Mengasah kecerdasan anak Dengan kitabullah
Materi seputar anak
By Rumah ilmu Al Furqon
Mengasah kecerdasan otak anak dengan mengajarkan Al-Qur'an (tauhid , fiqih, ibadah kisah , adab dan akhlak) tentunya dengan keteladan dari orang tua terlebih dahulu
Anak2 sejak usia dalam kandungan ketika Allah berikan ruh sudah mampu diajarkan utk berfikir dari pendidikan ibu...
Jadilah ibu Sholihah yg profesional utk mendidik anak2 generasi Rabbani
Dalam Al-Qur'an Allah sebutkan:
1. Berfikir
Ajarkan anak2 berpikir dan mempelajari berbagai hal sambil terus didoakan agar memperoleh ilmu yg bermanfaat karena banyak seklai ilmubyg tidak bermanfaat
Allah berfirman:
يَسْــئَلُوْنَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَا لْمَيْسِرِ ۗ قُلْ فِيْهِمَاۤ اِثْمٌ کَبِيْرٌ وَّمَنَا فِعُ لِلنَّاسِ ۖ وَاِ ثْمُهُمَاۤ اَکْبَرُ مِنْ نَّفْعِهِمَا ۗ وَيَسْــئَلُوْنَكَ مَاذَا يُنْفِقُوْنَ ۗ قُلِ الْعَفْوَ ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَـكُمُ الْاٰيٰتِ لَعَلَّکُمْ تَتَفَكَّرُوْنَ ۙ
"Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah, Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya. Dan mereka menanyakan kepadamu (tentang) apa yang (harus) mereka infakkan. Katakanlah, Kelebihan (dari apa yang diperlukan). Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu memikirkan,"
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 219)
2. Mau mengambil pelajaran
Allah berfirman:
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ ۗ وَلَاَ مَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ وَّلَوْ اَعْجَبَتْكُمْ ۚ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتّٰى يُؤْمِنُوْا ۗ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكٍ وَّلَوْ اَعْجَبَكُمْ ۗ اُولٰٓئِكَ يَدْعُوْنَ اِلَى النَّارِ ۖ وَا للّٰهُ يَدْعُوْۤا اِلَى الْجَـنَّةِ وَا لْمَغْفِرَةِ بِاِذْنِهٖ ۚ وَيُبَيِّنُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ
"Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat ayat-Nya kdepada manusia agar mereka mengambil pelajaran."
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 221)
3. Mengingat Allah
Allah Ta’ala berfirman,
إنَّ في خَلْقِ السَّماوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأُولِي الأَلْبَابِ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَى جُنُوبِهِمْ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring.” (QS. Ali Imran: 190-191)
Penjelasan Ayat
Sebagaimana dijelaskan dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim (2:386) karya Ibnu Katsir, yang dimaksud dengan ulil albab dalam ayat ini adalah yang memiliki akal yang sempurna yang cerdas yang mengetahui segala sesuatu dengan hakikatnya secara detail. Mereka bukanlah yang tidak bisa mendengar dan tidak bisa berbicara yang tidak bisa berpikir.
Sifat ulil albab disebutkan selanjutnya,
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَى جُنُوبِهِمْ
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring.”
Adapun yang dimaksud dengan dzikir dalam ayat ini ada beberapa pendapat:
Dzikir secara umum.Dzikir di sini adalah shalat.Dzikir yang dimaksud adalah rasa takut.
Pendapat terakhir, menurut Syaikh Musthafa Al-‘Adawi tidak ada indikasi yang menunjukkan makna tersebut. Pendapat kedua adalah makna khusus, sedangkan pendapat pertama adalah makna lebih umum dan inilah makna yang lebih tepat dari Al-Qur’an. Sedangkan maksud dzikir adalah shalat sudah masuk dalam makna yang pertama. Lihat At-Tashiil li Ta’wil At-Tanziil – Tafsir Ali ‘Imran, hlm. 512-513.
Dalil yang menunjukkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terus berdzikir dalam keadaan apa pun adalah hadits berikut ini.
