Rumah Tahfidz, Belajar Tahsin dan Tajwid Al Qur'an, Kajian Ilmu syar'i Hub: Diana Gasim (Ummu Achmad ) 085312837788)
Sunday, September 29, 2019
*Bapak Ilmu Nahwu, Abul Aswad ad-Duali*
Abul Aswad ad-Duali adalah seorang perumus ilmu nahwu. Sebuah ilmu gramatika bahasa Arab yang mengkaji tentang bunyi harokat akhir suatu kalimat. Apakah dhommah, fathah, kasroh, atau sukun. Abul Aswad lahir di masa jahiliyah. Dan memeluk Islam di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun ia tidak berjumpa dengan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia merupakan sahabat dari Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu. Dan berada di pihaknya saat Perang Shiffin.
Abul Aswad ad-Duali ada sosok yang populer. Ia seorang tabi’in. Seorang yang fakih. Ahli syair dan ahli bahasa Arab. Termasuk seseorang yang bagus visinya dan cerdas pemikirannya. Selain itu, ia juga piawai dalam menunggang kuda. Dialah peletak dasar ilmu nahwu. Dan menurut pendapat yang paling masyhur, dialah yang memberi titik pada huruf-huruf hijaiyah pada mush-haf Alquran (az-Zarkali: al-A’lam, 3/236-237).
Nasab dan Kelahirannya
Dia adalah Abul Aswad, namanya Zhalim bin Amr bin Sufyan bin Jandal (Ibnu Khalkan: Wafayatu-l A’yan, Daru-sh Shadir Beirut 1900, 2/535). Ad-Duali al-Kinani al-Bashri. Ibunya bernama Thuwailah dari Bani Abdu-d Dar bin Qushay (Khalifah bin Khayyath: Thabaqat Khalifah bin Khayyath, 1993 M, Hal: 328).
Abul Aswad lahir di masa jahiliyah (as-Suyuthi: al-Mazhar fi Ulumi-l Lughah wa Awa’iha, 1998, 2/392). Kemudian memeluk Islam di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (al-Mizzi: Tadzhibu-l Kamal, 33/37). Ia adalah tokoh besar di masa tabi’in. bersahabat dengan Ali bin Abi Thalib dan berada di pihaknya saat terjadi Perang Shiffin.
Kehidupannya
Abul Aswad ad-Duali tinggal di Bashrah di masa pemerintah Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu. Dan memerintah wilayah tersebut di masa Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu menggantikan Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma. Jabatan tersebut senantiasa ia pegang hingga wafatnya Ali bin Abu Thalib. Saat Muawiyah memegang tampuk kekuasaan, Abul Aswad menemuinya dan Muawiyah pun memuliakannya (az-Zarkali: al-A’lam, 3/236-237).
Bapak Ilmu Nahwu
Orang pertama yang merumuskan ilmu nahwu adalah Abul Aswad ad-Duali. Terdapat banyak versi tentang sebab perumusan ilmu nahwu. Ada yang mengatakan, “Abul Aswad menemui Abdullah bin Abbas. Ia berkata, ‘Aku melihat lisan-lisannya orang Arab sudah rusak gramatikanya. Aku ingin merumuskan sesuatu untuk mereka. Sesuatu yang meluruskan kembali lisan-lisan mereka’. Ibnu Abbas menanggapi, ‘Mungkin yang kau maksud adalah nahwu. Ya, itu benar. Buatlah rumusan dengan merujuk ke Surat Yusuf (al-Qifthi: Inbah ar-Ruwwati ‘ala Anba an-Nuhah, Cet. I 1982, 1/50-51).
Ada juga yang mengatakan, “Salah seorang anak perempuannya berkata,
يا أبت؛ ما أحسنُ السَّمَاء!
Kata أحسن harakat terakhirnya dhommah. Dan kata السماء harokat terakhirnya kasroh. Anak tersebut ingin mengatakan “Hai ayah, alangkah indahnya langit!” Tapi karena bunyi harokat akhirnya salah, maka artinya “Apakah yang paling indah di langit?”. Sehingga Abul- Aswad menjawabnya,
يا بنية؛ نجومها
“Bintangnya, nak”
Anaknya berkata, “Yang kumaksud (bukan bertanya) sesuatu yang paling indah. Tapi aku takjub dengan betapa indahnya langit.”
Abul Aswad berkata, “Kalau begitu, katakan!
ما أحسنَ السَّمَاء!
“Alangkah indahnya langit.”
Sejak itu ia menaruh perhatian besar dengan ilmu nahwu. Ada yang bertanya kepadanya, “Darimana kau memperoleh ilmu nahwu ini?” Ia menjawab, “Aku belajar kaidah-kaidahnya kepada Ali bin Abu Thalib.” (ath-Thayyib Ba Mukhramah: Qiladatu-n Nahwi fi Wafayati A’yani-d Dahr, 2008 M, 1/508).
Dengan demikian, ilmu nahwu sangat membantu orang-orang non-Arab dalam membaca teks Arab. Terutama teks Arab gundul. Dengan benarnya harokat seseorang bisa memahami teks Arab dengan pemahaman yang benar. Jika memahami teks dengan benar saja tidak mampu, maka bagaimana bisa akan mendapat kesimpulan dan pemahaman yang benar dari suatu teks. Inilah jasa besar Abul Aswad ad-Duali kepada umat ini.
Wafatnya
Abul Aswad ad-Duali wafat di Bashrah pada tahun 69 H/688 M. Ia terserang wabah tah’un. Saat itu usianya 80 tahun. Ada juga yang mengatakan bahwa ia wafat di masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz rahimahullah. Dan kekhilafahan Umar bin Abdul Aziz dimulai pada bulan Shafar 99 H – Rajab 101 H (Ibnu Khalkan: Wafayat al-A’yan, 2/539).
Diterjemahkan secara bebas dari: https://islamstory.com/ar/artical/3408663/ابو-الاسود-الدؤلي
Oleh Nurfitri Hadi
Artikel www.KisahMuslim.com
💎📚💎📚💎📚💎📚💎📚
📲 Yuk share ke yang lain *tanpa merubah isi artikel dan sumbernya* dan jangan lupa like halaman kami...!
🚿Dan jangan sampai ketinggalan, dengan ikuti jaringan medsos kami untuk mendapatkan artikel dan nasihat yang manfaat.
•┈┈➖•◈◉✹❒📚❒✹◉◈•➖┈┈•
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين.
🌍 Di bumi Allah *Kantor bersih.or.id*, Senin, 30 Muharram 1441 H.
🌎www.bersih.or.id
📱Apk: bit.ly/2nzgGlN
🐦twitter.com/BERSIH_TV
📹youtube : bit.ly/2nQkBIm
🖼instagram.com/bersih.tv
🏡 Lokasi : bit.ly/2mOm00e
📪telegram.me/berbaginasihat
🔵facebook.com/programbersih
♻Admin: wa.me/628170889103
📱WA Ikhwan 1: https://bit.ly/2O3xDSy
📱WA Ikhwan 2: https://bit.ly/2xOT5kn
📱WA Akhwat: https://bit.ly/2Dj1thG
Abul Aswad ad-Duali adalah seorang perumus ilmu nahwu. Sebuah ilmu gramatika bahasa Arab yang mengkaji tentang bunyi harokat akhir suatu kalimat. Apakah dhommah, fathah, kasroh, atau sukun. Abul Aswad lahir di masa jahiliyah. Dan memeluk Islam di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun ia tidak berjumpa dengan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia merupakan sahabat dari Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu. Dan berada di pihaknya saat Perang Shiffin.
Abul Aswad ad-Duali ada sosok yang populer. Ia seorang tabi’in. Seorang yang fakih. Ahli syair dan ahli bahasa Arab. Termasuk seseorang yang bagus visinya dan cerdas pemikirannya. Selain itu, ia juga piawai dalam menunggang kuda. Dialah peletak dasar ilmu nahwu. Dan menurut pendapat yang paling masyhur, dialah yang memberi titik pada huruf-huruf hijaiyah pada mush-haf Alquran (az-Zarkali: al-A’lam, 3/236-237).
Nasab dan Kelahirannya
Dia adalah Abul Aswad, namanya Zhalim bin Amr bin Sufyan bin Jandal (Ibnu Khalkan: Wafayatu-l A’yan, Daru-sh Shadir Beirut 1900, 2/535). Ad-Duali al-Kinani al-Bashri. Ibunya bernama Thuwailah dari Bani Abdu-d Dar bin Qushay (Khalifah bin Khayyath: Thabaqat Khalifah bin Khayyath, 1993 M, Hal: 328).
Abul Aswad lahir di masa jahiliyah (as-Suyuthi: al-Mazhar fi Ulumi-l Lughah wa Awa’iha, 1998, 2/392). Kemudian memeluk Islam di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (al-Mizzi: Tadzhibu-l Kamal, 33/37). Ia adalah tokoh besar di masa tabi’in. bersahabat dengan Ali bin Abi Thalib dan berada di pihaknya saat terjadi Perang Shiffin.
Kehidupannya
Abul Aswad ad-Duali tinggal di Bashrah di masa pemerintah Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu. Dan memerintah wilayah tersebut di masa Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu menggantikan Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma. Jabatan tersebut senantiasa ia pegang hingga wafatnya Ali bin Abu Thalib. Saat Muawiyah memegang tampuk kekuasaan, Abul Aswad menemuinya dan Muawiyah pun memuliakannya (az-Zarkali: al-A’lam, 3/236-237).
Bapak Ilmu Nahwu
Orang pertama yang merumuskan ilmu nahwu adalah Abul Aswad ad-Duali. Terdapat banyak versi tentang sebab perumusan ilmu nahwu. Ada yang mengatakan, “Abul Aswad menemui Abdullah bin Abbas. Ia berkata, ‘Aku melihat lisan-lisannya orang Arab sudah rusak gramatikanya. Aku ingin merumuskan sesuatu untuk mereka. Sesuatu yang meluruskan kembali lisan-lisan mereka’. Ibnu Abbas menanggapi, ‘Mungkin yang kau maksud adalah nahwu. Ya, itu benar. Buatlah rumusan dengan merujuk ke Surat Yusuf (al-Qifthi: Inbah ar-Ruwwati ‘ala Anba an-Nuhah, Cet. I 1982, 1/50-51).
Ada juga yang mengatakan, “Salah seorang anak perempuannya berkata,
يا أبت؛ ما أحسنُ السَّمَاء!
Kata أحسن harakat terakhirnya dhommah. Dan kata السماء harokat terakhirnya kasroh. Anak tersebut ingin mengatakan “Hai ayah, alangkah indahnya langit!” Tapi karena bunyi harokat akhirnya salah, maka artinya “Apakah yang paling indah di langit?”. Sehingga Abul- Aswad menjawabnya,
يا بنية؛ نجومها
“Bintangnya, nak”
Anaknya berkata, “Yang kumaksud (bukan bertanya) sesuatu yang paling indah. Tapi aku takjub dengan betapa indahnya langit.”
Abul Aswad berkata, “Kalau begitu, katakan!
ما أحسنَ السَّمَاء!
“Alangkah indahnya langit.”
Sejak itu ia menaruh perhatian besar dengan ilmu nahwu. Ada yang bertanya kepadanya, “Darimana kau memperoleh ilmu nahwu ini?” Ia menjawab, “Aku belajar kaidah-kaidahnya kepada Ali bin Abu Thalib.” (ath-Thayyib Ba Mukhramah: Qiladatu-n Nahwi fi Wafayati A’yani-d Dahr, 2008 M, 1/508).
Dengan demikian, ilmu nahwu sangat membantu orang-orang non-Arab dalam membaca teks Arab. Terutama teks Arab gundul. Dengan benarnya harokat seseorang bisa memahami teks Arab dengan pemahaman yang benar. Jika memahami teks dengan benar saja tidak mampu, maka bagaimana bisa akan mendapat kesimpulan dan pemahaman yang benar dari suatu teks. Inilah jasa besar Abul Aswad ad-Duali kepada umat ini.
Wafatnya
Abul Aswad ad-Duali wafat di Bashrah pada tahun 69 H/688 M. Ia terserang wabah tah’un. Saat itu usianya 80 tahun. Ada juga yang mengatakan bahwa ia wafat di masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz rahimahullah. Dan kekhilafahan Umar bin Abdul Aziz dimulai pada bulan Shafar 99 H – Rajab 101 H (Ibnu Khalkan: Wafayat al-A’yan, 2/539).
Diterjemahkan secara bebas dari: https://islamstory.com/ar/artical/3408663/ابو-الاسود-الدؤلي
Oleh Nurfitri Hadi
Artikel www.KisahMuslim.com
💎📚💎📚💎📚💎📚💎📚
📲 Yuk share ke yang lain *tanpa merubah isi artikel dan sumbernya* dan jangan lupa like halaman kami...!
🚿Dan jangan sampai ketinggalan, dengan ikuti jaringan medsos kami untuk mendapatkan artikel dan nasihat yang manfaat.
•┈┈➖•◈◉✹❒📚❒✹◉◈•➖┈┈•
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين.
🌍 Di bumi Allah *Kantor bersih.or.id*, Senin, 30 Muharram 1441 H.
🌎www.bersih.or.id
📱Apk: bit.ly/2nzgGlN
🐦twitter.com/BERSIH_TV
📹youtube : bit.ly/2nQkBIm
🖼instagram.com/bersih.tv
🏡 Lokasi : bit.ly/2mOm00e
📪telegram.me/berbaginasihat
🔵facebook.com/programbersih
♻Admin: wa.me/628170889103
📱WA Ikhwan 1: https://bit.ly/2O3xDSy
📱WA Ikhwan 2: https://bit.ly/2xOT5kn
📱WA Akhwat: https://bit.ly/2Dj1thG
Friday, September 27, 2019
*Tauhid Cabang Keimanan Paling Tinggi*
Tauhid merupakan cabang keimanan yang paling tinggi. Adapun cabang-cabang keimanan yang lainnya tidak akan diterima kecuali setelah sahnya cabang keimanan yang paling tinggi tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ
“Iman itu lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling utama adalah perkataan ‘laa ilaaha illallah’ [tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah]. Sedangkan cabang yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu adalah salah satu cabang dari iman.” (HR. Muslim no. 162)
An-Nawawi rahimahullah berkata ketika menjelaskan hadits tersebut,
وَقَدْ نَبَّهَ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أَنَّ أَفْضَلهَا التَّوْحِيد الْمُتَعَيِّن عَلَى كُلّ أَحَد ، وَاَلَّذِي لَا يَصِحّ شَيْء مِنْ الشُّعَب إِلَّا بَعْد صِحَّتِهِ .
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan bahwa cabang keimanan yang paling utama adalah tauhid, yang merupakan kewajiban bagi setiap orang. Sedangkan cabang keimanan yang lain tidak akan sah kecuali setelah sahnya cabang tauhid tersebut.” (Syarh Shahih Muslim, 1: 112)
Ibadah Tidak Diterima Tanpa Tauhid
Syaikh Muhammad At-Tamimy rahimahullah membuat suatu ilustrasi yang sangat bagus mengenai syarat ibadah yang pertama, yaitu tauhid. Sebagaimana yang dikatakan oleh beliau di dalam kitabnya yang berjudul Al–Qawa’idul Arba’. Beliau rahimahullah berkata,
فاعلم: أنّ العبادة لا تسمّى عبادة إلا مع التوحيد، كما أنّ الصلاة لا تسمّى صلاة إلى مع الطهارة، فإذا دخل الشرك في العبادة فسدتْ كالحدَث إذا دخل في الطهارة
”Ketahuilah, sesungguhnya ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah kecuali dengan tauhid (yaitu memurnikan ibadah kepada Allah semata, pen.). Sebagaimana shalat tidaklah disebut sebagai shalat kecuali dalam keadaan bersuci (thaharah). Apabila ibadah tadi dimasuki syirik, maka ibadah itu batal. Sebagaimana hadats yang masuk dalam thaharah.”
Dari ilustrasi yang beliau sampaikan tersebut, jelaslah bahwa ibadah kita tidak akan diterima kecuali dengan tauhid. Hal itu seperti ibadah shalat dengan bersuci (thaharah). Karena tauhid adalah syarat diterimanya ibadah, sebagaimana bersuci adalah syarat sah ibadah shalat. Sebagaimana shalat tidak sah jika tidak dalam kondisi suci, demikian pula ibadah kita tidak akan sah kecuali disertai dengan tauhid, meskipun di dahinya terdapat tanda bekas sujud, berpuasa di siang hari, atau rajin shalat malam. Karena semua ibadah tersebut syaratnya adalah ikhlas dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Apabila terdapat satu saja dari ibadah tersebut yang dicampuri dengan kesyirikan, maka seluruh ibadah yang pernah dia lakukan akan batal dan hilanglah pahalanya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ ؛ بَلِ اللَّهَ فَاعْبُدْ وَكُنْ مِنَ الشَّاكِرِينَ
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (para Nabi) yang sebelummu, ‘Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. Karena itu, maka hendaklah Allah saja yang kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur’.” (QS. Az-Zumar [39]: 65-66)
Allah Ta’ala berfirman tentang orang-orang kafir,
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
“Dan kami hadapkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS. Al-Furqan [25]: 23)
Oleh karena itu, betapa pun agungnya jenis ibadah yang kita lakukan dan sebanyak apa pun kita mengerjakan ibadah tersebut, namun apabila tidak disertai dengan tauhid, maka ibadah tersebut tidak akan diterima. Sebagaimana seseorang yang tidak dalam keadaan berwudhu, lalu dia melakukan shalat dengan paling sempurna, dia memperlama berdiri, ruku’, dan sujudnya, serta memperbagus shalatnya, maka seluruh kaum muslimin sepakat bahwa shalatnya tidak sah. Bahkan dia dihukumi telah meninggalkan shalat karena agungnya syarat sah shalat ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
”Allah tidak akan menerima shalat seseorang di antara kalian apabila dia berhadats sampai dia berwudhu.” (HR. Bukhari no. 6954)
Diriwayatkan juga oleh Muslim (no. 559) dengan lafadz,
لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Shalat salah seorang di antara kalian tidak diterima apabila berhadats sampai dia berwudhu.”
Ilustrasi ini hanyalah untuk memberikan gambaran secara mudah tentang kedudukan tauhid. Karena hakikat yang sebenarnya, syarat ikhlas dan tauhid agar ibadah diterima tentu saja lebih agung dan jauh berbeda jika dibandingkan dengan syarat thaharah agar shalat diterima. Karena apabila seseorang menunaikan shalat dengan sengaja dalam keadaan hadats, maka terdapat perselisihan pendapat di antara ulama tentang kafirnya orang ini. Akan tetapi, apabila seseorang beribadah kepada Allah Ta’ala dengan berbuat syirik kepada-Nya, maka para ulama tidak pernah berselisih pendapat bahwa ibadahnya tidak akan diterima. Para ulama juga bersepakat bahwa orang tersebut telah kafir, karena dia telah terjerumus dalam syirik akbar, sehingga amal ibadahnya tidak ada satu pun yang diterima. (Lihat Syarh Al-Qawa’idul Arba’ oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh, hal. 4-5)
[Selesai]
***
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.or.id
Group Bersih Muslim
📱WA Akhwat: https://bit.ly/2Dj1thGi
Tauhid merupakan cabang keimanan yang paling tinggi. Adapun cabang-cabang keimanan yang lainnya tidak akan diterima kecuali setelah sahnya cabang keimanan yang paling tinggi tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ
“Iman itu lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling utama adalah perkataan ‘laa ilaaha illallah’ [tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah]. Sedangkan cabang yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu adalah salah satu cabang dari iman.” (HR. Muslim no. 162)
An-Nawawi rahimahullah berkata ketika menjelaskan hadits tersebut,
وَقَدْ نَبَّهَ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أَنَّ أَفْضَلهَا التَّوْحِيد الْمُتَعَيِّن عَلَى كُلّ أَحَد ، وَاَلَّذِي لَا يَصِحّ شَيْء مِنْ الشُّعَب إِلَّا بَعْد صِحَّتِهِ .
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan bahwa cabang keimanan yang paling utama adalah tauhid, yang merupakan kewajiban bagi setiap orang. Sedangkan cabang keimanan yang lain tidak akan sah kecuali setelah sahnya cabang tauhid tersebut.” (Syarh Shahih Muslim, 1: 112)
Ibadah Tidak Diterima Tanpa Tauhid
Syaikh Muhammad At-Tamimy rahimahullah membuat suatu ilustrasi yang sangat bagus mengenai syarat ibadah yang pertama, yaitu tauhid. Sebagaimana yang dikatakan oleh beliau di dalam kitabnya yang berjudul Al–Qawa’idul Arba’. Beliau rahimahullah berkata,
فاعلم: أنّ العبادة لا تسمّى عبادة إلا مع التوحيد، كما أنّ الصلاة لا تسمّى صلاة إلى مع الطهارة، فإذا دخل الشرك في العبادة فسدتْ كالحدَث إذا دخل في الطهارة
”Ketahuilah, sesungguhnya ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah kecuali dengan tauhid (yaitu memurnikan ibadah kepada Allah semata, pen.). Sebagaimana shalat tidaklah disebut sebagai shalat kecuali dalam keadaan bersuci (thaharah). Apabila ibadah tadi dimasuki syirik, maka ibadah itu batal. Sebagaimana hadats yang masuk dalam thaharah.”
Dari ilustrasi yang beliau sampaikan tersebut, jelaslah bahwa ibadah kita tidak akan diterima kecuali dengan tauhid. Hal itu seperti ibadah shalat dengan bersuci (thaharah). Karena tauhid adalah syarat diterimanya ibadah, sebagaimana bersuci adalah syarat sah ibadah shalat. Sebagaimana shalat tidak sah jika tidak dalam kondisi suci, demikian pula ibadah kita tidak akan sah kecuali disertai dengan tauhid, meskipun di dahinya terdapat tanda bekas sujud, berpuasa di siang hari, atau rajin shalat malam. Karena semua ibadah tersebut syaratnya adalah ikhlas dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Apabila terdapat satu saja dari ibadah tersebut yang dicampuri dengan kesyirikan, maka seluruh ibadah yang pernah dia lakukan akan batal dan hilanglah pahalanya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ ؛ بَلِ اللَّهَ فَاعْبُدْ وَكُنْ مِنَ الشَّاكِرِينَ
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (para Nabi) yang sebelummu, ‘Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. Karena itu, maka hendaklah Allah saja yang kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur’.” (QS. Az-Zumar [39]: 65-66)
Allah Ta’ala berfirman tentang orang-orang kafir,
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
“Dan kami hadapkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS. Al-Furqan [25]: 23)
Oleh karena itu, betapa pun agungnya jenis ibadah yang kita lakukan dan sebanyak apa pun kita mengerjakan ibadah tersebut, namun apabila tidak disertai dengan tauhid, maka ibadah tersebut tidak akan diterima. Sebagaimana seseorang yang tidak dalam keadaan berwudhu, lalu dia melakukan shalat dengan paling sempurna, dia memperlama berdiri, ruku’, dan sujudnya, serta memperbagus shalatnya, maka seluruh kaum muslimin sepakat bahwa shalatnya tidak sah. Bahkan dia dihukumi telah meninggalkan shalat karena agungnya syarat sah shalat ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
”Allah tidak akan menerima shalat seseorang di antara kalian apabila dia berhadats sampai dia berwudhu.” (HR. Bukhari no. 6954)
Diriwayatkan juga oleh Muslim (no. 559) dengan lafadz,
لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Shalat salah seorang di antara kalian tidak diterima apabila berhadats sampai dia berwudhu.”
