantero dunia, bahkan ke negeri-negeri yang menggunakan riwayat lain seperti Warsy, Qalun, ad-Duri dan lain-lainnya, sesuai dengan hukum kemasyarakatan.

Dengan semakin menyebarnya riwayat ini, kedudukan Al-Qur’an menjadi semakin kokoh, keorisinilan bacaan Al-Qur’an dan mushaf Al-Qur’an menjadi semakin meyakinkan. Meredupnya riwayat lain bukan berarti meredupnya kemutawatiran satu bacaan. Bacaan-bacaan tersebut masih tetap mutawatir karena telah diakui oleh para imam-imam Qira’at terdahulu. Nabi sendiri tidak mewajibkan membaca Al-Qur’an dengan seluruh macam bacaan yang pernah diajarkannya kepada para sahabat-sahabatnya. Tapi Nabi hanya menyuruh para sahabatnya untuk membaca bacaan yang mudah baginya. Dengan demikian Al-Qur’an akan tetap terjaga kemurniannya sampai akhir zaman nanti. Itu pertanda bahwa Al-Qur’an adalah Kalamullah.

➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
📚 *BIOGRAFI (Riwayat Hidup) IMAM HAFSH*

🍃🍂🍃🍂🍃🍂🍃🍂🍃🍂

Namanya Hafsh bin Sulaiman bin al-Mughirah, Abu Umar bin Abi Dawud al-Asadi al-Kufi al-Ghadliri al-Bazzaz. Beliau lahir pada tahun 90 H. Pada masa mudanya beliau belajar langsung kepada Imam ‘Ashim yang juga menjadi bapak tirinya sendiri. Hafsh tidak cukup mengkhatamkan Al-Qur’an satu kali tapi dia mengkhatamkan Al-Qur’an hingga beberapa kali (sebagian riwayat menyatakan sampai 6666 kali khataman), sehingga Hafsh sangat mahir dengan Qira’at ‘Ashim. Sangatlah beralasan jika Yahya bin Ma’in mengatakan bahwa :

“Riwayat yang sahih dari Imam ‘Ashim adalah riwayatnya Hafsh”. Abu Hasyim ar-Rifa’i juga mengatakan bahwa Hafsh adalah orang yang paling mengetahui bacaan Imam ‘Ashim.

Imam adz-Dzahabi memberikan penilaian yang sama bahwa dalam penguasaan materi Qira’at, Hafsh merupakan seorang yang tsiqah (terpercaya) dan tsabt (mantap). Sebenarnya Imam ‘Ashim juga mempunyai murid-murid kenamaan lainnya, salah satu dari mereka yang akhirnya menjadi perawi yang masyhur adalah Syu’bah Abu bakar bin al-‘Ayyasy. Hanya saja para ulama lebih banyak mengunggulkan Hafsh daripada Syu’bah.

Imam Ibn al-Jazari dalam kitabnya “Ghayah an-Nihayah fi Thabaqat al-Qurra’ ” tidak menyebutkan guru-guru Hafsh kecuali Imam ‘Ashim saja. Sementara murid-murid beliau tidak terhitung banyaknya, mengingat beliau mengajarkan Al-Qur’an dalam rentang waktu yang demikian lama. Di antara murid-murid Hafsh adalah : Husein bin Muhammad al-Murudzi, Hamzah bin Qasim al-Ahwal, Sulaiman bin Dawud az-Zahrani, Hamd bin Abi Utsman ad-Daqqaq, al-‘Abbas bin al-Fadl ash-Shaffar, Abdurrahman bin Muhamad bin Waqid, Muhammad bin al-fadl Zarqan, ‘Amr bin ash-Shabbah, Ubaid bin ash-Shabbah, Hubairah bin Muhammad at-Tammar, Abu Syu’aib al-Qawwas, al-Fadl bin Yahya bin Syahi, al-Husain bin Ali al-Ju’fi, Ahmad bin Jubair al-Inthaqi dan lain-lain.

Hafsh memang seorang yang menghabiskan umurnya untuk berkhidmah kepada Al-Qur’an. Setelah puas menimba ilmu Qira’at kepada Imam ‘Ashim, beliau berkelana ke beberapa negeri antara lain Baghdad yang merupakan Ibukota negara pada saat itu. Kemudian dilanjutkan pergi menuju ke Mekah. Pada kedua tempat tersebut, Hafsh mendermakan ilmunya dengan mengajarkan ilmu Qira’at khususnya riwayat ‘Ashim kepada penduduk kedua negeri tersebut. Bisa dibayangkan berapa jumlah murid di kedua tempat itu yang menimba ilmu dari beliau. Jika kemudian riwayat Hafsh bisa melebar ke seantero negeri (terutama di Benua Asia), hal tersebut tidaklah aneh mengingat kedua negeri tersebut adalah pusat keislaman pada saat itu.