Dari ‘Imran bin Hushain yang punya penyakit bawasir (ambeien), ia menanyakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai shalatnya, beliau pun bersabda,
صَلِّ قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
“Shalatlah sambil berdiri. Jika tidak mampu, maka sambil duduk. Jika tidak mampu, maka sambil berbaring (ke samping).” (HR. Bukhari, no. 1117). Ibnu Katsir rahimahullah dalam kitab tafsirnya (2:386) menyatakan bahwa yang dimaksud adalah beliau tidak memutus dzikir beliau dalam keadaan apa pun baik dengan hati dan lisan.
4. Menangis
Ayat yang Membuat Nabi Menangis
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menangis dan mengatakan pada Ibnu Mas’ud ‘cukup, cukup’ saat membaca ayat berikut ini.
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
قَالَ لِى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « اقْرَأْ عَلَىَّ » .قُلْتُ آقْرَأُ عَلَيْكَ وَعَلَيْكَ أُنْزِلَ قَالَ « فَإِنِّى أُحِبُّ أَنْ أَسْمَعَهُ مِنْ غَيْرِى » . فَقَرَأْتُ عَلَيْهِ سُورَةَ النِّسَاءِ حَتَّى بَلَغْتُ
( فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلاَءِ شَهِيدًا )
قَالَ « أَمْسِكْ » . فَإِذَا عَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku,
“Bacalah Al Qur’an untukku.”
Maka aku menjawab, “Wahai Rasulullah, bagaimana aku membacakan Al Qur’an untukmu, bukankah Al Qur’an diturunkan kepadamu?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku suka mendengarnya dari selainku.”
Lalu aku membacakan untuknya surat An Nisaa’ hingga sampai pada ayat (yang artinya), “Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu)” (QS. An Nisa’: 41).
Beliau berkata, “Cukup.”
Maka aku menoleh kepada beliau, ternyata kedua mata beliau dalam keadaan bercucur air mata.” (HR. Bukhari no. 4582 dan Muslim no. 800).
Beberapa faedah dari hadits di atas:
1- Disunnahkan mendengarkan Al Qur’an dari yang lain dan bolehnya meminta yang lain untuk membacakannya.
2- Orang yang mendengarkan bacaan Al Qur’an terkadang lebih merenungkan daripada yang membaca. Artinya, orang yang mendengarkan terkadang lebih mendapatkan manfaat daripada yang membaca. Oleh karenanya ada yang menyatakan,
القَارِيْءُ حَالِبٌ وَالمسْتَمِعُ شَارِبٌ
“Orang yang membaca Al Qur’an adalah pemerah, sedangkan yang mendengarkan adalah yang meminumnya.” Maksudnya, orang yang mendengarkan kadang lebih banyak raih manfaat.
3- Bolehnya meminta kepada orang lain untuk membacakan Al Qur’an walaupun orang yang membacakan lebih rendah keilmuannya. Karena ada sebagian orang yang diberikan suara yang bagus dalam membaca Al Qur’an, namun ia memiliki sedikit ilmu.
4- Hadits ini menunjukkan berkahnya Al Qur’an karena dapat bermanfaat bagi yang membaca dan yang mendengarkan.
5- Hadits ini menunjukkan keutamaan sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud karena beliau dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ayat yang ia baca. Hal ini menunjukkan pula Ibnu Mas’ud sangat semangat mengkaji Al Qur’an, menghafalkannya dan mutqin (hafalan yang kokoh) dengannya.
6– Boleh menyuruh orang lain berhenti di ayat tertentu dan mengatakan ‘cukup, cukup’.
7- Hadits ini menunjukkan bahwa Al Qur’an hendaknya di-tadabburi (direnungkan maknanya) sehingga punya pengaruh di hati seperti yang ada pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

8. Hadits ini menunjukkan keutamaan orang yang takut pada Allah kala mendengar ayat Al Qur’an lalu ia meneteskan air mata. Namun menangisnya tidak dengan memekikkan atau mengeraskan suara.