Ilustrasi ini hanyalah untuk memberikan gambaran secara mudah tentang kedudukan tauhid. Karena hakikat yang sebenarnya, syarat ikhlas dan tauhid agar ibadah diterima tentu saja lebih agung dan jauh berbeda jika dibandingkan dengan syarat thaharah agar shalat diterima. Karena apabila seseorang menunaikan shalat dengan sengaja dalam keadaan hadats, maka terdapat perselisihan pendapat di antara ulama tentang kafirnya orang ini. Akan tetapi, apabila seseorang beribadah kepada Allah Ta’ala dengan berbuat syirik kepada-Nya, maka para ulama tidak pernah berselisih pendapat bahwa ibadahnya tidak akan diterima. Para ulama juga bersepakat bahwa orang tersebut telah kafir, karena dia telah terjerumus dalam syirik akbar, sehingga amal ibadahnya tidak ada satu pun yang diterima. (Lihat Syarh Al-Qawa’idul Arba’ oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh, hal. 4-5)
[Selesai]
***
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.or.id
Group Bersih Muslim
📱WA Akhwat: https://bit.ly/2Dj1thGi
*U Z L A H*
Oleh : Fariq bin Gasim Anuz
🖍 🖍 🖍 🖍 🖍
Ulama berbeda pendapat tentang uzlah (mengisolir diri dari manusia) dan bergaul dengan manusia, manakah yang lebih utama di antara keduanya?
Mereka yang menganggap uzlah itu lebih utama, berhujjah dengan hadits Abi Said, ia berkata, "Ada orang yang bertanya, 'Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling baik itu?' Beliau menjawab, 'Seorang yang berjihad dengan diri dan hartanya, dan seorang yang tinggal di bukit terpencil beribadah kepada Rabbnya dan meninggalkan manusia karena kejahatannya." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits Uqbah bin Amir radiallahu anhu, ia berkata, "Aku berkata, 'Wahai Rasulullah, apakah keselamatan itu?' Beliau menjawab, 'Kendalikanlah lidahmu, dan tetaplah tinggal di rumahmu, serta menangislah atas kesalahanmu." (HR. At-Tirmidzi, Ahmad, dan selainnya. Dishahihkan oleh Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini dalam Tahqiq kitab As-Shamth wa adabul lisan Oleh Imam Ibnu Abi Ad-Dunya)
Mereka yang beranggapan bahwa bergaul dengan manusia itu lebih utama berdalil dengan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, "Orang mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar menghadapi gangguan mereka itu lebih baik dari pada orang mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar menghadapi gangguan mereka." (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi)
Apabila engkau sudah tahu manfaat-manfaat dan kerugian-kerugian uzlah, maka tidaklah bisa dihukumi secara mutlak bahwa uzlah itu lebih utama atau bergaul dengan manusia itu yang lebih utama, tetapi haruslah dilihat person dan kondisinya.
Harus dilihat pula orang yang digaulinya serta kondisi orang tersebut. Juga harus dilihat faktor apa yang mendorong untuk berhubungan dengannya.
Apa sisi positif dan negatif akibat berhubungan dengan orang lain, lalu bandingkan antara keduanya, baru setelah itu menjadi jelas mana yang lebih utama antara keduanya.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata dalam Syarah Riyadus Shalilih juz 6 halaman 198, "Ketahuilah bahwa yang paling utama adalah seorang mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar atas gangguan mereka.
Orang yang demikian itu lebih utama dari seorang mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar atas gangguan mereka.
Tetapi terkadang terjadi perkara-perkara yang menjadikan uzlah itu lebih baik dari bergaul dengan manusia. Yang demikian apabila manusia takut fitnah mengenai dirinya, seperti tinggal di negeri yang diterapkan padanya peraturan-peraturan yang mengharuskan ia menyimpang dari diennya, atau harus mendakwahkan bid'ah, atau ia melihat bahwa kemaksiatan telah merajalela, ia takut terimbas dan terjerumus ke lembah dosa dan nista, maka dengan kondisi yang ada itu uzlah lah yang lebih baik bagi dia....
Inilah perinciannya, bahwa uzlah itu lebih baik, jika dengan bergaul dapat menimbulkan keburukan dan kerusakan bagi agamanya.
Apabila tidak menimbulkan keburukan dan fitnah maka kembali ke hukum asal bahwa bergaul dengan manusia itu lebih utama, karena ia dapat melakukan amar ma'ruf nahi mungkar, berdakwah menyampaikan kebenaran, menjelaskan tuntunan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka hal ini lebih baik bagi dia."
[Disarikan dari buku Mukhtashar Minhajul Qashidin, hal 118-126, karya Al-Imam Ibnu Qudamah, dengan tambahan dari beberapa buku lainnya]
Oleh : Fariq bin Gasim Anuz
🖍 🖍 🖍 🖍 🖍
Ulama berbeda pendapat tentang uzlah (mengisolir diri dari manusia) dan bergaul dengan manusia, manakah yang lebih utama di antara keduanya?
Mereka yang menganggap uzlah itu lebih utama, berhujjah dengan hadits Abi Said, ia berkata, "Ada orang yang bertanya, 'Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling baik itu?' Beliau menjawab, 'Seorang yang berjihad dengan diri dan hartanya, dan seorang yang tinggal di bukit terpencil beribadah kepada Rabbnya dan meninggalkan manusia karena kejahatannya." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits Uqbah bin Amir radiallahu anhu, ia berkata, "Aku berkata, 'Wahai Rasulullah, apakah keselamatan itu?' Beliau menjawab, 'Kendalikanlah lidahmu, dan tetaplah tinggal di rumahmu, serta menangislah atas kesalahanmu." (HR. At-Tirmidzi, Ahmad, dan selainnya. Dishahihkan oleh Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini dalam Tahqiq kitab As-Shamth wa adabul lisan Oleh Imam Ibnu Abi Ad-Dunya)
Mereka yang beranggapan bahwa bergaul dengan manusia itu lebih utama berdalil dengan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, "Orang mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar menghadapi gangguan mereka itu lebih baik dari pada orang mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar menghadapi gangguan mereka." (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi)
Apabila engkau sudah tahu manfaat-manfaat dan kerugian-kerugian uzlah, maka tidaklah bisa dihukumi secara mutlak bahwa uzlah itu lebih utama atau bergaul dengan manusia itu yang lebih utama, tetapi haruslah dilihat person dan kondisinya.
Harus dilihat pula orang yang digaulinya serta kondisi orang tersebut. Juga harus dilihat faktor apa yang mendorong untuk berhubungan dengannya.
Apa sisi positif dan negatif akibat berhubungan dengan orang lain, lalu bandingkan antara keduanya, baru setelah itu menjadi jelas mana yang lebih utama antara keduanya.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata dalam Syarah Riyadus Shalilih juz 6 halaman 198, "Ketahuilah bahwa yang paling utama adalah seorang mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar atas gangguan mereka.
Orang yang demikian itu lebih utama dari seorang mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar atas gangguan mereka.
Tetapi terkadang terjadi perkara-perkara yang menjadikan uzlah itu lebih baik dari bergaul dengan manusia. Yang demikian apabila manusia takut fitnah mengenai dirinya, seperti tinggal di negeri yang diterapkan padanya peraturan-peraturan yang mengharuskan ia menyimpang dari diennya, atau harus mendakwahkan bid'ah, atau ia melihat bahwa kemaksiatan telah merajalela, ia takut terimbas dan terjerumus ke lembah dosa dan nista, maka dengan kondisi yang ada itu uzlah lah yang lebih baik bagi dia....
Inilah perinciannya, bahwa uzlah itu lebih baik, jika dengan bergaul dapat menimbulkan keburukan dan kerusakan bagi agamanya.
Apabila tidak menimbulkan keburukan dan fitnah maka kembali ke hukum asal bahwa bergaul dengan manusia itu lebih utama, karena ia dapat melakukan amar ma'ruf nahi mungkar, berdakwah menyampaikan kebenaran, menjelaskan tuntunan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka hal ini lebih baik bagi dia."
[Disarikan dari buku Mukhtashar Minhajul Qashidin, hal 118-126, karya Al-Imam Ibnu Qudamah, dengan tambahan dari beberapa buku lainnya]
10 perkara mensucikan jiwa
https://youtu.be/peg0uVOXcwI
Masya Allah.... Tauhid adalah perkara yg sangat penting utk mensucikan jiwa
Dijelaskan ada 10 perkara mensucikan jiwa:
1. Bertauhid
2. Berdoa kpd Allah
3. Berpegang teguh kpd Al-Quran
4. Menjadikan nabi dan para rasul terutama nama Muhammad sebagai teladan
5. Membersihkan hati dari penyakit sebelum mensucikan /membersihkan hati dari keindahan
6. Seseorang berusaha utk mengingat kematian
7. Memilih teman yg baik dan menghindari teman yg buruk
8.menutup segala sarana2 yg bisa menjerumuskan kita ke dalam maksiat
9. Jauhkan ujub dan bangga diri
Jika bukan karena Allah maka kita tidaklah akan mendapatkan hidayah, dan jika bukan karena Allah kami tidak akan sholat dan bersedekah
Jangan merendahkan orang lain dan hati2 kepada menyakiti ujub karena akan menghapuskan amalan seperti banjir besar
10. Mengerti dan mengenali sifat jiwa
Dalam al-quran Allah sebutkan ada 3 sifat jiwa:
a. Nafsu Muthmainnah (jiwa yg tenang yg tidak dapat menerima maksiat apapun)
Yg paling Allah rido
b. Nafsu lawwamah
Jiwa yg mulia.. Ketika kita berbuat maksiat maka jiwa ini mencelanya dan dia kembali beristighfar
c. Nafsu amarrotu bisuu..
Jiwa yg suka rindu akan berbuat maksiat
Dengan mengenali jiwa ini maka akan lebih mudah utk mensucikan jiwanya
Semoga bermanfaat utk mensucikan jiwa2 kita..
Semoga Allah mudahkan kita semua utk menghadiri kajian kitab Tauhid dan belajar bahasa Arab.. Aamiin
Semoga Allah mudahkan juga utk terus menimba ilmu syar'i dan mengamalkannya karena mengharap ridho Allah..aamiin
Syaithon gak tinggal diam yak.. Pastinya lebih banyak godaan nya ketika mau membersihkan jiwa
Setelah Allah mudahkan utk menghindari syirik, bid'ah.. Lalu Allah uji lagi dg dosa2 besar dan kecil yg terkadang tidak kita sadari....
Astaghfirullah..
Tuesday, September 24, 2019
Rabu, 25 Muharram 1441 H / 25 September 2019.
*💥📚 MENUNTUT ILMU ITU WAJIB 💥*
*Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,*
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ.
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim.” [HR. Ibnu Majah]
Menuntut ilmu adalah suatu kemuliaan yang sangat besar dan menempati kedudukan tinggi yang tidak sebanding dengan amal apa pun.
Dan menuntut ilmu itu ibadah dan kita diciptakan untuk ibadah. Kita tidak akan tahu akan islam tanpa belajar. Allah Ta'ala berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
"Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepadaKu." [QS. Az-Zariyat 51: Ayat 56]
Menuntut ilmu jalan menuju surga. Dalinya adalah sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
*"Barang siapa yang meniti suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan untuknya jalan menuju Surga." [HR. Muslim]*
Di dalam hadits ini terdapat janji Allah Azza wa Jalla bahwa bagi orang-orang yang berjalan dalam rangka menuntut ilmu syar’i, maka Allah akan memudahkan jalan baginya menuju SURGA.
*Jadi laki-laki dan wanita DIWAJIBKAN menuntut ilmu, yaitu ilmu yang bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah karena dengan ilmu yang dipelajari, ia akan dapat mengerjakan amal-amal shalih, yang dengan itu akan mengantarkan mereka ke Surga.*
Kewajiban menuntut ilmu ini mencakup seluruh individu Muslim dan Muslimah, baik dia sebagai orang tua, anak, karyawan, dosen, Doktor, Profesor, dan yang lainnya. Yaitu mereka wajib mengetahui ilmu yang berkaitan dengan muamalah mereka dengan Rabbnya, baik tentang tauhid, rukun Islam, rukun Iman, akhlak, adab, dan muamalah dengan makhluk.
Majelis-majelis ilmu juga merupakan taman-taman Surga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْـجَنَّةِ فَارْتَعُوْا، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا رِيَاضُ الْـجَنَّةِ؟ قَالَ: حِلَقُ الذِّكْرِ.
*“Apabila kalian berjalan melewati taman-taman Surga, perbanyaklah berdzikir.” Para Shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud taman-taman Surga itu?” Beliau menjawab, “Yaitu halaqah-halaqah dzikir (majelis ilmu).” [HR. Tirmidzi]*
Ketahuilah bahwa majelis dzikir yang dimaksud adalah majelis ilmu, majelis yang di dalamnya diajarkan tentang tauhid, aqidah yang benar menurut pemahaman Salafush Shalih, ibadah yang sesuai Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, muamalah, dan lainnya. Wallahu a'lam.
وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
✒ *Ditulis Abu Muhammad Royhan dari Faidah Kajian Ust. Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafidzahullah*
----------••♛♛♛••----------
💎 Permata Sunnah
🛰 http://telegram.me/PermataSunnah
Share, yuk! Semoga saudara² kita mendapatkan faidah ilmu dari yang anda bagikan dan menjadi pembuka amal² kebaikan bagi anda yang telah menunjukkan kebaikan. آمِينَ.
___🍃🕋🍃___
.
*💥📚 MENUNTUT ILMU ITU WAJIB 💥*
*Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,*
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ.
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim.” [HR. Ibnu Majah]
Menuntut ilmu adalah suatu kemuliaan yang sangat besar dan menempati kedudukan tinggi yang tidak sebanding dengan amal apa pun.
Dan menuntut ilmu itu ibadah dan kita diciptakan untuk ibadah. Kita tidak akan tahu akan islam tanpa belajar. Allah Ta'ala berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
"Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepadaKu." [QS. Az-Zariyat 51: Ayat 56]
Menuntut ilmu jalan menuju surga. Dalinya adalah sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
*"Barang siapa yang meniti suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan untuknya jalan menuju Surga." [HR. Muslim]*
Di dalam hadits ini terdapat janji Allah Azza wa Jalla bahwa bagi orang-orang yang berjalan dalam rangka menuntut ilmu syar’i, maka Allah akan memudahkan jalan baginya menuju SURGA.
*Jadi laki-laki dan wanita DIWAJIBKAN menuntut ilmu, yaitu ilmu yang bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah karena dengan ilmu yang dipelajari, ia akan dapat mengerjakan amal-amal shalih, yang dengan itu akan mengantarkan mereka ke Surga.*
Kewajiban menuntut ilmu ini mencakup seluruh individu Muslim dan Muslimah, baik dia sebagai orang tua, anak, karyawan, dosen, Doktor, Profesor, dan yang lainnya. Yaitu mereka wajib mengetahui ilmu yang berkaitan dengan muamalah mereka dengan Rabbnya, baik tentang tauhid, rukun Islam, rukun Iman, akhlak, adab, dan muamalah dengan makhluk.
Majelis-majelis ilmu juga merupakan taman-taman Surga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْـجَنَّةِ فَارْتَعُوْا، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا رِيَاضُ الْـجَنَّةِ؟ قَالَ: حِلَقُ الذِّكْرِ.
*“Apabila kalian berjalan melewati taman-taman Surga, perbanyaklah berdzikir.” Para Shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud taman-taman Surga itu?” Beliau menjawab, “Yaitu halaqah-halaqah dzikir (majelis ilmu).” [HR. Tirmidzi]*
Ketahuilah bahwa majelis dzikir yang dimaksud adalah majelis ilmu, majelis yang di dalamnya diajarkan tentang tauhid, aqidah yang benar menurut pemahaman Salafush Shalih, ibadah yang sesuai Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, muamalah, dan lainnya. Wallahu a'lam.
وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
✒ *Ditulis Abu Muhammad Royhan dari Faidah Kajian Ust. Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafidzahullah*
----------••♛♛♛••----------
💎 Permata Sunnah
🛰 http://telegram.me/PermataSunnah
Share, yuk! Semoga saudara² kita mendapatkan faidah ilmu dari yang anda bagikan dan menjadi pembuka amal² kebaikan bagi anda yang telah menunjukkan kebaikan. آمِينَ.
___🍃🕋🍃___
.
Monday, September 23, 2019
Sunday, September 22, 2019
Fiqih nasehat
Al Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah mengatakan,
المؤمن يَسْتُرُ ويَنْصَحُ ، والفاجرُ يهتك ويُعيِّرُ
“Seorang mukmin itu biasa menutupi aib saudaranya dan menasihatinya. Sedangkan orang fajir (pelaku dosa) biasa membuka aib dan menjelek-jelekkan saudaranya.” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1:225)
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,
إنَّ أحبَّ عبادِ الله إلى الله الذين يُحببون الله إلى عباده ويُحببون عباد الله إلى الله ، ويسعون في الأرض بالنصيحة
“Sesungguhnya hamba yang dicintai di sisi Allah adalah yang mencintai Allah lewat hamba-Nya dan mencintai hamba Allah karena Allah. Di muka bumi, ia pun memberi nasihat kepada lainnya.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:224)
Semoga Allah memberikan kita sifat saling mencintai sesama dengan saling menasihati dalam kebaikan dan taqwa
Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/17481-hadits-arbain-07-agama-adalah-nasihat.html
____________________________
*Perbedaan antara Nasehat dan Kecaman*
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata,
“Perbedaan antara nasehat dan kecaman adalah bahwa nasehat itu merupakan perbuatan baik kepada orang yang engkau nasehati dalam bentuk kasih sayang, rasa kasihan, cinta dan cemburu. Maka nasehat itu semata-mata perbuatan baik didasari kasih sayang dan kelembutan dan dimaksudkan hanya mencari ridha Allah Ta’ala dan mengharap wajah Nya, kemudian untuk berbuat kebaikan kepada makhlukNya.
Dia bersikap lemah-lembut semaksimal mungkin dalam menjalankan nasehat tersebut dan sabar dalam menerima gangguan dan celaan dari orang-orang yang dinasehatinya dan mensikapinya seperti sikap seorang dokter yang ahli, penuh rasa kasih sayang kepada pasiennya yang menderita sakit komplikasi dan dalam keadaan setengah sadar, dia sabar menghadapi kekurangajaran pasiennya dan tindak-tanduknya yang tidak tahu aturan itu, dokter tersebut tetap bersikap lemah-lembut dan merayunya dengan berbagai cara dalam usahanya untuk meminumkan obat kepadanya. Begitulah sikap seorang pemberi nasehat.
Sedangkan pengecam ialah seorang yang bermaksud mempermalukan, menghinakan, dan mencela orang yang dikecam dan dicacinya, akan tetapi dengan bungkusan berupa nasehat, maka dia mengatakan, “Wahai pelaku ini dan itu! Wahai orang yang pantas dicela dan dihina!” Seolah-olah dia seorang pemberi nasehat dengan penuh kasih sayang, dan cirinya adalah apabila dia melihat orang yang dicintainya dan telah memberikan jasa baik kepadanya berbuat kesalahan yang sama atau bahkan lebih buruk lagi, dia hanya diam seribu bahasa sambil mencari-cari alasan untuk membelanya dengan mengatakan, “Manusia tidak ada yang ma’shum karena manusia tempatnya salah dan khilaf" atau “kebaikannya lebih banyak daripada keburukannya” atau “Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Pengampun dan Maha Penyayang”, dan yang semisalnya.
Sungguh aneh mengapa sampai berbeda sikapnya terhadap dua orang tadi, yang satu dia mencintainya dan yang lain dia membencinya dan mengapa yang satu mendapatkan bagian darimu berupa kecaman yang dibungkus dengan bentuk nasehat dan yang lain mendapatkan bagian darimu berupa harapan, maaf, ampunan, serta mencari-cari pembelaan.
Masih termasuk perbedaan antara penasehat dan pengecam bahwasanya penasehat itu tidak memusuhimu apabila engkau tidak menerima nasehatnya, ia mengatakan, “Kewajiban saya hanya menyampaikan, dan saya mengharap pahala dari Allah, baik engkau terima ataupun engkau tolak nasehat ini.” Dan dia berdo’a kepada Allah memohonkan kebaikan untukmu di saat engkau tidak ada disisinya, dan segala kekuranganmu ditutupinya, tidak diberitahukannya kepada orang dan tidak disebarkannya kepada khalayak ramai, sedangkan pengecam berbuat sebaliknya.” (dari kitab Ar Ruuh, halaman 381-382)
📚📚📚📚📚
Dinukil dari buku “Tepat Memberi Nasehat” (Fikih Nasehat)
Oleh: Fariq Gasim Anuz
_______________
ADAB DAN DOA AKHLAK DAN NASEHAT
Menasehati Tanpa Melukai
Lilis Mustikaningrum May 21, 2015 6 Comments
Menasehati Tanpa Melukai
Siapakah yang tak ingin hidayah mengetuk hati orang yang dicintai?
Orang tua, kerabat dekat, teman, tetangga, dan bahkan orang-orang di luar Islam. Hidayah yang melembutkan hati yang keras, menyabarkan hati tatkala ditimpa musibah, meredakan kemarahan, menjalin tali yang lama terpisah, menyatukan prinsip syariat sehingga berjalan beriringan dalam satu jalan yang haq menuju shiraathal mustaqiim. Pasti banyak orang yang kita inginkan kebaikan terlimpah padanya. Kebaikan yang senantiasa menghiasi diri sehingga melahirkan generasi Rabbani yang senantiasa berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As Sunnah sesuai pemahaman salafush shalih sebagaimana yang diharapkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sejak beratus abad yang lalu hingga sekarang, sampai nanti datang hari penghisaban sedangkan amal tak lagi terhitung dan tergores tintanya dalam catatan.
Siapa mengira, Al Fudhail bin Iyadh yang kita kenal sebagai seorang hamba yang shalih dan tokoh teladan bagi umat, dahulunya adalah seorang perampok jalanan yang banyak ditakuti orang. Lalu beliau terketuk hatinya dan mendapat hidayah tatkala mendengar percakapan dua saudagar yang tengah takut kepadanya.
Tak kenalkah dengan Salman Al Farisi? Dahulunya beliau adalah seorang Majusi kemudian beliau mendapatkan hidayah tatkala melihat orang muslim yang sedang shalat di gereja. Dan banyak dari kaum muslimin di zaman Nabi yang berbondong-bondong masuk Islam tidak lain karena mulianya dakwah beliau.
Oleh karena itu, mari kita lihat bagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam beserta orang-orang shalih dahulu mengajarkan kepada kita bagaimana adab tatkala memberikan nasehat sehingga membuka pintu-pintu hidayah bagi seseorang.