*Sanad Bacaan Hafsh*

Sanad (runtutan periwayatan) Imam Hafsh dari Imam ‘Ashim berujung kepada sahabat Ali bin Abi Thalib. Sementara bacaan Syu’bah bermuara kepada sahabat Abdullah bin Mas’ud. Hal tersebut dikemukakan sendiri oleh Hafsh ketika beliau mengemukakan kepada Imam ‘Ashim, kenapa bacaan Syu’bah banyak berbeda dengan bacaannya? padahal keduanya berguru kepada Imam yang sama yaitu ‘Ashim. Lalu ‘Ashim menceritakan tentang runtutan sanad kedua rawi tersebut. Runtutan riwayat Hafsh adalah demikian: Hafsh - ‘Ashim - Abu Abdurrahman as-Sulami - Ali bin Abi Thalib. Sementara runtutan periwayatan Syu’bah adalah demikian: Syu’bah – ‘Ashim- Zirr bin Hubaisy - Abdullah bin Mas’ud.

Penyebaran Qira’at di Negeri-Negeri Islam

Pada saat ini Qira’at yang masih hidup di tengah-tengah umat Islam di seluruh dunia tinggal beberapa saja, yaitu :

1.) Bacaan Imam Nafi’ melalui riwayat Qalun masih digunakan oleh masyarakat Libya dan Tunisia pada umumnya. Sementara riwayat Warsy masih digunakan oleh masyarakat di Afrika Utara (al-Maghrib al-‘Arabi) seperti Aljazair, Maroko, Mauritania. Sedangkan masyarakat di Sudan masih menggunakan empat riwayat yaitu : Qalun, Warsy, ad-Duri Abu ‘Amr, dan Hafsh.

2.) Bacaan riwayat ad-Duri Abu Amr masih banyak digunakan oleh kaum Muslimin di Somalia, Sudan, Chad, Nigeria, dan Afrika Tengah secara umum. Pada waktu-waktu yang lalu riwayat ad-Duri juga digunakan oleh orang Yaman. Hal itu terbukti bahwa Tafsir “Fath al-Qadir” karya asy-Syaukani tulisan Al-Qur’annya mengikuti riwayat ad-Duri. Adanya riwayat ad-Duri di Yaman barangkali bawaan dari Sudan. Mengingat hubungan kedua negara tersebut telah terjalin sejak dahulu.

3.) Bacaan Al-Qur’an riwayat Hafsh dari ‘Ashim adalah bacaan yang paling banyak tersebar di seantero dunia Islam (terutama di Benua Asia). Mengingat masih hidupnya beberapa bacaan melalui riwayat tersebut di atas, pemerintah Saudi Arabia melalui Mujamma’ Malik Fahd bin Abdul Aziz telah mencetak beberapa Mushaf Al-Qur’an dengan lima riwayat yaitu : Hafsh, Qalun, Warsy, ad-Duri dan terakhir adalah Syu’bah.


*Latar Belakang Penyebaran Qira’at di Dunia Islam*

Sebagaimana diketahui bahwa pada masa Khalifah Umar bin Khathab, banyak negeri-negeri di Irak dan Syam jatuh ke tangan kaum muslimin. Banyak permintaan dari kaum muslimin di negeri-negeri tersebut kepada Khalifah Umar agar mengirimkan guru-guru Al-Qur’an ke negeri-negeri mereka. Maka, Khalifah Umar mengirimkan beberapa utusannya, antara lain adalah sahabat Ibnu Mas’ud diutus ke Kufah, Abu Musa al-Asy’ari diutus ke Basrah, Abu ad-Darda’ diutus ke Syam (Syiria). Bacaan mereka itulah yang akhirnya menyebar ke negeri negeri tersebut.