Demikianlah keadaan para ulama. Sebagaiman kata Imam Al Qurthubi dalam kitab tafsirnya,
وَهَذِهِ أَحْوَالُ العُلَمَاءِ يَبْكُوْنَ وَلاَ يَصْعَقُوْنَ، وَيَسْأَلُوْنَ وَلاَ يُصِيْحُوْنَ، وَيَتَحَازَنُوْنَ وَلاَ يَتَمَوَتُوْنَ
“Inilah keadaan para ulama. Mereka menangis namun tidak memekikkan suaranya. Mereka meminta namun tidak berteriak. Mereka juga bisa sedih namun tidak memperlihatkan kesedihannya.”
Takut pada Allah dan menangis saat membaca Al Qur’an adalah sifat terpuji sebagaimana pula disebut dalam ayat-ayat berikut,
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah.” (QS. Az Zumar: 23)
Juga ayat,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آَيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” (QS. Al Anfaal: 2).
نَسْأَلُ اللهَ أَنْ يَجْعَلَنِي وَإِيَّاكُمْ مِنْ أَهْلِ القُرْآنِ الَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ بِهِ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا يَمُوْتُوْنَ عَلَيْهِ وَيُحْيُوْنَ عَلَيْهِ
“Kami berdo’a pada Allah supaya menjadikanku dan kalian sebagai ahli Qur’an yang mengamalkannya secara lahir dan batin, mati sebagai ahlinya dan dibangkitkan (dihidupkan) sebagai ahlinya.”
(Doa dari Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah dalam Syarh Riyadhis Sholihin, 4: 669)
5. Bersangka baik terhadap taqdir Allah

Aku sesuai persangkaan hamba-Ku, hingga bagaimana balasan mengingat Allah dibahas dalam hadits dari Kitab Riyadhus Sholihin berikut ini.
Hadits #1435
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : (( يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي ، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي ، فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ، ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي ، وَإِنْ ذَكَرنِي فِي مَلَأٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ )) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku saat bersendirian, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di suatu kumpulan, Aku akan mengingatnya di kumpulan yang lebih baik daripada pada itu (kumpulan malaikat).” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 6970 dan Muslim, no. 2675]
Faedah dari Hadits:
Allah bersama hamba-Nya yang beriman dengan sifat ma’iyah (kebersamaan) yang khusus yaitu dengan memberi perhatian, penjagaan, taufik, dan pertolongan.Allah bersama hamba-Nya ketika ia mengingat-Nya, maksudnya Allah bersamanya dengan rahmat-Nya, memberinya taufik, hidayah dan perhatian. Adapun firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan Dia bersama kalian di mana saja kalian berada”, yaitu dengan ilmu Allah. Hal ini dinyatakan oleh Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, 17:3.Allah menyatakan diri-Nya dengan “nafs”, berarti Allah mempunyai dzat yang hakiki.Kalimat “Jika ia mengingat-Ku, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku” maksudnya jika mengingat Allah dalam keadaan bersendirian. Amalan yang sembunyi-sembunyi seperti inilah yang dibalas oleh Allah.Ulama Mu’tazilah dan yang sepaham dengannya berdalil bahwa malaikat lebih mulia dari para Nabi berdasarkan dalil “… Aku akan mengingatnya di kumpulan yang lebih baik daripada pada itu (kumpulan malaikat)”. Namun ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa para nabi tetap lebih mulia dari malaikat berdasarkan dalil ayat tentang Bani Israil (yang artinya), “… dan Kami lebihkan mereka atas makhluk lainnya.” (QS. Al-Jatsiyah: 16). Adapun yang dimaksud hadits adalah mengingat Allah di suatu kumpulan yang tidak terdapat nabi di situ, tentu kumpulan malaikat itu lebih utama.Jika seseorang mengingat Allah (berdzikir kepada Allah) di suatu kumpulan, Allah akan menyanjungnya di sisi makhluk-Nya yang mulia (yang lebih baik dari kumpulan tersebut).Berhusnuzhan kepada Allah.Allah memiliki sifat kalam.

Sesuai Persangkaan Hamba kepada Allah
Mengenai makna hadits di atas, Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Sebagian ulama mengatakan bahwa maknanya adalah Allah akan memberi ampunan jika hamba meminta ampunan. Allah akan menerima taubat jika hamba bertaubat. Allah akan mengabulkan doa jika hamba meminta. Allah akan beri kecukupan jika hamba meminta kecukupan. Ulama lainnya berkata maknanya adalah berharap pada Allah (raja’) dan meminta ampunannya” (Syarh Shahih Muslim, 17:3).