Adab Memberi Nasehat
Ketika seseorang hendak memberikan nasehat hendaklah memperhatikan adab-adabnya karena adab tersebut sangat menentukan diterima atau tidaknya nasehat. Beberapa adab yang perlu diperhatikan adalah:
1. Mengharapkan ridha Allah Ta’ala
Seorang yang ingin menasehati hendaklah meniatkan nasehatnya semata-semata untuk mendapatkan ridha Allah Ta’ala. Karena hanya dengan maksud inilah dia berhak atas pahala dan ganjaran dari Allah Ta’ala di samping berhak untuk diterima nasehatnya. Rasulullaah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Artinya, “Sesungguhnya setiap amal itu bergantung kepada niatnya dan sesungguhnya setiap orang itu hanya akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya (dinilai) kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak diraihnya atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka (hakikat) hijrahnya itu hanyalah kepada apa yang menjadi tujuan hijrahnya.”(HR. Bukhari dan Muslim)
2. Tidak dalam rangka mempermalukan orang yang dinasehati
Seseorang yang hendak memberikan nasihat harus berusaha untuk tidak mempermalukan orang yang hendak dinasehati. Ini adalah musibah yang sering terjadi pada kebanyakan orang, saat dia memberikan nasihat dengan nada yang kasar. Cara seperti ini bisa berbuah buruk atau memperparah keadaan. Dan nasehatpun tak berbuah sebagaimana yang diharapkan.
3. Menasehati secara rahasia
Nasihat disampaikan dengan terang-terangan ketika hendak menasehati orang banyak seperti ketika menyampaikan ceramah. Namun kadangkala nasehat harus disampaikan secara rahasia kepada seseorang yang membutuhkan penyempurnaan atas kesalahannya. Dan umumnya seseorang hanya bisa menerimanya saat dia sendirian dan suasana hatinya baik. Itulah saat yang tepat untuk menasehati secara rahasia, tidak di depan publik. Sebagus apapun nasehat seseorang namun jika disampaikan di tempat yang tidak tepat dan dalam suasana hati yang sedang marah maka nasehat tersebut hanya bagaikan asap yang mengepul dan seketika menghilang tanpa bekas.
Al Hafizh Ibnu Rajab berkata: “Apabila para salaf hendak memberikan nasehat kepada seseorang, maka mereka menasehatinya secara rahasia… Barangsiapa yang menasehati saudaranya berduaan saja maka itulah nasehat. Dan barangsiapa yang menasehatinya di depan orang banyak maka sebenarnya dia mempermalukannya.” (Jami’ Al ‘Ulum wa Al Hikam, halaman 77)
Abu Muhammad Ibnu Hazm Azh Zhahiri menuturkan, “Jika kamu hendak memberi nasehat sampaikanlah secara rahasia bukan terang-terangan dan dengan sindiran bukan terang-terangan. Terkecuali jika bahasa sindiran tidak dipahami oleh orang yang kamu nasehati, maka berterus teranglah!” (Al Akhlaq wa As Siyar, halaman 44)
4. Menasehati dengan lembut, sopan, dan penuh kasih
Seseorang yang hendak memberikan nasehat haruslah bersikap lembut, sensitif, dan beradab di dalam menyampaikan nasehat. Sesungguhnya menerima nasehat itu diperumpamakan seperti membuka pintu. Pintu tak akan terbuka kecuali dibuka dengan kunci yang tepat. Seseorang yang hendak dinasehati adalah seorang pemilik hati yang sedang terkunci dari suatu perkara, jika perkara itu yang diperintahkan Allah maka dia tidak melaksanakannya atau jika perkara itu termasuk larangan Allah maka ia melanggarnya.
Oleh karena itu, harus ditemukan kunci untuk membuka hati yang tertutup. Tidak ada kunci yang lebih baik dan lebih tepat kecuali nasehat yang disampaikan dengan lemah lembut, diutarakan dengan beradab, dan dengan ucapan yang penuh dengan kasih sayang. Bagaimana tidak, sedangkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِى شَىْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَىْءٍ إِلاَّ شَانَهُ
Artinya, “Setiap sikap kelembutan yang ada pada sesuatu, pasti akan menghiasinya. Dan tidaklah ia dicabut dari sesuatu, kecuali akan memperburuknya. (HR. Muslim)
Fir’aun adalah sosok yang paling kejam dan keras di masa Nabi Musa namun Allah tetap memerintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun agar menasehatinya dengan lemah lembut. Allah Ta’ala berfirman,
فَقُولا لَهُ قَوْلا لَيِّنًا
Artinya, “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut.” (QS. Ath Thaha: 44)
Saudariku… dan lihatlah tatkala nasehat dilontarkan dengan keras dan kasar maka akan banyak pintu yang tertutup karenanya. Banyak orang yang diberi nasehat justru tertutup dari pintu hidayah. Banyak kerabat dan karib yang hatinya menjauh. Banyak pahala yang terbuang begitu saja. Dan tentu banyak bantuan yang diberikan kepada setan untuk merusak persaudaraan.
5. Tidak memaksakan kehendak
Salah satu kewajiban seorang mukmin adalah menasehati saudaranya tatkala melakukan keburukan. Namun dia tidak berkewajiban untuk memaksanya mengikuti nasehatnya. Sebab, itu bukanlah bagiannya. Seorang pemberi nasehat hanyalah seseorang yang menunjukkan jalan, bukan seseorang yang memerintahkan orang lain untuk mengerjakannya. Ibnu Hazm Azh Zhahiri mengatakan: “Janganlah kamu memberi nasehat dengan mensyaratkan nasehatmu harus diterima. Jika kamu melanggar batas ini, maka kamu adalah seorang yang zhalim…” (Al Akhlaq wa As Siyar, halaman 44)
6. Mencari waktu yang tepat
Tidak setiap saat orang yang hendak dinasehati itu siap untuk menerima petuah. Adakalanya jiwanya sedang gundah, marah, sedih, atau hal lain yang membuatnya menolak nasehat tersebut. Ibnu Mas’ud pernah bertutur: “Sesungguhnya adakalanya hati bersemangat dan mudah menerima, dan adakalanya hati lesu dan mudah menolak. Maka ajaklah hati saat dia bersemangat dan mudah menerima dan tinggalkanlah saat dia malas dan mudah menolak.” (Al Adab Asy Syar’iyyah, Ibnu Muflih)
Jika seseorang ternyata tak bisa menasehati dengan baik maka dianjurkan untuk diam dan hal itu lebih baik karena akan lebih menjaga dari perkataan-perkataan yang akan memperburuk keadaan dan dia bisa meminta tolong temannya agar menasehati orang yang dimaksudkan. Sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا، أَوْ لِيَصْمُتْ
Artinya, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaklah berkata yang baik atau diam…”(HR. Bukhari dan Muslim)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam Syarhu Al Arba’in An Nawawi memberikan beberapa faedah dari cuplikan hadits di atas yaitu wajibnya diam kecuali dalam kebaikan dan anjuran untuk menjaga lisan.
Jangan pernah putus asa untuk memohon pertolongan Allah karena pada hakekatnya Allah-lah Yang Maha Membolak-balikkan hati seseorang. Meski sekeras apapun hati seseorang namun tidak ada yang mustahil jika Allah berkehendak untuk melembutkan hatinya dan menunjukkan kepada jalan-Nya. Wallaahu Musta’an.
“Jika engkau inginkan kebaikan pada saudaramu
Maka ajaklah ia tuk bergandengan
Dan beriringan menuju jalan-Nya
Bertuturlah dengan baik
Berilah senyuman tatkala ia tak peduli
Tunggulah… Bersabarlah… hingga pintu itu terbuka
Jangan kau paksa.. dan jangan pula kau marahi
Sebab nasehat itu akan berubah menjadi pisau yang tajam
Yang hanya membuat goresan di hati
Dan akan membuat lari
Jangan kau paksa.. dan jangan pula kau marahi
Sesungguhnya hidayah itu ada di tangan Sang Rabb
Yang Maha Membolak-balikkan hati”
***
Referensi:
“Menasehati Tanpa Menyakiti“. Abu Muhammad Shu’ailik. Pustaka Arafah
“Syarhu Al Arba’in An Nawawi“. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin. Daarul Ittiba’ dan Ad Daaru Al ‘Aalamiyyah Lin Nasyr wat Tauzii’
“99 Kisah Orang Shalih“. Muhammad bin Hamid Abdul Wahab. Darul Haq
—
Penulis: Lilis Mustikaningrum
Murojaah: Ustadz Ammi Nur Baits
Artikel www.muslimah.or.id
Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/7352-menasehati-tanpa-melukai.html
Saturday, September 21, 2019
BILA AMBISI DUNIA MENAWANMU…
.
Bila ambisi dunia menawanmu
Memenjaramu dan membelenggumu
Bahkan ia menyeretmu sehingga bajumu terkoyak
Tanganmu terluka
Lututmu berdarah, kau ingin melarikan diri
Namun genggamannya terasa begitu membuai,
Dan kaupun dibuat lalai olehnya.
.ㅤ
Maka tatkala itu belum terjadi ataupun kalau sudah terjadi
Bersegeralah untuk mengunjungi fakir miskin
Lihatlah kehidupan orang-orang yang di bawahmu
Masuklah ke rumah mereka
Simaklah kisah-kisah mereka
Dan terus kau jaga kedekatanmu dengan mereka
Sehingga kau mencintai mereka, karena itu adalah wasiat Nabi Shollallahu’alaihi wa Sallam kepada kita:
.ㅤ
Abu Dzar RodhiAllahu’anhu berkata, “kekasihku yakni Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam memerintahkan tujuh perkara padaku, di antaranya:
.
بِحُبِّ الْمَسَاكِيْنِ وَأَنْ أَدْنُوَ مِنْهُمْ،
.
“Beliau memerintahkanku agar mencintai orang miskin dan dekat dengan mereka” (HR. Ahmad)
.ㅤ
‘Aun bin Abdillah bin Mas’ud putra salah seorang sahabat yang mulia, dia bertutur, “Aku pernah dalam beberapa masa berteman dengan orang-orang kaya dan akupun tidak mendapati orang yang lebih gundah hatinya daripada diriku sendiri ketika aku menjumpai orang yang lebih bagus pakaiannya daripada aku, lebih harum parfumnya, maka akupun beralih menemani orang-orang yang miskin maka setelah itu hidupku penuh dengan kenyamanan”. ( Shifatusshawfah 2/57 ).
.
Ditulis oleh,
Ustadz DR. Syafiq Riza Bin Basalamah MA, حفظه الله تعالى
.ㅤ
.
ref : https://bbg-alilmu.com/archives/44691
.
Bila ambisi dunia menawanmu
Memenjaramu dan membelenggumu
Bahkan ia menyeretmu sehingga bajumu terkoyak
Tanganmu terluka
Lututmu berdarah, kau ingin melarikan diri
Namun genggamannya terasa begitu membuai,
Dan kaupun dibuat lalai olehnya.
.ㅤ
Maka tatkala itu belum terjadi ataupun kalau sudah terjadi
Bersegeralah untuk mengunjungi fakir miskin
Lihatlah kehidupan orang-orang yang di bawahmu
Masuklah ke rumah mereka
Simaklah kisah-kisah mereka
Dan terus kau jaga kedekatanmu dengan mereka
Sehingga kau mencintai mereka, karena itu adalah wasiat Nabi Shollallahu’alaihi wa Sallam kepada kita:
.ㅤ
Abu Dzar RodhiAllahu’anhu berkata, “kekasihku yakni Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam memerintahkan tujuh perkara padaku, di antaranya:
.
بِحُبِّ الْمَسَاكِيْنِ وَأَنْ أَدْنُوَ مِنْهُمْ،
.
“Beliau memerintahkanku agar mencintai orang miskin dan dekat dengan mereka” (HR. Ahmad)
.ㅤ
‘Aun bin Abdillah bin Mas’ud putra salah seorang sahabat yang mulia, dia bertutur, “Aku pernah dalam beberapa masa berteman dengan orang-orang kaya dan akupun tidak mendapati orang yang lebih gundah hatinya daripada diriku sendiri ketika aku menjumpai orang yang lebih bagus pakaiannya daripada aku, lebih harum parfumnya, maka akupun beralih menemani orang-orang yang miskin maka setelah itu hidupku penuh dengan kenyamanan”. ( Shifatusshawfah 2/57 ).
.
Ditulis oleh,
Ustadz DR. Syafiq Riza Bin Basalamah MA, حفظه الله تعالى
.ㅤ
.
ref : https://bbg-alilmu.com/archives/44691
Bab Tauhid
*Tahapan Mempelajari Ilmu Tauhid*
Sebagian orang, ketika hendak memulai belajar tauhid, dia pun bingung, dari mana dia belajar dan bagaimanakah tahapan-tahapannya. Lalu dia pun asal-asalan dalam belajar, menghabiskan waktu untuk belajar ke sana ke mari, dan setelah bertahun-tahun lamanya, ilmu itu tidak menancap ke dalam hati.
Berbeda dengan orang yang mengetahui bagaimanakah belajar tauhid dari dasarnya. Dia mempelajari tauhid setahap demi setahap, dari kitab yang paling mudah untuk membangun pondasi keilmuannya. Setelah itu, dia pun mempelajari kitab berikutnya dan begitulah seterusnya.
Dalam tulisan serial ini, akan kami sebutkan bagaimanakah tahapan kitab-kitab yang perlu dipelajari dalam mendalami ilmu tauhid. Tahap-tahap dalam mempelajari tauhid ini penulis susun dari penjelasan para ulama, di antaranya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin dalam Kitaabul ‘Ilmi atau penjelasan yang terdapat dalam kitab Kaifa Tatahammasu li Thalabil ‘Ilmi Syar’i karya Syaikh Muhammad bin Shalih bin Ishaq Ash-Shai’iry.
Kemudian penulis memodifikasi urut-urutan kitab tersebut berdasarkan pengalaman penulis selama ini ketika mempelajari kitab-kitab tersebut. Dan bisa jadi urut-urutan yang penulis sampaikan di sini dapat berubah sesuai dengan situasi dan kondisi serta ustadz yang mengajar.
Tahap-Tahap dalam Mempelajari Tauhid Asma’ wa Shifat
Dalam mempelajari tauhid asma’ wa shifat, maka di antara kitab yang dapat kita pelajari dimulai dari yang paling dasar dan mudah adalah sebagai berikut.
Pertama, kitab Lum’atul I’tiqod Al-Haadi ila Sabili Ar-Rosyad karya Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah.
Kitab ini bisa digunakan sebagai panduan awal untuk pemula dalam mempelajari tauhid asma’ wa shifat. Syarah (penjelasan) kitab ini antara lain Syarh Lum’atul I’tiqod karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin*, Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, atau karya Syaikh Shalih bin Abdul Aziz bin Ibrahim Alu Syaikh. Ada pula kitab Al Is’aad fii Syarhi Lum’atil I’tiqod karya Syaikh Abi Musa Abdul Rozaq bin Musa Al-Jazairi.
Di dalam kitab ini terdapat kaidah-kaidah dasar aqidah ahlus sunnah dalam memahami dalil-dalil tentang nama dan sifat Allah Ta’ala beserta contoh-contoh penerapannya. Selain itu juga terdapat pembahasan tentang masalah aqidah secara umum seperti sikap terhadap para sahabat, surga dan neraka, golongan yang menyimpang, dan lain-lain.
Ke dua, kitab Al-Qowa’idul Mutsla fii Shifaatillaahi wa Asmaa- ihi Al-Husna karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin*.
Syarahnya ditulis oleh Syaikh ‘Utsaimin sendiri atau kita juga dapat memakai kitab Al-Mujalla karya Kamilah Al-Kiwari. Juga terdapat penjelasan Syaikh ‘Ubaid Al-Jabiri yang berjudul Fathul ‘Aliyyil A’la.
Sesuai dengan nama kitabnya, di dalam kitab ini penulis membawakan beberapa kaidah penting dalam memahami nama dan sifat Allah Ta’ala. Penulis juga menyampaikan tentang kelompok-kelompok yang menyimpang dalam masalah ini dan bantahannya secara gamblang. Dengan menyelesaikan kitab ini, kita diharapkan memiliki manhaj (metode) yang benar dalam memahami dalil-dalil yang berkaitan dengan nama dan sifat Allah Ta’ala sehingga lebih mudah dalam memahami kitab lainnya seperti Al-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah.
Ke tiga, kitab Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Syarahnya antara lain Syarh Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Syaikh Dr. Muhammad Khalil Haras, atau karya Syaikh Shalih bin Abdul Aziz bin Ibrahim Alu Syaikh. Namun, dengan mempelajari syarah Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, insyaa Allah sudah lebih dari cukup.
Dengan mempelajari ketiga kitab ini saja, sebetulnya sudah lebih dari cukup bagi kita dalam mempelajari tauhid asma’ wa shifat. Apalagi bagi kita yang masih memiliki banyak kesibukan dan tidak mengkhususkan diri belajar ilmu agama.
Namun, bagi yang ingin melanjutkan mempelajari kitab-kitab di atasnya lagi, dapat melanjutkannya dengan mempelajari kitab Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah karya Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah dengan syarahnya yang ditulis oleh Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafi rahimahullah. Atau yang ingin lebih ringkas, dapat membaca penjelasan singkat Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan dalam kitabnya yang berjudul At-Ta’liqaat Al-Mukhtasharah ‘ala Matni Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah.
Selanjutnya, kita dapat mempelajari kitab-kitab di atasnya lagi seperti kitab Fataawa Al-Hamawiyyah dan Al-‘Aqidah At-Tadmuriyyah, keduanya ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Kedua kitab ini membahas secara lebih mendalam tentang aqidah ahlus sunnah dalam masalah asma’ wa shifat.
Dalam hal ini, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah telah membantu kita dengan meringkas kedua kitab tersebut dalam karya beliau yang berjudul Fathu Robbil Bariyyah bi Talkhiishi Al-Hamawiyyah dan Taqriib At-Tadmuriyyah*. Ringkasan yang beliau susun ini dapat membantu kita untuk memahami kedua kitab Syaikhul Islam secara ringkas, sebelum membaca kedua kitab beliau secara langsung.
[Bersambung]
***
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.Or.Id
______________
*Tahapan Mempelajari Ilmu Tauhid 2*
Tahap-Tahap dalam Mempelajari Tauhid Uluhiyyah
Dalam mempelajari tauhid uluhiyyah, maka di antara kitab yang dapat kita pelajari dimulai dari yang paling dasar dan mudah adalah sebagai berikut.
Kitab Al-Wajibat Al-Mutahattimat Al-Ma’rifah ‘ala Kulli Muslim wa Muslimah
Kitab Al-Wajibat Al-Mutahattimat Al-Ma’rifah ‘ala Kulli Muslim wa Muslimah karya Syaikh Abdullah bin Ibrahim Al-Qar’awi. Dengan syarah (penjelasannya) yaitu kitab At-Tanbihaat Al-Mukhtasharah karya Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Utsman Al-Qar’awi*. [1]
Kitab ini sangat ringkas, namun kandungannya sangatlah penting. Dalam kitab ini terdapat penjelasan mengenai tiga landasan utama yang wajib diketahui oleh setiap muslim dan muslimah. Selain itu, melalui kitab ini kita juga dapat mengetahui tauhid dan macam-macam tauhid, syarat-syarat kalimat tauhid, dan pembatal-pembatal Islam. Terdapat pula perincian singkat tentang kesyirikan, kufur, nifaq, dan sebagainya.
Kitab Al-Qowa’idul Arba
Kitab Al-Qowa’idul Arba’ karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimy rahimahullah.
Syarahnya antara lain Syarh Al-Qowa’idul Arba’ karya Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan*, Syaikh Shalih bin Abdul Aziz bin Ibrahim Alu Syaikh, dan juga syaikh yang lainnya.
Kitab ini merupakan sebuah kitab ringkas yang berisi tentang penjelasan hakikat kesyirikan yang terjadi pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan kitab ini, kita dapat mengenal bagaimana kondisi kaum musyrikin pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, siapa saja sesembahan mereka, mengapa mereka disebut sebagai orang musyrik, dan mengapa mereka diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kitab Tsalaatsatul Ushuul
Kitab Tsalaatsatul Ushuul karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimy rahimahullah.
Syarah dari kitab ini telah banyak sekali ditulis oleh para ulama. Antara lain Syarh Tsalaatsatul Ushul karya Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baaz, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin*, Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, atau karya Syaikh Shalih bin Abdul Aziz bin Ibrahim Alu Syaikh. Ada pula kitab Taisiirul Wushuul ila Nailil Ma’mul bi Syarhi Tsalaatsatil Ushuul karya Syaikh Nu’man bin Abdul Karim Al-Wathr. Atau kitab Hushuulul Ma’muul karya Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan*. Karena banyaknya syarah yang ada, kita dapat memilih satu sampai dua kitab saja untuk membantu kita mempelajari kitab ini.
Kitab Tsalaatsatul Ushuul merupakan kitab yang ma’ruf (terkenal) di kalangan penuntut ilmu sebagai kitab dasar dalam memahami Tauhid Uluhiyyah. Di dalamnya terdapat penjelasan tiga landasan utama yang wajib diketahui oleh setiap muslim dan muslimah, yaitu mengenal Allah, mengenal agama Islam, dan mengenal Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketiga hal inilah yang akan ditanyakan di alam kubur nanti. Di dalam kitab ini juga terdapat penjelasan tentang perincian macam-macam ibadah. Selain itu terdapat juga pembahasan tentang rukun iman dan rukun Islam meskipun secara global. [2]
Kitab Kitaabut Tauhid alladzi huwa haqqullahi ‘alal ‘abiid
Kitab Kitaabut Tauhid alladzi huwa haqqullahi ‘alal ‘abiid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimy rahimahullah.
Syarah dari kitab ini juga banyak sekali. Antara lain kitab Fathul Majiid karya Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh*; kitab Taisir Al-‘Aziz Al-Hamiid karya Syaikh Sulaiman bin Abdillah Alu Syaikh; Al-Qoulus Sadiid karya Syaikh Abdurrahman As-Sa’di; Al-Qoulul Mufiid karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin*; I’anatul Mustafiid karya Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan; atau At-Tamhiid karya Syaikh Shalih bin Abdul Aziz bin Ibrahim Alu Syaikh dan masih ada lagi beberapa kitab lainnya. Kita dapat memilih Al-Qoulul Mufiid dan I’anatul Mustafiid karena bahasanya yang mudah dipahami dan pembahasannya yang cukup lengkap. [3]
Kitab ini adalah kitab yang paling lengkap tentang perincian tauhid dan syirik. Belum ada satu pun kitab yang membahas tauhid dan syirik secara lengkap dan terperinci seperti kitab ini. Dengan mempelajari kitab ini dengan baik, maka kita akan dengan mudah membedakan tauhid dan syirik semudah kita membedakan antara siang dan malam.
Kitab Kasyfu Asy-Syubuhaat
Kitab Kasyfu Asy-Syubuhaat karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimy rahimahullah.
Syarah dari kitab ini antara lain Syarh Kasyfi Asy-Syubuhaat karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin*, Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, atau karya Syaikh Shalih bin Abdul Aziz bin Ibrahim Alu Syaikh. Atau kitab At-Taudhihaat Al Kaasyifaat ‘ala Kasyfi Asy-Syubuhaat karya Syaikh Muhammad bin Abdullah bin Shalih Al Hubdaan. Syarah yang dapat kita pilih adalah At-Taudhihaat Al-Kaasyifaat dan Syarh Kasyfi Asy-Syubuhaat karya Syaikh Shalih bin Abdul Aziz bin Ibrahim Alu Syaikh.