Pada masa Khalifah Utsman bin Affan, terutama setelah penulisan ulang mushaf Al-Qur’an, Khalifah Utsman mengirimkan beberapa guru Al-Qur’an bersama dengan mushaf yang baru saja ditulis ke negeri-negeri Basrah, Kufah, dan Syam. Penduduk negeri-negeri tersebut berseteru tentang bacaan Al-Qur’an mereka pada saat perang di Azerbaijan dan Armenia di Uni Soviet. Pada saat itu Khalifah Utsman mengutus sahabat al-Mughirah bin Abi Syihab al-Makhzumi ke Syam. Dari Syam lalu muncul seorang Qari’ terkenal yaitu Ibn ‘Amir. Ibn al-Jazari mengatakan bahwa bacaan penduduk negeri Syam sampai pada tahun 500 H, menggunakan Qira’at Ibn ‘Amir.

Adapun di negeri Basrah di Iraq setelah masa Abu Musa al-Asy’ari muncullah beberapa Imam Qira’at. Di antara mereka adalah Imam Abu Amr al-Bashri dan Ya’qub al-Hadhrami. Sampai pada tahun 200 H, masyarakat Basrah masih menggunakan Qira’at Abu Amr al-Bashri. Kemudian mereka beralih ke Qira’at Ya’qub al-Hadlrami sampai abad ke 5 H. sebelum akhirnya beralih ke riwayat Hafsh pada masa Turki Usmani.

Sementara di negeri Kufah dimana Abdullah bin Mas’ud dikirim untuk mereka, muncul banyak ahli Qira’at. Di antara mereka adalah Imam ‘Ashim. Lalu Imam ‘Ashim sebagaimana diutarakan di atas mengajarkan kepada murid-muridnya antara lain Hafsh dan Syu’bah. Keterkaitan penduduk Kufah dengan sahabat Abdullah bin Mas’ud dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib adalah sesuatu yang sangat wajar. Penduduk Kufah dalam sejarah perpolitikan adalah pengikut setia (syi’ah) Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Sedangkan sahabat Abdullah bin Mas’ud adalah orang pertama yang mengajarkan bacaan Al-Qur’an kepada penduduk Kufah. Sehingga mereka bangga dengan sahabat Abdullah bin Mas’ud.

Disamping bacaan Imam ‘Ashim, di Kufah juga tersebar bacaan Imam Hamzah, perawi Hamzah al-Kisa’i dan Khalaf. Tentang tersebarnya bacaan Hamzah, Ibnu Mujahid berkata dalam kitabnya as-Sab’ah, ketika mengutip perkataan Muhammad bin al-Haitsam al-Muqri :

 أدركت الكوفة ومسجدها الغالب عليه قراءة حمزة , ولا أعلمنى أدركت حلقة من حلق المسجد يقرءون بقراءة عاصم

“Aku menjumpai penduduk Kufah, bacaan (qira’ah) yang dibaca di masjid-masjid mereka adalah bacaan Hamzah. Aku tidak menjumpai beberapa kelompok pengajian Al-Qur’an di masjid-masjid Kufah dengan bacaan Imam ‘Ashim. Akan halnya bacaan al-Kisa’i, dalam banyak hal banyak persamaannya dengan bacaan Imam Hamzah terutama dalam bab Imalah. Ibn Mujahid dalam kitabnya “as-Sab’ah” yang ditulis sekitar tahun 300 H menjelaskan, bahwa bacaan Al-Qur’an pada negeri-negeri Islam adalah sebagai berikut : di Mekah dengan bacaan Ibn Katsir, di Madinah dengan bacaan Nafi’, di Basrah dengan bacaan Abu Amr al-Bashri. Sementara di Kufah dengan bacaan ‘Ashim, Hamzah dan al-Kisa’i. Sementara itu Imam Makki al-Qaisi (w. 437 H) berkata tentang bacaan penduduk negeri-negeri Islam pada masa lalu:

وكان الناس على رأس المائتين بالبصرة على قراء ة أبى عمرو البصرى ويعقوب الحضرمى , وعلى أهل الكوفة قراءة حمزة وعاصم , وبالشام على قراءة ابن عامر , وبمكة على قراءة ابن كثير , وبالمدينة على قراءة نافع , واستمروا على ذلك . فلما كان على رأس الثلاث مئة اثبت ابن مجاهاد اسم الكسائى وحذف يعقوب

‘Pada permulaan tahun 200 H, masyarakat di Basrah mengikuti bacaan Abu Amr al-Basri dan Ya’qub. Di Kufah mengikuti bacaan Hamzah dan ‘Ashim. Di Syam mengikuti bacaan Ibn Amir. Di Madinah mengikuti bacaan Nafi’. Kemudian pada penghujung tahun 300 H, Ibn Mujahid memasang nama al-Kisa’i dan mengganti Ya’qub'".