Husnuzhan kepada Allah, itulah yang diajarkan pada kita dalam doa. Ketika kita berdoa pada Allah kita harus yakin bahwa doa kita akan dikabulkan dengan tetap melakukan sebab terkabulnya doa dan menjauhi berbagai pantangan yang menghalangi terkabulnya doa. Karena ingatlah bahwasanya doa itu begitu ampuh jika seseorang berhusnuzhan kepada Allah. Jika seseorang berdoa dalam keadaan yakin doanya akan terkabul, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
اُدْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ
“Berdoalah kepada Allah dalam keadaan yakin akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.” (HR. Tirmidzi, no. 3479. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
6. Prioritaskan menghafal Alquran
Al Khotib Al Baghdadi berkata, “Selayaknya bagi setiap penuntut ilmu memulai dari menghafalkan Al Qur’an. Karena Al Qur’an adalah ilmu yang paling mulia dan yang paling pantas didahulukan.” (Al Jaami’ li Akhlaaqir Rowi wa Li Aadabis Saami’)
Diceritakan bahwa Ibnu Jarir Ath Thobari berkata, “Aku menghafal Al Qur’an pada usia 7 tahun, aku mulai belajar shalat jama’ah pada usia 8 tahun dan aku mulai menulis hadits pada usia 9 tahun.”
Ibnu Kholdun rahimahullah berkata, “Ketahuilah bahwa mengajarkan Al Qur’an kepada anak-anak merupakan bagian dari syi’ar agama Islam dan yang dipraktekkan umat ini. Praktek ini pun tersebar di setiap negeri. Pengaruhnya, hafalan quran bisa lebih mengokohkan iman. Setelah itu barulah kuasai akidah dari ayat-ayat Qur’an, lalu kuasai sebagian matan hadits.”
Keutamaan menghafalkan Al Qur’an sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ اقْرَأْ وَارْتَقِ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِى الدُّنْيَا فَإِنَّ مَنْزِلَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَؤُهَا
“Dikatakan kepada orang yang membaca (menghafalkan) Al Qur’an nanti : ‘Bacalah dan naiklah serta tartillah sebagaimana engkau di dunia mentartilnya. Karena kedudukanmu adalah pada akhir ayat yang engkau baca (hafal).” (HR. Abu Daud no. 1464 dan Tirmidzi no. 2914, shahih kata Syaikh Al Albani).
Ibnu Hajar Al Haitami rahimahullah berkata, “Hadits di atas menunjukkan keutamaan khusus bagi yang menghafalkan Al Qur’an dengan hatinya, bukan yang sekedar membaca lewat mushaf. Karena jika sekedar membaca saja dari mushaf, tidak ada beda dengan yang lainnya baik sedikit atau banyak yang dibaca. Keutamaan yang bertingkat-tingkat adalah bagi yang menghafal Al Qur’an dengan hatinya. Dari hafalan ini, bertingkat-tingkatlah kedudukan mereka di surga sesuai dengan banyaknya hafalannya. Menghafal Al Qur’an seperti ini hukumnya fardhu kifayah. Jika sekedar dibaca saja, tidak gugur kewajiban ini. Tidak ada yang lebih besar keutamaannya dari menghafal Al Qur’an. Inilah yang dimaksudkan dalam hadits di atas dan inilah makna tekstual yang bisa ditangkap. Malaikat akan mengatakan pada yang menghafalkan Al Qur’an ‘bacalah dan naiklah’. Jadi yang dimaksud sekali lagi adalah bagi yang menghafal Al Qur’an dari hatinya.” (Al Fatawa Al Haditsiyah, 156)
Semoga Allah memudahkan kita menjadi penghafal-penghafal Al Qur’an dan penjaga kitabullah.
Wallahu waliyyut taufiq.
Sumber: Dalil Al Hifzh Al Muyassar (Petunjuk Menghafal Al Qur’an)
Sumber https://rumaysho.com
No comments:
Post a Comment