Setelah mempelajari perincian tauhid dan syirik pada Kitab Tauhid, pasti kita akan menghadapi berbagai macam syubhat (pemikiran-pemikiran yang menyimpang) dalam rangka membela kesyirikan. Oleh karena itu, kita perlu mempelajari bagaimana cara menghadapi dan menjawab syubhat-syubhat tersebut, yaitu dengan mempelajari kitab ini. Dengan mempelajari kitab ini, kita seolah-olah memiliki senjata yang dapat kita gunakan untuk menghadapi para penentang tauhid.
Sebelum mempelajari kitab ini, kita harus memiliki pemahaman yang baik terhadap ketiga kitab sebelumnya (yaitu kitab Qowa’idul Arba’, Tsalatsatul Ushul, dan Kitabut Tauhid). Pemahaman terhadap ketiga kitab di atas akan sangat membantu dalam memahami kitab Kasyfusy Syubuhaat ini. Karena untuk membantah syubhat-syubhat yang ada, sangat diperlukan pemahaman kaidah dasar yang terkandung dalam ketiga kitab tersebut.
Dengan mempelajari kelima kitab ini, sebetulnya kita telah memiliki bekal yang cukup dalam masalah tauhid uluhiyyah. Yang kita perlukan selanjutnya adalah senantiasa mengulang-ulang pelajaran tersebut agar pemahaman kita semakin kokoh. Namun bagi yang masih diberi waktu dan kesempatan oleh Allah Ta’ala untuk terus belajar, dapat melanjutkannya dengan mempelajari kitab Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah karya Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah dengan syarahnya yang ditulis oleh Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafi rahimahullah.
Nasihat Dalam Belajar Tauhid
Yang perlu diperhatikan adalah, bahwa belajar ilmu tauhid itu harus senantiasa diulang-ulang, tidak sebagaimana kita belajar ilmu fiqh misalnya. Seseorang mungkin saja bisa mempelajari tata cara shalat, wudhu, atau tayammum dalam sekali atau dua kali belajar, setelah itu dia bisa mengamalkannya sepanjang hidupnya. Akan tetapi, ilmu tauhid tidaklah demikian. Karena ilmu tauhid lebih banyak berkaitan dengan amalan hati. Bisa jadi hari ini kita belajar tauhid, akan tetapi tanpa kita sadari suatu saat hati kita condong dan berpaling kepada selain Allah Ta’ala. Bisa jadi suatu saat hati kita lebih ber-tawakkal kepada selain Allah atau tidak merasa ridha dengan taqdir yang Allah Ta’ala tetapkan atas kita. Oleh karena itulah, kita perlu mempelajari tauhid berulang-ulang sehingga kita akan selalu siap waspada, kemanakah hati kita ini condong, kepada Allah atau selain Allah? [4]
[Selesai]
***
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.Or.Id
📚💎📚💎📚💎📚💎📚💎📚
📲 Yuk share ke yang lain *tanpa merubah isi artikel dan sumbernya* dan jangan lupa like halaman kami...!
🚿Dan jangan sampai ketinggalan, dengan ikuti jaringan medsos kami untuk mendapatkan artikel dan nasihat yang manfaat.
•┈┈➖•◈◉✹❒📚❒✹◉◈•➖┈┈•
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين.
🌍 Di bumi Allah *Kantor bersih.or.id*, Sabtu, 14 Muharram 1441 H.
🌎www.bersih.or.id
📱Apk: bit.ly/2nzgGlN
🐦twitter.com/BERSIH_TV
📹youtube : bit.ly/2nQkBIm
🖼instagram.com/bersih.tv
🏡 Lokasi : bit.ly/2mOm00e
📪telegram.me/berbaginasihat
🔵facebook.com/programbersih
♻Admin: wa.me/628170889103
📱WA Ikhwan 1: https://bit.ly/2O3xDSy
📱WA Ikhwan 2: https://bit.ly/2xOT5kn
📱WA Akhwat: https://bit.ly/2Dj1thGi
Friday, September 20, 2019
RINGKASAN ILMU QIRAAT
ASAS MANHAJ IMAM-IMAM AL-QIRAAT
Slideshow ini membutuhkan JavaScript.
Al-Qiraat memberi maksud satu ilmu yang membincangkan tentang kalimah-kalimah al-Quran dan keadaan kalimah-kalimah tersebut seperti panjang dan sebagainya. Ilmu al-Qiraat diasas oleh Imam-Imam Qurra’. Terdapat juga pendapat yang mengatakan ianya diasakan oleh Abu Umar Hafs bin Umar Al-Duri. ILMU Qiraat merupakan semulia-mulia ilmu kerana mempunyai kaitan yang rapat dengan al-Quran dan hukul mempelajari ilmu al-Qiraat adalah fardhu kifayah. Proses pengajaran dan pembelajaran ilmu al-Qiraat ini mestilah diambil secara bertalaqqi dan musyafahah daripada seorang guru yang sanadnya sampai kepada Rasulullah s.a.w. kerana Al-Quran dan al-Qiraat merupakan sunnah Muttaba’ ( yang diikuti ).
Terdapat dua toriq(jalan) yang menjadi panduan utama dalam disiplin ilmu al-Qiraat ini iaitu Toriq al-Syatibi( al-Qiraat Tujuh ) melalui matan حرز الأمانى ووجه التهانى dan Toriq al-Jazari( al-Qirrat sepuluh ) melalui matan طيبة النشر فى القرءات العشر . Toriq al-Syatibi dinamakan dengan الصغرى kerana periwayatan beliau terhadap turuq Qiraat adalah kecil dan sedikit, bermaksud ia tidak menyeluruh dan mendalam terhadap kesemua turuq Qiraat. Sementara toriq al-Jazari pula dinamakan dengan الكبرى kerana periwayatan beliau terhadap Turuq Qiraat adalah menyeluruh dan mencakupi semua Turuq, walaupun terdapat perbezaan diantara kedua-dua Toriq tersebut dari susur periwayatan Turuq masing-masing. Namun kedua-dua Toriq ini adalah betul dan sohih.(ruj: Abd. Jalal A.Manaf:DQ)
Di Malaysia khususnya,kaedah pembelajaran dan pengajaran ilmu tajwid lebih cenderung kepada Toriq al-Syatibi. Umat Islam di Malaysia membaca Qiraat حفص عن عاصم menggunakan Toriq al-Syatibi.
pembahagian Qiraat itu terbahagi kepad beberapa bahagian besar. Imam Ibnu al-Jazari mengkategorikan Qiraat itu kepada lima jenis :
1. Qiraat Mutawatir
Ia itu Qiraat yang diriwayatkan oleh satu kumpulan yang besar dan terselamat dari berlaku sebarang pendustaan, seperti Qiraat yang terdapat dalam Toriq al-Syatibi dan Toriq al-Jazari.
2. Qiraat Masyhur
iaitu Qiraat yang sah sanadnya tetapi tidak mencapai tahap mutawatir. Menepati kaedah Bahasa Arab dan membetuli salah satu Mushaf Uthmani, masyhur di kalangan Imam Qurra’ tetapi berlawanan jalan riwayatnya dengan Imam Tujuh dan ada setengahnya tidak.
3. Qiraat Aahad
Iaitu Qiraat yang sah sanadnya tetapi menyalahi kaedah Bahasa Arab atau bacaannya tidak masyhur di kalangan Imam Qurra’.
4. Qiraat Syazah
Iaitu Qiraat yang tiada sanadnya.
5. Qiraat Maudhu’
Iaitu Qiraat yang yang direka-reka yang bukan diambil dari Rasulullah s.a.w.
Qiraat Aahad, Qiraat Syaazah dan Qiraat Maudhu’ tidak boleh dibaca kerana ianya bukan dinamakan al-Quran walaupun sanadnya sahih seperti sanad Aahad, tetapi qiraat tersebut tidak terdapat dalam Rasm ‘Uthmani.
ISTILAH-ISTILAH PENTING
1. الصلـة
( صلة هاء الكنية ( ضمير Ia itu memanjangkan Ha’ Dhamir atau kata gantinama misalnya إنه . Jika sebelumnya berbaris hadapan, diwasalkan dengan huruf و . Jika sebelumnya berbaris dibawah diwasalkan dengan ي .
صلة ميم الجمع pula bermaksud memanjangkan mim Jama’, contohnya عليهم/إليكم diwasalkan dengan huruf و seperti terjadi عليهمو/اليكموا .
2. إدغام الكبير
Memasukan huruf yang pertama berbaris kepada huruf yang kedua juga berbaris dengan syarat tertentu, contohnya الرحيم
3. القصر
Menbaca huruf mad dengan kadar 2 harkat sahaja Contoh: ءادم
4. التوسـط
Membaca huruf mad antara mad dan Qasar atau memanjangkan huruf mad dengan kadar 4 harkat sahaja.
5. الإشباع
Memanjangkan suara dengan kadar tidak kurang dari 6 harkat. Contohnya: السماء
6. تثليث البدل
Mad badal boleh dibaca dengan 3 wajah wajah bacaan iaitu dengan 2, 4, dan 6 harkat ( bagi riwayat warsy sahaja ).
7. التسهيل
Menyebut bunyi diantara bunyi huruf Hamzah dan huruf mad. Contoh: ءأنذرتهم
Ketika berbaris di atas : antara Hamzah dan Alif
Ketika berbaris di bawah : antara Hamzah dan Ya’
Ketika berbaris di hadapan : antara Hamzah dan Wau
8. الإبدال
Iaitu diibdalkan( diganti) huruf ء kepada huruf mad menurut harakah sebelumnya. Jika sebelumnya berbaris diatas, diibdalkan kepada huruf ا , jika sebelumnya berbaris di bawah, diibdalkan kepada ي dan jika sebelumnya berbaris di depan, diibdalkan kepada و. Contoh:
يؤمنون / يومنون
9. إسقاط
Mengugurkan. Istilah ini biasanya digunakan pada bab Hamzah, samada Hamzah itu terdiri dari dalam dua kalimah atau dalam satu kalimah. Contoh : أوجاء أحد dibaca أو جا أحد.
10. إدخال
Iaitu memasukan alif ( ا ) antara dua Hamzah yang berbaris di atas, contoh : ءأنذر تهم
dan diantara Hamzah berbaris di atas dan di bawah: أئـــذا
11. نقـل
Iaitu dipindahkan harkat Hamzah kepada huruf sebelumnya, contohnya: من ءامن
12. الفتحـة
Iaitu membunyi huruf diantara Fathah Syadid dan Taqlil.
13. إمالة
Dikenali juga dengan Imalah Kubra iaitu sesuatu bunyi yang terhampir sekali dengan kasrah, contohnya: مجر ــها
14. تقليل
Dikenali juga dengan nama Imalah Sughra iaitu bunyi diantara Fathah dan Imalah.
15. ترقيق
Menipiskan bunyi huruf ra’
16. تفخيم
Menebalkan huruf ra’, contohnya: رسول الله
17. تغليــظ
Khusus untuk huruf Lam sahaja, menebalkan bunyi huruf Lam sebelumnya terdapat huruf isti’la’, contoh: الصلـوة/أظلم
18. الســكـت/سـكـتة
Iaitu memutuskan suara pada huruf bertanda sukun tanpa menarik nafas yang baru.
Ringkasan Imam-Imam Qiraat Dan Perawi-Perawi
Imam Nafi’
Perawi:
1. Qalun
2. Warsy
Imam Ibn Kathir
Perawi:
1. Al-Bazi
2. Qunbul
Imam Abu ‘Amru
Perawi:
1. Al-Duri
2. Al-Susi
Imam Ibn Amir
Perawi:
1. Hisyam
2. Ibn Zakwan
Imam ‘Asim
Perawi:
1. Syu’bah
2. Hafs
Imam Hamzah
Perawi:
1. Khalaf
2. Kallad
Imam Al-Kisaie
Perawi:
1. Abu al-Harith
2. Al-Duri
Imam Qiraat 7
1. Imam Nafi’ al-Madani
Beliau ialah Nafi’ bin Abdul Rahman bin Abi Nuaim. Gelaran mashur beliau ‘ Abu Ruaim ‘, berasal dari Asbahani, dilahir pada sekitar tahun 70H. Wafat di Madinah pada tahun 169H. Mempunyai ramai murid. Dua orang daripada mereka menjadi perawinya yang terkenal iaitu: Qalun( meninggal pd tahun 220H ) dan Warsy( meninggal pd tahun 197H).
2. Imam Ibn Kathir al-Makki
Beliau ialah Abdullah bin Kathir al-Makki, Gelaran mashur beliau Abu Ma’bad. Beliau dilahirkan di Makkah pada tahun 45H. Tergolong dalam zaman tabiin dan pernah berjumpa Abdullah bin Zubair, Abu Ayub Al-Ansari dan Anas bin Malik. Meninggal dunia pd tahun 120H di Makkah. Mempunyai ramai murid. Dua orang daripadnya mereka menjadi perawinya yang terkenal iaitu al-Bazi( meninggal pd tahun 250H ) dan Qunbul( meninggal pd tahun 291H ).
3. Imam Abu ‘Amru al-Bashri
Beliau adalah Zabban bin Al-Alaa’ bin Ammar Al-Basri. Dilahirkan di Makkah pada tahun 70H dan meninggal Dunia diKufah pada tahun 145H. Mempunyai ramai murid, dua daripada mereka menjadi perawinya dan terkenal iaitu Al-Duri( meninggal dunia pd tahun 246 )dan al-Susi ( meninggal pd tahun 261H ).
4. Imam Ibn ‘Amir al-Dimasyqi
Beliau adalah Abdullah Ibn Amir Al-Syami Al-Yahsobi. Seorang Qadhi di Damsyik dizaman Khilifah Al-Walid Ibnu Abdul Malik. Beliau merupakan seorang tabiin. Dilahirkan pada tahun 21H dan meninggal dunia di Damsyik pada hari ‘ Asyura ‘ pada tahun 118H. Mempunyai ramai murid, dua daripada mereka menjadi perawinya terkenal iaitu Hisyam( lahir pd tahun 153H dan meninggal dunia pd tahun 245H )dan Ibn Zakwan( lahir pd tahun 173H dan meninggal pd tahun 242H ).
5. Imam ‘Asim al-Kufi
Beliau adalah ‘Asim bin bin Abdullah (Abi al-Najud) binBahdalah al-Asadi dan digelar Abu Bakar. Beliau juga dari kalangan tabiin. Meninggal dunia pd tahun 127H. Mempunyai ramai murid, dua daripada mereka menjadi perawinya yang terkenal iaitu Syu’bah( lahir pd tahun 95H dan meninggal pd tahun 193H )dan Hafs( lahir pd tahun 90H dan meninggal dunia pd tahun 180H ).
6. Imam Hamzah
Beliau adalah Hamzah bin Habib bin Ummarah Al-Ziati. dan mendapat gelaran Abu Ummarah. Beliau juga seorang ahli perniagaan yang kuat beribadat dan warak. mempunyai ramai murid dua daripada mereka menjadi perawinya yang mashur iaitu Khalaf ( meninggal dunia pd tahun 229H )dan Khallad( meninggal dunia pd tahun 220H ).
7. Al-Kisa’i
Beliau adalah Abu al-Hassan Ali bin Hamzah dan pakar dalam ilmu nahu. Beliau mendapat gelaran Kisa’i kerana ketika melakukan ihram beliau mengenakan pakaian kebesaran ( kisa ). Dilahirkan pd tahun 119H dan meninggal dunia di Ranbawaih pada tahun 189H. mempunyai ramai murid, dua daripada mereka menjadi perawinya yang terkenal iaitu Abu al-Harith ( meninggal pd yg sama 240H) dan Al-Duri ( meninggal dunia pd tahun 246H ).
Rujukan;
– حرز الأمانى ووجه التهانى
– Al-Ustaz Abdul Jalal bin Abd Manaf , 2010. Khulasah Ringkasan Ilmu Qiraat, Darul Quran.
– Al-Ustaz Mohd Nazri, Manhaj Qiraat ‘Asyara. 2010, Darul Quran
– Abu Mardhiyah. Tajwid Al-Quran Qiraat ‘Aasyim, 2004, Perniagaan Normah
ASAS MANHAJ IMAM-IMAM AL-QIRAAT
Slideshow ini membutuhkan JavaScript.
Al-Qiraat memberi maksud satu ilmu yang membincangkan tentang kalimah-kalimah al-Quran dan keadaan kalimah-kalimah tersebut seperti panjang dan sebagainya. Ilmu al-Qiraat diasas oleh Imam-Imam Qurra’. Terdapat juga pendapat yang mengatakan ianya diasakan oleh Abu Umar Hafs bin Umar Al-Duri. ILMU Qiraat merupakan semulia-mulia ilmu kerana mempunyai kaitan yang rapat dengan al-Quran dan hukul mempelajari ilmu al-Qiraat adalah fardhu kifayah. Proses pengajaran dan pembelajaran ilmu al-Qiraat ini mestilah diambil secara bertalaqqi dan musyafahah daripada seorang guru yang sanadnya sampai kepada Rasulullah s.a.w. kerana Al-Quran dan al-Qiraat merupakan sunnah Muttaba’ ( yang diikuti ).
Terdapat dua toriq(jalan) yang menjadi panduan utama dalam disiplin ilmu al-Qiraat ini iaitu Toriq al-Syatibi( al-Qiraat Tujuh ) melalui matan حرز الأمانى ووجه التهانى dan Toriq al-Jazari( al-Qirrat sepuluh ) melalui matan طيبة النشر فى القرءات العشر . Toriq al-Syatibi dinamakan dengan الصغرى kerana periwayatan beliau terhadap turuq Qiraat adalah kecil dan sedikit, bermaksud ia tidak menyeluruh dan mendalam terhadap kesemua turuq Qiraat. Sementara toriq al-Jazari pula dinamakan dengan الكبرى kerana periwayatan beliau terhadap Turuq Qiraat adalah menyeluruh dan mencakupi semua Turuq, walaupun terdapat perbezaan diantara kedua-dua Toriq tersebut dari susur periwayatan Turuq masing-masing. Namun kedua-dua Toriq ini adalah betul dan sohih.(ruj: Abd. Jalal A.Manaf:DQ)
Di Malaysia khususnya,kaedah pembelajaran dan pengajaran ilmu tajwid lebih cenderung kepada Toriq al-Syatibi. Umat Islam di Malaysia membaca Qiraat حفص عن عاصم menggunakan Toriq al-Syatibi.
pembahagian Qiraat itu terbahagi kepad beberapa bahagian besar. Imam Ibnu al-Jazari mengkategorikan Qiraat itu kepada lima jenis :
1. Qiraat Mutawatir
Ia itu Qiraat yang diriwayatkan oleh satu kumpulan yang besar dan terselamat dari berlaku sebarang pendustaan, seperti Qiraat yang terdapat dalam Toriq al-Syatibi dan Toriq al-Jazari.
2. Qiraat Masyhur
iaitu Qiraat yang sah sanadnya tetapi tidak mencapai tahap mutawatir. Menepati kaedah Bahasa Arab dan membetuli salah satu Mushaf Uthmani, masyhur di kalangan Imam Qurra’ tetapi berlawanan jalan riwayatnya dengan Imam Tujuh dan ada setengahnya tidak.
3. Qiraat Aahad
Iaitu Qiraat yang sah sanadnya tetapi menyalahi kaedah Bahasa Arab atau bacaannya tidak masyhur di kalangan Imam Qurra’.
4. Qiraat Syazah
Iaitu Qiraat yang tiada sanadnya.
5. Qiraat Maudhu’
Iaitu Qiraat yang yang direka-reka yang bukan diambil dari Rasulullah s.a.w.
Qiraat Aahad, Qiraat Syaazah dan Qiraat Maudhu’ tidak boleh dibaca kerana ianya bukan dinamakan al-Quran walaupun sanadnya sahih seperti sanad Aahad, tetapi qiraat tersebut tidak terdapat dalam Rasm ‘Uthmani.
ISTILAH-ISTILAH PENTING
1. الصلـة
( صلة هاء الكنية ( ضمير Ia itu memanjangkan Ha’ Dhamir atau kata gantinama misalnya إنه . Jika sebelumnya berbaris hadapan, diwasalkan dengan huruf و . Jika sebelumnya berbaris dibawah diwasalkan dengan ي .
صلة ميم الجمع pula bermaksud memanjangkan mim Jama’, contohnya عليهم/إليكم diwasalkan dengan huruf و seperti terjadi عليهمو/اليكموا .
2. إدغام الكبير
Memasukan huruf yang pertama berbaris kepada huruf yang kedua juga berbaris dengan syarat tertentu, contohnya الرحيم
3. القصر
Menbaca huruf mad dengan kadar 2 harkat sahaja Contoh: ءادم
4. التوسـط
Membaca huruf mad antara mad dan Qasar atau memanjangkan huruf mad dengan kadar 4 harkat sahaja.
5. الإشباع
Memanjangkan suara dengan kadar tidak kurang dari 6 harkat. Contohnya: السماء
6. تثليث البدل
Mad badal boleh dibaca dengan 3 wajah wajah bacaan iaitu dengan 2, 4, dan 6 harkat ( bagi riwayat warsy sahaja ).
7. التسهيل
Menyebut bunyi diantara bunyi huruf Hamzah dan huruf mad. Contoh: ءأنذرتهم
Ketika berbaris di atas : antara Hamzah dan Alif
Ketika berbaris di bawah : antara Hamzah dan Ya’
Ketika berbaris di hadapan : antara Hamzah dan Wau
8. الإبدال
Iaitu diibdalkan( diganti) huruf ء kepada huruf mad menurut harakah sebelumnya. Jika sebelumnya berbaris diatas, diibdalkan kepada huruf ا , jika sebelumnya berbaris di bawah, diibdalkan kepada ي dan jika sebelumnya berbaris di depan, diibdalkan kepada و. Contoh:
يؤمنون / يومنون
9. إسقاط
Mengugurkan. Istilah ini biasanya digunakan pada bab Hamzah, samada Hamzah itu terdiri dari dalam dua kalimah atau dalam satu kalimah. Contoh : أوجاء أحد dibaca أو جا أحد.
10. إدخال
Iaitu memasukan alif ( ا ) antara dua Hamzah yang berbaris di atas, contoh : ءأنذر تهم
dan diantara Hamzah berbaris di atas dan di bawah: أئـــذا
11. نقـل
Iaitu dipindahkan harkat Hamzah kepada huruf sebelumnya, contohnya: من ءامن
12. الفتحـة
Iaitu membunyi huruf diantara Fathah Syadid dan Taqlil.
13. إمالة
Dikenali juga dengan Imalah Kubra iaitu sesuatu bunyi yang terhampir sekali dengan kasrah, contohnya: مجر ــها
14. تقليل
Dikenali juga dengan nama Imalah Sughra iaitu bunyi diantara Fathah dan Imalah.
15. ترقيق
Menipiskan bunyi huruf ra’
16. تفخيم
Menebalkan huruf ra’, contohnya: رسول الله
17. تغليــظ
Khusus untuk huruf Lam sahaja, menebalkan bunyi huruf Lam sebelumnya terdapat huruf isti’la’, contoh: الصلـوة/أظلم
18. الســكـت/سـكـتة
Iaitu memutuskan suara pada huruf bertanda sukun tanpa menarik nafas yang baru.
Ringkasan Imam-Imam Qiraat Dan Perawi-Perawi
Imam Nafi’
Perawi:
1. Qalun
2. Warsy
Imam Ibn Kathir
Perawi:
1. Al-Bazi
2. Qunbul
Imam Abu ‘Amru
Perawi:
1. Al-Duri
2. Al-Susi
Imam Ibn Amir
Perawi:
1. Hisyam
2. Ibn Zakwan
Imam ‘Asim
Perawi:
1. Syu’bah
2. Hafs
Imam Hamzah
Perawi:
1. Khalaf
2. Kallad
Imam Al-Kisaie
Perawi:
1. Abu al-Harith
2. Al-Duri
Imam Qiraat 7
1. Imam Nafi’ al-Madani
Beliau ialah Nafi’ bin Abdul Rahman bin Abi Nuaim. Gelaran mashur beliau ‘ Abu Ruaim ‘, berasal dari Asbahani, dilahir pada sekitar tahun 70H. Wafat di Madinah pada tahun 169H. Mempunyai ramai murid. Dua orang daripada mereka menjadi perawinya yang terkenal iaitu: Qalun( meninggal pd tahun 220H ) dan Warsy( meninggal pd tahun 197H).
2. Imam Ibn Kathir al-Makki
Beliau ialah Abdullah bin Kathir al-Makki, Gelaran mashur beliau Abu Ma’bad. Beliau dilahirkan di Makkah pada tahun 45H. Tergolong dalam zaman tabiin dan pernah berjumpa Abdullah bin Zubair, Abu Ayub Al-Ansari dan Anas bin Malik. Meninggal dunia pd tahun 120H di Makkah. Mempunyai ramai murid. Dua orang daripadnya mereka menjadi perawinya yang terkenal iaitu al-Bazi( meninggal pd tahun 250H ) dan Qunbul( meninggal pd tahun 291H ).
3. Imam Abu ‘Amru al-Bashri
Beliau adalah Zabban bin Al-Alaa’ bin Ammar Al-Basri. Dilahirkan di Makkah pada tahun 70H dan meninggal Dunia diKufah pada tahun 145H. Mempunyai ramai murid, dua daripada mereka menjadi perawinya dan terkenal iaitu Al-Duri( meninggal dunia pd tahun 246 )dan al-Susi ( meninggal pd tahun 261H ).
4. Imam Ibn ‘Amir al-Dimasyqi
Beliau adalah Abdullah Ibn Amir Al-Syami Al-Yahsobi. Seorang Qadhi di Damsyik dizaman Khilifah Al-Walid Ibnu Abdul Malik. Beliau merupakan seorang tabiin. Dilahirkan pada tahun 21H dan meninggal dunia di Damsyik pada hari ‘ Asyura ‘ pada tahun 118H. Mempunyai ramai murid, dua daripada mereka menjadi perawinya terkenal iaitu Hisyam( lahir pd tahun 153H dan meninggal dunia pd tahun 245H )dan Ibn Zakwan( lahir pd tahun 173H dan meninggal pd tahun 242H ).
5. Imam ‘Asim al-Kufi
Beliau adalah ‘Asim bin bin Abdullah (Abi al-Najud) binBahdalah al-Asadi dan digelar Abu Bakar. Beliau juga dari kalangan tabiin. Meninggal dunia pd tahun 127H. Mempunyai ramai murid, dua daripada mereka menjadi perawinya yang terkenal iaitu Syu’bah( lahir pd tahun 95H dan meninggal pd tahun 193H )dan Hafs( lahir pd tahun 90H dan meninggal dunia pd tahun 180H ).
6. Imam Hamzah
Beliau adalah Hamzah bin Habib bin Ummarah Al-Ziati. dan mendapat gelaran Abu Ummarah. Beliau juga seorang ahli perniagaan yang kuat beribadat dan warak. mempunyai ramai murid dua daripada mereka menjadi perawinya yang mashur iaitu Khalaf ( meninggal dunia pd tahun 229H )dan Khallad( meninggal dunia pd tahun 220H ).
7. Al-Kisa’i
Beliau adalah Abu al-Hassan Ali bin Hamzah dan pakar dalam ilmu nahu. Beliau mendapat gelaran Kisa’i kerana ketika melakukan ihram beliau mengenakan pakaian kebesaran ( kisa ). Dilahirkan pd tahun 119H dan meninggal dunia di Ranbawaih pada tahun 189H. mempunyai ramai murid, dua daripada mereka menjadi perawinya yang terkenal iaitu Abu al-Harith ( meninggal pd yg sama 240H) dan Al-Duri ( meninggal dunia pd tahun 246H ).
Rujukan;
– حرز الأمانى ووجه التهانى
– Al-Ustaz Abdul Jalal bin Abd Manaf , 2010. Khulasah Ringkasan Ilmu Qiraat, Darul Quran.
– Al-Ustaz Mohd Nazri, Manhaj Qiraat ‘Asyara. 2010, Darul Quran
– Abu Mardhiyah. Tajwid Al-Quran Qiraat ‘Aasyim, 2004, Perniagaan Normah
S A L A H K A P R A H
Oleh: Abu Fuhairah az-Zahid
Menuntut ilmu hukumnya wajib bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini senada dengan sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam berikut ini:
طلب العلم فريضة على كل مسلم.
"Menuntut ilmu itu merupakan kewajiban atas setiap muslim". (HR. Ibnu Majah).
Sedarinya menuntut ilmu itu dimulai dari beberapa tahapan dasar hingga expert (ahli). Bak naik tangga, dimulai dari tangga dasar hingga menuju puncaknya. Mulai dari menghafal al-Qur'an hingga menjadi ulama di berbagai bidang disiplin keilmuan.
Dengan meniti tangga dasar keilmuan seorang penuntut ilmu akan digembleng, dibimbing menjadi pribadi-pribadi hebat di masa mendatang. Pribadi yang mumpuni di bidangnya, bukan karbitan. Tangguh dalam menghadapi tantangan zaman. Bijak dalam menghadapi perbedaan pendapat. Santun dalam berbicara dan berkepribadian tawadhu.
Orang yang tidak pernah merasakan pahit getirnya menuntut ilmu, maka ia akan hidup di alam kebodohan. Menjadi pecundang dan pengecut. Hobinya menyalahkan orang lain yang berbeda dengannya. Padahal ia tidak mengetahui pokok permasalahan yang sedang dibicarakan. Sikapnya agresif terhadap ahli ilmu yang berselisih dengannya. Dan senjata andalannya adalah memfitnah orang lain secara membabi buta tanpa klasifikasi terlebih dahulu.
Padahal banyak sekali dalil baik dari al-Qur'an maupun hadis Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam yang mewajibkan seorang muslim untuk menuntut dan menimba ilmu di mana pun berada. Dan tidak ada batasan usia dalam menuntut ilmu.
Sungguh memprihatinkan kondisi para penuntut ilmu hari ini, banyak dari mereka itu salah kaprah dalam memahami suatu permasalahan. Disebabkan ia hanya membaca satu kitab atau berguru hanya kepada satu orang saja. Itupun hanya sekedar ikut dalam kajian umum.
Misalnya, salah kaprah dalam memahami kalimat sunnah. Ia berpikir bahwa sunnah itu hanya satu saja. Yang tidak berlabel sunnah ditinggalkan, dan dihindari karena mengandung syubhat versinya. Hingga akhirnya muncul penyempitan makna kata sunnah itu sendiri. Dan ini berkembang pesat di tengah masyarakat kita hari ini, seperti istilah-istilah berikut ini: ustadz sunnah, ikhwan sunnah, masjid sunnah, sekolah sunnah, kampus sunnah, pengajian sunnah, mobil sunnah, baju dan celana sunnah, hingga merek sabun, yaitu sabun sunnah. Dan masih banyak lagi.
Islam bukanlah agama yang sempit. Jikalau seseorang sudah mengenal dan mengamalkan sunnah, menjadikannya pribadi yang alim, berilmu, dan punya otoritas khusus. Sehingga orang awam yang belum belajar, dianggap ahlu bid'ah semuanya. Karena amalan mereka tidak sesuai sunnah versi mereka. Eits....stop dulu, jangan sampai mengkambing hitamkan sunnah gegara pendek dan dangkalnya pemahaman kita terhadap ilmu.
Makanya tuntutlah ilmu hingga ke negeri orang. Jangan seperti katak berada dalam tempurung. Ia pikir, dunia itu sempit dan selebar daun kelor. Merantaulah ke kitab-kitab karangan para ulama, seperti: kitab Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Musnad Imam Ahmad, al-Muwatha', kitab-kitab Sunan dan lain-lain.
Bertamasyalah ke kitab-kitab fiqh seperti: al-Majmu', al-Umm, al-Mughni, ar-Risalah, al-Fiqhu 'ala Madzahib al-Arba'ah, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, dan lain sebagainya.
Duduklah dengan kitab-kitab tafsir seperti: Tafsir al-Qur'an al-Karim karya Imam Ibnu Katsir, Tafsir al-Qurthubi, Tafsir ath-Thabari, Mafatihul Ghaib karya ar-Razi, Tafsir al-Jalalain, Tafsir as-Sa'di, dan masih banyak lagi.
Bacalah kitab-kitab sirah nabawiyah, seperti: al-Maghazi, Sirah Ibnu Ishaq, Sirah Ibnu Hisyam, Nurul Yaqin, ar-Rahiq al-Makhtum, Fiqh Sirah, Shahih Sirah Nabawiyah dan masih ada lagi.
Selanjutnya, belajarlah dari filosofi padi. Makin berisi, semakin merunduk. Makin berilmu, semakin tawadhu. Sebab, buah dari ilmu itu adalah amal shalih. Ketahuilah, mengenal sunnah itu seyogyianya menjadikan kita sebagai pribadi yang lemah lembut terhadap orang lain. Bukan sebaliknya, garang dan bengis terhadap sesama muslim dan lemah lembut terhadap orang di luar Islam.
Wallahu A'lam bish-Showab.
Catatan dakwah di pedalaman Aceh, sebagai bahan muhasabah diri penulis.
Banda Aceh.
💎📚💎📚💎📚💎📚💎📚
📲 Yuk share ke yang lain *tanpa merubah isi artikel dan sumbernya* dan jangan lupa like halaman kami...!
🚿Dan jangan sampai ketinggalan, dengan ikuti jaringan medsos kami untuk mendapatkan artikel dan nasihat yang manfaat.
•┈┈➖•◈◉✹❒📚❒✹◉◈•➖┈┈•
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين.
🌍 Di bumi Allah *Kantor bersih.or.id*, Jum'at, 20 Muharram 1441 H.
🌎www.bersih.or.id
📱Apk: bit.ly/2nzgGlN
🐦twitter.com/BERSIH_TV
📹youtube : bit.ly/2nQkBIm
🖼instagram.com/bersih.tv
🏡 Lokasi : bit.ly/2mOm00e
📪telegram.me/berbaginasihat
🔵facebook.com/programbersih
♻Admin: wa.me/628170889103
📱WA Ikhwan 1: https://bit.ly/2O3xDSy
📱WA Ikhwan 2: https://bit.ly/2xOT5kn
📱WA Akhwat: https://bit.ly/2Dj1thG
Oleh: Abu Fuhairah az-Zahid
Menuntut ilmu hukumnya wajib bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini senada dengan sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam berikut ini:
طلب العلم فريضة على كل مسلم.
"Menuntut ilmu itu merupakan kewajiban atas setiap muslim". (HR. Ibnu Majah).
Sedarinya menuntut ilmu itu dimulai dari beberapa tahapan dasar hingga expert (ahli). Bak naik tangga, dimulai dari tangga dasar hingga menuju puncaknya. Mulai dari menghafal al-Qur'an hingga menjadi ulama di berbagai bidang disiplin keilmuan.
Dengan meniti tangga dasar keilmuan seorang penuntut ilmu akan digembleng, dibimbing menjadi pribadi-pribadi hebat di masa mendatang. Pribadi yang mumpuni di bidangnya, bukan karbitan. Tangguh dalam menghadapi tantangan zaman. Bijak dalam menghadapi perbedaan pendapat. Santun dalam berbicara dan berkepribadian tawadhu.
Orang yang tidak pernah merasakan pahit getirnya menuntut ilmu, maka ia akan hidup di alam kebodohan. Menjadi pecundang dan pengecut. Hobinya menyalahkan orang lain yang berbeda dengannya. Padahal ia tidak mengetahui pokok permasalahan yang sedang dibicarakan. Sikapnya agresif terhadap ahli ilmu yang berselisih dengannya. Dan senjata andalannya adalah memfitnah orang lain secara membabi buta tanpa klasifikasi terlebih dahulu.
Padahal banyak sekali dalil baik dari al-Qur'an maupun hadis Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam yang mewajibkan seorang muslim untuk menuntut dan menimba ilmu di mana pun berada. Dan tidak ada batasan usia dalam menuntut ilmu.
Sungguh memprihatinkan kondisi para penuntut ilmu hari ini, banyak dari mereka itu salah kaprah dalam memahami suatu permasalahan. Disebabkan ia hanya membaca satu kitab atau berguru hanya kepada satu orang saja. Itupun hanya sekedar ikut dalam kajian umum.
Misalnya, salah kaprah dalam memahami kalimat sunnah. Ia berpikir bahwa sunnah itu hanya satu saja. Yang tidak berlabel sunnah ditinggalkan, dan dihindari karena mengandung syubhat versinya. Hingga akhirnya muncul penyempitan makna kata sunnah itu sendiri. Dan ini berkembang pesat di tengah masyarakat kita hari ini, seperti istilah-istilah berikut ini: ustadz sunnah, ikhwan sunnah, masjid sunnah, sekolah sunnah, kampus sunnah, pengajian sunnah, mobil sunnah, baju dan celana sunnah, hingga merek sabun, yaitu sabun sunnah. Dan masih banyak lagi.
Islam bukanlah agama yang sempit. Jikalau seseorang sudah mengenal dan mengamalkan sunnah, menjadikannya pribadi yang alim, berilmu, dan punya otoritas khusus. Sehingga orang awam yang belum belajar, dianggap ahlu bid'ah semuanya. Karena amalan mereka tidak sesuai sunnah versi mereka. Eits....stop dulu, jangan sampai mengkambing hitamkan sunnah gegara pendek dan dangkalnya pemahaman kita terhadap ilmu.
Makanya tuntutlah ilmu hingga ke negeri orang. Jangan seperti katak berada dalam tempurung. Ia pikir, dunia itu sempit dan selebar daun kelor. Merantaulah ke kitab-kitab karangan para ulama, seperti: kitab Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Musnad Imam Ahmad, al-Muwatha', kitab-kitab Sunan dan lain-lain.
Bertamasyalah ke kitab-kitab fiqh seperti: al-Majmu', al-Umm, al-Mughni, ar-Risalah, al-Fiqhu 'ala Madzahib al-Arba'ah, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, dan lain sebagainya.
Duduklah dengan kitab-kitab tafsir seperti: Tafsir al-Qur'an al-Karim karya Imam Ibnu Katsir, Tafsir al-Qurthubi, Tafsir ath-Thabari, Mafatihul Ghaib karya ar-Razi, Tafsir al-Jalalain, Tafsir as-Sa'di, dan masih banyak lagi.
Bacalah kitab-kitab sirah nabawiyah, seperti: al-Maghazi, Sirah Ibnu Ishaq, Sirah Ibnu Hisyam, Nurul Yaqin, ar-Rahiq al-Makhtum, Fiqh Sirah, Shahih Sirah Nabawiyah dan masih ada lagi.
Selanjutnya, belajarlah dari filosofi padi. Makin berisi, semakin merunduk. Makin berilmu, semakin tawadhu. Sebab, buah dari ilmu itu adalah amal shalih. Ketahuilah, mengenal sunnah itu seyogyianya menjadikan kita sebagai pribadi yang lemah lembut terhadap orang lain. Bukan sebaliknya, garang dan bengis terhadap sesama muslim dan lemah lembut terhadap orang di luar Islam.
Wallahu A'lam bish-Showab.
Catatan dakwah di pedalaman Aceh, sebagai bahan muhasabah diri penulis.
Banda Aceh.
💎📚💎📚💎📚💎📚💎📚
📲 Yuk share ke yang lain *tanpa merubah isi artikel dan sumbernya* dan jangan lupa like halaman kami...!
🚿Dan jangan sampai ketinggalan, dengan ikuti jaringan medsos kami untuk mendapatkan artikel dan nasihat yang manfaat.
•┈┈➖•◈◉✹❒📚❒✹◉◈•➖┈┈•
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين.
🌍 Di bumi Allah *Kantor bersih.or.id*, Jum'at, 20 Muharram 1441 H.
🌎www.bersih.or.id
📱Apk: bit.ly/2nzgGlN
🐦twitter.com/BERSIH_TV
📹youtube : bit.ly/2nQkBIm
🖼instagram.com/bersih.tv
🏡 Lokasi : bit.ly/2mOm00e
📪telegram.me/berbaginasihat
🔵facebook.com/programbersih
♻Admin: wa.me/628170889103
📱WA Ikhwan 1: https://bit.ly/2O3xDSy
📱WA Ikhwan 2: https://bit.ly/2xOT5kn
📱WA Akhwat: https://bit.ly/2Dj1thG
Thursday, September 19, 2019
I N T E R A K S I S O S I A L
Oleh: Abu Fuhairah az-Zahid
Salah satu kesuksesan seorang da'i dalam berdakwah adalah interaksi sosial. Jika da'i pandai berinteraksi dengan masyarakat sebagai obyek dakwah, besar kemungkinan dakwahnya diterima. Sebaliknya, jika seorang da'i bersikap introvet atau eksekutif maka dakwahnya berjalan di tempat. Bahkan sampai pada tahap penolakan atau pengusiran.
Hadirnya da'i di tengah-tengah masyarakat, ibarat dokter sedang mengobati pasiennya. Hal ini senada dengan ucapan ulama besar pada masanya, yaitu Sufyan ats-Tsauri Rahimahullah. Ia berkata:
العالم طبيب الدين والدرهم داء الدين. فإذا اجتر الطبيب الداء إلى نفسه فمتى يداوي غيره؟
"Seorang ahli ilmu (da'i) adalah dokter dalam agama, sedangkan dirham (mata uang) adalah penyakit dalam agama. Maka apabila seorang dokter telah terjangkiti penyakit pada dirinya, bagaimana pula ia mau mengobati selainnya?" (Raudhatul 'Uqala, hal.27).
Seorang da'i harus paham kondisi dan situasi obyek dakwah yang akan dibimbing. Sebab dengan mengetahui latar belakang obyek dakwah akan memudahkan bagi da'i untuk mencari solusi pada setiap problematika yang mereka hadapi. Tak kalah pentingnya, bagi da'i harus luwes dalam pergaulan, sopan dan santun tutur katanya, lemah lembut dalam bertindak. Dan selalu menjaga harga dirinya.
Betapa banyak kita lihat obyek dakwah yang lari dan futur dari bimbingan seorang da'i. Disebabkan sikap dan sifat personal sang da'i yang tidak konsekuen. Mencla-mencle dalam bertutur dan bersikap. Pilih kasih terhadap obyek dakwah. Yang didekati khususnya orang kaya saja atau sepadan dengan dirinya.
Dalam hubungan interaksi sosial, seorang da'i tidak boleh memanfaatkan obyek dakwah untuk kepentingan pribadi atau memperkaya diri sendiri. Namun, sebaliknya da'i tersebut yang membantu obyek dakwah keluar dari permasalahannya sehari-hari, seperti kesulitan ekonomi, pekerjaan dan lain sebagainya.
Pada hakikatnya da'i itu multi talenta, serba bisa sebab obyek dakwah yang dihadapinya notabene beraneka ragam, baik profesi, kepribadian, pendidikan, etnis, marga, ataupun keturunan. Setiap persoalan yang muncul di tengah masyarakat sang da'i segera mencari akar permasalahannya, menemukan solusi yang jitu dan tepat sasaran. Sehingga awan kekalutan di wajah obyek dakwah segera redup dan menghilang seketika.
Adakalanya jadi da'i itu menjadi sorotan mata obyek dakwah. Diperbincangkan setiap waktu dan tempat, jika da'i tersebut berkelakuan baik, cerdas dan lugas dalam berbicara. Sebaliknya, jika da'i melakukan sebuah kesalahan maka akan dikenang, sepanjang hayat dikandung badan. Disorot sampai tujuh keturunan.
Berhati-hatilah, jika Anda sudah diustadzkan oleh masyarakat sekitar. Dituakan dalam majeli ilmu, dimuliakan oleh anak didik, dihargai karena punya jasa terhadap orang lain. Dihormati karena keilmuan Anda. Maka jangan sesekali mengambil keuntungan dari obyek dakwah tersebut. Ataupun memanfaatkan ketidaktahuan mereka akan dienul Islam demi meraup kebahagiaan dunia dan materi. Dan jadilah agent of change di tengah mereka. Tuanglah teladan yang baik dalam lautan interaksi sosial dengan obyek dakwah. Niscaya Anda akan dikenang sepanjang masa karena kebaikan yang telah ditorehkan.
Wallahu A'lam bish-Showab.
Catatan dakwah di pedalaman Aceh.
💎📚💎📚💎📚💎📚💎📚
📲 Yuk share ke yang lain *tanpa merubah isi artikel dan sumbernya* dan jangan lupa like halaman kami...!
🚿Dan jangan sampai ketinggalan, dengan ikuti jaringan medsos kami untuk mendapatkan artikel dan nasihat yang manfaat.
•┈┈➖•◈◉✹❒📚❒✹◉◈•➖┈┈•
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين.
🌍 Di bumi Allah *Kantor bersih.or.id*, Senin, 20 Muharam 1441 H.
🌎www.bersih.or.id
📱Apk: bit.ly/2nzgGlN
🐦twitter.com/BERSIH_TV
📹youtube : bit.ly/2nQkBIm
🖼instagram.com/bersih.tv
🏡 Lokasi : bit.ly/2mOm00e
📪telegram.me/berbaginasihat
🔵facebook.com/programbersih
♻Admin: wa.me/628170889103
📱WA Ikhwan 1: https://bit.ly/2O3xDSy
📱WA Ikhwan 2: https://bit.ly/2xOT5kn
📱WA Akhwat: https://bit.ly/2Dj1thG
Oleh: Abu Fuhairah az-Zahid
Salah satu kesuksesan seorang da'i dalam berdakwah adalah interaksi sosial. Jika da'i pandai berinteraksi dengan masyarakat sebagai obyek dakwah, besar kemungkinan dakwahnya diterima. Sebaliknya, jika seorang da'i bersikap introvet atau eksekutif maka dakwahnya berjalan di tempat. Bahkan sampai pada tahap penolakan atau pengusiran.
Hadirnya da'i di tengah-tengah masyarakat, ibarat dokter sedang mengobati pasiennya. Hal ini senada dengan ucapan ulama besar pada masanya, yaitu Sufyan ats-Tsauri Rahimahullah. Ia berkata:
العالم طبيب الدين والدرهم داء الدين. فإذا اجتر الطبيب الداء إلى نفسه فمتى يداوي غيره؟
"Seorang ahli ilmu (da'i) adalah dokter dalam agama, sedangkan dirham (mata uang) adalah penyakit dalam agama. Maka apabila seorang dokter telah terjangkiti penyakit pada dirinya, bagaimana pula ia mau mengobati selainnya?" (Raudhatul 'Uqala, hal.27).
Seorang da'i harus paham kondisi dan situasi obyek dakwah yang akan dibimbing. Sebab dengan mengetahui latar belakang obyek dakwah akan memudahkan bagi da'i untuk mencari solusi pada setiap problematika yang mereka hadapi. Tak kalah pentingnya, bagi da'i harus luwes dalam pergaulan, sopan dan santun tutur katanya, lemah lembut dalam bertindak. Dan selalu menjaga harga dirinya.
Betapa banyak kita lihat obyek dakwah yang lari dan futur dari bimbingan seorang da'i. Disebabkan sikap dan sifat personal sang da'i yang tidak konsekuen. Mencla-mencle dalam bertutur dan bersikap. Pilih kasih terhadap obyek dakwah. Yang didekati khususnya orang kaya saja atau sepadan dengan dirinya.
Dalam hubungan interaksi sosial, seorang da'i tidak boleh memanfaatkan obyek dakwah untuk kepentingan pribadi atau memperkaya diri sendiri. Namun, sebaliknya da'i tersebut yang membantu obyek dakwah keluar dari permasalahannya sehari-hari, seperti kesulitan ekonomi, pekerjaan dan lain sebagainya.
Pada hakikatnya da'i itu multi talenta, serba bisa sebab obyek dakwah yang dihadapinya notabene beraneka ragam, baik profesi, kepribadian, pendidikan, etnis, marga, ataupun keturunan. Setiap persoalan yang muncul di tengah masyarakat sang da'i segera mencari akar permasalahannya, menemukan solusi yang jitu dan tepat sasaran. Sehingga awan kekalutan di wajah obyek dakwah segera redup dan menghilang seketika.
Adakalanya jadi da'i itu menjadi sorotan mata obyek dakwah. Diperbincangkan setiap waktu dan tempat, jika da'i tersebut berkelakuan baik, cerdas dan lugas dalam berbicara. Sebaliknya, jika da'i melakukan sebuah kesalahan maka akan dikenang, sepanjang hayat dikandung badan. Disorot sampai tujuh keturunan.
Berhati-hatilah, jika Anda sudah diustadzkan oleh masyarakat sekitar. Dituakan dalam majeli ilmu, dimuliakan oleh anak didik, dihargai karena punya jasa terhadap orang lain. Dihormati karena keilmuan Anda. Maka jangan sesekali mengambil keuntungan dari obyek dakwah tersebut. Ataupun memanfaatkan ketidaktahuan mereka akan dienul Islam demi meraup kebahagiaan dunia dan materi. Dan jadilah agent of change di tengah mereka. Tuanglah teladan yang baik dalam lautan interaksi sosial dengan obyek dakwah. Niscaya Anda akan dikenang sepanjang masa karena kebaikan yang telah ditorehkan.
Wallahu A'lam bish-Showab.
Catatan dakwah di pedalaman Aceh.
💎📚💎📚💎📚💎📚💎📚
📲 Yuk share ke yang lain *tanpa merubah isi artikel dan sumbernya* dan jangan lupa like halaman kami...!
🚿Dan jangan sampai ketinggalan, dengan ikuti jaringan medsos kami untuk mendapatkan artikel dan nasihat yang manfaat.
•┈┈➖•◈◉✹❒📚❒✹◉◈•➖┈┈•
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين.
🌍 Di bumi Allah *Kantor bersih.or.id*, Senin, 20 Muharam 1441 H.
🌎www.bersih.or.id
📱Apk: bit.ly/2nzgGlN
🐦twitter.com/BERSIH_TV
📹youtube : bit.ly/2nQkBIm
🖼instagram.com/bersih.tv
🏡 Lokasi : bit.ly/2mOm00e
📪telegram.me/berbaginasihat
🔵facebook.com/programbersih
♻Admin: wa.me/628170889103
📱WA Ikhwan 1: https://bit.ly/2O3xDSy
📱WA Ikhwan 2: https://bit.ly/2xOT5kn
📱WA Akhwat: https://bit.ly/2Dj1thG
Wednesday, September 18, 2019
*Antara Nasehat dan Ghibah*
Nashihat dan GhibahTelah banyak buku-buku yang menjelaskan tentang ghibah dan keharamannya dilengkapi dengan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunah yang shahih, maka sekarang penyusun hanya akan menukilkan apa-apa yang diperbolehkan dari ghibah, yaitu dalam rangka memberi nasehat, dan penjelasan ulama mengenai perbedaan antara nasehat dan ghibah.
Imam Nawawi rahimahullah berkata.
“Ketahuilah bahwasanya ghibah diperbolehkan untuk tujuan yang benar dan syar’i, di mana tidak mungkin sampai kepada tujuan tersebut, kecuali dengan cara berghibah, yang demikian itu disebabkan beberapa perkara :
Dalam rangka memberi peringatan kepada kaum muslimin dari keburukan dan dalam rangka memberi nasehat kepada mereka, dan yang demikian itu dalam kondisi-kondisi berikut ini.
Di antaranya, dalam rangka menjarh (meyebutkan cacat) para majruhin (orang-orang yang disebutkan cacatnya) dari para rawi hadits dan saksi, dan yang demikian itu diperbolehkan berdasarkan ijma’ kaum muslimin, bahkan bisa menjadi wajib hukumnya.
Dan di antaranya pula dalam rangka musyawarah yang berhubungan dengan ikatan tali perkawinan dengan seseorang, atau dalam hal kerjasama, atau dalam hal titipan kepada seseorang, atau bergaul, atau dalam hal bertetangga dengannya, atau dalam hal lainnya, dan wajib atas orang yang diajak untuk bermusyawarah untuk terus terang menyebutkan keadaan orang tersebut dan tidak boleh ia menyembunyikannya, bahkan ia harus menyebutkan kekurangan yang ada padanya dengan niat untuk memberi nasehat.
Dan di antaranya, apabila ia melihat seorang penuntut ilmu mondar-mandir mendatangi majelis ahli bid’ah, atau seorang yang fasik, dan menimba ilmu darinya, maka dia takut kalau-kalau si penuntut ilmu tersebut terpengaruh dan berakibat negatif kepadanya, maka ia harus menasehatinya dengan menjelaskan keadaan ahli bid’ah atau orang fasik tersebut, dengan syarat semata-mata maksudnya adalah nasehat, dan ini termasuk dari apa-apa yang disalahgunakan padanya. Karena terkadang yang mendorong si pembicara tadi untuk berbicara adalah faktor hasad, dan ini adalah perangkap iblis kepada orang tersebut, dikhayalkan kepadanya bahwa yang ia sampaikan adalah nasehat, hendaklah hal ini diperhatikan dengan baik.
Dan di antaranya, apabila seorang yang memiliki kedudukan dalam pemerintahan, sedang ia tidak menjalankan tugas sebagaimana mestinya, bisa disebabkan karena memang ia tidak pantas menduduki jabatan tersebut, atau karena ia itu adalah orang yang fasik atau ia orang yang lalai, dan yang semacamnya, maka wajib untuk memberitahukan hal ini kepada atasan orang tadi agar atasan tersebut memecatnya dan menggantikannya dengan orang yang pantas, atau atasan yang mengetahui ketidakberesan bawahannya ia dapat membuat kebijaksanaan yang adil sesuai dengan kondisi bawahannya, serta ia berusaha untuk memberi motivasi kepadanya agar tetap istiqamah, selalu berjalan di atas relnya atau kalau memang tidak bisa, ia menggantikannya dengan orang lain.”[1]
Setelah beliau menyebutkan enam point dari hal-hal yang diperbolehkan untuk berbuat ghibah, lalu beliau mengemukakan dalil-dalilnya yang masyhur dari hadits-hadits yang shahih, di antaranya adalah:
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa seseorang meminta izin untuk masuk menemui Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau berkata, “Izinkanlah dia untuk masuk, ia sejahat-jahat orang di tengah kaumnya.” [Muttafaq ‘Alaih] [2]
Dan dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha, ia berkata: Saya mendatangi Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, maka aku berkata, “Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah, keduanya telah meminangku?” Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Adapun Mu’awiyah dia seorang faqir tidak memiliki harta, sedangkan Abul Jahm, tongkatnya tidak pernah lepas dari bahunya.”
Dan dalam riwayat Muslim (lainnya), “Sedangkan Abul Jahm sering memukul wanita.”
Kalimat tersebut merupakan penjelasan dari riwayat “Ia tidak melepaskan tongkat dari bahunya.” Dan dikatakan bahwa maknanya: sering mengadakan bepergian (safar).” [3]
Syaikh Salim Al-Hilali menyatakan dalam kitabnya Bahjatun Naazhirin Syarah Riyadhus Shalihin: “Hadits ini dikeluarkan oleh Muslim (1480).
Perhatian: Hadits ini tidak dikeluarkan oleh Al-Bukhari, sebagaimana telah ditulis dan diingatkan oleh para huffazh.”[4]
Syaikh Salim Al-Hilali menyebutkan juga dalam kitab yang sama:
“Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah telah mengulas ucapan Imam Nawawi tentang enam point dari hal-hal yang diperbolehkan untuk berghibah, pent) dalam suatu risalah yang beliau beri nama Raf’ur Raibah ‘ammaa yajuzu wa maa laa yajuzu minal ghibah, dan sekarang ini saya menyebutkan apa-apa yang nampak olehku sisi kebenaran dalamnya.
Asy Syaukani berkata.
“Dan saya berkata dengan memohon pertolongan Allah dan bertawakal kepadanya sebelum berbicara mengenai bentuk-bentuk yang ada ini. Ketahuilah, bahwa kami telah mengemukakan bahwa pengharaman ghibah terdapat dengan jelas dalam Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’, dan konteks yang terdapat dalam Al Qur’an dan As-Sunnah secara umum dan menyeluruh mempunyai konsekuensi pengharaman ghibah dari setiap individu dari pribadi-pribadi kaum muslimin kepada setiap individu dari mereka pula, maka tidak boleh ada pendapat yang menghalalkan ghibah dalam tempat tertentu bagi pribadi atau masyarakat, kecuali dengan membawa dalil yang mengkhususkan keumuman pengharaman ini, apabila dalil tersebut telah tegak atas yang demikian maka itulah yang diharapkan, dan apabila tidak didapati dalil maka itu berarti berdusta atas nama Allah, dan termasuk menghalalkan apa-apa yang
Allah haramkan tanpa keterangan dari Allah” [5]
Saya (Syaikh Salim) berkata pula:
“Apa yang disebutkan oleh Asy-Syaukani merupakan kriteria yang penting di mana ia memberikan rambu-rambu yang agung, di antaranya:
[a]. Bahwa kebolehan dari berbuat ghibah merupakan perkecualian disebabkan keadaan tertentu, apabila sebab tersebut telah hilang maka hukum tadi kembali kepada asalnya, yaitu pengharaman ghibah.
[b]. Bahwa kebolehan ini sebagai suatu keterpaksaan, sehingga harus dibatasi sesuai dengan batasannya, maka tidak boleh dengan seenaknya secara leluasa dalam hal perkecualian ini, tetapi bagi yang terpaksa dalam rangka memberikan nasehat, maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Rabbnya dan janganlah sekali-kali ia menjadi orang yang melampaui batas.
Dan apa yang disebutkan oleh An-Nawawi merupakan praktek dari kaidah “mengutamakan maslahat yang jelas adanya atas mafsadah yang belum tentu muncul”, dan ini merupakan kaidah yang besar dari maksud-maksud syari’at.”[6]
Syaikh Salim Al-Hilali mengatakan pula:
“Saya berkata: Apabila nasehat itu dilontarkan secara global sudah mencapai sasaran dan terang maksudnya maka cukup dengan global dan hal itu merupakan suatu kenikmatan, tetapi kalau tidak cukup dengan global maka tidak ada jalan lain bagi dia kecuali harus dengan menyebutkan orangnya, tetapi harus ada batasannya tidak boleh seenaknya dengan leluasa sehingga keluar batas dalam berbicara karena berlebih-lebihan dalam berbicara itu merupakan batu sandungan yang membuat ia terjatuh.”[7]
FAEDAH
Syaikh Husein Al-Awaisyah dalam sebuah bukunya menuliskan sebuah bab yang artinya, “Perkara-perkara yang disangka bukan ghibah, tetapi sebenarnya termasuk ghibah”, di antaranya beliau menyebutkan dalam point yang kedelapan,
“Dan barangkali Allah memberi keutamaan kepada seseorang dalam hal amar ma’ruf nahi munkar, di mana tidak sembarang orang dapat menasehati orang lain lebih-lebih kalau orang yang dinasehati tersebut sulit untuk menerima nasehat, kemudian orang tersebut menerima nasehatnya dengan jujur dan ikhlas, dan nampak dari dia keinginan yang kuat untuk bertaubat, akan tetapi si penasehat tersebut nampaknya lemah dalam menghadapi syetan, tiba-tiba ia menceritakan aib orang tersebut di hadapan manusia, “Si fulan melakukan ini dan itu, si fulan berbuat demikian, kemudian saya menasehatinya.”
Faktor apalagi kalau bukan mengikuti hawa nafsu dan cinta berbuat ghibah yang mendorong orang tersebut menyampaikan cerita tadi di hadapan manusia?!
Bukankah tujuan amar ma’ruf nahi munkar agar yang ma’ruf tersebar diantara manusia, dan yang mungkar menjadi mati tak berkutik ?! Kalau begitu mengapa disertai dengan pembicaraan dan komentar, padahal tujuan telah tercapai?! Ataukah sudah berbalik, sehingga orang yang mengajak kepada yang ma’ruf telah diperintah oleh syetan, dan orang yang melarang kemungkaran, ia sendiri terjerumus kedalam kemungkaran.”[8]
Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata:
“Dan perbedaan antara nasehat dan ghibah adalah bahwa nasehat itu bermaksud dalam rangka memberi peringatan kepada seorang muslim dari bahayanya ahli bid’ah, penyebar fitnah, penipu, atau perusak…”
Sampai beliau berkata:
“Maka apabila menceritakan kejelekan orang lain dalam rangka nasehat yang diwajibkan oleh Allah dan RasulNya kepada hamba-hambanya kaum muslimin maka hal yang demikian adalah taqarub kepada Allah, termasuk amal kebaikan , tetapi apabila menceritakan kejelekan orang lain bermaksud mencela saudaramu dan menodai kehormatan dan memakan dagingnya agar engkau menyia-nyiakan kedudukan dia di hati-hati manusia maka maksiat tersebut merupakan penyakit yang kronis dan api yang melalap kebaikan sebagaimana api yang membakar kayu bakar.”[9]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Menyebutkan kejelekan manusia dengan apa-apa yang tidak disukai oleh mereka pada asalnya ada dua macam.
Pertama : Menyebutkan perbuatannya.
Kedua : Menyebutkan orangnya yang tertentu, baik ia masih hidup ataupun telah meninggal dunia.
Yang pertama, setiap macam perbuatan yang dicela oleh Allah dan RasulNya, maka seorang muslim wajib mencelanya pula, dan hal yang demikian bukanlah termasuk perbuatan ghibah, sebagaimana setiap macam perbuatan yang dipuji oleh Allah dan RasulNya, maka wajib ia memujinya pula …” [10]
Sampai beliau berkata:
“Apabila tujuannya adalah mengajak kepada kebaikan dan menganjurkannya, serta melarang keburukan dan memperingatkan darinya, maka harus menyebutkan keburukan perbuatan tersebut. Oleh karena itu, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Apabila mendengar seseorang melakukan pelanggaran, beliau shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda.
“Mengapakah orang-orang memberikan syarat-syarat yang tidak ada pada kitab Allah ? Barangsiapa memberikan syarat yang tidak ada pada kitab Allah, maka dia itu batil, meskipun seratus syarat.”[11]
“Mengapakah orang-orang meninggalkan hal-hal yang aku perbolehkan? Demi Allah, sesungguhnya aku orang yang paling bertaqwa kepada Allah dan yang paling tahu akan batasan-batasannya di antara kalian.” [12]
“Mengapakah orang-orang ada satu di antaranya mengatakan, “Adapun saya akan selalu berpuasa tidak akan berbuka,” dan ada lainnya mengatakan, “Adapun saya akan selalu bangun malam tidak akan tidur,” dan orang lainnya berkata, “Saya tidak akan menikahi wanita,” dan yang lainnya mengatakan, “Saya tidak akan makan daging.” Tetapi saya sendiri berpuasa dan berbuka, bangun malam dan tidur, menikahi wanita, makan daging, maka barangsiapa yang benci terhadap sunnahku, maka bukanlah ia termasuk golonganku.”[13]
Sampai beliau berkata:
“(Yang kedua), sedangkan menyebutkan keburukan orang lain, sekaligus menyebutkan orangnya dapat dilakukan dalam beberapa kejadian tertentu.
Di antaranya orang yang dizalimi, maka ia berhak menyebutkan orang yang menzaliminya, baik dalam rangka menolak kezalimannya ataupun untuk mendapatkan haknya, sebagaimana Hindun berkata, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang pelit, ia tidak memberikan kecukupan nafkah kepadaku dan anakku, (kecuali saya mengambil harta darinya tanpa sepengetahuan dia, maka baru mencukupi kami),” maka beliau menjawab, “Ambillah apa-apa yang mencukupimu dan anakmu secukupnya.”[14] [Muttafaq alaih]
Sampai beliau berkata:
“Dan di antaranya dalam rangka memberi nasehat kepada kaum Muslimin dalam urusan dien dan dunia mereka sebagaimana dalam Hadits yang shahih dari Fatimah binti Qais ketika dia bermusyawarah dengan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam tentang siapa yang akan dinikahinya ia berkata, “Abu Jahm dan Muawiyah telah meminang saya.” Maka beliau memberikan nasehat, “Adapun Muawiyah dia orang yang faqir tidak memiliki harta, sedangkan Abu Jahm ia seorang yang suka memukuli wanita” dan diriwayatkan “ia tidak pernah meletakkan tongkat dari bahunya”, maka beliau menjelaskan kepadanya bahwa yang satu fakir, mungkin tidak mampu memenuhi hakmu, dan yang satu lagi menyakitimu dengan pukulan. Dan yang seperti ini adalah nasehat kepadanya – meskipun mencakup penyebutan aib si peminang -.
Dan termasuk juga di dalamnya, nasehat kepada seseorang mengenai orang yang akan diajak kerjasama, yang akan ia beri wasiat kepadanya, dan yang akan menjadi saksi bagi dia, bahkan orang yang akan menjadi penengah urusan dia, dan yang semisalnya.
Apabila hal ini berkenaan dengan maslahat khusus, maka bagaimana dengan nasehat yang berhubungan dengan hak-hak kaum muslimin pada umumnya, berupa para penguasa, para saksi, para karyawan, pegawai dan selain dari mereka ? maka tidak ragu lagi bahwa nasehat dalam hal tersebut lebih agung lagi, sebagaimana Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Dien itu nasehat, dien itu nasehat.” Mereka berkata, “Kepada siapa wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Kepada Allah, kepada Kitab- Nya, kepada Rasul-Nya, dan kepada para penguasa kaum muslimin serta kepada kaum muslimin pada umumnya.”[15]
Dan mereka berkata kepada Umar Ibnu Khaththab mengenai ahli syura, “Jadikanlah si fulan dan si fulan sebagai amir,” lalu Umar menyebutkan kekurangan mereka berenam satu persatu, padahal mereka seutama-utama umat, beliau menjadikan kekurangan yang ada pada mereka sebagai penghalang bagi dia untuk memilih mereka.
Apabila demikian, maka nasehat yang berkenaan dengan maslahat-maslahat dien, baik khusus maupun umum hukumnya wajib, seperti perawi hadits yang salah atau yang berdusta sebagaimana Yahya bin Said berkata, “Saya bertanya kepada Malik dan Ats-Tsaury dan Al-Laits bin Sa’ad, saya kira dia, dan Al-Auzai mengenai seseorang yang tertuduh dalam hadits atau tidak hafal. Mereka semuanya berkata, ‘Jelaskan keadaannya’.” Dan sebagian orang berkata kepada Imam Ahmad bin Hambal, “Sesungguhnya berat bagi saya untuk mengatakan si fulan begini dan si fulan begitu.” Maka beliau berkata, “Apabila engkau diam dan saya diam, maka kapan orang yang jahil mengetahui dan dapat membedakan yang shahih dan bercacat?!”
Begitu pula misalnya, dalam rangka menjelaskan para imam ahli bid’ah, baik tokoh mereka dalam hal aqidah ataupun tokoh mereka dalam hal ibadah yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As Sunnah, maka penjelasan keadaan mereka dan peringatan umat dari bahaya mereka hukumnya wajib berdasarkan kesepakatan kaum muslimin sampai-sampai dikatakan kepada Ahmad bin Hambal, “Mana yang lebih engkau cintai, seseorang yang puasa dan shalat serta ber’itikaf ataukah orang yang membantah ahli bid’ah?” Maka beliau menjawab, “Apabila dia shalat, puasa dan i’tikaf maka hanya untuk dirinya sendiri, dan apabila ia membantah ahli bid,ah maka hal itu untuk kepentingan kaum muslimin dan ini yang lebih utama.” Maka ia menjelaskan bahwa manfaat hal ini untuk kepentingan kaum muslimin pada umumnya dalam dien mereka. Maka membantah ahli bid’ah termasuk jihad di jalan Allah, di mana memurnikan dien Allah, jalan, manhaj, dan syari’atNya serta menolak kejahatan dan permusuhan mereka merupakan wajib kifayah berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, kalau tidak ada orang yang Allah tampilkan untuk menolak bahaya mereka tentu dien ini akan rusak, dan rusaknya itu lebih parah dari sekedar musuh yang menjajah kaum muslimin, karena apabila mereka menguasai, mereka hanya menguasai fisik pada mulanya dan belum menguasai hati dan dien meskipun nantinya mereka pun berusaha menjajahnya pula, sedangkan ahli bid’ah mereka sejak awal sudah merusak hati-hati manusia.
Dan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda.
“Sesunggguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa kalian dan harta kalian tetapi Ia melihat kepada hati-hati kalian dan amal-amal kalian”[16]
Dan Allah berfirman dalam kitabNya.
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-Rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuataan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan Rasul-RasulNya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” [Al-Hadid : 25]
Maka Allah memberitahukan bahwa Dia telah menurunkan Al-Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia melaksanakan keadilan, dan Dia telah menurunkan besi, sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas. Maka tonggak bagi dien itu adalah Al-Kitab yang memberi petunjuk dan pedang yang memberi pertolongan.
“Dan cukuplah Rabbmu menjadi Pemberi petunjuk dan Penolong.” [Al-Furqan: 31]
Dan Al-Kitab dialah sebagai pokok, oleh karena itu pertama kali Allah mengutus RasulNya, Ia menurunkan kepada beliau Al-Kitab, selama beliau tinggal di Makkah, Allah belum memerintahkan beliau mengangkat pedang sampai beliau hijrah dan mempunyai pendukung-pendukung yang siap untuk berjihad.
Dan musuh-musuh dien itu ada dua macam: Orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Dan Allah telah memerintahkan NabiNya untuk berjihad melawan dua kelompok tersebut sebagaimana dalam firmanNya.
“Berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah kepada mereka.” [At-Taubah :73]
Apabila orang-orang munafik berbuat bid’ah yang bertentangan dengan Al-Kitab,dan menipu manusia, lalu tidak dijelaskan kebid’ahan ini kepada manusia, maka rusaklah Al-Kitab, dan berubahlah dien ini, sebagaimana dien ahli kitab sebelum kita telah rusak pula disebabkan terjadinya perubahan dalam dien tersebut, sedangkan pelakunya tidak diingkari.
Dan apabila mereka itu bukan orang-orang munafik, akan tetapi mereka itu pendengar setia terhadap ucapan orang-orang munafik, tanpa mereka sadar bahwa bid’ah-bid’ah orang-orang munafik tersebut telah meracuni mereka sehingga mereka menyangka bahwa ucapan-ahli bid’ah tersebut benar, padahal sesungguhnya menyalahi Al-Kitab maka jadilah mereka itu juru da’wah yang mengajak kepada bid’ah-bid’ah orang munafik dan menjadi corong mereka. Sebagaimana Allah Subhana wa Ta’ala berfirman.
“Jika mereka berangkat bersama-sama kalian niscaya mereka tidak menambah kalian, kecuali kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas maju ke muka dicelah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan di antaramu, sedang di antara kalian ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka.”[At Taubah : 47]
Maka menjelaskan keadaan mereka harus dilakukan juga, bahkan fitnah dari apa yang mereka lakukan itu lebih besar, karena pada diri mereka ada keimanan yang mewajibkan kita untuk loyal kepada mereka, dan mereka telah terperosok kepada bid’ah-bid’ahnya orang-orang munafik yang merusak dien ini, maka harus adanya peringatan dari bid’ah-bid’ah tersebut, meskipun harus dengan meyebutkan mereka dan menunjukkan orang-orangnya, bahkan meskipun bid’ah yang mereka sebarkan bukan didapat dari orang-orang munafik, tetapi mereka mengucapkannya dengan persangkaan bahwasanya bid’ah tersebut adalah petunjuk dan kebaikan serta dari ajaran dien, padahal sesungguhnya bukan demikian, maka wajib pula menjelaskan keadaan mereka.
Oleh karena itu, wajib hukumnya menjelaskan keadaan orang yang salah dalam hadits dan riwayat, dan orang yang salah dalam pendapat dan fatwa, dan orang yang salah dalam hal zuhud dan ibadah, meskipun orang yang salah itu seorang mujtahid] yang telah diampuni kesalahannya, bahkan mendapat pahala atas ijtihadnya yang salah tersebut, maka penjelasan perkataan dan perbuatan yang sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah hukumnya adalah wajib, meskipun harus bertentangan dengan ucapan dan perbuatannya seorang mujtahid.
Apabila diketahui bahwa kesalahan mujtahid tersebut berupa ijtihad yang memenuhi kriteria dan persyaratan sebagai ijtihad, yaitu berdasarkan kaidah-kaidah syariah yang benar maka tidak boleh mencela dalam menyebutkan kesalahannya dan tidak boleh mengatakannya sebagai perbuatan dosa, karena sesungguhnya Allah telah mengampuni kesalahannya, bahkan wajib loyal dan cinta kepadanya dikarenakan padanya terdapat iman dan taqwa, dan wajib menunaikan hak-haknya, berupa pujian dan doa serta yang lainnya.
Dan apabila diketahui darinya bahwa ia itu sebagai orang-orang munafik sebagaimana diketahui di masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam seperti Abdullah bin Ubai dan konco-konconya, sebagaimana kaum muslimin mengetahui akan kemunafikan orang-orang Syiah Rafidhah, seperti Abdullah bin Saba dan yang sebangsanya, seperti Abdul Qudus Ibnul Hajjaj, dan Muhammad bin Sa`id Al-Mashlub, maka tipe seperti ini disebutkan pula kemunafikannya.
Dan apabila seseorang menyebarkan kebid`ahan dan belum diketahui apakah dia itu termasuk orang munafik atau seorang mu’min yang berbuat kesalahan disebutkan sesuai dengan apa-apa yang diketahui darinya, maka tidaklah halal bagi seseorang untuk berbicara tanpa ilmu, dan tidak halal baginya untuk berbicara dalam bab ini, kecuali dengan ikhlas semata-mata mencari ridha Allah Subhana wa Ta’ala, dan agar kalimat Allah menjulang tinggi dan agar dien itu semuanya milik Allah.
Maka barangsiapa yang berbicara dalam hal yang demikian tanpa ilmu atau terbukti bertentangan dengan fakta, maka ia berdosa.
Dan begitu pula halnya seorang hakim, saksi, dan mufti, sebagaimana Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda.
“Macam-macam hakim itu ada tiga: dua di antaranya di neraka dan satu di surga. Seorang yang mengetahui kebenaran dan memutuskan perkara berdasarkan kebenaran, maka ia di surga, dan seorang yang yang memutuskan perkara kepada manusia atas kebodohan, maka dia di neraka, dan seorang mengetahui kebenaran, maka dia memutuskan perkara dengan menyalahi kebenaran yang ia ketahui, maka dia di Neraka.” [18]
Dan Allah Subhana wa Ta’ala berfirman.
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah orang-orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu, jika ia kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kalian memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kalian kerjakan.” [An-Nisaa :135]
Dan dusta adalah menyembunyikan kebenaran dan yang semisalnya, sebagaimana terdapat dalam Shahihain Shahih Bukhari dan Shahih Muslim) dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya beliau bersabda.
“Penjual dan pembeli itu sebelum keduanya berpisah diperbolehkan untuk memilih (apakah melangsungkan jual belinya atau membatalkannya), apabila keduanya jujur dan menjelaskan (keadaan yang sebenarnya) maka keduanya mendapatkan barakah dalam jual belinya, tetapi apabila keduanya dusta dan menyembunyikan (keadaan yang sebenarnya), maka barakah jual beli keduanya terhapus.”
Kemudian orang yang berbicara dengan ilmu dalam hal tersebut harus mempunyai niat yang baik, maka apabila ia berbicara dengan benar akan tetapi bermaksud berbuat kesombongan di muka bumi atau kerusakan maka kedudukannya seperti orang yang berperang dengan jahiliyah dan berbuat riya. Adapun jika dia berbicara dengan ikhlas karena Allah Ta’ala semata, maka ia termasuk mujahidin di jalan Allah, termasuk pewaris para nabi, penerus para Rasul. Dan hal ini sama sekali tidak menyalahi sabda beliau, “Ghibah itu menyebutkan kejelekan saudaramu yang membuat ia tidak suka (apabila mendengarnya),” karena “Al-Akh” tersebut sebagai mu’min, dan “Al-Akh” yang mu’min apabila ia benar imannya tidak akan benci atas apa yang telah engkau katakan berupa kebenaran, di mana Allah dan RasulNya mencintai kebenaran tersebut, meskipun dalam pelaksanaan kebenaran tersebut merugikan dirinya atau teman-temannya, tetap harus berbuat adil, dan menjadi saksi karena Allah, meskipun terhadap diri sendiri, atau kedua orang tua, atau karib kerabatnya, apabila ia benci kepada kebenaran, maka imannya berkurang, kalau begitu akan berkurang persaudaraan dia sebanding dengan berkurangnya keimanan dia.” (Wallahul Musta’an.)
________
Foot Note
[1]. Riyadhus Shalihin, hal. 525-526
[2]. Ibid, no. 1539
[3]. Ibid, no. 1541
[4]. Bahjatun Naazhirin, Juz 3, hal.51
[5]. Ibid, Juz 3, hal. 35-36
[6]. Ibid, Juz 3, hal.35-36
[7]. Ibid, Juz 3, hal.46
[8] “Al-Ghibah wa Atsaruha As-Sayyi fil Mujtama’Al-Islami” hal.58
[9]. Ar-Ruuh, hal 357-358
[10]. Majmu’Fatawa juz 28 hal.225
[11]. Pentakhrij Majmu’atul Fatawa berkata, “H.R. Bukhari dalam Al-Mukatab (2563) dari Aisyah.”
[12]. Pentakhrij Majmu’atul Fatawa berkata, “H.R. Bukhari dalam kitab Al-I’tisham (7301) dari Aisyah dengan lafadz yang mendekati.”
[13]. Pentakhrij Majmu’atul Fatawa berkata, “H.R. Bukhari dalam kitab An-Nikah (5062) dan H.R.Muslim dalam kitab An-Nikah (1401/5).”
[14]. Majmu Fatawa, juz 28, hal 229
[15]. H.R.Muslim
[16]. Pentakhrij Majmu’atul Fatawa berkata, “H.R. Muslim dalam kitab Al-Birru was Shilah.
[17]. H.R. Abu Daud pada Al Aqdhiyah (3573) dan Ibnu Majah pada Al Ahkam (2315), kedua-duanya dari Buraidah. (Majmu’atul Fatawa, juz 14 hal. 399)
_______________________
[Disalin dari buku Fikih Nasehat, Penyusun Fariq Bin Gasim Anuz, Cetakan Pertama, Sya’ban 1420H/November 1999. Penerbit Pustaka Azzam Jakarta]
Nashihat dan GhibahTelah banyak buku-buku yang menjelaskan tentang ghibah dan keharamannya dilengkapi dengan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunah yang shahih, maka sekarang penyusun hanya akan menukilkan apa-apa yang diperbolehkan dari ghibah, yaitu dalam rangka memberi nasehat, dan penjelasan ulama mengenai perbedaan antara nasehat dan ghibah.
Imam Nawawi rahimahullah berkata.
“Ketahuilah bahwasanya ghibah diperbolehkan untuk tujuan yang benar dan syar’i, di mana tidak mungkin sampai kepada tujuan tersebut, kecuali dengan cara berghibah, yang demikian itu disebabkan beberapa perkara :
Dalam rangka memberi peringatan kepada kaum muslimin dari keburukan dan dalam rangka memberi nasehat kepada mereka, dan yang demikian itu dalam kondisi-kondisi berikut ini.
Di antaranya, dalam rangka menjarh (meyebutkan cacat) para majruhin (orang-orang yang disebutkan cacatnya) dari para rawi hadits dan saksi, dan yang demikian itu diperbolehkan berdasarkan ijma’ kaum muslimin, bahkan bisa menjadi wajib hukumnya.
Dan di antaranya pula dalam rangka musyawarah yang berhubungan dengan ikatan tali perkawinan dengan seseorang, atau dalam hal kerjasama, atau dalam hal titipan kepada seseorang, atau bergaul, atau dalam hal bertetangga dengannya, atau dalam hal lainnya, dan wajib atas orang yang diajak untuk bermusyawarah untuk terus terang menyebutkan keadaan orang tersebut dan tidak boleh ia menyembunyikannya, bahkan ia harus menyebutkan kekurangan yang ada padanya dengan niat untuk memberi nasehat.
Dan di antaranya, apabila ia melihat seorang penuntut ilmu mondar-mandir mendatangi majelis ahli bid’ah, atau seorang yang fasik, dan menimba ilmu darinya, maka dia takut kalau-kalau si penuntut ilmu tersebut terpengaruh dan berakibat negatif kepadanya, maka ia harus menasehatinya dengan menjelaskan keadaan ahli bid’ah atau orang fasik tersebut, dengan syarat semata-mata maksudnya adalah nasehat, dan ini termasuk dari apa-apa yang disalahgunakan padanya. Karena terkadang yang mendorong si pembicara tadi untuk berbicara adalah faktor hasad, dan ini adalah perangkap iblis kepada orang tersebut, dikhayalkan kepadanya bahwa yang ia sampaikan adalah nasehat, hendaklah hal ini diperhatikan dengan baik.
Dan di antaranya, apabila seorang yang memiliki kedudukan dalam pemerintahan, sedang ia tidak menjalankan tugas sebagaimana mestinya, bisa disebabkan karena memang ia tidak pantas menduduki jabatan tersebut, atau karena ia itu adalah orang yang fasik atau ia orang yang lalai, dan yang semacamnya, maka wajib untuk memberitahukan hal ini kepada atasan orang tadi agar atasan tersebut memecatnya dan menggantikannya dengan orang yang pantas, atau atasan yang mengetahui ketidakberesan bawahannya ia dapat membuat kebijaksanaan yang adil sesuai dengan kondisi bawahannya, serta ia berusaha untuk memberi motivasi kepadanya agar tetap istiqamah, selalu berjalan di atas relnya atau kalau memang tidak bisa, ia menggantikannya dengan orang lain.”[1]
Setelah beliau menyebutkan enam point dari hal-hal yang diperbolehkan untuk berbuat ghibah, lalu beliau mengemukakan dalil-dalilnya yang masyhur dari hadits-hadits yang shahih, di antaranya adalah:
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa seseorang meminta izin untuk masuk menemui Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau berkata, “Izinkanlah dia untuk masuk, ia sejahat-jahat orang di tengah kaumnya.” [Muttafaq ‘Alaih] [2]
Dan dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha, ia berkata: Saya mendatangi Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, maka aku berkata, “Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah, keduanya telah meminangku?” Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Adapun Mu’awiyah dia seorang faqir tidak memiliki harta, sedangkan Abul Jahm, tongkatnya tidak pernah lepas dari bahunya.”
Dan dalam riwayat Muslim (lainnya), “Sedangkan Abul Jahm sering memukul wanita.”
Kalimat tersebut merupakan penjelasan dari riwayat “Ia tidak melepaskan tongkat dari bahunya.” Dan dikatakan bahwa maknanya: sering mengadakan bepergian (safar).” [3]
Syaikh Salim Al-Hilali menyatakan dalam kitabnya Bahjatun Naazhirin Syarah Riyadhus Shalihin: “Hadits ini dikeluarkan oleh Muslim (1480).
Perhatian: Hadits ini tidak dikeluarkan oleh Al-Bukhari, sebagaimana telah ditulis dan diingatkan oleh para huffazh.”[4]
Syaikh Salim Al-Hilali menyebutkan juga dalam kitab yang sama:
“Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah telah mengulas ucapan Imam Nawawi tentang enam point dari hal-hal yang diperbolehkan untuk berghibah, pent) dalam suatu risalah yang beliau beri nama Raf’ur Raibah ‘ammaa yajuzu wa maa laa yajuzu minal ghibah, dan sekarang ini saya menyebutkan apa-apa yang nampak olehku sisi kebenaran dalamnya.
Asy Syaukani berkata.
“Dan saya berkata dengan memohon pertolongan Allah dan bertawakal kepadanya sebelum berbicara mengenai bentuk-bentuk yang ada ini. Ketahuilah, bahwa kami telah mengemukakan bahwa pengharaman ghibah terdapat dengan jelas dalam Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’, dan konteks yang terdapat dalam Al Qur’an dan As-Sunnah secara umum dan menyeluruh mempunyai konsekuensi pengharaman ghibah dari setiap individu dari pribadi-pribadi kaum muslimin kepada setiap individu dari mereka pula, maka tidak boleh ada pendapat yang menghalalkan ghibah dalam tempat tertentu bagi pribadi atau masyarakat, kecuali dengan membawa dalil yang mengkhususkan keumuman pengharaman ini, apabila dalil tersebut telah tegak atas yang demikian maka itulah yang diharapkan, dan apabila tidak didapati dalil maka itu berarti berdusta atas nama Allah, dan termasuk menghalalkan apa-apa yang
Allah haramkan tanpa keterangan dari Allah” [5]
Saya (Syaikh Salim) berkata pula:
“Apa yang disebutkan oleh Asy-Syaukani merupakan kriteria yang penting di mana ia memberikan rambu-rambu yang agung, di antaranya:
[a]. Bahwa kebolehan dari berbuat ghibah merupakan perkecualian disebabkan keadaan tertentu, apabila sebab tersebut telah hilang maka hukum tadi kembali kepada asalnya, yaitu pengharaman ghibah.
[b]. Bahwa kebolehan ini sebagai suatu keterpaksaan, sehingga harus dibatasi sesuai dengan batasannya, maka tidak boleh dengan seenaknya secara leluasa dalam hal perkecualian ini, tetapi bagi yang terpaksa dalam rangka memberikan nasehat, maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Rabbnya dan janganlah sekali-kali ia menjadi orang yang melampaui batas.
Dan apa yang disebutkan oleh An-Nawawi merupakan praktek dari kaidah “mengutamakan maslahat yang jelas adanya atas mafsadah yang belum tentu muncul”, dan ini merupakan kaidah yang besar dari maksud-maksud syari’at.”[6]
Syaikh Salim Al-Hilali mengatakan pula:
“Saya berkata: Apabila nasehat itu dilontarkan secara global sudah mencapai sasaran dan terang maksudnya maka cukup dengan global dan hal itu merupakan suatu kenikmatan, tetapi kalau tidak cukup dengan global maka tidak ada jalan lain bagi dia kecuali harus dengan menyebutkan orangnya, tetapi harus ada batasannya tidak boleh seenaknya dengan leluasa sehingga keluar batas dalam berbicara karena berlebih-lebihan dalam berbicara itu merupakan batu sandungan yang membuat ia terjatuh.”[7]
FAEDAH
Syaikh Husein Al-Awaisyah dalam sebuah bukunya menuliskan sebuah bab yang artinya, “Perkara-perkara yang disangka bukan ghibah, tetapi sebenarnya termasuk ghibah”, di antaranya beliau menyebutkan dalam point yang kedelapan,
“Dan barangkali Allah memberi keutamaan kepada seseorang dalam hal amar ma’ruf nahi munkar, di mana tidak sembarang orang dapat menasehati orang lain lebih-lebih kalau orang yang dinasehati tersebut sulit untuk menerima nasehat, kemudian orang tersebut menerima nasehatnya dengan jujur dan ikhlas, dan nampak dari dia keinginan yang kuat untuk bertaubat, akan tetapi si penasehat tersebut nampaknya lemah dalam menghadapi syetan, tiba-tiba ia menceritakan aib orang tersebut di hadapan manusia, “Si fulan melakukan ini dan itu, si fulan berbuat demikian, kemudian saya menasehatinya.”
Faktor apalagi kalau bukan mengikuti hawa nafsu dan cinta berbuat ghibah yang mendorong orang tersebut menyampaikan cerita tadi di hadapan manusia?!
Bukankah tujuan amar ma’ruf nahi munkar agar yang ma’ruf tersebar diantara manusia, dan yang mungkar menjadi mati tak berkutik ?! Kalau begitu mengapa disertai dengan pembicaraan dan komentar, padahal tujuan telah tercapai?! Ataukah sudah berbalik, sehingga orang yang mengajak kepada yang ma’ruf telah diperintah oleh syetan, dan orang yang melarang kemungkaran, ia sendiri terjerumus kedalam kemungkaran.”[8]
Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata:
“Dan perbedaan antara nasehat dan ghibah adalah bahwa nasehat itu bermaksud dalam rangka memberi peringatan kepada seorang muslim dari bahayanya ahli bid’ah, penyebar fitnah, penipu, atau perusak…”
Sampai beliau berkata:
“Maka apabila menceritakan kejelekan orang lain dalam rangka nasehat yang diwajibkan oleh Allah dan RasulNya kepada hamba-hambanya kaum muslimin maka hal yang demikian adalah taqarub kepada Allah, termasuk amal kebaikan , tetapi apabila menceritakan kejelekan orang lain bermaksud mencela saudaramu dan menodai kehormatan dan memakan dagingnya agar engkau menyia-nyiakan kedudukan dia di hati-hati manusia maka maksiat tersebut merupakan penyakit yang kronis dan api yang melalap kebaikan sebagaimana api yang membakar kayu bakar.”[9]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Menyebutkan kejelekan manusia dengan apa-apa yang tidak disukai oleh mereka pada asalnya ada dua macam.
Pertama : Menyebutkan perbuatannya.
Kedua : Menyebutkan orangnya yang tertentu, baik ia masih hidup ataupun telah meninggal dunia.
Yang pertama, setiap macam perbuatan yang dicela oleh Allah dan RasulNya, maka seorang muslim wajib mencelanya pula, dan hal yang demikian bukanlah termasuk perbuatan ghibah, sebagaimana setiap macam perbuatan yang dipuji oleh Allah dan RasulNya, maka wajib ia memujinya pula …” [10]
Sampai beliau berkata:
“Apabila tujuannya adalah mengajak kepada kebaikan dan menganjurkannya, serta melarang keburukan dan memperingatkan darinya, maka harus menyebutkan keburukan perbuatan tersebut. Oleh karena itu, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Apabila mendengar seseorang melakukan pelanggaran, beliau shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda.
“Mengapakah orang-orang memberikan syarat-syarat yang tidak ada pada kitab Allah ? Barangsiapa memberikan syarat yang tidak ada pada kitab Allah, maka dia itu batil, meskipun seratus syarat.”[11]
“Mengapakah orang-orang meninggalkan hal-hal yang aku perbolehkan? Demi Allah, sesungguhnya aku orang yang paling bertaqwa kepada Allah dan yang paling tahu akan batasan-batasannya di antara kalian.” [12]
“Mengapakah orang-orang ada satu di antaranya mengatakan, “Adapun saya akan selalu berpuasa tidak akan berbuka,” dan ada lainnya mengatakan, “Adapun saya akan selalu bangun malam tidak akan tidur,” dan orang lainnya berkata, “Saya tidak akan menikahi wanita,” dan yang lainnya mengatakan, “Saya tidak akan makan daging.” Tetapi saya sendiri berpuasa dan berbuka, bangun malam dan tidur, menikahi wanita, makan daging, maka barangsiapa yang benci terhadap sunnahku, maka bukanlah ia termasuk golonganku.”[13]
Sampai beliau berkata:
“(Yang kedua), sedangkan menyebutkan keburukan orang lain, sekaligus menyebutkan orangnya dapat dilakukan dalam beberapa kejadian tertentu.
Di antaranya orang yang dizalimi, maka ia berhak menyebutkan orang yang menzaliminya, baik dalam rangka menolak kezalimannya ataupun untuk mendapatkan haknya, sebagaimana Hindun berkata, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang pelit, ia tidak memberikan kecukupan nafkah kepadaku dan anakku, (kecuali saya mengambil harta darinya tanpa sepengetahuan dia, maka baru mencukupi kami),” maka beliau menjawab, “Ambillah apa-apa yang mencukupimu dan anakmu secukupnya.”[14] [Muttafaq alaih]
Sampai beliau berkata:
“Dan di antaranya dalam rangka memberi nasehat kepada kaum Muslimin dalam urusan dien dan dunia mereka sebagaimana dalam Hadits yang shahih dari Fatimah binti Qais ketika dia bermusyawarah dengan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam tentang siapa yang akan dinikahinya ia berkata, “Abu Jahm dan Muawiyah telah meminang saya.” Maka beliau memberikan nasehat, “Adapun Muawiyah dia orang yang faqir tidak memiliki harta, sedangkan Abu Jahm ia seorang yang suka memukuli wanita” dan diriwayatkan “ia tidak pernah meletakkan tongkat dari bahunya”, maka beliau menjelaskan kepadanya bahwa yang satu fakir, mungkin tidak mampu memenuhi hakmu, dan yang satu lagi menyakitimu dengan pukulan. Dan yang seperti ini adalah nasehat kepadanya – meskipun mencakup penyebutan aib si peminang -.
Dan termasuk juga di dalamnya, nasehat kepada seseorang mengenai orang yang akan diajak kerjasama, yang akan ia beri wasiat kepadanya, dan yang akan menjadi saksi bagi dia, bahkan orang yang akan menjadi penengah urusan dia, dan yang semisalnya.
Apabila hal ini berkenaan dengan maslahat khusus, maka bagaimana dengan nasehat yang berhubungan dengan hak-hak kaum muslimin pada umumnya, berupa para penguasa, para saksi, para karyawan, pegawai dan selain dari mereka ? maka tidak ragu lagi bahwa nasehat dalam hal tersebut lebih agung lagi, sebagaimana Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Dien itu nasehat, dien itu nasehat.” Mereka berkata, “Kepada siapa wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Kepada Allah, kepada Kitab- Nya, kepada Rasul-Nya, dan kepada para penguasa kaum muslimin serta kepada kaum muslimin pada umumnya.”[15]
Dan mereka berkata kepada Umar Ibnu Khaththab mengenai ahli syura, “Jadikanlah si fulan dan si fulan sebagai amir,” lalu Umar menyebutkan kekurangan mereka berenam satu persatu, padahal mereka seutama-utama umat, beliau menjadikan kekurangan yang ada pada mereka sebagai penghalang bagi dia untuk memilih mereka.
Apabila demikian, maka nasehat yang berkenaan dengan maslahat-maslahat dien, baik khusus maupun umum hukumnya wajib, seperti perawi hadits yang salah atau yang berdusta sebagaimana Yahya bin Said berkata, “Saya bertanya kepada Malik dan Ats-Tsaury dan Al-Laits bin Sa’ad, saya kira dia, dan Al-Auzai mengenai seseorang yang tertuduh dalam hadits atau tidak hafal. Mereka semuanya berkata, ‘Jelaskan keadaannya’.” Dan sebagian orang berkata kepada Imam Ahmad bin Hambal, “Sesungguhnya berat bagi saya untuk mengatakan si fulan begini dan si fulan begitu.” Maka beliau berkata, “Apabila engkau diam dan saya diam, maka kapan orang yang jahil mengetahui dan dapat membedakan yang shahih dan bercacat?!”
Begitu pula misalnya, dalam rangka menjelaskan para imam ahli bid’ah, baik tokoh mereka dalam hal aqidah ataupun tokoh mereka dalam hal ibadah yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As Sunnah, maka penjelasan keadaan mereka dan peringatan umat dari bahaya mereka hukumnya wajib berdasarkan kesepakatan kaum muslimin sampai-sampai dikatakan kepada Ahmad bin Hambal, “Mana yang lebih engkau cintai, seseorang yang puasa dan shalat serta ber’itikaf ataukah orang yang membantah ahli bid’ah?” Maka beliau menjawab, “Apabila dia shalat, puasa dan i’tikaf maka hanya untuk dirinya sendiri, dan apabila ia membantah ahli bid,ah maka hal itu untuk kepentingan kaum muslimin dan ini yang lebih utama.” Maka ia menjelaskan bahwa manfaat hal ini untuk kepentingan kaum muslimin pada umumnya dalam dien mereka. Maka membantah ahli bid’ah termasuk jihad di jalan Allah, di mana memurnikan dien Allah, jalan, manhaj, dan syari’atNya serta menolak kejahatan dan permusuhan mereka merupakan wajib kifayah berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, kalau tidak ada orang yang Allah tampilkan untuk menolak bahaya mereka tentu dien ini akan rusak, dan rusaknya itu lebih parah dari sekedar musuh yang menjajah kaum muslimin, karena apabila mereka menguasai, mereka hanya menguasai fisik pada mulanya dan belum menguasai hati dan dien meskipun nantinya mereka pun berusaha menjajahnya pula, sedangkan ahli bid’ah mereka sejak awal sudah merusak hati-hati manusia.
Dan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda.
“Sesunggguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa kalian dan harta kalian tetapi Ia melihat kepada hati-hati kalian dan amal-amal kalian”[16]
Dan Allah berfirman dalam kitabNya.
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-Rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuataan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan Rasul-RasulNya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” [Al-Hadid : 25]
Maka Allah memberitahukan bahwa Dia telah menurunkan Al-Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia melaksanakan keadilan, dan Dia telah menurunkan besi, sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas. Maka tonggak bagi dien itu adalah Al-Kitab yang memberi petunjuk dan pedang yang memberi pertolongan.
“Dan cukuplah Rabbmu menjadi Pemberi petunjuk dan Penolong.” [Al-Furqan: 31]
Dan Al-Kitab dialah sebagai pokok, oleh karena itu pertama kali Allah mengutus RasulNya, Ia menurunkan kepada beliau Al-Kitab, selama beliau tinggal di Makkah, Allah belum memerintahkan beliau mengangkat pedang sampai beliau hijrah dan mempunyai pendukung-pendukung yang siap untuk berjihad.
Dan musuh-musuh dien itu ada dua macam: Orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Dan Allah telah memerintahkan NabiNya untuk berjihad melawan dua kelompok tersebut sebagaimana dalam firmanNya.
“Berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah kepada mereka.” [At-Taubah :73]
Apabila orang-orang munafik berbuat bid’ah yang bertentangan dengan Al-Kitab,dan menipu manusia, lalu tidak dijelaskan kebid’ahan ini kepada manusia, maka rusaklah Al-Kitab, dan berubahlah dien ini, sebagaimana dien ahli kitab sebelum kita telah rusak pula disebabkan terjadinya perubahan dalam dien tersebut, sedangkan pelakunya tidak diingkari.
Dan apabila mereka itu bukan orang-orang munafik, akan tetapi mereka itu pendengar setia terhadap ucapan orang-orang munafik, tanpa mereka sadar bahwa bid’ah-bid’ah orang-orang munafik tersebut telah meracuni mereka sehingga mereka menyangka bahwa ucapan-ahli bid’ah tersebut benar, padahal sesungguhnya menyalahi Al-Kitab maka jadilah mereka itu juru da’wah yang mengajak kepada bid’ah-bid’ah orang munafik dan menjadi corong mereka. Sebagaimana Allah Subhana wa Ta’ala berfirman.
“Jika mereka berangkat bersama-sama kalian niscaya mereka tidak menambah kalian, kecuali kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas maju ke muka dicelah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan di antaramu, sedang di antara kalian ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka.”[At Taubah : 47]
Maka menjelaskan keadaan mereka harus dilakukan juga, bahkan fitnah dari apa yang mereka lakukan itu lebih besar, karena pada diri mereka ada keimanan yang mewajibkan kita untuk loyal kepada mereka, dan mereka telah terperosok kepada bid’ah-bid’ahnya orang-orang munafik yang merusak dien ini, maka harus adanya peringatan dari bid’ah-bid’ah tersebut, meskipun harus dengan meyebutkan mereka dan menunjukkan orang-orangnya, bahkan meskipun bid’ah yang mereka sebarkan bukan didapat dari orang-orang munafik, tetapi mereka mengucapkannya dengan persangkaan bahwasanya bid’ah tersebut adalah petunjuk dan kebaikan serta dari ajaran dien, padahal sesungguhnya bukan demikian, maka wajib pula menjelaskan keadaan mereka.
Oleh karena itu, wajib hukumnya menjelaskan keadaan orang yang salah dalam hadits dan riwayat, dan orang yang salah dalam pendapat dan fatwa, dan orang yang salah dalam hal zuhud dan ibadah, meskipun orang yang salah itu seorang mujtahid] yang telah diampuni kesalahannya, bahkan mendapat pahala atas ijtihadnya yang salah tersebut, maka penjelasan perkataan dan perbuatan yang sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah hukumnya adalah wajib, meskipun harus bertentangan dengan ucapan dan perbuatannya seorang mujtahid.
Apabila diketahui bahwa kesalahan mujtahid tersebut berupa ijtihad yang memenuhi kriteria dan persyaratan sebagai ijtihad, yaitu berdasarkan kaidah-kaidah syariah yang benar maka tidak boleh mencela dalam menyebutkan kesalahannya dan tidak boleh mengatakannya sebagai perbuatan dosa, karena sesungguhnya Allah telah mengampuni kesalahannya, bahkan wajib loyal dan cinta kepadanya dikarenakan padanya terdapat iman dan taqwa, dan wajib menunaikan hak-haknya, berupa pujian dan doa serta yang lainnya.
Dan apabila diketahui darinya bahwa ia itu sebagai orang-orang munafik sebagaimana diketahui di masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam seperti Abdullah bin Ubai dan konco-konconya, sebagaimana kaum muslimin mengetahui akan kemunafikan orang-orang Syiah Rafidhah, seperti Abdullah bin Saba dan yang sebangsanya, seperti Abdul Qudus Ibnul Hajjaj, dan Muhammad bin Sa`id Al-Mashlub, maka tipe seperti ini disebutkan pula kemunafikannya.
Dan apabila seseorang menyebarkan kebid`ahan dan belum diketahui apakah dia itu termasuk orang munafik atau seorang mu’min yang berbuat kesalahan disebutkan sesuai dengan apa-apa yang diketahui darinya, maka tidaklah halal bagi seseorang untuk berbicara tanpa ilmu, dan tidak halal baginya untuk berbicara dalam bab ini, kecuali dengan ikhlas semata-mata mencari ridha Allah Subhana wa Ta’ala, dan agar kalimat Allah menjulang tinggi dan agar dien itu semuanya milik Allah.
Maka barangsiapa yang berbicara dalam hal yang demikian tanpa ilmu atau terbukti bertentangan dengan fakta, maka ia berdosa.
Dan begitu pula halnya seorang hakim, saksi, dan mufti, sebagaimana Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda.
“Macam-macam hakim itu ada tiga: dua di antaranya di neraka dan satu di surga. Seorang yang mengetahui kebenaran dan memutuskan perkara berdasarkan kebenaran, maka ia di surga, dan seorang yang yang memutuskan perkara kepada manusia atas kebodohan, maka dia di neraka, dan seorang mengetahui kebenaran, maka dia memutuskan perkara dengan menyalahi kebenaran yang ia ketahui, maka dia di Neraka.” [18]
Dan Allah Subhana wa Ta’ala berfirman.
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah orang-orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu, jika ia kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kalian memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kalian kerjakan.” [An-Nisaa :135]
Dan dusta adalah menyembunyikan kebenaran dan yang semisalnya, sebagaimana terdapat dalam Shahihain Shahih Bukhari dan Shahih Muslim) dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya beliau bersabda.
“Penjual dan pembeli itu sebelum keduanya berpisah diperbolehkan untuk memilih (apakah melangsungkan jual belinya atau membatalkannya), apabila keduanya jujur dan menjelaskan (keadaan yang sebenarnya) maka keduanya mendapatkan barakah dalam jual belinya, tetapi apabila keduanya dusta dan menyembunyikan (keadaan yang sebenarnya), maka barakah jual beli keduanya terhapus.”
Kemudian orang yang berbicara dengan ilmu dalam hal tersebut harus mempunyai niat yang baik, maka apabila ia berbicara dengan benar akan tetapi bermaksud berbuat kesombongan di muka bumi atau kerusakan maka kedudukannya seperti orang yang berperang dengan jahiliyah dan berbuat riya. Adapun jika dia berbicara dengan ikhlas karena Allah Ta’ala semata, maka ia termasuk mujahidin di jalan Allah, termasuk pewaris para nabi, penerus para Rasul. Dan hal ini sama sekali tidak menyalahi sabda beliau, “Ghibah itu menyebutkan kejelekan saudaramu yang membuat ia tidak suka (apabila mendengarnya),” karena “Al-Akh” tersebut sebagai mu’min, dan “Al-Akh” yang mu’min apabila ia benar imannya tidak akan benci atas apa yang telah engkau katakan berupa kebenaran, di mana Allah dan RasulNya mencintai kebenaran tersebut, meskipun dalam pelaksanaan kebenaran tersebut merugikan dirinya atau teman-temannya, tetap harus berbuat adil, dan menjadi saksi karena Allah, meskipun terhadap diri sendiri, atau kedua orang tua, atau karib kerabatnya, apabila ia benci kepada kebenaran, maka imannya berkurang, kalau begitu akan berkurang persaudaraan dia sebanding dengan berkurangnya keimanan dia.” (Wallahul Musta’an.)
________
Foot Note
[1]. Riyadhus Shalihin, hal. 525-526
[2]. Ibid, no. 1539
[3]. Ibid, no. 1541
[4]. Bahjatun Naazhirin, Juz 3, hal.51
[5]. Ibid, Juz 3, hal. 35-36
[6]. Ibid, Juz 3, hal.35-36
[7]. Ibid, Juz 3, hal.46
[8] “Al-Ghibah wa Atsaruha As-Sayyi fil Mujtama’Al-Islami” hal.58
[9]. Ar-Ruuh, hal 357-358
[10]. Majmu’Fatawa juz 28 hal.225
[11]. Pentakhrij Majmu’atul Fatawa berkata, “H.R. Bukhari dalam Al-Mukatab (2563) dari Aisyah.”
[12]. Pentakhrij Majmu’atul Fatawa berkata, “H.R. Bukhari dalam kitab Al-I’tisham (7301) dari Aisyah dengan lafadz yang mendekati.”
[13]. Pentakhrij Majmu’atul Fatawa berkata, “H.R. Bukhari dalam kitab An-Nikah (5062) dan H.R.Muslim dalam kitab An-Nikah (1401/5).”
[14]. Majmu Fatawa, juz 28, hal 229
[15]. H.R.Muslim
[16]. Pentakhrij Majmu’atul Fatawa berkata, “H.R. Muslim dalam kitab Al-Birru was Shilah.
[17]. H.R. Abu Daud pada Al Aqdhiyah (3573) dan Ibnu Majah pada Al Ahkam (2315), kedua-duanya dari Buraidah. (Majmu’atul Fatawa, juz 14 hal. 399)
_______________________
[Disalin dari buku Fikih Nasehat, Penyusun Fariq Bin Gasim Anuz, Cetakan Pertama, Sya’ban 1420H/November 1999. Penerbit Pustaka Azzam Jakarta]
Tuesday, September 17, 2019
*Bagaimana Cara Mentadabburi Al Quran*
Al Ustad Nursamsul Qamar LC hafidzahullah
Mentadaburi alquran..ini memiliki alat...
Mungkin ada yg mengatakan.. Ustadz: Saya sudah meninggalkan medsos, meningalkan semua dg beralih menyibukan diri kpd Allah..tapi saya membaca alquran saya tidak menangis?
Antum bisa bahas Arab tidak?? ..tidak..Ini tidak nyambung..
*Karena mentadaburi alquran ini memiliki alat.. Apakah alatnya??... Disini kita harus belajar..*
1. Kita harus mengetahui apa makna tadabur sehinga kita tidak salah jalan
Apa definisi tadabur:
Kata Syaikh Utsaimin..
Tadabur adalah seseorang mengamati dg cermat dalam setiap lafadz2 alquran,
Tujuannya: agar seseorang bisa sampai kepada kandungan2 makna yg terdapat dalam lafadz tersebut..
Berati ini seseorang tidak mungkin bisa mentadaburi kecuali dg memahami bahsa Arab..
2. Belajarlah bahasa Arab
Allah telah mudahkan dengan adanya terjemahan..
Kalo kita sudah memahami bahwa kita tidak bisa bahasa Arab, maka jangan tinggalkan terjemahan..
*Kehinaan di atas kehinaan yaitu ketika sesorang sudah merasa tidak bisa memahami Al-Quran dengan sekedar mendengarkan lafadznya atau sekedar membaca lafadznya kemudian di hatinya juga tidak tersentuh utk membuka terjemahan Al-Quran*
Tapi subhanallahiladziim cita2 kita tinggi sama dengan para sahabat.. Apa itu?
Ingin mendapatkan rahmat Allah dari apa yg kita mau yaitu masuk masuk Surga..
Tapi dengan demikian kita masih tertawa, masih senang2, dikit2 ingin liburan, dikit2 terlalu cape kita taklim...
Pekan ini absen dulu nanti saja pekan berikutnya...
Taklim adalah sesuatu yg tdk wajib.. Tapi hadir dengan taklim spt mengingatkan kita kembali ttg perjalanan hidup kita..
Sekarang diantara kita siapa yg sepekan ini sudah membaca terjemahan Al-Quran Qur'an?
Alhamdulillah kalo diantara kita sudah bisa membaca Al-Quran dia langsung paham maknanya.... Apalagi kalo sudah membaca tafsir Al Sa'id paling minimal, atau membaca tafsir Ibnu katsir, tafsir Atthobari, apalagi kalo dia bisa mampu memahami tafsir abyadul bayan Sinqiiti.... Masya Allah..
Namun jika tidak mampu seperti ini ada maka ada terjemahan...
Kita sudah tahu bahwasannya... Allah berfirman di dalam Surat Al Baqarah ayat 1-3.
Bahwa Al-Quran tidak ada ketaguan didalamnya dan Al-Quran sebagai petunjuk bagi orang2 yg bertaqwa...
Seperti apa petunjuknya? Ketika orang memahami apa itu alquran dan mengamalkan apa yg ada didalamnya...
Lalu bagaimana seseorang bisa memahaminya jika tidak membacanya, tidak membaca maknanya, tidak mentadaburinya kandungan didalamnya..
Tapi ini tetap saja.. ini amalan kita itu amalan salaf..
Itu umat yg telah berlalu..
Mereka mengharapkan rahmat Allah
Kita juga mengharapkan rahmat Allah
Mereka mengharapkan surga
kita juga mengharapkan surga..
Mereka melakukan amalan sampe cape..
Kita sibuk dg WA, medsos..
Masuk akal??
Tapi kita masih berharap dengan 1 hadist dari Anas bin Malik...
Suatu ketika datang seorang Arab Badui mendatangi Nabi....
Ya Rasulullah seorang mencintai suatu kaum tapi dia tidak termasuk kaum tersebut... Apa kata Rasulullah...Seseorang akan dibangkitkan di hari kiamat kelak bersama dg seseorang dia cintai...
Seneng tidak??.... Wallahi.. Sebelum kita ada yg bagus amalan nya dari kita dan dia juga senang mendengar hadist ini.. Beliau adalah
Anas bin Malik... Kata anas bin Malik.. Kami tidak pernah merasakan kegembiraan seperti ini tatkala kami mendengar hadis ini...
Demi Allah kami mencintai Rasulullah, kami mencintai Abu Bakar , kami mencintai Umar, Utsman , Ali dan semua sahabat Rasulullah....dan kami mengharapkan agar Allah membangkitkan kami bersama mereka walaupun kami tidak beramal dg amalan yg mereka lakukan..
Masya Allah.. Subhanallah...
Al Ustad Nursamsul Qamar LC hafidzahullah
Mentadaburi alquran..ini memiliki alat...
Mungkin ada yg mengatakan.. Ustadz: Saya sudah meninggalkan medsos, meningalkan semua dg beralih menyibukan diri kpd Allah..tapi saya membaca alquran saya tidak menangis?
Antum bisa bahas Arab tidak?? ..tidak..Ini tidak nyambung..
*Karena mentadaburi alquran ini memiliki alat.. Apakah alatnya??... Disini kita harus belajar..*
1. Kita harus mengetahui apa makna tadabur sehinga kita tidak salah jalan
Apa definisi tadabur:
Kata Syaikh Utsaimin..
Tadabur adalah seseorang mengamati dg cermat dalam setiap lafadz2 alquran,
Tujuannya: agar seseorang bisa sampai kepada kandungan2 makna yg terdapat dalam lafadz tersebut..
Berati ini seseorang tidak mungkin bisa mentadaburi kecuali dg memahami bahsa Arab..
2. Belajarlah bahasa Arab
Allah telah mudahkan dengan adanya terjemahan..
Kalo kita sudah memahami bahwa kita tidak bisa bahasa Arab, maka jangan tinggalkan terjemahan..
*Kehinaan di atas kehinaan yaitu ketika sesorang sudah merasa tidak bisa memahami Al-Quran dengan sekedar mendengarkan lafadznya atau sekedar membaca lafadznya kemudian di hatinya juga tidak tersentuh utk membuka terjemahan Al-Quran*
Tapi subhanallahiladziim cita2 kita tinggi sama dengan para sahabat.. Apa itu?
Ingin mendapatkan rahmat Allah dari apa yg kita mau yaitu masuk masuk Surga..
Tapi dengan demikian kita masih tertawa, masih senang2, dikit2 ingin liburan, dikit2 terlalu cape kita taklim...
Pekan ini absen dulu nanti saja pekan berikutnya...
Taklim adalah sesuatu yg tdk wajib.. Tapi hadir dengan taklim spt mengingatkan kita kembali ttg perjalanan hidup kita..
Sekarang diantara kita siapa yg sepekan ini sudah membaca terjemahan Al-Quran Qur'an?
Alhamdulillah kalo diantara kita sudah bisa membaca Al-Quran dia langsung paham maknanya.... Apalagi kalo sudah membaca tafsir Al Sa'id paling minimal, atau membaca tafsir Ibnu katsir, tafsir Atthobari, apalagi kalo dia bisa mampu memahami tafsir abyadul bayan Sinqiiti.... Masya Allah..
Namun jika tidak mampu seperti ini ada maka ada terjemahan...
Kita sudah tahu bahwasannya... Allah berfirman di dalam Surat Al Baqarah ayat 1-3.
Bahwa Al-Quran tidak ada ketaguan didalamnya dan Al-Quran sebagai petunjuk bagi orang2 yg bertaqwa...
Seperti apa petunjuknya? Ketika orang memahami apa itu alquran dan mengamalkan apa yg ada didalamnya...
Lalu bagaimana seseorang bisa memahaminya jika tidak membacanya, tidak membaca maknanya, tidak mentadaburinya kandungan didalamnya..
Tapi ini tetap saja.. ini amalan kita itu amalan salaf..
Itu umat yg telah berlalu..
Mereka mengharapkan rahmat Allah
Kita juga mengharapkan rahmat Allah
Mereka mengharapkan surga
kita juga mengharapkan surga..
Mereka melakukan amalan sampe cape..
Kita sibuk dg WA, medsos..
Masuk akal??
Tapi kita masih berharap dengan 1 hadist dari Anas bin Malik...
Suatu ketika datang seorang Arab Badui mendatangi Nabi....
Ya Rasulullah seorang mencintai suatu kaum tapi dia tidak termasuk kaum tersebut... Apa kata Rasulullah...Seseorang akan dibangkitkan di hari kiamat kelak bersama dg seseorang dia cintai...
Seneng tidak??.... Wallahi.. Sebelum kita ada yg bagus amalan nya dari kita dan dia juga senang mendengar hadist ini.. Beliau adalah
Anas bin Malik... Kata anas bin Malik.. Kami tidak pernah merasakan kegembiraan seperti ini tatkala kami mendengar hadis ini...
Demi Allah kami mencintai Rasulullah, kami mencintai Abu Bakar , kami mencintai Umar, Utsman , Ali dan semua sahabat Rasulullah....dan kami mengharapkan agar Allah membangkitkan kami bersama mereka walaupun kami tidak beramal dg amalan yg mereka lakukan..
Masya Allah.. Subhanallah...
Subscribe to:
Comments (Atom)